Between Us 19


Meski terlihat keberatan, akhirnya Andika mengangguk dan dia segera pamit.

"Kita akan ketemu lagi secepatnya, Kania. Kamu baik-baik, ya."

"Iya. Kamu juga."

Andika mengangguk menepuk pelan bahuku.

"Jangan pernah berpikir sembunyi dariku," bisiknya sebelum melangkah pergi.

"Dia siapa, Kania? Kok gue ngeri ya?" Nina menatapku prihatin. "Ganteng sih ganteng, tapi kalau psiko gitu ya serem," imbuhnya.

"Ayo masuk, Nin!" Kutarik tangannya kembali ke dalam.

"Nggak jadi pergi?"

Aku menggeleng. "Kan tadi cuma sandiwara."

Meski kutahu, pasti Andika menunggu di luar memastikan bahwa aku tidak berbohong. 

"Kania, dia siapa sih?" Nina masih penasaran saat kami berada di depan kamarku.

"Mantan."

"Kalau mantan kenapa masih ...."

"Sepertinya gue harus pindah kost. Lo tahu nggak kost yang nyaman dan nggak jauh dari kantor gue?

Nina tampak berpikir.

"Kania, ada tamu!" Suara Lusi terdengar.

Sontak aku dan Nina saling tatap. 

"Jangan-jangan dia lagi, Kan!" Nina menatapku cemas.

"Lo sih! Kenapa kita tadi nggak langsung cabut aja!" sesalnya.

"Kania, ada tamu noh!" Lusi melongok dari balik pintu. "Kalian berdua kenapa?"

"Tamunya laki-laki atau perempuan?" Nina bertanya cepat.

"Perempuan!"

Kuhela napas lega. Perasaan yang sama terlihat dari paras Nina.

"Siapa, Kan?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Gue temuin dulu, ya."

Melangkah keluar kudapati Mbok Nung menatapku dengan mata sendu. "Mbok Nung?" Ku edarkan pandangan mencari tahu dengan siapa dia datang.

"Mbok tahu dari mana saya tinggal di sini? Tunggu! Ada apa ini?"

"Maaf, Mbak, saya ke sini mau ngabarin kalau Mas Damar sudah dua hari demam, dan nggak mau makan, sementara Shanum rewel, saya bingung, Mbak."

"Mbok sama siapa ke sini?"

"Sama Pak Mopo, Mbak. Sopirnya Mas Damar."

Ya Tuhan, apa lagi ini? Kenapa Mbok Nung jadi ngadu ke aku? 

"Maaf, Mbak, saya tahu alamat Mbak dari ini." Dia menyodorkan kartu namaku. "Saya nemu di meja kerja Mas Damar. Maaf ya, Mbak. Saya nggak tahu harus ke mana, karena selama ini Mas Damar hanya percaya ke Mbak."

Mataku menyipit. Percaya ke aku? 

"Ke saya, Mbok?" Kutunjuk dadaku.

"Iya. Mbak Agni aja nggak dibolehin bawa Shanum keluar meski sebentar."

Pernyataan Mbok Nung membuat dahiku berkerut. Bukannya Damar pernah bilang kalau Shanum bersama Agni? Lalu cerita siapa yang bisa ku percaya?

"Mbok tahu nomor telepon Agni?"

Perempuan paruh baya berbaju panjang warna hijau itu menggeleng cepat.

"Buat apa, Mbak? Percuma menghubungi Mbak Agni, Mas Damar nggak akan percaya, nanti malah saya yang dimarahi," ungkapnya dengan mata lelah.

"Iya, tapi Agni, kan maminya, Mbok."

Tak ada jawaban dari Mbok Nung, dia hanya terlihat lelah dan menarik napas dalam-dalam.

"Oke, apa yang bisa saya bantu, Mbok?" tanyaku meski kutahu apa yang akan diucapkan pengasuh Shanum itu.

"Saya mohon Mbak ikut saya ke rumah Mas Damar, saya khawatir kondisi Mas Damar makin parah."

"Lalu Shanum? Dia sama siapa sekarang?"

"Mbok Sum, Shanum tadi tidur saat saya tinggal."

Menghela napas dalam-dalam aku meminta agar Mbok Nung menunggu sebentar. Gegas menuju kamar bertukar pakaian dan memulas wajah bibir dan mengenakan pelembab di wajah. Sementara rambut kubiarkan tergerai.

"Ayo, Mbok, saya naik motor aja, Mbok bisa balik naik mobil sama sopir."

"Tapi apa nggak lebih baik kita naik mobil bareng, Mbak?"

"Nggak,  Mbok. Udah, Mbok cepat balik, kasihan Shanum."

**

Masuk ke rumah Damar, terasa sepi. Suara Shanum tak terdengar. Mendadak aku merasa jika pada satu sisi sebenarnya Damar kesepian. Akan tetapi, pria itu berusaha menciptakan kebahagiaan sendiri bersama putri kecilnya. Entah kenapa aku berpikir jika keluarga Damar memang benar-benar membiarkan putranya menanggung kesalahannya sendiri.

"Mbak Kania, Shanum barusan tidur, eum ... mau saya antar ke kamar Mas Damar?" Mbok Nung bertanya dengan suara lirih.

"Nggak, Mbok. Saya ke sini, kan untuk Shanum? Kalau dia sudah nggak rewel, mungkin saya balik aja ya, Mbok." 

"Jangan Mbak Kania, saya bingung lihat kondisi Mas Damar. Nggak mau makan, badannya demam. Sudah dua hari dia cuma minum air putih saja."

Perempuan paruh baya di depanku itu menarik napas dalam-dalam.

"Saya nggak tahu harus bagaimana."

"Mbok, Mas Damar itu sudah dewasa, nggak perlu khawatir."

"Tapi, Mbak ... saya kasihan sama Mas Damar. Sakit, nggak ada yang ngurus."

"Agni? Apa dia nggak tahu kalau Damar sakit?"

"Kemarin waktu Mbak Agni mau bawa Shanum, Mas Damar belum separah ini."

"Oke, Mbok bisa antar saya ke kamar Mas Damar."

Wajah pengasuh Shanum itu cerah mendengar ucapanku. Sembari membungkuk sopan Mbok Nung mempersilakan aku mengikutinya.

Perlahan pintu dibuka. Kulihat Damar meringkuk di ranjang bergelung selimut. AC menyala dan tirai masih tertutup. Kamar bernuansa hitam putih itu terlihat minimalis. Hanya ada meja kerja, lemari yang di sebelahnya ada cermin besar dan televisi LCD yang tergantung di dinding. Sementara di ujung ruangan, ada pintu yang menurutku kamar mandi.

Aku membasahi tenggorokan ketika Mbok Nung membangunkan sang pemilik kamar.

"Mas Damar mau makan apa? Nanti biar Mbok Sum yang masakin, atau Mas Damar mau ke dokter?" tanyanya hati-hati.

"Shanum gimana, Mbok? Masih rewel?" Terdengar suara seraknya.

"Nggak, Mas. Shanum tidur. Eum, maaf, Mas Damar belum makan sejak kemarin, sekarang mau makan apa?" 

Aku masih mematung di sudut ruangan tanpa diketahui Damar.

"Nggak, Mbok. Saya mau istirahat aja."

"Tapi Mas Damar masih demam, kalau nggak makan ...."

"Nggak apa-apa, Mbok. Jam berapa sekarang?" Terlihat olehku dia masih berada pada posisi semula. Berbaring.

"Jam sepuluh pagi." Mbok Sum menoleh padaku sejenak. "Saya buatkan minuman hangat, ya, Mas?"

Tak ada sahutan dari pria itu. Benar-benar keras kepala! Dia pikir para asisten di rumah ini akan senang jika melihat majikan mereka sakit? Apa dia tidak memikirkan Shanum?

"Kamu harus makan, setelah itu kita ke dokter!" Ku beranikan diri mendekat. Tentu saja dia terkejut dengan kehadiranku, tapi peduli amat dengan reaksinya.

"Kamu? Kenapa bisa di sini?" Matanya menyipit. 

"Maaf, Mas, saya tadi yang minta tolong ke Mbak Kania supaya datang. Karena saya bingung, Mas Damar sakit nggak mau makan, Shanum juga rewel, jadi saya ...."

"Oke, Mbok. Nggak apa-apa," potongnya mencoba bangkit dari rebah. 

Damar terlihat merapikan piyamanya. Dia tampak pucat meski sekilas tak terlihat jika sedang sakit.

"Makasih kamu mau datang."

"Aku ke sini karena kata Mbok Nung Shanum rewel."

Dia mengangguk.

"Kenapa nggak mau makan? Kamu mau sakit terus?" Nadaku terdengar ketus.

Jujur aku paling sebal dengan orang yang sok kuat padahal dia sedang sakit. Apa susahnya sih ke dokter? Bahkan dengan kondisi keuangan yang dimiliki, dia bisa saja menelepon dan meminta dokter yang diinginkan datang.

"Aku hanya butuh istirahat, itu aja."

"Istirahat dan tidak makan dua hari? Kamu yakin kamu sembuh?" Lagi-lagi aku tidak bisa menyembunyikan kekesalan. "Kamu egois! Kamu nggak mikirin Shanum? Bisa jadi dia rewel karena kamu sakit."

Damar menatapku, aku tidak peduli pada apa yang tersirat di kepalanya. Mungkin dia merasa aku terlalu ikut campur atau bahkan terlalu mengatur hidupnya. Toh semua itu untuk Shanum dan tentu saja dia.

"Oke, oke, kamu benar. Aku harus makan dan segera ke dokter," tuturnya mengangkat kedua tangan persis seperti orang kalah perang.

Melihat itu Mbok Nung yang masih berada di antara kami tertawa kecil sementara aku mencoba menahan tawa. 

**

Happy long wiken all ....

Mau dobel update gak nih? Komen yaa😘




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top