Between Us 12


Dua pekan sudah sejak 'penyerahan' sepatu, aku tak pernah lagi mendengar kabar Damar bertemu dengannya. Bersyukur karena baik Mas Tomi maupun Kak Mira mengerti dan sepakat menjaga rahasia soal sepatu kepada teman-teman kerjaku terutama Yeni dan Alya.

Sore sepulang dari kantor, kami bertiga sepakat untuk nonton. Tak ada alasan menolak karena besok libur. 

Alya, temanku yang satu itu paling suka mencari referensi film romantis yang menurutnya layak ditonton. Sementara aku sebenarnya kurang suka. Jika ditanya aku lebih memilih berada di kamar bersama laptop dan ponsel, dikelilingi oleh aneka camilan. Kondisi seperti itu adalah surga dunia untukku. 

Berbeda lagi dengan Yeni. Rekanku yang itu sangat bisa menyesuaikan diri. Di mana pun tempatnya, Yeni pasti bisa merasakan nyaman. Bahkan pernah beberapa waktu lalu, Alya mengajak atau lebih tepatnya memaksa kami untuk nonton film dua kali dalam satu hari dengan judul berbeda. Yeni sangat menikmati, sedangkan aku, popcorn kesukaan pun menjadi hambar.

"Lo nggak bilang kalau akhirnya beli bisa beli sepatu itu, Kan?" Yeni rupanya sudah mengetahui alas kaki baruku.

"Iya, Mas Danu yang beliin," sahutku asal sembari melahap popcorn.

"Enak ya punya Kakak," keluhnya.

"Disyukuri aja, meski nggak ada kakak, lo anak tunggal yang apa pun lo minta pasti dikabulkan!" 

"Iya, tapi, 'kan beda aja gitu kayaknya rasanya."

"Ya lo minta dipercepat nikah sama Rey." Aku berseloroh.

"Rey masih harus nunggu Mbaknya nikah, Kania, jadi sepertinya rencana kami untuk menikah tahun depan bakal batal." Suara Yeni lirih hampir tak terdengar karena musik di film itu sedang menampilkan adegan kejar-kejaran di sebuah mal.

Aku menarik napas dalam-dalam. Berat memang jadi Yeni. Karena pihak keluarga Rey masih keukeuh mempertahankan adat. Mereka menolak kompensasi pelangkah agar Rey bisa segera menikah dengan Yeni.

 Sementara yang kutahu kakak perempuan Rey itu orangnya sangat independen dan mandiri. Siapa yang tidak kenal dengan Faradiba, dia adalah seorang motivator dan mungkin bisa dibilang feminis meski belum 100%.

"Aku berharap semua masalahmu bisa diselesaikan dan dibicarakan baik-baik, Yen," pungkasku karena tak ingin membuat Yeni sedih dan tentu saja tak ingin mengganggu Alya yang sudah mulai bereaksi karena kami berdua berisik menurutnya.

**

Keluar dari teater seperti terlahir kembali. Lampu terang bak siang hari membuatku lebih bisa bernapas lega. 

"Kita makan di sana, yuk! Kata Rey, ada mie level kita-kita yang sangat enak!" Yeni menunjuk satu gerai mie yang rupanya baru buka di mal ini.

"Wait, Kan! Tunggu!" Alya menarik lenganku.

"Ada apa Al?" tanya Yeni heran.

"Kania Diandra, apa kabar?" Suara yang hampir membuat jantungku melompat dari tempatnya. "Dunia sempit ternyata."

Belum sempat aku berpikir panjang, tangan pria yang tiba-tiba muncul itu mengajak berjabat tangan. Senyum dan tatapannya kini membuatku ngeri. Tak lagi sama seperti dulu. Mungkin karena dia sekarang sudah menjadi momok yang menakutkan bagiku.

"Baik," sambutku mencoba melepaskan tangan dari genggamannya.

Andika menyeringai, sambil melipat kedua tangannya dia menatap kedua rekanku.

"Kalian bisa tinggalkan kami berdua sebentar?"

"Nggak! Mereka akan tetap di sini dan aku harus pulang!" Aku benar-benar takut kali ini.

"Hei, Kania, kamu kenapa? Kenapa kamu terlihat ketakutan? Heum? Aku hanya ingin kita bicara berdua di sebuah tempat. Sebentar, hanya sebentar." 

"Nggak, Dika, aku harus pulang karena ...." Mataku menangkap sosok pria tengah berjalan bersama beberapa orang. Mereka terlihat sangat gembira. Sesekali seorang perempuan di sampingnya tertawa kecil sembari menepuk lengan pria bertubuh tinggi itu.

"Jika dia berada di sini, dengan siapa Shanum sekarang?" Pikiranku mendadak berkelana pada bayi mungil yang menggemaskan itu. "Apa mungkin perempuan itu pasangan baru Damar?" Lagi-lagi aku bermonolog.

"Karena apa?" Andika mengikuti arah mataku. Beruntung Damar tak lagi bisa terlihat. Sementara kedua rekanku memilih mematung.

"Hei, kamu melihat siapa?"

"Nggak, aku ... aku harus pulang, ayo, Yen, Alya!"

Namun, tentu saja Andika tidak membiarkanku lolos. Dia menahan lenganku. Meski lembut, tetapi hal itu tidak serta-merta membuatku tenang.

"Kania, aku tahu aku salah, aku juga tahu aku sering melukaimu, tapi kamu harus tahu, aku punya perasaan yang tetap utuh seperti dulu padamu." Suara Andika terdengar penuh penyesalan. 

"Tolong, beri aku waktumu sedikit saja untukku. Aku ingin kita berdua saja setidaknya sebelum aku kembali meninggalkan kota ini. Please."

"Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Sungguh! Aku sudah banyak belajar."

Mungkin trauma itu masih melekat, tapi bukankah sekarang aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa pun? Lagipula saat ini kami berada di luar dan bukan di kamar.

 Seperti yang kutahu, Andika akan berubah sangat manis saat berada di tempat umum. Perlakuannya seperti seorang pria yang penuh perhatian dan sangat meratukan pasangannya. Jadi tentu tidak mungkin dia 'menyiksaku' di hadapan orang banyak.

"Oke, tapi mereka ikut!" Aku menoleh ke samping menatap Yeni dan Alya yang masih membisu.

"Oke, kalau kamu mau begitu, tapi mereka nggak semeja sama kita. Gimana?"

"Oke, meja mereka di sebelah atau depan atau belakang meja kita. Terserah kamu aja." Andika kembali meyakinkan.

**

Seperti kesepakatan, akhirnya meja kedua rekanku berada tepat di belakangku. Meski awalnya mereka khawatir, tetapi aku meyakinkan jika pada dasarnya Andika adalah pria yang baik. Kami memilih makan di gerai mie yang tadi ditunjukkan oleh Yeni.

Setelah kami semua memesan makanan, Andika tersenyum.

"Kamu masih suka makan makanan pedas?" 

"Iya."

"Nggak kasihan sama lambung kamu?"

"Aku sudah sedikit mengurangi level pedasnya sekarang," terangkum sembari membuat isyarat dengan ibu jari dan telunjuk.

Sejenak kami saling diam. Meski masih merasa takut, tapi perasaan itu sedikit berkurang karena ada Yeni dan Alya dan kami berada di tempat umum.

"Jadi kamu sekarang tinggal di kota ini?" 

Tentu saja aku tak mungkin menjawab jujur pertanyaan itu. Karena biar bagaimanapun aku masih ingat ancamannya. Andika memang sulit ditebak setidaknya setelah kami menikah. Sifat dan sikapnya sangat berbeda.

"Aku ... aku lagi cari kerjaan." 

"Kerjaan?" Matanya menyipit. "Lulusan terbaik  Creative Advertising kesulitan cari kerja?" Terdengar nada tidak yakin. "Kamu bahkan tidak perlu ke kantor untuk menjual jasamu, Kania," imbuhnya seraya memberi ruang untuk pelayan meletakkan pesanan kami.

Sengaja aku tak menjawab, hanya berharap kedua rekanku itu akan bersuara yang sama jika mungkin nanti Andika bertanya.

"Aku sudah boleh makan?" tanyaku mengabaikan obrolan barusan.

"Sure! Eum, kalian! Selamat menikmati!" Dia menatap Yeni dan Alya.

Kedua temanku itu mengangguk kemudian mulai makan.

"Jadi lambung kamu sudah nggak pernah kambuh?" Dia menatapku lagi sembari mengambil sumpit.

"Nggak, sebab kurasa lambung kambuh bukan semata karena makanan pedas, tapi ... jiwa yang tertekan juga bisa jadi pemicunya." 

Kulihat air muka Andika berubah. Jujur aku takut, tapi aku pun ingin dia tahu betapa tersiksanya aku saat itu.

"Apa kamu masih belum bisa memaafkanku?" Tatapan matanya terlihat sendu.

"Butuh waktu lama sebelum akhirnya aku sadar jika bertemu kamu adalah salah satu dari banyaknya jalan takdir yang harus aku hadapi."

Andika menghela napas perlahan. Selaksa sesal jelas tergambar di mata serta parasnya.

"Jadi artinya, kamu memaafkan aku?"

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Berharap kami bisa menjadi sahabat yang saling support. Karena aku tahu sebenarnya Andika pria baik, hanya saja ada satu sisi di jiwanya yang harus diterapi, dan aku tidak sanggup untuk mendampingi.

"Makasih, Kania. Meski mungkin besar harapanku untuk bisa terus bersamamu, tapi aku tahu akhirnya, aku memang harus berubah dan memberi jeda atas semua luka yang pernah aku berikan padamu."

Perhatianku terpecah saat mendengar suara Alya sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang sepertinya baru saja menyapa. Rasa penasaran membuatku menoleh, saat itu pula mataku menatap tepat pada matanya. Mata Damar.

**

Gimana -gimana? Andika akhirnya muncul dengan wajah penuh penyesalan. Kekira apa yang akan terjadi yaa ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top