Between Us 16
Agni sangat ramah menyambutku, selain itu dia juga sangat menyenangkan diajak bicara. Garis wajahnya hampir sama persis dengan Shanum.
Setelah banyak bertanya tentang kondisi Shanum, aku merasa lega karena bayi itu menurut Agni sudah mulai stabil kondisinya.
Agni menolak ku panggil Mbak, Kakak atau yang lainnya, dia meminta untuk dipanggil namanya saja.
"Kita seumuran, 'kan? Lagian kalau saling panggil nama sepertinya kita bisa lebih dekat," ungkapnya tersenyum.
Kami duduk bersebelahan di sebuah sofa besar yang tak jauh dari ranjang tempat bayi cantik itu terlelap. Kamar ini sangat luas dan nyaman. Sama sekali tidak tercium aroma rumah sakit atau klinik pada umumnya. Bahkan mungkin beda tipis dengan hotel, hanya saja di hotel tidak ada infus dan semacamnya.
Sejenak aku melupakan ketegangan bertemu perempuan yang telah melahirkan Shanum. Perempuan yang memiliki banyak followers di Instagram-nya, perempuan yang sangat layak dipertahankan untuk menjadi pendamping hidup.
"Aku sangat berterima kasih padamu, Kania. Kamu sudah banyak membantu Damar merawat Shanum."
"Hanya sedikit, lagipula Shanum anak yang baik, jadi aku yang seharusnya berterima kasih pada Shanum."
Paras Agni berubah serius.
"Beneran, Kania."
"Kamu sudah begitu baik dengan menemani Damar untuk memeriksakan Shanum, sudah sangat peduli menjaga anakku dan saat ini ... kamu bahkan mengkhawatirkan dia. Kamu baik sekali."
"Kebayang aja kalau Damar nggak ketemu kamu waktu itu dan bagaimana kalau kamu tidak bersedia menemani Damar ke dokter ... laki-laki mana peka soal itu, betul, 'kan?" Agni menatapku dengan mata jenaka lalu melirik ke Damar yang duduk di samping ranjang Shanum.
Kulihat papa Shanum itu hanya menarik singkat bibirnya.
"Shanum bangun. Kania, mungkin kamu mau sapa dia?" Damar bangkit menatapku.
Ragu kutatap Agni, perempuan yang memakai kemeja berwarna lilac dengan celana kulot hitam itu tersenyum sembari mengangguk.
"Dia pasti merindukan aromamu!" tuturnya.
Menarik napas dalam-dalam, aku mengangguk kemudian melangkah mendekati Shanum yang merengek.
"Hai, Sayang? Lama, ya, kita nggak ketemu. Sabar, ya, sebentar lagi Shanum pasti sembuh, nanti kalau sudah sehat, Shanum bisa jalan-jalan sama mami Shanum. Iya, 'kan, Agni?" Ku toleh Agni yang berdiri di sampingku. Dia mengangguk.
Kembali kutatap bayi cantik itu, seperti biasa, ekspresinya selalu gembira dengan mata berbinar-binar membalas tatapanku. Meski terlihat masih sedikit lemah, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan di parasnya.
"Dia sepertinya senang sekali melihat kamu, Kania. Beda banget ketika aku menatapnya." Ada nada kecewa dari kalimat Agni.
"Mungkin karena aku tidak pernah dia lihat, jadi wajarlah kalau begitu, imbuhnya.
"Nanti kalau dia sudah sembuh, kamu bisa setiap hari bersamanya," balasku masih menatap Shanum yang menggenggam jari telunjukku.
"Apa aku bisa, Kania?" Suaranya terdengar lirih.
"Kenapa nggak bisa? Dia anakmu, 'kan?"
"Tapi aku masih punya seabrek kegiatan yang menunggu."
"Kalau kamu mau, aku yakin kamu bisa."
Sebagai seorang perempuan yang pernah kehilangan calon bayinya, tentu aku sangat bisa merasakan bagaimana patah hatinya seorang ibu saat anaknya yang begitu ditunggu-tunggu harus pergi sebelum masanya.
Pun demikian dengan Agni, dia pasti sangat sedih ketika tidak menemukan pancaran bahagia pada mata anaknya saat mereka bertemu. Karena kata kehilangan adalah hal terberat yang dihadapi manusia. Jika aku kehilangan calon bayiku, sementara Agni kehilangan hangatnya sapa dari putrinya meski mereka sangat dekat.
"Biar bagaimanapun, hubungan hati antara ibu dan anak itu pasti ada, sekecil apa pun."
"Shanum mau susu?" Kulihat Shanum gelisah.
Damar yang sejak tadi entah berada di sebelah mana, tiba-tiba muncul menyodorkan botol susu milik putrinya padaku. Tak ingin Shanum menangis karena menunggu, cepat kuberikan padanya apa yang diinginkan.
"Maaf, Agni, kamu bisa menemani Shanum menghabiskan susunya." Aku bangkit dan menoleh memberi isyarat agar dia duduk di kursi yang aku tempati tadi.
Agni mengangguk lalu kami bertukar tempat. Sementara Damar memilih duduk di sofa. Pria itu terlihat sangat cemas meski putri kesayangannya sudah lebih baik.
Kulihat jam tangan, sudah cukup lama juga berada di sini. Tidak mungkin aku lebih lama lagi, karena malam semakin larut. Shanum pun sudah kembali terpejam.
"Agni, maaf, aku harus pulang, sudah malam. Semoga besok Shanum bisa lebih baik lagi," bisikku khawatir bayi itu membuka matanya.
Agni mengangguk dan dengan lirih dia kembali mengucapkan terima kasih padaku.
"Aku pulang, semoga Shanum bisa segera pulang," pamitku pada Damar.
Pria itu beranjak dari duduk lalu mengangguk. "Aku antar kamu!"
"Nggak usah! Aku bisa sendiri."
"Ini sudah malam, Kania, dan aku harus bertanggung jawab karena aku yang memintamu ke sini."
"Nggak, Mas. Nggak apa-apa, lagipula tempat tinggalku juga nggak jauh-jauh banget, kok."
"Oke kalau gitu, aku antar kamu sampai bawah."
Kutarik napas dalam-dalam, dia memang pria pemaksa seperti yang ku simpulkan waktu itu. Kurasa akan sia-sia jika tetap menolak, karena Agni juga memberi isyarat agar aku mengikuti tawaran Damar.
Kami berjalan beriringan menuju lift dengan diam. Pikiranku ingin segera rebah di pembaringan, mengingat esok begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sementara dari sudut mataku, Damar masih sama, tanpa ekspresi.
"Naik apa ke sini?" tanyanya saat kami berada di lift.
"Motor."
"Kenapa nggak naik taksi aja?"
"Nggak kepikiran."
"Kost kamu jauh, Kania. Aku khawatir kalau terjadi sesuatu padamu."
Lagi-lagi dia membuat sudut hatiku menghangat. Nggak! Aku nggak boleh merasa seperti ini. Aku nggak boleh merasa nyaman. Karena menurutku, nyaman itu jebakan!
"Makasih sudah khawatir, tapi kamu harus lebih khawatir pada Shanum." Kucoba tertawa kecil dan menoleh membalas tatapannya.
Beruntung joke-ku berhasil karena pria di sampingku ini akhirnya tersenyum.
"Makasih, ya, kamu sudah mau datang. Tadinya kupikir kamu betul-betul nggak datang."
Aku hanya mengangguk. Suasana di lift kembali senyap. Hanya kami berdua saja hingga kami sampai ke lantai satu.
"Makasih, Mas. Sampai sini aja, sebaiknya Mas balik ke Agni, Shanum lebih membutuhkan," ujarku saat sudah berada di pintu keluar.
Pria itu mengangguk.
Hujan sudah reda, tetapi masih sedikit menyisakan rinainya. Sedangkan hawa dingin tentu saja semakin menggigit. Kucoba melawannya dengan menggosokkan kedua telapak tangan sebelum akhirnya aku melangkah menuju parkiran.
Beruntung tidak susah menemukan tempat motorku diparkir.
"Kania." Damar muncul dari samping menatap khawatir.
"Kenapa, Mas?" Ternyata dia membuntutiku.
"Kamu pakai ini!" Dia menyodorkan mantel tebal berwarna cokelat padaku.
"Untuk apa?" Pertanyaanku sangat bodoh, bukan? Tentu saja untuk dipakai.
"Kamu kedinginan, mantel itu cukup tebal untuk melindungi dari angin malam."
"Tapi ...."
"Jangan menolak! Kali ini aku memaksa!"
Kali ini? Aku bahkan lupa sudah beberapa kali dia memaksaku. Aku malas berdebat, meski keberatan mau tidak mau kuikuti titahnya.
"Makasih." Ku kenakan mantel darinya lalu naik ke motor, setelah mengucapkan selamat malam, ku pacu kendaraan matic kesayangan dengan kecepatan yang cukup tinggi.
**
Berangkat pagi-pagi sekali, aku mampir ke bubur ayam di samping kantor untuk sarapan. Tak lupa memesan lemon hangat untuk mencegah gejala flu yang mulai terasa.
Setelah melahap sarapan, gegas aku melangkah ke kantor. Masih pagi, Alya dan Yeni belum terlihat batang hidungnya. Menarik napas dalam-dalam, aku duduk di balik kubikel.
Kehujanan kemarin rupanya membuat hidungku mampet semalam menyebabkan tidur terganggu. Seperti biasa kalau flu menyerang, aku selalu menghabiskan banyak tisu.
"Morning, Kania!" sapa Yeni riang, yang diikuti Alya di belakangnya. "Eh, lu flu, Kania?" Alya mengernyit.
"Hu umh." Kutarik tisu dari kotaknya dan memencet hidung.
"Sejak kapan? Perasaan kemarin pulang dari rumah gue aman, deh!" selidik Yeni.
"Iya, gue kehujanan."
"Kehujanan?" Alya menimpali. "Semalam lo keluar?"
Aku mengangguk lalu cepat menggeleng, jare khawatir otak mereka mulai bekerja membuat cerita versi mereka.
"Nggak, maksud gue, semalam gue diajak Mbak Lia keluar ke rumah sodaranya, terus kehujanan."
Mereka berdua kompak membulatkan bibir. Beruntung tak lama kemudian Mas Tomi muncul dan membuyarkan kami.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top