Between Us 23
Seperti yang kutakutkan, Andika datang lagi, tetapi kali ini dia memintaku agar mau ikut bersamanya. Hal itu tentu saja kutolak dengan berbagai alasan.
"Kamu takut padaku, Kania?" tanyanya datar dengan tatapan tajam.
"Aku takut kamu kembali menyakitiku, Andika." Aku berusaha jujur mengatakan apa yang ada di kepala.
Pria berkemeja biru itu menyeringai.
"Itu artinya kamu nggak percaya kalau aku sudah berubah?"
"Aku percaya, Andika."
"Tapi kenapa kamu nggak mau kuajak pergi? Aku nggak akan menyakiti orang yang aku cintai, Kania. Aku tidak bodoh!" tangkisnya kali ini dengan suara lebih tinggi.
"Tapi aku ...."
Sungguh aku semakin cemas saat dia bangkit mendekat. Dia kini berdiri tepat di samping aku duduk.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku, dan kamu pun harus tahu jika sampai saat ini aku masih menaruh harapan besar padamu. Aku mencintaimu, Kania."
"Andika, please! Oke, aku percaya kamu sudah berubah, tapi beri aku waktu. Tolong, kembali duduk di tempatmu. Ini tempat kost, aku nggak mau ada keributan."
Pria beraroma mint itu mundur, tetapi masih tidak kembali duduk.
"Ikut aku, Kania. Aku punya kejutan buatmu."
Ku basahi tenggorokan sembari berpikir bagaimana bisa membuat pria di depanku itu mengurungkan niatnya.
"Eum, boleh aku ke ...."
"No! Kamu nggak perlu beralasan apa pun kali ini! Ikut aku, atau aku memaksamu!" Kali ini dia berhasil menarik pergelangan tanganku sehingga kami tak lagi berjarak.
Suasana kost sepi karena memang sebagian penghuninya pulang ke rumah masing-masing. Mereka menghabiskan liburan akhir pekan yang cukup panjang karena ada cuti bersama setelah perayaan hari besar.
"Jangan bikin aku kecewa, Kania. Aku bahkan bersedia merasakan sakit demi kamu. Demi kamu agar kita bisa bersama lagi." Suaranya terdengar berat dan penuh penekanan.
"Sakit? Kamu merasakan sakit, Andika? Sakit apa? Bagian mana kamu merasakan sakit?" Aku mulai emosi.
"Kamu pikir aku setiap hari mengonsumsi obat itu tidak sakit? Sakit, Kania. Aku bosan, tapi aku berusaha mengabaikan rasa itu demi kamu!" Kali ini dia berusaha meraih lenganku. Nada suaranya berubah lembut.
"Please, Kania, aku cuma ingin kita berdua pergi ke suatu tempat. Ke suatu tempat di mana kita berdua dulu sering menghabiskan waktu. Please."
Aku bergeming. Mata kami saling menatap, tapi aku sudah tidak lagi menemukan perasaan yang dulu kurasakan. Rasa untuk Andika sudah benar-benar hilang.
"Bukankah kamu pernah janji? Kamu janji kalau kamu bersedia untuk kembali bersama lagi setelah aku sembuh?" Dia kembali mencoba memangkas jarak.
"Please." Suaranya sangat lirih dan penuh permohonan.
"Oke, tapi jangan lama. Aku ada ...."
"Nggak, nggak lama. Aku janji!"
"Kalau begitu aku ...."
"Please." Dia menggeleng. "Kamu sudah cantik dengan baju dan dandanan seperti ini."
Aku bangkit mengikuti langkahnya. "Andika."
"Ya?"
"Boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Setelah ini, aku harap kamu berhenti menemuiku. Bisa?"
Wajah Andika berubah tegang dan meradang. Dia membalikkan badan mendekat hingga kami tak berjarak.
"Kamu ingkar janji? Kamu melupakan janjimu?" Tangannya mencengkram kuat lenganku.
"Lepas, Andika! Sakit!"
"Lepas?" Dia menggeleng. "Aku sudah bilang, aku nggak akan melepaskan kamu!"
"Kamu nggak akan bisa lepas dariku, Kania! Sampai kapan pun, kita akan tetap bersama!"
Aku meringis menahan sakit. Berteriak, tentu saja tidak mungkin, bisa-bisa Andika semakin lepas kendali.
"Kania!" Sebuah suara terdengar bersama dengan munculnya Damar di tengah-tengah kami.
Damar rupanya menangkap ketidakberesan yang terjadi.
"Maaf, Anda siapa? Bisa lepaskan Kania?" Dia memindai Andika.
"Seharusnya saya yang tanya Anda siapa! Dan apa urusan Anda ke sini!" Andika menjawab ketus. Sementara aku masih kesakitan karena tangannya masih mencengkeram lenganku.
"Saya temannya."
Andika menyeringai mendengar penuturan Damar. Dengan senyum puas dia berkata, "Saya suaminya! Mau apa Anda?"
"Andika! Lepas!" Aku meronta. Bagaimana mungkin dia dengan enaknya mengatakan bahwa aku istrinya.
"Ikut aku Kania! Kamu pasti tahu apa yang akan terjadi jika masih keras kepala!" bisiknya tepat di telinga.
Dia menarikku hingga mau tak mau aku berjalan mengikutinya. Sementara Damar memilih tetap berdiri di tempat dengan wajah penuh pertanyaan dan kaget, tentu saja. Entahlah, aku tak bisa menyimpulkan apa yang sedang berkecamuk di pikiran pria itu.
"Dia siapa? Kenapa dia ke tempatmu?" selidiknya saat kami berada di dalam mobil.
"Dia klien di kantor."
Andika menarik satu sisi bibirnya.
"Klien di kantor, tapi datang ke tempatmu? Ada apa?"
"Aku nggak tahu!"
Tawa Andika terdengar sumbang.
"Nggak tahu? Kamu pikir aku anak kemarin sore yang tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran laki-laki?"
"Ck! Kamu apa-apaan, sih? Aku benar-benar nggak tahu! Lagian belum tentu dia nyari aku!"
Andika menyalakan mobilnya lalu perlahan meninggalkan kediamanku.
"Ada hubungan apa kamu dengan dia?"
Aku membisu, kubiarkan dia terus bersuara menyimpulkan siapa Damar. Karena dijelaskan pun dia tidak akan pernah bisa percaya.
"Dia pacar kamu?"
"Bukan, Dika! Dia klien! Mau sampai kapan kamu terus bertanya soal ini?"
"Oh aku tahu, kenapa kamu tidak mau ikut aku tadi. Itu karena kamu janjian sama pria yang bernama Damar itu, kan?"
"Nggak, Andika! Cukup! Berhenti membuat karangan soal hidupku!"
"Bukan karangan, tapi itu yang memang terjadi! Iya, kan?"
Andika berhasil membuatku semakin kesal.
"Andika, cukup! Lagipula jika aku memang benar punya hubungan dengan dia, apa pedulimu? Itu hakku, dan kamu sudah tidak punya hak sama sekali!"
Andika menyeringai. Dia kemudian menginjak gas yang membuat laju kendaraan semakin kencang.
"Andika!" Aku mulai panik. "Berhenti! Berhenti, Andika!"
"Apa kamu mencintainya?"
"Siapa? Siapa yang aku cintai?" Aku berpegangan pada hand grip kuat-kuat.
"Pria itu? Apa kamu mencintainya?"
"Sudah kubilang, aku dan Damar tidak punya hubungan apa-apa! Please, kita berhenti di sini saja. Kamu sudah membuatku takut, Andika. Berhenti!"
Andika seolah menulikan telinga, dia semakin memacu cepat kendaraannya. Belajar dari pengalaman, aku mencoba tenang meski jantungku seperti siap untuk melompat dari tempatnya. Tanpa sengaja dari spion kulihat mobil Damar mengikuti. Ada rasa lega, meski aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti.
"Kamu takut, Kania?" Suaranya lembut, tetapi terdengar penuh penekanan.
"Nggak! Aku nggak takut!"
Dia tertawa hambar.
"Kamu bohong, Kania! Kamu sudah berbohong dan mengingkari janji!"
'Tenang, Kania. Tenang, jangan terbawa emosi. Hidupmu ada pada pengendalian emosimu saat ini.' Aku bermonolog.
Karena kalau aku marah dan melawan, tentu Andika akan merasa puas. Aku memilih diam sembari berdoa semoga Damar bisa menghentikan mobil ini.
"Kenapa kamu tidak takut sekarang, Kania?"
"Karena aku percaya sekarang kalau kamu mencintaiku."
"Oh iya?" Lagi-lagi senyumnya datar.
"Karena orang yang mencintai tidak akan mencelakai pasangannya."
Aku menarik napas dalam-dalam. Ketenangan yang susah payah kubangun sepertinya sia-sia, karena Andika tetap pada kecepatannya bahkan kali ini semakin cepat. Kami sudah tidak lagi berada di dalam kota, jadi Andika bisa lebih kencang memacu mobilnya.
Kulihat mobil Damar masih berada di belakang kami. Rupanya Andika tahu jika seseorang mengikutinya. Mobil melambat kemudian perlahan menepi. Dia tampak memberi isyarat agar Damar juga melakukan hal yang sama.
"Kamu mau apa, Andika?" Aku merasa khawatir.
"Kenapa? Kamu takut pacarmu itu akan aku celakai?"
Kulihat dia membuka pintu mobil dan keluar.
"Kamu tetap di sini! Jangan coba-coba untuk keluar!" ancamnya.
**
Akhir pekan ... dobel update untuk teman-teman 🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top