Between Us 17

Aku menatap foto Mama. Jika flu seperti ini, pengin rasanya berada di dekat Mama. Karena beliau pasti selalu menyediakan sup merah hangat kesukaanku.

Sudah dua hari aku izin tidak masuk kantor. Meski begitu, aku wajib mengirimkan tugas kantor via email. Menurut Mas Tomi aku terlalu lelah, jadi dia mengizinkan untuk libur tiga hari. Sebenarnya tak mengapa masuk, tetapi dia tidak ingin aku menularkan virus ini ke seisi kantor.

"Lagian kamu memang harus istirahat, Kania. Kudengar kamu ke klinik tempat Shanum dirawat?" 

Mataku memicing mendengar pertanyaan Mas Tomi. Dari mana dia tahu? Tidak mungkin dia mendengar cerita dari Damar, 'kan?

"Kenapa? Heran?" tanyanya menahan tawa. "Damar telepon, selain konsultasi soal promo proyek barunya, dia juga menanyakan kamu," paparnya tanpa menunggu aku bertanya.

"Dia tanya apa kamu masuk, aku jawab iya. Dia tanya lagi, apa kamu sehat, aku jawab nggak, kamu sedang flu." Mas Tomi menaikkan alisnya menatapku.

"Aku nggak nyangka, ternyata kamu sedekat itu sama Damar." Nadanya mulai menggoda.

"Mas Tomi mulai lagi, deh! Apa salahnya sih aku nolong? Bukannya Mas Tomi juga yang pernah bilang, kita harus saling tolong, karena kita tidak tahu perbuatan baik mana yang nanti akan dibalas dan diterima."

"Iya, nggak salah, sama sekali nggak salah. Kamu benar-benar bisa menerapkan apa yang aku anjurkan." 

"Melihat perhatianmu pada anak Damar sampai sakit begini, aku salut!" imbuhnya. "Jadi, sebaiknya kamu istirahat."

Lamunanku buyar saat pintu diketuk.

"Masuk Mbak Lia!" seruku saat mendengar suara yang tidak asing lagi.

"Kupikir kamu rebahan," ujarnya berjalan ke arahku dengan mangkuk yang masih mengepulkan asap. "Aku bawakan cream sup, dimakan, ya!" 

Aroma gurih perpaduan susu dan dan rempah oregano sungguh menggoda.

"Mbak bikin sendiri? Kapan? Bukannya Mbak baru datang?" cecarku tanpa mengalihkan pandangan dari mangkuk.

"Ya nggaklah! Mbak beli di langganan Mbak. Kebetulan pulang tadi lewat, Mbak juga lagi pengin."

"Makasih, ya, Mbak."

Dia mengangguk, tetapi terlihat ada hal yang ingin disampaikan.

"Kenapa, Mbak?"

"Aku, aku tadi ketemu Mas ganteng itu."

"Mas ganteng? Siapa?" 

"Itu, yang nyariin kamu. Damar!"

Aku hanya membulatkan bibir lalu mencoba perlahan menyantap cream sup.

"Dia jalan bareng perempuan." 

"Oh ya?"

"Iya, nah si perempuan ini bawa trolly, ada baby-nya sih kulihat tadi," jelas Mbak Lia.

Aku mengangguk paham. Sudah pasti Agni. 

"Syukurlah." Ku lanjutkan menikmati sup dari Mbak Lia.

"Syukurlah? Kamu nggak cemburu atau gimana gitu, Kan?" tanyanya dengan wajah heran.

"Cemburu? Kenapa harus cemburu?" 

"Iya, kan selama ini kamu yang ...."

"Perempuan itu maminya Shanum, Mbak. Seperti yang pernah aku ceritakan, Mbak Lia pasti masih ingat, 'kan?"

Dia mengangguk, meski tampak tidak puas dengan jawabanku.

"Kalau mereka sekarang bareng-bareng, itu artinya, Shanum akan bahagia karena kedua orang tuanya bersatu."

"Tapi kamu bilang mereka belum menikah. Betul begitu, 'kan?"

Aku mengangguk. Jujur, aku malas harus menjadi humas bagi Damar, karena aku bukan siapa-siapa mereka dan aku juga tidak berhak untuk menjelaskan apa pun tentang mereka.

 Akan tetapi, karena hubungan baik saja yang akhirnya memaksaku untuk menerangkan sedikit bagaimana sebenarnya kehidupan mereka kepada Mbak Lia.

"Jadi benar kamu sama Damar nggak ada hubungan apa-apa?"

"Nggak ada, Mbak." 

Jawaban singkatku menghentikan pertanyaan beruntun darinya. Setelah itu kami berdua bersama menikmati sup hingga tandas.

**

Hari pertama masuk kerja setelah diberi cuti oleh bos tentu menyenangkan. Aku seperti terlahir kembali. Kulihat di meja ada ucapan selamat datang yang di sampingnya ada buket bunga tulip yang tentu saja aku tahu itu dari kedua rekanku.

"Thank you, Yen, Al! Lo berdua sebenarnya nggak perlu bikin beginian, cukup lo traktir gue makan atau lo isi rekening gue! Sumpah! Itu lebih membahagiakan!" 

Kulihat mereka bukannya keki, tetapi malah nyengir seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Kalian kenapa?" Tentu saja aku heran. Biasanya candaanku segera dibalas oleh Yeni atau Alya. Akan tetapi, kali ini mereka memilih mengunci mulut.

"Mau makan di mana?" Suara pria yang tidak asing terdengar di belakangku.

Ya, Tuhan! Damar? Damar ada di sini? Kenapa kedua temanku itu tidak ada satu pun memberitahu kalau dia ada di sini? Leher mendadak kaku, bukan karena sakit, bukan! Tetapi karena malu. Otakku dengan cepat menyimpulkan jika ucapan selamat datang dan buket bunga itu dari Damar.

"Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit, Kania?" Kali ini dia sudah berada di samping. Tatapan matanya dengan cepat masuk menyelinap ke jantung yang segera bereaksi. Oke, kali ini pertanyaannya terdengar sebuah basa-basi, karena dia sudah tahu dari Mas Tomi.

"Apa kabar Shanum?" Aku mencoba mengangkat wajah menatapnya.

"Shanum baik. Dia lagi sama Agni."

Aku mengangguk. Dapat kulihat kedua rekanku membulatkan matanya saat mendengar nama Agni disebut.

"Udah sehat?"

"Seperti yang kamu lihat, aku udah baikan."

Pria tingginya yang kutaksir kurang lebih 180 sentimeter itu mengangguk. "Syukurlah."

"Pagi! Wah, ada yang lepas kangen nih kayaknya!" celetuk Mas Tomi yang baru saja tiba di tengah-tengah kami. Matanya menatapku lalu berpindah ke Damar.

"Sudah sehat, Kania?"

"Sudah, Mas," jawabku sembari menyambut uluran tangannya.

"Syukurlah, eum, Damar, ayo ikut ke ruanganku! Sori, kamu nunggu lama?"

"Nggak, santai aja, Bro!" Damar menepuk bahu Mas Tomi kawan lamanya.

Mereka berdua meninggalkan tempatku berdiri, diiringi tatapan Yeni dan Alya yang sudah pasti setelah ini akan menjejaliku beragam pertanyaan.

**

Karena siang ini Yeni dan Alya masih harus menyelesaikan tugas dari Mas Tomi terpaksa aku sendiri ke kantin dengan membawa catatan pesanan dua orang rekanku itu. Ketidakhadiranku beberapa hari rupanya dimanfaatkan dengan baik oleh mereka. Terbukti Yeni dan Alya kompak memintaku untuk membeli gado-gado yang memang enak yang terletak di luar kantor. 

"Iya, kapan lagi lo bisa meringankan beban tugas kita, Kania," ujar Alya sembari mengedikkan bahu.

"Iya, sesekali. Nggak setiap hari ini, Kan," imbuh Yeni menyerahkan selembar uang seratus ribu.

Malas kuterima lembaran berwarna merah itu lalu bergegas meraih dompet dan melangkah meninggalkan ruangan kami. 

Siang, panas dan antre! Itu kondisi yang seperti biasa tersaji di depot gado-gado tersebut. Saat menunggu antrian, mataku tertumbuk pada dua orang pria yang duduk membelakangiku. Tentu saja aku tahu siapa mereka. Meski lamat, tetapi jelas terdengar mereka tengah membicarakan seseorang, dan orang itu aku!

"Damar."

"Ya?"

"Sedekat apa lo sama Kania? Sori, gue cuma nggak mau rekan kerja gue itu jadi korban kesekian dari lo." 

Pria berkemeja hitam itu tertawa kecil.

"Sedekat apa? Ya sedekat seperti yang lo lihat, Tomi. Kenapa emang? Nggak boleh?"

"Gue akhir-akhir ini sedikit kepo sama kehidupan lo, dan akhirnya gue tahu lo siapa, please, Kania Diandra adalah karyawan gue, dan dia anak baik, kalau lo serius, gue akan dukung, tapi kalau lo cuma main-main aja, mending jangan deh!"

Aku membasahi tenggorokan. Mas Tomi ternyata sangat tahu seperti apa posisiku. Akan tetapi, kurasa Mas Tomi terlalu peka untuk hal ini.

"Gue tahu Kania baik. Dia memang baik, lo tenang aja. Gue dekat ya cuma dekat aja. Lagian kalau lo berpikir gue serius, sepertinya gue juga harus tahu lebih dalam tentang dia, 'kan?"

**

Ternyata Damar nggak punya perasaan ava2 yes, tapi betulkah ituh?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top