Between Us 20

Asam lambung naik, dan ada sedikit gejala typus. Demikian keterangan yang kudapat darinya sesaat setelah dokter menyelesaikan pemeriksaan.

 Setelah berpikir lama, Damar memutuskan untuk menelepon dokter untuk datang ke kediamannya. Setelah kepergian Hasan-nama dokter tersebut. Aku meminta agar Mbok Sum menyediakan bubur atau nasi lembek untuk dikonsumsi Damar.

Dari kamar Shanum terdengar bayi cantik itu merengek. Rasa rindu lama tak bertemu membuat kakiku melangkah menuju kamarnya.

"Halo, Sayang ... apa kabar?" 

Shanum menatapku dengan mata berbinar. Mata yang membuatku selalu merindu. 

"Biar saya gendong, Mbok."

 Kuambil Shanum dari tangan pengasuhnya. Aroma minyak telon khas bayi tak pernah membuat siapa pun bosan kurasa.

"Mbak Kania."

"Iya, Mbok?" Kutoleh sejenak Mbok Nung lalu kembali menikmati kedekatan dengan Shanum.

"Makasih, Mbak. Saya benar-benar lega setelah Mas Damar akhirnya mau makan dan ke dokter."

Aku mengangguk dan kembali ke Shanum.

"Mas Damar nurut ke Mbak, saya gembira sekali."

Mendengar penuturan Mbok Nung, aku menoleh lama.

"Itu cuma kebetulan, Mbok. Lagian bisa jadi dia memang sudah nggak tahan untuk tidak makan dan tidak periksa. Saya hanya mencoba mengingatkan saja."

Mbok Nung mengangguk. Di lalu bercerita jika sebenarnya antara Agni dan Damar pernah sedikit bertengkar beberapa waktu lalu. Dia sendiri tidak tahu pasti, tetapi yang jelas terdengar adalah permintaan Damar agar Agni berhenti ke luar negeri, karena Shanum butuh perhatian seorang ibu. 

"Karena menurut Mas Damar, dirinya saja kurang cukup untuk menjadi orang tua bagi putri mereka."

Perempuan bersurai sedikit kelabu itu kembali bertutur, "Mas Damar tidak meminta mereka menikah, karena memang Mbak Agni tidak ingin ada ikatan di antara mereka, tetapi Mas Damar hanya meminta agar Mbak Agni mau meluangkan waktu untuk Shanum."

"Tapi rupanya, hal itu ditolak. Mbak Agni beralasan dia tidak ingin kariernya yang sekarang ini harus berhenti karena harus menuruti permintaan Mas Damar, tapi dia juga janji akan membersamai Shanum di sela jadwal tour-nya sebagai model."

Aku terdiam. Terkadang kita memang harus diminta membuat keputusan yang sangat sulit. Satu sisi ego masih tinggi, sementara di sisi lain kewajiban atas apa yang sudah ada juga tak kalah penting untuk diperhatikan.

"Mbak Kania."

"Ya, Mbok?"

"Saya mungkin bukan siapa-siapanya Mas Damar, tapi saya senang kalau Mbak Kania bisa bersama Mas Damar membesarkan Shanum."

Ucapan Mbok Nung sungguh di luar dugaan. Bagaimana bisa dia berpikir sejauh itu tentang majikannya? 

"Mbok ini bisa aja! Saya nggak pernah berpikir ke sana, dan saya yakin papanya Shanum juga tidak berpikir ke sana. Kami teman dan kebetulan saya suka anak-anak, jadi ya beginilah." 

Mbok Nung tersenyum lebar, dia kemudian mengangguk samar.

"Mbak Kania nggak makan siang? Sudah waktunya makan siang loh, Mbak."

Ah, dia benar! Perutku juga mulai berontak.

"Eum, Mbok Nung dulu deh yang makan, saya masih main sama Shanum." Kutatap bayi cantik yang berada dalam dekapan. Dia tersenyum manis padaku.

"Nggak apa-apa, Mbak? Tapi nanti kalau Mas Damar tahu kalau saya duluan makan gimana?"

Kukerutkan dahi kemudian menggeleng.

"Nggak apa-apa. Bilang aja saya yang minta Mbok makan dulu.

**

Setelah Shanum kembali tidur, aku bersiap pulang. Besok Mama datang, dan seperti yang beliau janjikan akan ada perkenalan lagi. Entahlah, kadang aku lelah jika harus dihadapkan dengan hal serupa. Meski banyak sudah kuajukan alasan, tetapi Mama justru lebih banyak memiliki sanggahan yang membuat alasanku tak berarti.

Selesai berpamitan pada kedua perempuan paruh baya yang bekerja di kediaman Damar, aku melangkah ke pintu. Sengaja tidak berpamitan pada pria itu karena kupikir dia pasti sedang istirahat, lagipula aku sudah berpesan pada Mbok Nung jika aku pulang.

"Kania, tunggu!" Langkahku berhenti tak jauh dari tempat Damar berdiri. 

"Ya?" 

"Sekali lagi makasih kamu sudah datang untuk Shanum dan ... aku, mungkin." Suaranya lirih saat mengucap kata aku. 

"Bukan apa-apa. Aku hanya bersimpati aja. Aku pulang. Semoga kamu cepat sembuh. Selamat siang."

Tanpa menunggu jawaban darinya, kuayun langkah meninggalkan kediaman Damar dengan dada berdebar yang aku sendiri tidak suka dengan hal itu. Aku tak ingin ada perasaan lain muncul selain rasa simpati pada Shanum.

**

Merebahkan diri di kasur adalah pilihan sempurna setelah seharian penat. Aku salah, kupikir bisa begitu saja meninggalkan keterikatan dengan Shanum. Ternyata tidak semudah yang kukira. Setelah ini apa lagi yang akan terjadi? Apakah aku masih seperti ini atau benar-benar bisa menjauh darinya? 

Kutatap foto Shanum yang tadi sempat ku abadikan di ponsel. Senyum dan binar mata ini yang tak bisa mengalihkan hatiku. Aku benar-benar jatuh suka padanya. Namun, aku juga merasa tak nyaman jika pada akhirnya ada yang berpikir bahwa aku memanfaatkan kedekatan itu sehingga bisa bersama dengan Damar. Mungkin terlalu dini, tetapi bisa dipastikan hal tersebut akan naik ke permukaan. 

[Kania. Ini aku.]

Sebuah pesan masuk dari Damar. 

[Ada apa dengan Shanum? Dia baik-baik saja?] 

Entah kenapa jika apa pun yang berhubungan dengan Damar, otakku selalu berpikir tentang Shanum.

[Baik. Dia baik, kok.]

Aku menghela napas lega.

[So? Ada apa? Kamu nggak lupa minum obat, kan?] 

Kali ini aku kesal, karena akhirnya kutahu kalau pria dewasa yang merupakan papa dari Shanum itu agak malas mengonsumsi obat.

[Nggak. Aman, kok. Aku udah minum obatnya.]

[Ya, terus?]

[Ada yang mau aku omongin. Kamu ada waktu besok?]

Membaca pesannya yang tersirat serius, pelan aku bangkit dari pembaringan.

[Soal apa?]

[Ada beberapa hal yang aku mau bicarakan. Kamu bisa besok?]

[Maaf, besok mamaku datang. Aku nggak bisa.]

[Oke, kamu bisanya kapan?]

[Penting banget? Kenapa nggak disampaikan sekarang aja?] 

Jujur aku penasaran, karena tak biasanya Damar berbicara panjang lebar dan tidak ada poin yang kutemukan di sana.

[Bisa jadi penting. Akan lebih baik jika kita bertemu. Oke, selamat malam.]

Tak lagi terlihat Damar mengetik. Aku pun meletakkan ponsel di meja kecil dekat ranjang. Entah apa yang akan disampaikan pria itu padaku. Tak ingin berpikir yang berat, aku memilih mengistirahatkan tubuh dan mata, berharap esok bisa bangun lebih pagi dan bersiap bertemu Mama di Hotel Alamanda.

**

Mama memintaku untuk taksi online ke hotel tempatnya tinggal. Meski aku lebih suka naik motor, tetapi karena Mama yang Minya, terpaksa aku ikuti.

"Mama nggak mau kamu kucel. Kalau naik motor, 'kan pasti terlihat tidak rapi, kena angin, belum lagi rambut berantakan. Kalau naik mobil, 'kan enak. Kamu bisa tetap rapi dan cantik!" Demikian ucapnya sesaat sebelum aku memoles wajah.

Kata Mama, Aksara, anak teman mamaku ini orangnya sangat rapi. Meski pekerjaannya tidak mengharuskan berpenampilan klimis, tetapi dia sangat memperhatikan penampilannya.

"Kan nggak lucu kalau Aksara rapi, sementara kamunya berantakan."

Aku hanya diam.

"Mama sudah punya rencana agar kalian bertunangan!"

"Mama! Nggak deh! Kenal aja belum."

"Mama tahu selera kamu. Mama yakin Aksara juga akan suka ke kamu."

"Ma, tapi ...."

Obrolan diputus, meninggalkan aku yang tak tahu harus berkata apa. Karena kutahu bagaimana lukanya Mama saat tahu aku pernah sedemikian rupa disiksa oleh Andika. Jika sekarang Mama bersikap protektif aku mengerti, meski mungkin berlebihan.

***

Dobel update done ....

Terima kasih sudah setia. Love you all banyak² pokona🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top