Between Us 14
Semalam kuputuskan untuk menginap di rumah Yeni. Setelah berunding, akhirnya Alya pun ikut bermalam bersamaku. Bisa ditebak, kami tidak istirahat, tetapi justru ngobrol sampai azan Subuh.
Dering telepon memaksa mataku untuk terbuka. Membaca identitas pemanggil membuat kening berkerut. Untuk apa pria itu menelepon?
"Siapa telepon, Kan?" Suara serak Yeni bertanya.
"Bukan siapa-siapa." Kumatikan daya ponsel, Lalu kembali menarik selimut.
"Kok teleponnya dimatikan, Kan?"
"Nggak apa-apa."
"Nggak biasanya lo nggak ngangkat telepon?" selidiknya.
"Gue ngantuk banget, Yen, jangan ajak debat gue, deh."
Beruntung Yeni menerima alasanku, dan aku bisa kembali melanjutkan mimpi.
**
Menjelang sore aku kembali ke kost. Dahiku kembali diajak berkerut saat Mbak Lia tetangga kost memberi tahu jika ada seseorang mencariku pagi tadi.
"Pacar kamu, ya?" tanyanya menatapku.
"Pacar? Nggak-lah, Mbak. Bukan!"
"Serius bukan?"
"Iya, serius!"
"Ganteng banget padahal, mana kelihatan kalau tajir."
Aku tersenyum.
"Dia kelihatan kecewa waktu tahu kamu nggak ada."
"Sepertinya penting, Kan. Karena dia nungguin kamu agak lama."
"Nungguin?"
Mbak Lia mengangguk.
"Iya, dia nunggu di mobilnya."
Entah kenapa pikiranku melayang ke Shanum. Ada apa lagi dengan bayi mungil itu? Apakah sakit atau ada hal lain?
"Kania? Jujur, cowok tadi itu ganteng banget, boleh aku dikenalin?"
Kutatap Mbak Lia yang sudah kuanggap kakak sendiri itu. Usianya lima tahun di atasku. Bekerja di sebuah bank swasta memiliki paras rupawan dan tubuh yang sedikit sintal. Akan tetapi, dia selalu kesulitan untuk mempunyai pasangan, entah apa penyebabnya.
"Kania? Kenapa malah ngelihatin aku begitu? Nggak boleh kalau aku pengin kenal?"
"Oh, boleh, Mbak. Boleh banget, nanti kalau aku ketemu, aku kenalin."
Bibirnya melebar kemudian kembali ke kamarnya. Aku merogoh tas mengambil kunci, nyaman rasanya kembali ke kamar sendiri. Tiba-tiba ingat kalau sejak tadi ponsel kumatikan. Seperti yang diduga, beberapa panggilan tak terjawab muncul di sana.
[Bisa kita ketemu?]
Satu pesan singkat dari Damar. Baru saja aku hendak membalas, suara Mbak Lia memanggil namaku.
"Kania, tamu kamu yang tadi datang lagi tuh!"
Aku bangkit membuka pintu. "Cowok itu datang lagi!"
"Suruh tunggu."
"Tapi, Kania." Terlihat paras Mbak Lia ragu.
"Kenapa?"
"Sepertinya benar-benar penting."
Aku menggeleng lalu kembali meminta agar Mbak Lia memberitahu kepada Damar agar dia menunggu. Lagipula kenapa sih pria itu datang ke sini? Pikiranku kembali kepada Shanum.
Sudah pasti ini karena putri mungilnya itu. Akan tetapi, aku pun berhak punya waktu untuk diri sendiri, bukan? Beruntung tadi aku sudah mandi di rumah Yeni, kalau tidak pasti pria itu akan lebih lama menunggu.
Kuikat rambut kebelakang, mengenakan kaus dan celana panjang, aku menemui Damar. Benar kata Mbak Lia, pria itu terlihat kuyu.
"Hai," sapanya saat aku baru saja menghenyakkan tubuh di sofa tak jauh dari dia duduk. "Maaf, ya. Pasti aku ganggu, tapi lagi-lagi aku nggak tahu harus minta tolong siapa."
"Shanum?" tebakku.
Dia mengangguk pelan. "Kalau kamu nggak keberatan." Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku mohon temani Shanum di klinik."
Mataku membulat. Shanum di klinik? Kenapa lagi anak itu? Lalu Mbok Nung?
Seperti tahu apa yang aku pikirkan Damar berkata, "Shanum semalam rewel dan sempat muntah, aku nggak tahu kenapa, dan Mbok Nung ... aku segan kalau harus memintanya untuk menjaga anakku di klinik, karena dia punya keluarga sementara aku ... aku butuh seseorang yang mengenal Shanum, dan itu kamu."
"Jadi sekarang Shanum di klinik?"
Dia mengangguk.
"Dokter bilang setidaknya mereka akan mengawasi Shanum sampai besok untuk memastikan dia baik-baik saja."
Aku tak menjawab, kubiarkan logika berdialog dengan hati. Logikaku berkata, untuk apa aku harus ikut bersusah payah mengkhawatirkan anak pria yang bukan apa-apaku itu, sementara hatiku terlalu lemah jika teringat sorot mata bayi cantik itu.
"Aku tahu kamu bisa saja menolak karena memang Shanum bukan siapa-siapa, tapi aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa, karena ...." Dia membiarkan aku berpikir kalimat apa yang dia sembunyikan.
"Karena?"
"Karena aku ingin membuktikan kalau aku bisa membesarkan anakku sendiri." Kali ini kudengar suara lirih darinya. "Aku harap kamu bersedia."
"Tapi kalau memang permintaan ini merepotkan, aku nggak maksa, kamu berhak menolaknya," imbuh Damar.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Boleh, silakan."
"Mungkin ini sedikit masuk ke ranah pribadi, boleh?"
"Silakan." Dia menyandarkan tubuh di sofa.
"Sebelumnya, makasih sepatunya."
Damar tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Jadi apa yang mau kamu tanyakan?"
"Shanum pasti punya Mama, 'kan? Kenapa bukan mamanya saja yang kamu hubungi? Kenapa aku?"
Damar sedikit mengangkat bibirnya lalu menggeleng.
"Nggak. Karena mamanya berada di luar negeri, dan aku sudah berjanji akan merawat Shanum dengan baik."
Sejenak kami saling diam. Meski menurutku antara Damar dan mama dari Shanum memiliki hubungan yang menurutku agak lain, tetapi jujur kukatakan jika pria di depanku ini sangat bertanggung jawab pada putrinya.
"Oke, aku harus balik ke klinik, terima kasih untuk waktunya. Maaf sudah mengganggu." Dia bangkit setelah melihat arloji. Setelah mengambil ponsel di meja, Damar tersenyum dan melangkah meninggalkan aku sendiri.
Pria egois, bukan? Bahkan dia belum mendengar jawabanku soal tawarannya.
**
Kurebahkan tubuh menatap langit-langit kamar. Belakangan ini aku telah terlibat pada hubungan aneh pada seorang bayi cantik yang perlahan menyita semestaku.
Sebenarnya muncul rasa tidak tega, tetapi setidaknya aku sudah menunjukkan kalau aku bukan orang yang bisa dengan mudah menerima permintaannya, meski dibayar.
Bayangan Shanum hadir. Binar mata dan senyum tipisnya seperti memanggil sisi lain dalam hatiku. Mungkin aku memang bukan siapa-siapanya Shanum, tetapi anak itu perlahan membuatku terikat. Seharusnya aku lega, bukan? Lega karena Damar tahu jika aku pun punya sikap dan tidak sekadar bisa dengan mudah mengikuti kemauannya meski memang karena Shanum.
Kulihat jam tangan, sudah pukul dua siang. Saatnya mengisi perut.
"Ke mana, Kania?" sapa Mbak Lia yang baru saja datang dari luar. Di tangannya ada kantong plastik berisi dua bungkus makanan.
"Lapar, Mbak. Mau masak malas."
"Ini ada gado-gado! Aku sengaja beli dua bungkus tadi, karena aku ingat kamu suka banget sama makanan ini."
"Mbak beliin buat aku?"
Dia mengangguk. Tanpa banyak bicara aku mengikuti langkahnya.
"Kita makan di depan kamarmu aja ya, kamar Mbak masih berantakan."
Aku mengangguk. Tak berapa lama kami sudah melahap makanan bersaus kacang itu.
"Aku boleh tahu ada hubungan apa kamu sama pria itu nggak?"
Kutatap Mbak Lia kemudian kembali melanjutkan suapan.
"Karena kalau dilihat, dia seperti orang yang cemas banget. Aku nggak tahu, tapi sepertinya dia sangat membutuhkan kamu."
Aku meletakkan sendok, kalau meneguk air mineral sedikit. Nggak ada salahnya bercerita tentang siapa Damar. Menurutku bisa saja dengan aku bercerita, Mbak Lia bisa memberikan jalan keluar.
Perlahan aku mulai menceritakan awal mula pertemuanku dengan Damar hingga apa yang diinginkan pria itu beberapa jam yang lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top