Between Us 2
Kalian tahu rasanya bangkit dari keterpurukan? Happy? Tentu saja, tapi jalan yang dilalui berat! Sangat berat. Menjalin hubungan dengan pria toxic bukan satu hal yang ingin aku ungkit, tapi aku tidak bisa berada di sini jika tidak melalui itu. Aku bisa menuliskan ini semua karena aku adalah korban dari semua itu.
Namun, ya sudahlah, toh itu sudah hampir setahun lamanya berlalu, dan sekarang ... aku di sini bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang cukup punya nama!
Orange Advertising, itu adalah nama tempat yang menaungi ide kreatif dariku dan teman-teman. Pekerjaan yang berawal dari hobi tak akan membuat jenuh, tetapi malah sebaiknya.
Aku nyaman karena selain kita di sini seperti saudara, tak ada seragam khusus untuk kami. Bebas asal sopan demikian slogan kami dalam berpakaian. Slogan yang mengingatkan tulisan di bus atau di belakang truk pengangkut pasir.
"Morning, Kania!" sapa Yeni sembari tersenyum dengan tangan kanannya membawa kotak makan yang sudah bisa ditebak berisi aneka gorengan.
Kadang aku heran, ke mana kalori yang ditekan anak itu karena sepagi ini di sudah memenuhi mulut dengan risol, pastel dan sejenisnya, tetapi tetap saja badannya selurus lidi.
"Sepagi ini udah bengong aja, sih?'
"Siapa bilang bengong? Gue lagi mikir soal iklan restoran yang baru aja buka di dekat salon langganan Kak Mira itu!"
Bibir Yeni mengerucut seperti tengah mengingat sesuatu.
"Eh iya, restoran yang baru itu, 'kan?"
"Ya, 'kan gue bilang begitu tadi!"
Tertawa kecil, Yeni melangkah meninggalkan mau menuju mejanya.
"Alya mana? Tumben kalian nggak bareng?"
"Ada tuh! Tadi dia masih ngobrol sama Rey."
"Rey?"
"Huumh."
"Mereka jadian?" Aku antusias membahasnya.
Yeni menggeleng.
"Jauh dari kriteria dia sih, tapi kata Alya, dia kasihan aja gitu katanya," jelasnya sembari mengusap mejanya dengan tisu basah.
Satu kebiasaan Yeni yang bisa dibilang berlebihan. Dia tak akan mau duduk jika kursi dan mejanya belum di usap dengan tisu basah.
"Kuman ada di mana-mana, Kania! Dan gue nggak mau sakit hanya gara-gara makhluk tak kasat mata itu!" dalihnya suatu ketika.
Aku kembali menekuri laptop, semalam Mama telepon kalau Mas Danu akan menikah sesuai rencana. Pernikahan bulan depan, dan pasti aku harus ada di sana setidaknya satu pekan.
Aku dan Mas Danu adalah dua bersaudara, kami dibesarkan di sebuah kota kecil yang sekarang sangat berkembang pesat. Mas Danu bekerja di sebuah perusahaan BUMN dan akan menikah dengan Mbak Ranti, dia seorang perawat di salah satu klinik di kota kami.
Usiaku dan Mas Danu terpaut enam tahun, dan tentu saja dia sangat over protektif jika menyangkut pria yang dekat denganku. Sejak SMP siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki yang dekat denganku, tidak luput dari interogasinya. Namun, sayangnya dia luput untuk mengetahui lebih dalam soal Andika.
"Jadi lo belum pernah ketemu lagi sama cowok yang lo nggak tahu namanya itu?" Yeni tiba-tiba membuka pembicaraan yang sebenarnya dia sudah melupakan.
"Kenapa lo tiba-tiba nanyain itu?"
"Ya nggak, kali aja lo ketemu, terus dimintain tolong lagi, terus dapat uang lagi dan ... kita jalan lagi ke Mountain Koffe Shop," paparnya dengan mimik lucu.
Bagi saja aku hendak membalas komentarnya, Mas Tomi memanggilku ke ruangannya.
"Gue ke sana dulu, Yen!"
"Oke."
**
"Kita punya klien baru, perusahaan ini meminta kita untuk dibuatkan promosi cottage dan semacam waterboom gitu di satu lokasi." Mas Tomi menunjukkan tempat yang dimaksud lewat laptopnya.
Pemandangan yang indah, dekat dengan gunung dan sangat menyenangkan untuk berwisata bersama keluarga.
"Konsepnya?"
"Family. Lebih ke keluarga, tapi tidak menutup kemungkinan juga untuk pasangan, sih," jelasnya.
"Oke, nanti aku bicara ke tim. Eum, Mas, aku boleh ambil cuti nggak?" Mumpung ketemu aku langsung saja meminta izin pulang.
"Cuti? Kapan?"
"Pekan depan, Mas Danu menikah."
"Kenapa mendadak?"
"Maaf, sebenarnya sudah lama sih, tapi aku aja yang lupa terus."
Pria yang mewarnai rambutnya dengan warna cokelat itu mengangguk pelan.
"Oke, tapi itu artinya ...."
"Beres, konsep akan segera aku kelarin dalam dua tiga hari ini."
"Good! Aku tahu kamu paling bisa menambal kekosongan dalam satu pekan!"
Lega! Akhirnya aku bisa dengan mudah meminta izin libur satu pekan. Akan tetapi, sepertinya bukan liburan yang kudapat, sudah bisa kubayangkan bagaimana nanti Mama mengajakku bertemu teman-temannya dan berujung menjajaki perjodohan.
**
Sore ini aku memutuskan untuk naik taksi online, karena hujan yang tak kunjung reda dan motorku masih di bengkel sejak beberapa hari yang lalu. Sementara Alya dan Yeni sudah lebih dahulu pulang.
Kuayun kaki menuju halte, tetapi teringat jika beberapa kebutuhan pribadiku sudah habis. Beruntung tak jauh dari kantor ada mini market. Dengan tas yang dijadikan payung, aku berlari kecil untuk membeli keperluan.
Hujan memang sedang melepas rindunya pada bumi, terbukti sampai senja tiba, rinainya belum juga reda. Bahkan meski aku sudah berlama-lama di tempat ini. Kuambil ponsel bermaksud untuk memesan taksi online, tetapi mataku tertumbuk pada seseorang yang tengah berdiri di depan rak diapers.
Iya, tidak salah lagi, pria itu adalah pria yang pernah yang membawa bayi beberapa waktu lalu. Akan tetapi, di mana Shanum? Kenapa dia sendiri? Kemana istrinya? Atau asisten rumah tangganya? Atau jangan-jangan pria itu benar-benar seperti yang dia sangka? Seorang penadah bayi yang akan dijual ke pasar gelap?
Aku mundur mencoba mengamati. Masih teringat bagaimana ekspresi wajahnya saat dokter mengatakan jika Shanum terkena pilek waktu itu. Agak misterius memang, karena saat di depan dokter dia mengatakan jika Shanum adalah putrinya, tetapi yang jadi pertanyaan adalah ke mana mamanya? Atau jangan-jangan mamanya Shanum meninggal saat melahirkan?
Kukibaskan tangan menyadari sudah terlalu jauh berpikir sesuatu yang bukan urusanku. Kembali aku ke tujuan semula yaitu memesan taksi online. Setelah ada notifikasi dari aplikasi bahwa mobil yang kupesan sudah dalam perjalanan, gegas aku menyelesaikan pembayaran di kasir.
Hujan masih deras, petir pun tak kalah angkuhnya memperdengarkan suaranya. Ponselku bergetar, kulihat notifikasi dari aplikasi ojek online.
"Batal?" gumamku saat membaca pesan.
[Maaf, Kak. Silakan pesan lagi saja, di sini banjir dan saya kesulitan ke tempat Kakak sekarang. Maaf, Kak.]
Kutatap ke deretan kursi yang ada di depan mini market, ada satu kursi kosong, tak menunggu lama cepat aku melangkah dan menghenyakkan tubuh di sana.
"Kopi? Mau?" Seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya sembari menyodorkan segelas kopi dengan asap yang masih mengepul.
Kuangkat kepalaku menatap sosok yang menawari kopi.
"Makasih, tapi saya nggak minum kopi," tolakku.
"Oh ya?" Dia meletakkan gelas sekali pakai yang kemasannya tertulis nggak ngopi nggak seru itu ke meja tepat di sampingku. "Nggak nyangka, ketemu di sini," ujarnya lalu menyesap kopinya perlahan.
Jujur kedua temanku pecinta kopi, tetapi entah aku tidak pernah punya keinginan meski untuk sekadar menyesapnya sedikit.
Kalau kami ke koffe shop, hanya Alya dan Yeni yang pesan kopi dengan selera masing-masing, sementara aku, seperti biasa, lebih memilih minum cokelat hangat atau jus. Karena bagiku itu lebih bisa diterima oleh lidah.
"Kamu nggak pulang?" tanyanya saat satu kursi yang berseberangan denganku sudah kosong.
"Taksinya baru aja batalin."
"Kenapa?"
"Banjir."
Alisnya terangkat satu, lalu kembali menikmati kopi yang masih di tangannya.
"Kamu yakin nggak mau cobain kopi itu? Hujan sepertinya bakal lama dan aku yakin dengan sedikit kopi bisa menghangatkan tubuhmu."
Kuakui aroma kopi memang se-khas itu. Kepulan asapnya menyapa rongga penciuman sementara runaindan angin seolah memaksa otakku untuk mengikuti saran pria pemaksa ini. Pemaksa? Iya, setidaknya sejak pertama kali bertemu dia sudah memaksaku untuk menemani untuk memeriksakan putri kecilnya.
"Buruan diminum,nanti keburu dingin. Oh iya, rumah kamu di mana?"
Baru saja otakku sedang menerjemahkan sikapnya, kini dia sudah kembali memaksa.
"Oke, aku coba." Kuabaikan pertanyaannya. Perlahan kusesap minuman berasal dari biji-bijian itu, dan ... nggak buruk juga sih rasanya.
Sekilas dia menautkan kedua alisnya lalu tersenyum.
"Nggak buruk kurasa. Iya, 'kan?" tanyanya tanpa menatap.
"Shanum apa kabar?" Kualihkan obrolan, karena memang aku ingin tahu kabar bayi cantik itu.
"Baik. Dia sudah nggak panas lagi. By the way, thank you, waktu itu aku nggak sempat bilang."
"Nggak apa-apa."
Benar-benar pria pemaksa dan bossy, tapi mungkin memang sudah blue print-nya. Kembali ku teguk kopi yang sudah hampir dingin hingga akhirnya ludes. Ya, Tuhan! Kenapa aku jadi menyukai minuman berwarna hitam ini?
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top