Between Us 15
"Kalau kamu nggak ke klinik itu, kupikir kamu keterlaluan, Kania." Mbak Lia menatapku. "Ini bukan tentang seperti apa Damar, tapi tentang bagaimana bayi mungil itu merasa nyaman bersamamu."
Aku bergeming. Suara dari masjid pertanda waktu asar akan tiba.
"Sebaiknya kamu ke klinik itu, nggak harus menginap di sana. Dengan datangnya kamu ke sana, sudah cukup menunjukkan kalau kamu peduli sebagai seorang teman." Mbak Lia menyudahi makannya. "Di klinik mana?"
Aku menggeleng, karena mereka tidak tahu di mana Shanum dirawat. Damar tadi juga tidak memberitahu nama kliniknya. Sementara di kota ini ada puluhan bahkan mungkin ratusan klinik yang melayani ibu dan anak.
"Jadi kamu nggak tahu?"
"Nggak, Mbak. Dia tadi juga nggak kasi tahu aku."
"Terus, kenapa juga nggak tanya?"
"Belum sempat tanya dia udah pamit duluan."
Perempuan di depanku itu menepuk dahinya kemudian menggeleng.
"Tumbenan kamu nge-blank gitu, Kan? Biasanya kamu orang yang paling teliti dengan apa pun."
Aku hanya bisa tersenyum getir menyadari keteledoran itu. Entah, kenapa aku nggak lebih dahulu bertanya di mana Shanum dirawat. Kenapa aku justru menanyakan hal yang sebenarnya tidak kutanyakan. Hal yang mungkin saja membuat Damar merasa tidak nyaman atau bahkan tersinggung.
Akan tetapi, bukankah rasa ingin tahuku itu sangat beralasan? Dan juga bukan satu hal yang salah?
"Kania."
"Iya, Mbak?"
"Kamu punya nomor teleponnya, 'kan?"
Aku mengangguk.
"Tunggu apa lagi! Kamu tanya apa nama kliniknya."
"Jadi menurut Mbak Lia aku ke sana?"
Dia mengangguk.
"Kenapa? Kamu keberatan? Kamu bilang kamu jatuh cinta pada Shanum bukan papanya, 'kan?" Kali ini mata Mbak Lia seperti tengah menelisik ke dalam hati.
"Ih, Mbak Lia!"
Dia tertawa kecil lalu mengangguk.
"Tapi, 'kan ... masa' aku yang telepon duluan?"
"Ya kalau nunggu Damar yang telepon, tentu nggak mungkin, karena sudah pasti dia sibuk dengan anaknya." Rekan satu kost-ku itu menarik napas dalam-dalam. "Pria yang malang," gumamnya lalu meneguk minuman di gelas hingga habis.
"Kalau kamu keberatan untuk menelepon, kamu bisa kirim pesan."
**
Hingga senja menghilang, pesanku tak kunjung dibaca oleh Damar. Meski awalnya aku tidak berharap untuk mendapatkan jawaban, tetapi sekarang aku justru resah. Khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu pada Shanum. Apalagi Damar tak menjelaskan apa yang terjadi pada bayi cantik itu hingga harus dirawat.
Pikiranku sudah mulai meracau membuat beberapa kemungkinan yang tentu saja hanya membuat hati tenang meski tidak sepenuhnya seperti itu.
Ponselku bergetar, tak ingin membuang waktu, segera kubuka, tetapi ternyata bukan pesan dari Damar.
[Kania, besok jangan lupa bawa hasil kerjamu untuk salon dan spa untuk bayi yang kemarin.]
[Iya, Mas Tom.]
[Kamu di mana?]
[Di kost-an, Mas.]
[Oh, kirain lagi bareng Damar, he-he.]
Aku tersenyum kecut membaca pesannya. Entah sampai kapan aku akan terus dibuat keki dengan candaan seperti ini.
[Ya udah, see you tomorrow.]
Kembali ku letakkan ponsel di meja, sembari merebahkan diri mencoba berpikir bagaimana caranya agar tahu apa nama klinik itu.
"Kania." Mbak Lia melongok dari balik pintu yang memang kubiarkan sedikit terbuka.
"Ya, Mbak?"
"Kamu bilang kamu pernah ke rumah Damar, 'kan?"
"Iya."
"Ya kenapa kamu nggak cari tahu aja ke sana?"
Benar juga, kenapa aku tidak mencoba mencari tahu ke sana?
"Oke, Mbak. Aku mau siap-siap."
Kulihat Mbak Lia mengangguk lalu berkata, "Semoga berhasil, ya. Dan semoga Shanum baik-baik saja."
"Eum ... satu lagi," imbuhnya.
"Apa, Mbak?"
"Sepertinya kamu harus hati-hati sama papanya Shanum."
"Kenapa?" Ku kerutkan dahi menatapnya.
"Hati-hati, kamu bisa jatuh cinta!" kelakarnya kalau menutup pintu kamarku.
Jatuh cinta kepada Damar? Sepertinya mungkin bisa, karena aku perempuan normal, tapi tidak semudah itu, 'kan?
**
Berbekal keterangan dari security di kediaman Damar, aku meluncur dengan motor kesayangan ke klinik yang disebutkan. Malam itu benar-benar cuaca sama sekali tidak bersahabat. Hujan turun cukup deras, disertai angin.
Sempat terpikir untuk menepi, tetapi tidak mungkin karena aku tidak tahu kapan hujan akan reda. kalau pun reda sudah pasti akan semakin malam dan kemungkinan kecil aku bisa mengetahui keadaan Shanum.
Setelah berjibaku dengan cuaca, akhirnya aku tiba di Klinik Ayesha. Dahiku berkerut kembali mengeja nama klinik yang terletak di lokasi mewah tersebut. Bukankah Ayesha adalah nama belakang dari Agni? Apakah ada hubungannya klinik ibu dan anak ini dengan Agni Ayesha?
Mengabaikan semua hal yang berkecamuk di kepala, aku melangkah menuju resepsionis. Dari sana aku mendapat keterangan jika Shanum memiliki nama lengkap yang sangat cantik. Mazaya Shanum Almahyra, nama yang sungguh indah, entah siapa yang memberinya.
"Paviliun Salsabila, di lantai tiga kamar nomor 231." Demikian keterangan ruangan yang ditempati bayi cantik itu. Menghalau dingin, aku melangkah dengan tangan di dada. Meski tadi aku memakai jas hujan dan sweater, sepertinya tidak mengubah rasa dingin ini.
Ada ragu muncul saat aku berada di lorong paviliun yang dimaksud. Melangkah perlahan sembari mencermati nomor yang tertera hingga akhirnya aku sampai di depan kamar nomor 231. Aku menarik napas dalam-dalam mencoba meyakinkan diri. Ku ketuk pintu perlahan, tanpa menunggu lama pintu dibuka oleh seorang perempuan cantik yang selama ini kulihat hanya dari akun Instagram-nya.
Agni Ayesha.
"Iya, mencari siapa?" sapanya ramah dengan senyum mengembang.
Sekilas kulihat di dalam ada seorang pria yang tentu saja sangat kukenal baik, tetapi pria itu membelakangi pintu. Dia tampak sedang duduk menghadap ke ranjang putrinya.
"Eum ... maaf, sepertinya saya salah kamar. Maaf." Aku menjawab asal, dan dengan cepat ku balikkan badan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu menuju lift.
Namun, baru saja aku hendak memencet tombol ke lantai satu, seorang pria memanggilku.
"Kania, tunggu! Kamu mau ke mana?"
Pria itu tampak lesu meski berpenampilan rapi.
"Shanum masih lemas, tapi sudah tidak muntah-muntah lagi," jelasnya tanpa kutanya. "Ayo ikut aku!" Tanpa sempat berbicara apa-apa, dia menarik tanganku melangkah kembali ke ruangan putrinya.
"Eum ... maaf, bisa tolong lepasin?"
Tentu saja aku merasa risih karena merasakan genggaman erat tangannya.
"Oh, sori, maaf." Tampak Damar merasa bersalah. "Kenapa kamu langsung pergi?" tanyanya saat kami berjalan menuju ruangan Shanum.
"Aku pikir, aku salah kamar."
Dari sudut mataku, dia terlihat tersenyum tipis.
"Dia Agni, siang tadi baru datang setelah ikut pagelaran busana di Paris."
Aku mengangguk paham. Benar saja, ternyata memang perempuan cantik yang menyambutku tadi adalah Agni.
"Dia mamanya Shanum." Damar memperkenalkan tanpa diminta. "Aku sering bicara tentang kamu dengan dia. Kamu nggak usah khawatir, Agni sudah tahu kamu meski dia belum tahu wajahmu."
Tenggorokanku terasa kering seketika, jadi Damar selama ini sering membicarakan aku dengan Agni? Apa itu artinya mereka sepakat menganggapku baby sitter bagi Shanum? Mendadak aku merasa sangat bodoh, kenapa bisa-bisanya aku begitu peduli pada bayi mereka? Sial!
"Kania?"
"Ya?"
"Ayo masuk? Kenapa bengong?"
Damar membukakan pintu sembari tersenyum.
Ya Tuhan, kali ini aku berharap yang terakhir aku berada di keluarga kecil mereka. Keluarga kecil? Bukankah mereka belum menikah? Keluarga macam apa ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top