Between Us 22


"Eh, tapi serius, Kania, gue lihat lo, dan lo tahu siapa selain lo yang gue lihat?" Alya memasang wajah serius.

"Siapa?" Aku mendongak menatap Alya yang sejak tadi berdiri di sebelah.

"Damar! Gue lihat Damar!" Suaranya lirih seperti tak ingin terdengar siapa pun di ruangan ini.

Mataku menyipit.

"Dia lihat lo juga kemarin!"

"Ya terus emang kenapa?" tanyaku, yang tiba-tiba dada berdegup kencang saat mendengar penuturannya.

"Gue curiga dia cemburu!"

"Cemburu? Sok tahu!"

"Eh! Serius! Jadi dia itu baru datang bareng sama ... gue nggak tahu siapa, mereka berempat, cowok semua. Nah, baru aja mereka sampai, si Damar ini lihat lo lagi makan, becanda gitu sama siapa tadi namanya?"

"Aksara!"

"Nah, iya, Aksara. Terus dia langsung cabut tahu, Kania!"

"Ya, terus, nggak ada hubungannya kali, Al. Nggak usah sok cocokologi, deh!"

"Nggak, Kania! Gue lihat jelas wajahnya kayak kesel gitu!" Alya tak berhenti memindaiku.

"Gue sama dia nggak ada apa-apa, Alya. Kenapa lo menyimpulkan jauh banget!" balasku malas.

"Lo yakin nggak ada setitik perasaan ke dia?"

"Nggak!"

"Tapi sayangnya gue nggak lihat itu." Alya tersenyum penuh arti.

"Maksudnya?"

Dia menggeleng. "Gue lihat lo sedang berusaha tidak jujur pada diri lo sendiri, Kania."

Kutarik napas dalam-dalam lalu mengedikkan bahu.

"Ngaco, ah!" Aku kembali menatap layar laptop.

"Biarin aja, baguslah! Jadi dengan begitu, dia nggak seenaknya aja minta tolong ke aku!"

Terdengar tarikan napas Alya dan gumaman lirih.

"Eh, lo bicara apa barusan?"

Dia tertawa kecil. "Gue penasaran seperti apa ending hubungan lo sama Damar," jawabnya lalu nyelonong kembali ke mejanya.

**

Seperti yang sudah-sudah, setiap kali dipertemukan oleh pria kandidat Mama, aku selalu diinterogasi.

Besok Mama harus kembali ke kota kami, dan malam itu aku dan beliau bertemu di sebuah mal dan tentu kali ini bersama Papa. Mama memilih salah satu restoran Jepang untuk kami bercakap-cakap. Setelah menikmati hidangan, Mama mulai mengajukan pertanyaan yang aku sudah bapak di luar kepala.

"Gimana, Kania?"

"Tentang Aksara?"

Mama mengangguk sembari tersenyum melirik Papa di sebelahnya yang menurutku saat ini beliau setuju dengan pilihan Mama, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

"Aksara baik, orangnya juga asyik, enak juga diajak ngobrol."

"Jadi kamu oke?"

"Oke."

"Yes! Kalau begitu Mama akan segera bicara soal pertunangan kalian!" Suara Mama terdengar sangat antusias.

"Ma, tunggu! Oke maksud Kania, ya memang oke, nggak ada masalah Kania sama Aksara. Cuma itu."

Wajah Mama berubah.

"Ya kalau sudah oke, tunggu apa lagi, Kania? Mama nggak mau kamu milih sendiri! Mama nggak mau apa yang pernah terjadi padamu itu terjadi lagi." Nada suara Mama terdengar sangat trauma.

"Kania tahu, Ma, tapi Kania belum bisa. Kania juga sama takutnya sama Mama."

"Kania, Papa tahu apa yang kamu khawatirkan. Demikian pula dengan kami, tapi kekhawatiran kami lebih besar dari yang kamu tahu. Penyesalan kami pun lebih besar dari yang kamu sesalkan." Papa akhirnya membuka suara. "Mungkin memang kamu butuh space lama untuk bisa kembali berbagi ruang, tapi mungkin apa yang sudah diusahakan Mama ada baiknya kamu pikirkan."

Kalimat Papa tidak salah, orang tua mana yang tidak ingin anaknya bahagia, tetapi aku saat ini benar-benar pada satu ketakutan yang aku sendiri kesulitan untuk melawan. Tentu saja sebagai perempuan normal, aku pun memiliki perasaan suka. Akan tetapi, untuk kembali bermimpi membina rumah tangga, aku benar-benar merasa tidak lagi sepenting itu.

"Kania paham, Ma, Pa. Tapi nggak mungkin Kania ikuti rencana Mama untuk bertunangan atau apa pun itu sebutannya, karena itu belum tentu bisa membuat Kania bahagia."

"Bahkan dengan pria yang menurutmu mengasyikkan?" tanya Mama. "Bukannya tadi kamu bilang Aksara baik, asyik, dan enak diajak ngobrol?"

Aku mengangguk.

"Apa dia kurang tampan?"

Aku menggeleng. Tentu saja Aksara tampan, kalau tidak, tidak mungkin Alya meminta rekomendasi dari Mama soal pria.

"Lalu apa lagi, Kania?" Kali ini suara Mama terdengar lelah.

Ini adalah proses perjodohan untuk kesekian kalinya. Aku sangat paham kelelahan Mama, tetapi bukankah aku yang kelak akan melanjutkan hidup? Aku yang kelak akan menjalani? Kurasa Mama juga tidak akan suka kalau aku menerima siapa pun dengan terpaksa. Terlebih Aksara. Karena belakangan kutahu jika Mama Aksara adalah orang yang disegani di sebuah organisasi nirlaba di negeri ini.

"Ma, apa Mama sudah tanya Aksara? Bagaimana perasaannya? Kania nggak yakin jika dia setuju begitu saja dengan usulan ini."

Mengingat pria yang memiliki senyum manis itu sangat famous di dunianya. Tentu tidak satu dua perempuan yang memimpikan Aksara jadi pendamping mereka.

"Masa lalu Kania yang seperti itu, apa Aksara tahu? Nggak semua pria mau dan bisa menerima masa lalu Kania, Ma, Pa."

Mama menatapku dengan tatapan penuh kasih seorang ibu pada anaknya.

"Mama memang belum bercerita detail soal itu, tapi mereka, baik Aksara atau mamanya sudah tahu kalau kamu pernah menikah dengan orang yang salah."

Menarik napas dalam-dalam, aku menghabiskan melon soda yang masih tersisa sedikit.

"Kania minta waktu, ya, Ma. Soal ini biar Kania akan bicara ke Aksara. Kami akan diskusikan hal ini."

Kulihat paras Mama sedikit kecewa, aku pahami itu.

"Kalau memang itu yang kamu mau, Mama kasi waktu, tapi besar harapan Mama juga Papa, kalian bisa menemukan keputusan seperti yang kami harapkan."

Aku tersenyum lega, meski ada sedikit memaksa, tetapi Mama tetap bersedia memberi waktu bagiku.

"Kania, cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, dan jika alasannya kamu belum bisa menerima cinta dan belum bisa mencintai orang baru, hal itu adalah lumrah, karena perasaan itu akan berkembang dengan sendirinya ke arah mana dia berawal tentu ke situ pula lah akan bermuara." Papa kembali membuka suara.

Tak lama dari arah pintu muncul pasangan paruh baya bersama Aksara. Mereka berjalan mendekat ke meja kami. Sudah barang tentu ini adalah satu dari sekian banyak rencana Mama untukku.

Aku bangkit dan menjabat tangan kedua orang tua Aksara. Setelah itu kami semua duduk mengitari meja. Disusul kemudian hidangan lainnya kembali disuguhkan. Kutatap Mama tersenyum tipis menanggapi mataku yang meminta penjelasan.

Obrolan pun mengalir, lebih tepatnya obrolan para orang tua. Karena moment ini ada muatan perjodohan, tentu saja perbincangan tak jauh-jauh dari kesepakatan kapan hal tersebut bisa segera dilangsungkan.

Satu pesan masuk membuat ponselku bergetar.

[Bisa kita pergi dari obrolan mereka?]

Bibirku mengatup menahan senyum. Aksara! Dia memang punya cara unik membuatku tidak tegang.

[Oke. Gimana caranya?]

"Ehem, Ma, Pa ,Tante, Om, boleh saya ajak Kania jalan-jalan? Biat kami bisa lebih mengenal."

Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi Mama. Beliau orang pertama yang mengangguk setuju yang kemudian diikuti yang lainnya. Setelah berpamitan, kami berdua meninggalkan tempat itu.

"Hufft, thank you, Aksara! Akhirnya aku bisa bernapas lega."

"It's okey! Ke mana enaknya kita?"

Kutatap wajahnya yang juga menatapku. "Aku bawa mobil sendiri, jadi kita bisa pergi ke mana pun yang kamu mau."

"Pameran foto masih ada hari ini?"

Dia mengangguk. "Kamu mau ke sana?"

"Boleh!"

"Let's go!" Dia tertawa kecil memberi isyarat agar aku mengikuti.

Setelah kami berdua berada di dalam mobil, Aksara berkata, "Maaf, ya, mungkin kamu risih karena inisiatif mamaku soal perjodohan."

Aku memasang seatbelt kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Harusnya aku yang minta maaf. Karena sepertinya justru mamaku pencetus ide itu."

Dia tertawa lalu mobil mulai berjalan.

"Kalau kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa katakan itu pada mamamu."

"Kamu sendiri?"

Dia mengedikkan bahu.

"Ngalir aja, Kania. Karena menurutku jodoh

itu seperti kapal, yang kelak akan menemukan dermaganya."

Aku mengangguk setuju.

"Kalau begitu ... apa yang akan kita katakan ke orang tua kita?"

Aksara tersenyum lebar.

"Kamu nggak perlu bicara apa-apa, biar aku saja nanti yang bicara."

Lagi-lagi aku bisa bernapas lega. Aksara, dia pria humble, dan sangat bisa memahami apa yang seharusnya dia lakukan.

**

Dobel update done yaak ....

Jadi ... Aksara atau Damar nih? Menurut teman-teman gimana? He-he

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top