Between Us 26

Setelah berdebat cukup alot, akhirnya Damar memutuskan makan malam di salah satu restoran favoritnya. Kami menikmati makan malam dengan menu ikan bakar. Kulihat papa dari Shanum itu sangat menyukai pedas. Beberapa kali dia mengusap dahi yang bercucur keringat.

"Masih makan pedas?" 

Dia mengedikkan bahu kalau kembali menikmati malamnya.

"Nggak ingat pesan dokter?"

Dia tertawa kecil kemudian mencuci tangannya.

"Ingat."

"Terus?"

"Kupikir bolehlah sekali-kali."

"Tapi kamu makan sambalnya banyak banget! Nanti kalau sakit gimana?"

Dia menoleh menatap intens. Oke, aku membuat kesalahan lagi. Kali ini kenapa aku terdengar begitu perhatian padanya? 

"Eum, maksudku, gimana Shanum kalau kamu sakit. Kamu kalau sakit, 'kan ngerepotin semua yang ada di rumah. Mbok Nung, Mbok Sum, Pak Mopo, semua ikut repot!" Kucoba meralat ucapan barusan supaya dia tidak berpikir macam-macam.

Damar hanya tersenyum tipis kemudian menatap arloji.

"Temenin aku belanja sebentar, ya."

"Belanja?"

Dia mengangguk. "Iya, susu dan perlengkapan Shanum sudah menipis. Kamu nggak keberatan, 'kan?"

Pertanyaan macam apa itu? Kalau pun aku bilang keberatan itu sama saja aku yang membuat dia terbebani. Tak ada pilihan lain selain mengangguk.

**

Kedatangan disambut Mbok Sum, karena Mbok Nung sudah pulang sejak sore, sementara Mbok Sum memang tinggal di rumah ini. 

"Shanum sudah tidur, Mbok?"

"Iya, Mas Damar."

Dia mengangguk lalu menitahkan asisten rumah tangganya untuk mengambil belanjaan di bagasi.

"Saya bantu, Mbok." Ku letakkan tas tangan di meja tamu lalu mengikuti perempuan paruh baya itu.

"Ke mana, Kania?"

"Bantuin Mbok Sum."

"Nggak perlu, ada Pak Mopo yang bantu. Kamu ikut aku!"

Aku tak diberi kesempatan untuk berpikir, karena Damar cepat meraih tanganku dan memberi isyarat mengikutinya.

"Kamu istirahat di kamar ini, di dalam ada beberapa baju ganti yang mungkin kamu bisa pakai."

Aku membalas heran tatapannya. Bagaimana mungkin ada baju perempuan di rumah ini sementara Damar selalu tinggal sendiri? Apa mungkin dia sengaja menyediakan baju perempuan untuk teman-teman kencannya jika menginap? Oh, God! Mendadak aku merasa jijik.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa." Kukibaskan tangan mencoba mengalihkan pikiran buruk. 

"Kamu sedang berpikir aku pernah membawa perempuan ke rumah ini, 'kan?"

Wajahku memanas saat dia mengatakan hal itu. Tentu saja dengan mudah dia bisa menebak isi kepala ini, karena sepertinya dia tahu apa pikiran seorang perempuan jika dihadapkan dengan kondisi seperti saat ini.

"Enggak! Lagipula kamu pernah bawa atau nggak itu hak kamu."

Damar tertawa kecil.

"Oke, silakan istirahat. Selamat malam." Damar melangkah mundur kemudian membalikkan badan meninggalkan aku yang masih berdiri di depan kamar yang terbuka.

Kutarik napas dalam-dalam melangkah masuk, tetapi suara pria itu membuat aku menahan langkah.

"Aku lupa, di dalam ada kamar mandi, jadi kamu nggak perlu repot ke luar untuk membersihkan diri, dan kalau butuh sesuatu, kamu bisa pencet tombol yang ada di dekat ranjang."

"Makasih."

Damar mengangguk lalu pergi.

**

Berada di kamar yang nyaman tak serta-merta membuatku bisa beristirahat. Otakku terus berkelana deretan baju di lemari yang bergantung rapi. Semuanya baru, karena masih ada tergantung merk bajunya. Untuk apa semua baju-baju ini? Tidak mungkin jika dia hendak membuka butik, bukan?

Tunggu! Tiba-tiba teringat Agni. Tentu saja baju-baju indah ini dipersiapkan untuk Agni jika sewaktu-waktu mama dari Shanum itu menginap. Mengingat Agni seorang model yang tentu saja memiliki selera berpakaian yang sangat tinggi.

Ku tutup kembali lemari, entahlah, enggan rasanya mengenakan pakaian yang bukan milikku, terlebih di rumah seseorang yang kutahu seperti apa latar belakangnya.

Ku pandangi setiap sudut kamar. Ruangan ini bernuansa kuning gading. Sepertinya memang dirancang untuk perempuan. Karena ada meja rias yang cukup besar berada tepat di samping lemari.

"Apa mungkin Shanum bisa memiliki mama sepertimu?"

"Iya, aku ingin kamu bisa terus membersamai Shanum dan ... aku."

"Mungkin kamu nggak percaya, tapi aku nggak pernah seserius ini."

Kalimat Damar muncul di otakku. Gemuruh dada kembali menyapa kali ini bersama dengan desir hangat yang demikian mengusik hati.

Perlahan aku mulai menyimpulkan, Damar sangat menyayangi Shanum, dan aku ... aku adalah perempuan yang kebetulan saat ini begitu dekat dengan putrinya. Itu artinya, Damar serius karena Shanum. Iya! Tentu saja karena Shanum, mengingat aku bukan perempuan yang fashionable dan memiliki tubuh seindah Agni.

 Bagaimana bisa aku berpikir jika Damar jatuh hati padaku? Bukankah dari setiap kalimatnya selalu disandarkan kepada putrinya? 

Damar hanya mencari perempuan yang bisa mengerti dan mengasuh putrinya, bukan mencari pendamping hidup. Karena meski tanpa pendamping hidup pun dia bisa membayar sejumlah uang kepada siapa pun perempuan yang diinginkan.

Meski begitu, jujur aku memang mulai merasa nyaman bersamanya, selain itu ada sisi lain dalam hati yang terus-menerus berdesir ketika berdekatan dengan Damar. Ya, Tuhan! Ini nggak boleh terjadi! Jatuh cinta adalah hal wajar, tetapi tolong! Jangan buat aku jatuh cinta pada Damar Fabiandi. Aku tak ingin kisah kelamku bersama Andika terulang meski berbeda kasus. 

Jika Andika dengan segala gangguan psikologis -nya, sementara Damar dengan kepintarannya dalam berbicara memikat lawan jenis.

Jam dinding menunjukkan pukul 00.00, aku sudah begitu lama bermonolog. Ku langkahkan kaki ke ranjang untuk merebahkan diri, tetapi baru saja hendak menyentuh bantal, tiba-tiba lampu mati dan gelap gulita seketika! Dan senyap.

Aku paling takut gelap, sangat takut! Terlebih di tempat yang asing. Mencoba menyalakan ponsel, tapi sia-sia karena baterai habis. Pintu! Pertama-tama aku harus menuju pintu untuk keluar dari kamar, tapi di mana arahnya? Samping kanan? Kiri? Atau justru berada di belakangku?

Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Nggak mungkin aku teriak. Ini rumah orang dan Shanum? Iya, Shanum! Bagaimana bayi itu? Aku bergerak perlahan sembari mencoba menjangkau apa saja yang bisa dijangkau. Otakku bekerja keras agar bisa mengingat posisi pintu, karena kamar ini sangat besar dan tentu saja sangat baru bagiku.

Mendadak aku ingat tombol yang Damar ucapkan tadi. Oke, tombol itu berada di dekat ranjang! Duh! Tapi ini listrik mati, kurasa tombol itu tidak berguna. Pyar! Aku menjatuhkan pigura yang kuingat ada di sisi sebelah kanan pintu masuk kamar ini. 

"Aww!" pekikku kesakitan karena pigura itu kurasa telah melukai kakiku. "Aww!" Kali ini kaki sebelah lagi yang kena. Sempurna! Kedua kakiku kini telah tertusuk kaca yang aku sendiri tidak tahu seperti apa kondisinya.

 Dalam kesakitan, kudengar kenop pintu diputar. Beruntung aku lupa mengunci pintunya!

"Kania?" Damar muncul dengan senter ponsel yang membuat mataku memicing. "Ya Tuhan! Jangan bergerak!" Dia terlihat panik, tetapi sigap mengangkat dan menggendongku ke ranjang.

Kami begitu dekat bahkan tak berjarak saat dia meletakkan tubuhku perlahan di ranjang. Sangat dekatnya sehingga kubisa merasakan hangat napasnya bersarang di pipiku.

Jika napasnya terengah, aku justru tak bisa bernapas. Ketegangan memuncak, selain gelap, kedekatan kami membuat seluruh tubuhku seakan dialiri listrik yang luar biasa sehingga aku merasa begitu hangat bahkan ... panas!

**

Cieee, ada yang tegang cieee, wkwkw

Gimana gimana? Lanjut gak nih? Hi-hi 😁 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top