Between Us 1
Haii ... aku datang dengan cerita baruku ... semoga kalian berkenan membacanya. Dan semoga kalian suka ya. Yuk dibaca yuk ...
**
Maaf, ini kenapa masih nangis aja ya?"
Seorang pria berkemeja putih dengan lengan yang dilipat hingga lengan terlihat gelisah. Dia sedang menggendong bayi sekitar berusia dua atau tiga bulan, atau kurang dari itu, aku tidak tahu pasti, tetapi jelas dia butuh pertolongan.
"Mungkin dia lapar. Atau popoknya penuh atau ... astaga! Anak ini demam!" Kuraba dahi bayi mungil yang wajahnya memerah itu.
"Kalau gitu, bisa temani saya ke rumah sakit?" pintanya resah.
"What?" Aku mengernyit. Bagaimana mungkin dengan santainya dia mengatakan itu padaku? Dia pikir aku siapa? Kulihat arloji, masih cukup waktu sebelum meeting di kantor pagi ini.
Lagipula Mas Tomi pasti akan memberikan kelonggaran asal alasanku tepat. Sebenarnya bukan hanya itu, kebetulan semua tugasku sudah selesai kemarin, jadi untuk hari ini tinggal mematangkan tema promosi di media sosial.
"Please! Tolong saya, nanti keburu hujan, saya akan bayar berapa pun yang Anda inginkan!"
"Bayar?" Tentu aku sedikit tidak terima dengan kata bayar barusan. Meski ... ya mungkin bayarannya cukup buat mentraktir makan Alya dan Yeni rekan kerjaku yang tak pernah lupa membawa gorengan ke kantor.
Sebagai perempuan yang beradab dan punya belas kasih, aku tidak menolak, meski sama sekali aku tidak tahu siapa pria beraroma maskulin ini. Kuterima bayi perempuan dalam gendongannya, sementara dia memberi isyarat agar aku mengikuti langkahnya.
Ajaib, bayi cantik itu langsung diam dalam dekapanku. Ini pasti karena parfum Dior yang baru saja kubeli lewat jastip Kak Mira istri Mas Tomi saat liburan dua pekan lalu.
"Hei, kamu pasti suka sama parfumku, 'kan? Tahu aja parfum mahal," bisikku menahan tawa.
"Silakan!" ujarnya setelah membuka pintu mobil.
Entah kenapa mendadak aku ragu. Bagaimana kalah pria ini gerombolan penculik bayi yang organ tubuhnya diperjualbelikan? Bukankah sekarang modus seperti itu sedang marak? Bisa saja dia sengaja mencari korban untuk dijadikan kambing hitam, dan korbannya itu aku! Oh tidak! Nggak bisa! Aku nggak mau!
"Maaf, saya nggak bisa. Anda bisa minta tolong ke orang lain saja. Maaf!" Ku serahkan lagi bayi berbaju rajut berwarna pink itu padanya.
Mataku menangkap paras frustrasi di wajahnya. Sebenarnya siapa dia dan siapa bayi cantik ini? Anaknya, kah? Kalau iya, ke mana mamanya? Atau keponakannya? Tetapi kenapa dia yang sibuk mengurus?
"Maaf, ini." Kembali ku serahkan bayi itu.
"Oke, maaf. Makasih, ya."
Baru saja bayi itu berpindah tangan, tangisnya kembali meledak.
"Please, Shanum, oke, kita ke rumah sakit sekarang!" Pria itu menutup kembali pintu mobil kalau berjalan memutar dan duduk di belakang kemudi dengan bayi yang tangisnya semakin kencang.
Aku masih mematung menatap dari kaca kebingungan pria itu. Lagi-lagi pikiranku mulai berkelana. Bagaimana jika dengan tangis itu, dia tidak fokus mengemudi lalu terjadi hal yang mengerikan. Bayi itu tak bersalah, hanya saja kenapa dia berada di situasi yang sangat tidak nyaman?
"Tunggu tunggu! Stop! Buka pintunya!" Kuketuk kaca jendela mobil sport putih itu. "Oke, aku temani ke rumah sakit!"
Terbaca paras lega pria di balik kemudi itu, tak lama pintu sudah bisa kubuka.
"Thanks!" tuturnya saat bayi yang dia panggil Shanum itu kembali ke dekapanku.
"Sepertinya dia nyaman denganmu, itu dia sudah nggak nangis lagi." Pria itu menghela napas lega saat tak ada lagi tangisan dari bayinya.
Nyaman? Denganku? Kutatap bayi mungil itu, dia sudah memejamkan mata. Sial! Kurasa dia memang benar-benar menyukai aroma parfumku.
Mobil meluncur dengan kecepatan sedang. Ponselku berkali-kali bergetar. Aku yakin itu dari si bawel Alya, dia ingin aku datang lebih pagi karena ingin meminta bantuan soal jargon iklan makanan ringan kemarin.
"Ponselmu bunyi?" Dia menoleh sejenak tepat saat aku berusaha menelisiknya.
Sial! Ketahuan, 'kan? Pria di sebelahku itu memiliki rahang kokoh dengan rambut halus di sana. Selain itu kedua alisnya yang rapi menaungi mata tajamnya.
"Iya, nggak apa-apa. Rumah sakit sepuluh menit lagi dari sini, setelah itu, aku bisa cabut ke kantor," ucapku mengalihkan pandangan ke Shanum.
Kemeja putih strech membungkus tubuhnya yang sepertinya memang rajin berolahraga. Model seperti pria ini pasti sudah masuk dalam list pencarian Yeni dan Alya. Kedua rekanku itu seolah tak pernah bosan membicarakan kriteria pria idaman mereka.
"Jadi namanya Shanum?" tanyaku tanpa menoleh.
"Iya."
"Nama yang bagus!"
Pria di balik kemudi itu hanya menarik singkat bibirnya. Getar ponsel di dashboard membuatku menoleh padanya.
"Telepon, tuh!"
"Biarkan saja!"
"Tapi teleponnya bunyi terus."
Pria yang entah ada hubungan apa dengan bayi cantik ini tanpa ekspresi.
Ya, Tuhan, kenapa pula aku mengurus dia? Please, Kania, kenapa kamu jadi sok akrab sama dia? Mendadak aku merasa murahan. Sial memang!
"Maaf."
"Nggak apa-apa. Kita sudah sampai, eum ... makasih sudah bantuin saya," ujarnya saat mulai memasuki pelataran rumah sakit.
"Iya, tapi ...."
"Tenang, aku nggak lupa sama janjiku." Pria itu mengeluarkan dompet lalu menyodorkan sepuluh lembar uang berwarna merah kepadaku.
"Apa ini?"
"Aku bilang, kan aku akan membayarmu, tapi aku minta tolong lagi, bisa?"
Duh, Tuhan, apa lagi ini? Kenapa masih ada tugas tambahan hari ini selain tugas dari Mas Toni?
"Apa?"
"Kamu gendong Shanum sampai ke dalam."
Ini akan jadi drama teraneh dalam perjalanan hidupku selain saat bersama Andika.
"Dia sedang tertidur nyenyak, aku yakin kalau berpindah tangan, dia akan terbangun dan menangis. Itu akan membuatku lebih panik."
Kulirik Shanum yang masih terlelap. Naluriku memaksa kepalaku untuk mengangguk.
"Thank you ... sori, nama kamu?"
"Kania, Kania Diandra."
Pria berhidung mancung itu mengangguk dan mengulang ucapanku sembari tersenyum.
"Thank you, Kania Diandra."
**
Beruntung saat aku tiba di kantor, Mas Tomi belum ada di tempat. Meski kantor kami dibuat sedemikian rupa akrab dan kekeluargaan, tetapi tetap saja aku merasa tidak enak hati saat datang terlambat. Terlebih hanya selisih lima menit bosku itu akhirnya datang.
"Lo utang cerita sama kita, Kania!" bisik Alya yang diamini oleh Yeni.
"Iya, iya!" jawabku tak acuh karena harus menyiapkan salinan laporan dari Alya.
"Kita berdua cemas tahu, Kania. Lo ditelepon nggak ngangkat, di-wa ngga nggak dibaca. Siapa coba yang nggak cemas!" Yeni menatap serius sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Aroma lo, aroma bayi. Lo nggak sedang ikut training jadi baby sitter, 'kan?" timpal Alya.
Dari kubikelku, kutatap dua perempuan yang berdiri dengan ekspresi penuh tanya itu. Merekalah yang selalu menguatkan aku saat rapuh, mereka juga yang membuat aku menangis haru dan tertawa saat harus menerima kenyataan pahit sekali pun.
"Mas Tomi bilang meeting jam sepuluh, jadi mending kalian siapin materinya deh! Soal cerita, jangan khawatir, nanti gue ceritain semuanya di Moonlight Koffe Shop pulang kerja nanti!"
Ucapanku tentu saja membuat mata mereka membeliak. Siapa yang tidak kenal nama koffe shop yang baru saja aku sebut. Selain terkenal mahal, tempat itu juga akrab dengan para sosialita dan eksekutif muda kongkow menghabiskan waktu.
"Lo serius, Kania?" Yeni menajamkan tatapannya.
"Iya, ini tanggal tua bukan, sih?" timpal Alya menatap pongah. "Bukannya lo masih harus bayar cicilan tas Louis Vuitton ke Kak Mira? Jangan bilang lo utang pinjol!"
Selain sahabat, kedua temanku itu memang paling bisa menjatuhkan mental.
"Gue seriusan! Bahkan nggak pernah gue seserius ini nraktir kalian berdua!"
Keduanya hampir berteriak kalau tidak segera kuberi kode untuk kembali ke tempat masing-masing.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top