End and Beginning


THE STORY

Based On Peterpan

GENRE

AU, action, fanfiction, magic, dark romance

"Ikutlah denganku maka akan kutunjukkan dunia indah tanpa adanya kesedihan dan mimpimu menjadi nyata. Seperti itu ... mungkin."

-N.J

Dunia tanpa rasa sakit, hanya ada kebahagian tanpa rasa khawatir yang akan tiba menghampiri. Mungkin, semua itu hanya khayalan semata dari manusia-manusia pencipta dongeng pengantar tidur bagi manusia kecil yang hanya mengetahuhi kebahagian di dunia fana tanpa adanya kesedihan. Tetapi, benarkah semua itu khayalan semata? Apa jadinya jika tempat itu benar adanya? Apa penulis dongeng itu pernah mengunjungi tempat itu? Tempat yang hilang, jauh tak sentuh tangan-tangan perusak, tempat yang hanya ada kebahagian tanpa khawatir akan rasa sedih, tempat yang penuh akan hal menakjubkan yang tak akan pernah ditemukan.

"Tamat ... dongeng malam ini telah usai, anak-anak waktunya untuk terbang ke alam mimpi" ucap lembut seorang wanita dewasa yang baru selesai membacakan dongeng untuk kedua anaknya.

"Ah ... tidak asik, Mama selalu memotong bagian serunya" protes bocah laki-laki dengan gaya menyilangkan lengan gemuknya di depan dada.

"Iya ... Mama selalu melakukan itu, kamikan sangat penasaran dengan bagian akhirnya" setuju sorang bocah perempuan dengan rambut pirang persis dengan milik sang mama.

"Hey, itu memang sudah bagian akhirnya sayang. Mereka sudah hidup bahagia, jadi dongengnya sudah tamat" ucapnya lembut dengan senyum jenaka.

"Benarkah? Apa sudah tidak ada lanjutannya lagi? Aku sangat ingin mengetahuinya" bocah laki-laki itu dengan semangat melompat meninggalkan kasur hangatnya menuju pangkuan sang mama melihat apa benar yang dikatakan mamanya itu.

"aku juga ... aku juga mau lihat"

"Eits, Mama tahu itu hanya akal-akalan kalian supaya tidur lebih larut, ayo semua kembali ke kasur kalian atau jatah Pie Blueberry kalian mama berikan ke Molly.

"Baik Ma" ucap keduanya kompak serta merta membuat sang mama muda gemas dibuatnya.

Selimut hangat telah mendekap keduanya dalam kehangatan, kecupan selamat malam telah diberikan, mata sayu yang siap menutup membawa jiwa si kecil ke alam mimpi yang indah.

"Selamat malam anak-anak kesayangan mama, mimpi yang indah Mama mencintai kalian."

***

"Cepat!!! Bawa mereka semua dan jangan sampai ada yang tertinggal". "Baik kapten ... arrrgh"

Semua seperti terbangun dari mimpi yang indah, di mana ekspektasi tak seindah realita. Dunia fantasi impian kini tak ada bedanya dengan neraka yang nyata. Tempat itu kini tak seperti yang ada dalm bayangan, semua hancur ... tak tersisa bak telah dibantai ribuan orang. Namun ... begitulah adanya, Neverland kini telah hilang, hancur tak tersisa.

"Kapten, semua telah menaiki kapal dan siap dibawa menuju ke Pulau yang hilang"

"Lakukan, jangan sampai rencana ini gagal." "Peterpan tengik itu akan sangat menyesal karena telah menolak tawaranku"

Sorak-sorai para perompak bak iringan musik kematian yang siap menjemput kapan saja, para penghuni Neverland kini kehilangan arah dan hanya bisa pasrah mengikuti perintah perompak yang bengis itu. Para peri tak bisa melawan karena sumber kehidupan mereka di rebut oleh sang kapten perompak, ratu peri ditahan.

***

"Josh! Lepaskan mainanku, kau bisa merusaknya jika sepreti itu" gerutu Anne pada kembarannya yang kini sibuk menarik-narik rambut boneka kesayangan Anne.

"Heyy ... aku hanya mencoba memainkannya" bela Josh.

"Tidak begitu cara memainkannya, yang ada kau bisa merusaknya."

"Baiklah-baiklah, aku mengalah padamu adik kecil tapi tidak untuk selanjutnya"

"Sekedar mengingatkan, kita hanya beda 3 menit."

"Tetap saja, aku lebih dulu terlahir" Josh Bangga.

Begitulah perdebadatan lumrah yang menghiasi hari-hari di kediaman Stevenson, masalah sepele menjadi bibit pertengkaran penuh cinta antara si kembar yang berbeda gender itu, sampai suara sang mama menghentikan perdebatan mereka.

"Baiklah anak-anak, sudah waktunya untuk mandi dan bersiap untuk makan malam. Cepat bereskan mainan kalian atau jatah kudapan manis kalian mama habiskan" ucap sang mama dengan nada jahil sambil berlalu menuju dapur.

"Mamaaa ..." kompak si kembar.

Begitulah keseharian Wendy Darling atau sekarang Wendy Stevenson selama 5 tahun terakhir, menjadi seorang istri dan ibu untuk keluarga tercintanya. Ia hanya tak menyangka dan masih seringmenduga bahwa ini hanyalah mimpi. Tetapi, setelah semua yang ia lewati ia sadar bahwa inilah kebahagian yang sesungguhnya, Neverland miliknya. Meski tak seperti milik Peterpan sang sahabat kecil, yang di mana hanya ada kebahagiaan tanpa perlu mrnjadi orang dewasa.

Sudah 15 tahun berlalu, masih segar dalam ingatannya ketika Peter mengajaknya untuk tinggal selamanya di Naverland yang di mana berujung penolakan oleh Wendy sendiri. Semua telah berubah, tak seperti yang dulu ketika ia masih berusia 13 tahun. Akan tetapi entah apa yang mengganjal dihatinya, seolah mengorek ingatan kembali kepada teman ajaib masa kecilnya.

"Sayang, sayang ... Wendy Stevenson."

"O-oh, kau sudah kembali ... maaf aku tak mendengarmu." Ucap wendy lepas dari keterkejutan akibat panggilan sang suami.

"Kau baik-baik saja? Ada masalah?" Tanya sang suami.

"tidak, hanya saja ada yang sedikit mengganjal. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering bermimpi aneh"

"Benarkah? Seperti apa?"

"Entahlah, aku tak yakin tetapi aku merasa seperti tengah dikejar oleh seseorang"

Sang suami tersenyum sembari mendekati sang istri tercinta dan memberi rangkulan hangat yang menenangkan. "Itu hanya mimpi sayang, bungat tidur. Aku yakin semua akan baik-baik saja, percayalah padaku."

"ya, tentu ..."

***

Tubuh tegap itu berlari menerjang gepalnya malam. Hujan deras, udara yang dingin tak mengurangi tenaganya untuk terus berlari mengabaikan dirinya yang hanya mengenakan jaket lusuh. Berlari sembari sesekali menoleh kebelakang seolah seseorang tengah mencoba menangkapnya. Dan memang benar adanya, ia tengah dikejar oleh komplotan perompak bengis, pemburu bringas di Neverland.

Kakinya yang terbungkus sepatu bot lusuh tersandung bebatuan membuat tubuhnya limbung dan terjatuh kedepan mendarat pada kerikil-kerikil tajam, erangan lirih lolos dari bibirnya yang memucat akibat suhu yang seakin dingin.

"Arrgh ... sial, batu sialan. Kalau bukan karena suatu kepentingan, sudah kugunakan debu ajaib ini" umpatnya pada sekantung kecil debu ajaib yang begitu dijaganya. Tubuh tegapnya kembali bangkit , melupakan luka-luka kecil yang tak berarti dengan umpatan yang masih setia terlontar dari belah bibirnya.

Sebuah pohon raksasa menjadi tujuan utama lelaki itu, seringaian tipis terpatri di wajahnya yang sedikit tertutupi oleh rambutyang lepek akibat air hujan. Kakinya melangkah mendekati akar raksasa pohon itu, meraba-raba sisi akar hingga menemukan sebuah pintu rahasia yang tidak begitu mencolok bagi yang awam. Dengan tidak sabaran lelaki itu menggeser pintu dengan sekuat tenaga setelah memastikan tak ada yang mengkutinya kemudian masuk kedalam ruang rahasia tersebut tanpa diketahui oleh siapun.

"Kapten ... para suruhan tidak berhasil menangkap Peterpan, mereka kehilangan jejak" lapor seorang bajak laut bawahan dengan raut khawatir terkena amukan.

"Kurang ajar! Hanya menangkap seorang bocah tengil kalian tidak mampu?!" amuk Kapten Hook.

"D-dia berlari sangat cepat Tuan, dan sangat cerdik" lanjutnya.

"Apa kau baru saja memujinya?? Moris! Cepat perintahkan bagian bawah untuk menyipkan hukuman untuk bajak laut yang tidak becus ini" geram sang kapten.

"Ayay ... Kapten!"

"T-tidak ... tidak Tuan kumohon a-ampuni kami kumohon". Tanpa mendengar jeritan permohonan ampun dari bawahannya, mereka diseret menuju tempat pemberian sanksi.

"Tidak ada ampun bagi kalian sebelum menangkap Peterpan hidup-hidup."

***

Hujan dimusim gugur menjadikan malam hari di kota London menjadi semakin dingin, membuat manuasia-manuasia yang lalu lalang merapatkan coat tebal mereka sambari berlari menghindari guyuran air hujan yang semakin deras agar lebih cepat sampai di kediaman setelah seharian beraktivitas. Tak terkecuali seorang Wendy Stevenson yang baru saja sampai di kediaman hangatnya setelah kembali dari membeli beberapa bahan yang akan ia masak untuk makan malam bersama keluarga tercinta. Kiranya hujan tak akan mengguyurnya dikarenakan ia hanya keluar sebentar, akan tetapi alam berkata lain.

"Seharusnya aku mengikuti kata hatiku untuk membawa payung ..." monolognya ketika melepaskan coat yang sdh sedikit basah dibagian pundak.

Entah apa yang ia rasakan saat ini, seolah sesuatu mencoba menarik pikiran maupun atensinya untuk terus memikirkan hal itu. Seperti saat ini, "Sayang ... kau melamun lagi?" "Hem? Tidak aku hanya menatap kearah bintang di langit, sangat indah" ucapnya kemudian tersenyum tipis. Mata kelabu sang suami mengikuti arah pandang Wendy untuk memperhatikan objek yang sama. "Ya, kau benar padahal tadi sempat turun hujan, dan ku kira akan berlanjut hingga larut malam." Wendy mengangguk singkat membenarkan pernyataan sang suami.

"Baiklah, ini sudah mulai larut sebaiknya kita beristirahat."

"Ya, kau benar. Ayo ..." ucap Wendy lalu kemudian mengikuti langkah Thomas meninggalkan balkon kamar.

"oh, sayang kau tidak menutup pintu balkonnya ..."

"O-oh ya, maaf aku melupakannya" ucap Wendy sedikit kikuk.

"Baiklah, sudah ku tutup. Istirahatlah esok akan ada hari yang panjang."

"Kau benar sayang, selamat malam aku mencintai mu." "Ya, aku juga mencintaimu." Ucap wendy membalas ungkapan cinta Thomas dengan malu-malu lalu kemudian ikut berbaring di sebelah sang suami.

***

Lelaki muda itu memanjat pohon raksasa tempat persembunyian dengan susah payah, kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat agar tidak tergrlincir dan jatuh. Dialah Peterpan yang menjadi buronan para bajak laut, persitegangan antara dirinya dengan sang perompak bengis seolah tak pernah menemukuan titik akhir. Tak ada yang tahu kapan itu akan berakhir, seolah sudah ditakdirkan seperti itu selamanya. Anak ceria penuh kebahagian dan percaya bahwa dirinya tidak akan pernah tumbuh menjadi dewasa, akan tetapi semua tak sesuai harapannya. Peter tumbuh meskiupun mentalnya masih tetap Peterpan yang dulu, masih si kecil Peter yang gemar bermain bersama para Lost Boys dan menjahili Kapten Hook.

Tubuhnya berhasil menaiki puncak tertinggi pohon raksasa, dengan tenaga yang masih tersisa ia mengelaurkan sekantung debu ajaib yang begitu dijaganya untuk diambil segenggam.

"Baikalah hanya segenggam, akan ku gunakan sebaik mungkin." Monolognya sebelum menaburkan debu ajaib tersebut keseluruh tubuhnya.

Kini, tubuh anak lelaki itu melayang seolah ia memiliki sayap gaib di punggungnya. Debu ajaibnya bekerja, ia terbang meninggalkan pohon raksasa menuju dunia manusia tempat di mana ia akan kembali bertemu sahabat lama. Raganya terbang membelah langit malam, menembus udara dan tak terhentikan.

"Wendy, tunggu aku ... hanya kau yang dapat menolongku, semua hilang tak ada yang tersisa."

Bintang utara kembar itu menjadi kunci gerbang menuju dunia nyata di mana sang sahabat berada, sinarnya menuntun Peter terbang menembus gulungan awan kelabu hingga secara ajaib matanya menangkap objek pemandangan malam kota London yang begitu indah. Ia telah sampai, tempat di mana Wendy berada.

***

Malam itu angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai dedaunan kering dimusim gugur. Menerbangkan ribuan mimpi manusia-manusia yang kini terlelap damai berbalut selimut hangatnya, mempersiapkan diri menyambut awal hari dengan penuh rasa gembira. Begitupun dengan seorang ibu dua anak yang kini terlelap di sisi putri kecilnya. Sebelum tidur sang putri kecil merengek minta ditemani setelah dibacakan sebuah dongeng sebelum tidur dan jadilah Wendy menemani hingga ikut terlelap di kasur si putri.

Gorden tipis jendela kamar yang tidak tertutup itu bergerak pelan mengikuti tiupan angin sepoi-sepoi, bergerak lembut seolah takut mengusik manusia yang sedang terlelap damai di dalam sana. Dedaunan kering yang terbang terombang ambing karena angin sepoi kini mendarat sempurna di kusen sendela seiring sebuah kaki berbalut sepatu bot lusuh juga berpijak disana.

Dengan langkah seringan angin diturunkannya kedua kakinya, melangkah menuju sisi kasur. Direndahkannya tubuh itu, senyum tak lepas dari wajah manisnya ketika melihat pergerakan halus dari objek yang kini menunjukkan tanda-tanda akan terjaga dari tidurnya.

"Wendy ... Wendy bangunlah, ini aku Peterpan" ucapnya dengan lembut.

Kesadarannya belum benar-benar pulih sampai netranya menangkap objek asing yang kini terduduk di di sisi ranjangnya dengan senyum lembut di wajahnya yang sedikit kumal namun tak menghilangkan kesan manis di wajah itu.

"Haahh!! ... a-astaga ss-siapa kau?!" pekiknya tertahan, takut-takut membangunkan buah hatinya.

"ini aku Peterpan teman lamamu Wendy Draling, kau tidak mengingatku?" tutur Peter pelan, masih dengan senyum di wajahnya.

"P-Peter?? Benarkah??" Tanyanya ragu memastikan apa yang ia lihat memang Peter sahabat kecilnya.

"Ya, ini aku. Mungkin kau sedikit kaget melihat fisikku kini yang sedikit mengalami perubahan yeah kau tahu, setiap manusia akan tumbuh tak terkecuali aku. Meskipun aku membenci fakta itu tapi aku tetap Peterpan yang dulu." Tutur Peter meyakinkan Wendy.

"K-ku kira kau akan tetap menjadi anak-anak selamanya Peter ..." masih memastikan meski dengan suara yang bergetar.

"Yeah ku pikir juga begitu tetapi, tetap saja. Meski menggunakan debu ajaib sebanyak mungkin pada tubuhku aku tetap tumbuh" jawabnya kental dengan kesan kekanakan. "Jika kau tidak percaya, aku akan menunjukkan sesuatu padamu" peterpan mengeluarkan sebuah sapu tangan kecil berwarna putih tulang dengan bordiran berwarna emas bertuliskan nama wendy di bagian sudut. Wendy terkejut melihat sapu tangan itu, mengingatkannya saat perpisahan saat akan meninggalkan Peterpan dan juga Neverland.

"Kau ... menyimpannya?" ucapnya pelan. "Tentu saja, ini benda paling berharga yang pernah kumiliki. Apa sekarang kau percaya padaku?"

Wendy tersenyum menatap Peterpan dengan mata berbinar, jantugnya berdegup. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan sahabat lamanya itu. Wendy berjalan mendekat ke arah Peterpan, menatap raga yang kini jauh berbeda dari pertemuan terakhir mereka bertahun-tahun yang lalu.

"Lama tak berjumpa ... Wendy."[]


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top