Between Us 18
Tentu tidak ada yang salah dari kalimat Damar, tetapi cukup membuat merah telingaku. Karena aku merasa benar-benar sudah berada di tempat yang salah. Terlebih perasaanku pada Shanum. Ya, Tuhan, apakah ini karena aku pernah merasa begitu kehilangan calon bayiku?
Apa memang hanya perasaanku ke Shanum yang membuat hatiku berkecamuk saat mendengar percakapan Mas Tomi dan Damar tadi? Atau ada hal lain yang mulai menumpang pada rasaku ke Shanum?
"Lo kenapa bengong, Kan?"
Alya mengangguk setuju dengan ucapan Yeni.
"Iya, nih! Sejak tadi siang gue perhatiin lo banyak diem. Kita udah nggak marah, kok, soal gado-gado yang lo ganti soto mie," timpal Yeni sembari merapikan mejanya.
"Padahal, 'kan harusnya lo seneng, karena diperhatikan sama ... ehem," ledek Alya sembari menaikkan kedua alisnya.
"Ah, iya! Kayaknya nggak lama lagi kita bakal dengar berita gembira nih, Al!"
"Berita gembira?"
"Iya, berita gembira ada yang jadian!"
Kuhiraukan saja candaan mereka berdua, biar saja mereka masing-masing membuat cerita tentang aku sesukanya. Aku hanya ingin sendiri, merenung, dan membuat keputusan tentang bagaimana sikap yang harus kuambil.
"Gue pulang duluan, ya." Aku bangkit dari duduk sembari menenteng tas kerjaku.
"Loh? Kenapa? Biasanya kita keluar kantor bareng, Kan."
"Nggak apa-apa, Yen, gue ada perlu. Kalian nggak apa-apa, 'kan?"
Alya menelisik curiga. Karena memang baru kali ini aku bersikap seperti ini.
"Kania," panggilnya masih dengan tatapan curiga.
"Lo nggak apa-apa? Lo nggak mau cerita sama kita?"
"Gue nggak apa-apa, kok, Al. Kalau ada apa-apa kalian tahu, 'kan? Aku pasti cerita."
Yeni dan Alya mengangguk membiarkan aku melangkah meninggalkan kantor.
**
[Minggu Mama ke kost kamu, Kan. Kamu nggak sibuk, 'kan?]
Pesan mendadak dari Mama sukses membuat kedua alisku bertaut.
[Ada apa emang, Ma? Tumben?]
[Nggak ada apa-apa, ada perlu sedikit.]
Perlu? Sejak kapan Mama ada perlu di kota ini?
[Perlu apa, Ma?]
[Mama mau ketemu sama teman lama Mama.]
Perasaanku mulai tidak enak. Entah kenapa aku mencium aroma perjodohan di balik keperluan Mama. Bukan aku ge er, tetapi hal seperti ini sudah sering terjadi dan Mama-lah yang selalu mempeloporinya.
[Mama tidak sedang merencanakan sesuatu untuk Kania, 'kan?]
[Tentu saja Mama punya rencana untuk kamu.]
[Soal perjodohan? Kania nggak mau, Ma.]
[Sudah, kenal aja dulu. Mama nggak maksa. Mama kenal baik sama mamanya. Bibit bobot bebetnya juga jelas. Kenal aja.]
Benar, 'kan? Aku tahu maksud Mama baik, tapi aku belum bisa melepaskan rasa trauma untuk bisa menjalin hubungan yang baru.
[Namanya Aksara. Dia seorang enterpreneur! Ada banyak usahanya. Kamu pasti suka kalau sudah kenal nanti.]
Kalau sudah Mama bicara panjang lebar seperti ini, aku bisa apa? Menolak pun akan sia-sia.
[Oke, Ma. Besok Minggu Mama ke kost Kania atau gimana?]
[Nggak, kita ketemu di Hotel Alamanda aja.]
Kuketuk oke untuk mengakhiri pesan, setelah itu merebahkan tubuh ke kasur. Waktu cepat sekali berputar, besok sudah hari Minggu. Itu berarti aku harus bertemu kandidat baru yang diajukan Mama untuk kesekian kalinya.
Aku tahu maksud Mama, beliau tidak ingin anaknya berlarut-larut dalam trauma. Akan tetapi, terkadang orang tua terlalu terburu-buru memutuskan tanpa tahu apakah anaknya sudah siap atau belum.
"Kania, ada tamu!" Suara Nina penghuni kamar sebelah kananku memanggil.
"Siapa, Nin?"
"Nggak tahu, cowok sih!"
Kucoba menebak siapa yang disebut tamu oleh Nina. Gegas kubuka pintu.
"Siapa?"
"Matanya sedikit sipit, kulitnya putih dan ...."
"Tinggi? Ada tato kecil di punggung tangannya?"
Mendengar kalimatku, mata Nina menyipit.
"Mana gue tahu, Kan. Ya kali segitunya bagus merhatiin, tapi yang jelas dia bilang, kalau namanya Andika."
"What?" pekikku.
Sungguh! Aku tidak pernah menduga jika pria itu sampai di tempat ini. Dari mana Andika tahu aku tinggal di sini?
"Kenapa lo kaget? Dia ganteng dan kupikir dia pria baik-baik."
Kutatap paras Nina yang sangat yakin menyimpulkan tentang Andika.
"Lo dari mana dapat cowok-cowok ganteng, sih, Kania?"
"Maksud lo?" Aku balik bertanya.
"Iya, kemarin Mbak Lia bilang lo disamperin sama cowok ganteng namanya Damar, sekarang Andika, next siapa lagi?"
Ah, andai saja dia tahu apa yang terjadi padaku dan pria-pria itu, pasti Nina tidak akan mengatakan hal seperti ini dengan mudah.
"Nina, lo udah bilang kalau gue ada?" Kupegang pergelangan tangannya. Aku benar-benar ketakutan.
"Udah, kenapa emang?" tanyanya heran.
"Nin ... bantu gue supaya nggak ketemu sama dia, gak minimal, nggak lama-lama dia di sini. Please!"
"Lo kenapa, Kania? Kok ketakutan gitu?"
"Please, Nina. Atau gini aja, lo siap-siap, bikin kesan supaya kita mau pergi. Please, nanti aku cerita!"
"Oke, gue siap-siap, tapi lo temuin dia dulu."
Aku mengangguk, masuk ke kamar menyambar cardigan dan merapikan rambut.
"Kania."
"Ya?"
"Lo nggak apa-apa sendiri nemuin dia?" Kali ini Nina tampak khawatir.
"Nggak apa-apa, lo cepat aja siap-siap!"
Teman satu kost-ku itu mengangguk.
Perlahan mengayun langkah menuju ruangan paling depan yang digunakan sebagai ruang tamu. Kulihat Andika menatap ponselnya dan menoleh saat aku berdehem. Matanya terasa asing dan tidak bersahabat, berbeda saat kami bertemu di bioskop kala itu.
"Hai," sapaku mencoba membuang segala ketakutan, lalu menghenyakkan tubuh di kursi rotan berseberangan dengan Andika.
"Kamu udah bohong sama aku, Kania. Kenapa?" tanyanya dengan suara berat dengan mata menajam.
"Bohong ... apa? Aku nggak ...."
"Kamu bohong, dan kamu tahu aku paling tidak suka dibohongi!" Suaranya meninggi.
Aku mulai panik, karena tahu apa yang akan terjadi jika dia tahu yang sebenarnya.
"Aku ...."
"Kamu bekerja di Orange Advertising. Kamu kost di tempat ini. Betul,'kan?" Bibirnya menyeringai sembari menyandarkan tubuh di bahu kursi.
"Kenapa kamu bohong? Kamu nggak percaya sama aku? Kamu nggak percaya kalau aku sedang belajar berubah? Kamu nggak percaya kalau aku sedang menjalani terapi?"
Suasana hening. Teringat Nina yang kuminta untuk siap-siap pergi mengajakku. Aku yakin dia sudah berdiri di balik tembok dengan perasaan cemas setelah mendengar obrolan kami.
"Kamu sama sekali tidak pernah menghargai usahaku untuk berubah, Kania. Kamu selalu bicara iya, tetapi sebenarnya kebalikan dari itu."
Aku masih bergeming, karena tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku mencintaimu, Kania Diandra. Sampai kapan pun dan di mana pun kamu tidak bisa sembunyi dariku." Suaranya terdengar penuh penekanan.
"Andika! Kita sudah bercerai. Aku dan kamu sudah buka siapa-siapa lagi. Kumohon, berhenti bersikap seolah kita masih seperti dulu!"
"Tapi aku akan mengembalikan kita seperti dulu. Aku dan kamu bersama-sama, seperti yang pernah aku ucapkan!"
Entah apa yang ada dalam pikiran Nina sekarang. Aku tahu dia pasti mendengar semua percakapan kami.
"Nggak, Mas. Maaf, tapi aku nggak bisa. Kamu harus bahagia dengan hidupmu, dan biarkan aku mencari bahagiaku juga. Kita berteman baik itu akan lebih menyenangkan."
Seringai muncul di bibirnya. Sembari menggeleng dia berkata, "itu nggak mungkin terjadi, Kania. Karena bahagiaku adalah kamu!"
Aku merasa suasana semakin panas. Aku paham jika terus dijawab, Andika akan terus bersikeras.
"Kania, ayo!" Akhirnya Nina muncul tepat waktu. "Eh, maaf, saya mengganggu, tapi ini penting." Temanku itu mencoba meyakinkan.
"Kamu mau ke mana?" tanya Andika dengan mata memicing.
"Aku nganterin dia ke rumah sakit, karena kerabatnya sedang dirawat di sana," jawabku asal berharap Andika tidak menghalangi, karena kutahu dia tidak menyukai tempat itu.
**
Dobel update ya
Makasih 🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top