Between Us 29
Kuletakkan kembali ponsel ke meja. Ucapan Mama barusan kembali terngiang. Aku memang sangat mencintai Andika kala itu. Andika pria yang sangat perhatian, penyayang, dan sama sekali tidak pernah berkata kasar padaku. Perjalanan cinta kami nyaris tak pernah berselisih pendapat. Dari sanalah aku begitu yakin jika dia adalah pria yang akan membersamaiku menua.
Siapa sangka dalam hitungan hari keindahan yang begitu kuimpikan hancur berantakan. Impian itu lenyap tepat saat hari pertama aku menyandang status sebagai istri. Bertahan atas nama cinta adalah pilihanku kala itu meski harus babak belur. Berpura-pura bahagia dan terus berusaha mencoba memahami kondisi Andika meski aku nyaris meregang nyawa.
Bodoh! Memang aku begitu dibutakan cinta yang menyebabkan aku tak peduli dengan diri sendiri. Akan tetapi, pada akhirnya aku tidak kuat hingga sampai pada titik ini. Titik di mana aku begitu cemas dan khawatir ketika diminta untuk kembali menjalin hubungan pernikahan.
"Kania ada tamu!" Suara Mbak Lia terdengar.
Kurapikan rambut lalu membuka pintu.
"Siapa, Mbak?"
Dia mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu, tapi dia cowok!" jelas Mbak Lia sembari menaikkan kedua alisnya.
"Oke, makasih, Mbak."
Dengan sedikit rasa penasaran aku gegas ke ruang tamu.
"Aksara? Kamu tahu dari ...."
"Hai, sori, aku datang nggak kasi kabar dulu." Dia bangkit mengulurkan tangan.
"Nggak apa-apa, aku lagi nggak ke mana-mana, kok!" Kusambut jabat tangannya.
Kupersilakan dia duduk. Aksara tersenyum mengangguk.
"Aku pikir kamu pasti tahu maksud kedatanganku, 'kan? Dia menatapku. "Oh iya, mamamu yang kasi aku alamat ini."
"Mamaku merepotkan kamu pasti."
Aksara tertawa kecil, sembari menyugar rambut dia berkata, "Aku maklum, karena begitu juga mamaku memperlakukan kakak perempuanku waktu itu."
"Kamu mau aku ajak jalan?"
"Boleh, aku ganti baju dulu."
Dia tersenyum kemudian mengangguk.
**
Memakai baju terusan sebatas lutut berwarna putih dengan corak bunga kecil berwarna kuning dan sandal flat putih serta tak lupa tas tangan berwarna senada aku siap berangkat.
"Ayo! Kenapa malah bengong?" Kukerutkan kening menatap Aksara yang memindaiku.
"Oh, ayo! Sudah siap?" tanyanya gugup dan terlihat sangat lucu.
"Udah dong! Kamu kenapa?" Aku tak bisa menahan tawa.
"Nggak apa-apa, ayo!"
Terkadang aku merasa ada bagian-bagian dalam hidupku seperti berulang. Baik itu saat bersama Andika, Damar bahkan Aksara. Semua pria hampir memiliki kebiasaan yang sama, seperti membukakan pintu mobil untukku.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya saat kami berada di mobil.
"Kamu yang ngajak, aku ikut aja."
"Jujur aku bukan orang yang mengenal baik kota ini, karena bisa dibilang orang baru, tapi aku tahu tempat makan yang menurutku lumayan oke. Kamu mau aku ajak ke sana?"
"Boleh!"
Tak ada yang berubah, Aksara masih sama seperti kemarin. Dia pria santai dan sangat mudah diajak bicara. Tak ada satu pun pembicaraan kami yang berhenti, semua mengalir dengan sangat menyenangkan.
Hingga pada akhirnya aku teringat pada ucapan Damar.
"Aksara."
"Ya?"
"Kamu ... kamu kenal Damar?"
"Damar Fabiandi? Pemilik Green Property dan owner beberapa kafe itu?"
Ternyata Aksara kenal sedetail itu.
"Kenapa dia? Apa dia menyakitimu?" Dia tertawa kecil.
Aku menggeleng.
"Nggak! Kenapa kamu berpikir kalau dia menyakitiku?"
Aksara tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, cuma beberapa waktu lalu dia bertanya tentang kamu ke aku. Kalian ... dekat?"
Tak disangka pernyataan Aksara langsung ke poinnya.
"Nggak, nggak dekat sih, cuma ... aku ...."
"Nggak apa-apa, Kania, kalau kamu dekat dengan Damar, kamu bicara aja." Aksara memperlambat mobilnya karena di depan ada kemacetan.
Kubasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering. Apa yang dibicarakan pria itu tentang aku pada Aksara?
"Kenapa? Kamu mau tanya apa soal Damar?"
"Dia cerita apa tentang aku?"
Duh! Kenapa aku jadi seperti seorang perempuan yang jatuh cinta?
"Eum, maksudku ...."
"Nggak apa-apa, dia bilang pernah lihat kita di restoran hotel waktu itu," sela Aksara, kulihat dia tersenyum penuh arti.
Entah apa yang ada di kepalanya, tetapi aku memilih diam.
"Ya dia tanya aku dengan siapa, aku jawab, karena menurut Damar dia kenal sama kamu."
Aku tak lagi bertanya.
"Damar itu orang baik, oh iya, dia juga cerita kalau anaknya dekat sama kamu, betul begitu?"
"Dia bilang begitu?"
"Iya. Karena aku tahu dia punya anak, dan aku sempat tanya soal kabar anaknya."
Oke, sekarang aku sedang bersama seseorang selain Mas Tomi yang juga tahu siapa Damar.
"Kita sudah sampai, ayo! Kamu nggak keberatan kita ke sini, 'kan? Kok jadi melamun?"
Terlalu banyak pikiran sehingga tak sadar jika sejak tadi mobil sudah berhenti.
"Oh iya, oke, kita turun. Tentu saja aku nggak keberatan."
Gegas kubuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
**
Aksara benar, kafe ini memang tidak begitu besar, tetapi sangat homy. Suasana tenang dan asri sudah terbaca saat mulai masuk. Alunan musik lembut menyambut kedatangan kami. Para pelayan ramah dan bekerja sangat sigap.
"Belum pernah ke sini?" tanyanya saat kami mengambil duduk di salah satu sudut ruangan.
"Belum." Aku menghenyakkan tubuh di sofa. Iya, kafe ini memang sepertinya dirancang untuk para pekerja yang ingin melepas lelah saat weekend dan membutuhkan ketenangan.
"Mau makan apa?"
"Terserah!"
Mendengar jawabanku, Aksara tertawa kecil.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, jawaban kamu lucu!"
Aku ikut tertawa dan seketika teringat ucapan Damar yang juga merasa lucu dengan jawaban itu. Damar? Ah! Kenapa aku lagi-lagi mengingatnya?
"Oke, kita pesan steak, gimana?"
"Boleh!"
"Minumnya? Please, jangan bilang terserah," candanya menatapku dengan mimik lucu.
"Oke, aku ... lemon tea aja!"
"Nah begitu lebih baik!" Dia kemudian memanggil pelayan.
"Ditunggu ya, Kak," ucap perempuan bercelemek orange sembari membungkuk sopan.
Aku masih mengamati detail kafe. Kemana saja aku selama ini hingga tidak tahu tempat senyaman ini?
"Kania."
"Ya?"
Aksara menarik napas kalau mengembuskan perlahan.
"Pekan depan ... kamu pasti tahu apa yang akan terjadi, 'kan?"
"Iya."
"So? What do you think about a marriage?"
Aku tersenyum saat pelayan datang dan meletakkan ke meja semua pesanan kami. Setelah pelayan itu pergi, kutarik napas dalam-dalam.
"Aku bukan orang baru soal itu, Aksara, tapi justru karena itu yang membuatku takut."
Kulihat Aksara mengangguk paham.
"Kamu pasti tahu perjalanan hidupku tanpa harus kujelaskan."
"Iya. Mama cerita banyak."
"Aku takut memulai satu hubungan, bahkan aku takut untuk jatuh cinta."
Akhirnya bisa juga aku mengatakan hal ini kepada Aksara. Kupikir karena memang pria di depanku ini memang orang yang paling bisa memahami apa yang kurasakan meski kami belum lama kenal
Aksara mengedikkan bahunya.
"Kenapa harus takut? Padahal kamu bukan orang yang susah untuk dicintai."
"Maksud kamu?" Kubalas tatapannya.
Aksara tersenyum lebar.
"Aku pria, dan aku melihat tidak ada alasan untuk para pria tidak jatuh cinta padamu."
Aku merasa pipi ini memanas mendengar penuturannya.
"Aku sedang tidak ingin dirayu."
"Aku tidak sedang merayu. Aku bicara apa adanya, seperti seorang pria normal, Kania."
"Sure! Siapa bilang kamu tidak normal!"
Kami tertawa, tak kusangka membicarakan masa lalu dengannya bisa seringan ini. Aku bisa bicara tanpa terbebani sama lalu meski dia pria yang belum pernah menikah.
"Oke, gimana kalau kita makan dulu?"
Aku mengangguk setuju.
"Selera kamu boleh juga!"
"Makasih, tapi untuk orang-orang sepertiku memang tidak begitu menyukai keramaian. Jadi aku sempat khawatir kamu tidak suka tempat ini," ujarnya sembari memotong daging steak yang memang benar-benar juicy.
"Dulu mungkin aku suka keriuhan, tapi sekarang, aku merasa nyaman di tempat seperti ini."
Setelah menghabiskan hidangan, kembali aku dan Aksara membahas rencana pertunangan yang direncanakan orang tua kami.
"Papa kamu sakit?"
Pertanyaanku mengubah paras Aksara seketika. Wajah pria low profil itu terlihat sendu.
"Iya, dan ... permintaan beliau ...."
"Aku tahu."
Kami saling diam. Tak ada yang paling membahagiakan ketika kita bisa membuat orang tua bahagia. Dan aku yakin Aksara merasakan hal yang berat jika keinginan papanya tidak bisa dipenuhi.
"Aku nggak tahu, tapi aku benar-benar merasa mendapatkan deadline yang sulit untuk hal ini."
Aksara menyugar rambut lalu mengusap wajahnya. Dia kemudian bercerita jika sang papa pernah beberapa kali drop dan kembali pulih, dan beberapa kali juga mengatakan permintaan yang sama.
"Sudah sering aku mengajukan alasan soal kenapa aku belum menemukan calon pendamping, tetapi papa tidak bisa terima." Aksara tertawa hambar. "Mungkin papa pikir anaknya nggak bakal laku kali ya?"
Aku merasa tersindir pada sikap Aksara. Sebenarnya dia bisa saja mengajakku untuk bersandiwara atau bahkan dia bisa saja memaksaku untuk menerima saja tawaran pertunangan itu, tetapi hal tersebut tidak dia lakukan.
"Kamu ingin aku membantumu?"
Aksara menggeleng dengan senyum getir.
"Nggak Kania. Aku bukan pemaksa, aku tahu sebuah rasa itu tidak bisa muncul tiba-tiba."
**
Triple update, done, yes. Say something for me, please 🥹🧡
Thanks for reading🧡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top