Between Love and Crime (Two)
Daniel berdiri di depan rumah yang didiami Radit dan Gabriel tersebut. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling. Perumahan itu tampak sepi. Tiada aktivitas yang nampak dari para warganya walaupun ini siang hari. Ya, memang beginilah keadaan hidup di kota metropolitan. Semua warganya tenggelam dalam kesibukan sendiri-sendiri sehingga tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan warga yang lain. Setelah menarik napas sejenak, Daniel pun memasuki rumah itu.
Keadaan di rumah itu begitu gelap. Walaupun mentari bersinar begitu terangnya, rumah ini tertutupi oleh bayangan rumah lain yang lebih besar. Daniel menyalakan lampu yang langsung membuat ruangan itu lebih terang.
Cowok itu melangkah menaiki tangga menuju kamar sahabat adiknya itu. Dahinya sedikit berkerut ketika melihat kondisi kamar yang super berantakan. Ia kembali mengedarkan pandangan. Didekatinya seprai kasur yang dilumuri darah tersebut. Kemudian pandangannya tertumbuk ke arah foto yang terpajang di dinding kamar. Itu foto Gabriel dan Radit. Radit sedang memeluk Gabriel dari belakang dan mencium pipinya, sementara cewek itu tersenyum lebar penuh kebahagiaan. Suasana penuh cinta tergambar dengan jelas di foto tersebut. Raut wajah Daniel berubah miris ketika pandangannya kembali terarah ke seprai yang penuh darah itu. Bagaimana sesuatu yang awalnya baik-baik saja bisa berubah menjadi seperti ini?
Hei, belum tentu Radit pelakunya. Just follow the evidence and prove it, Danny Dirgantara, ia berpikir.
Daniel—lagi-lagi—menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, tapi kali ini bertujuan untuk mencari sesuatu. Karena merasa tidak ada yang bisa dicap sebagai barang bukti, ia pun membuka connecting door yang langsung terhubung dengan kamar sebelahnya, yaitu kamar Radit.
Suasana di kamar yang ditempati oleh salah satu Klan Dewantara itu tertata rapi. Tidak seperti tipikal kamar laki-laki yang—katanya—berantakan. Seprai terlihat mulus, selimut terlipat dengan rapi. Hanya ada setumpuk cucian di sudut ruangan. Daniel mendekati tumpukan tersebut, lalu memilah-milahnya. Siapa tahu Radit meninggalkan baju yang dikenakannya saat pembunuhan terjadi. Kalau benar begitu, mungkin kasusnya akan selesai sedikit lebih cepat. Tapi harapan hanya tinggal harapan.
Daniel berdecak kesal. Seharusnya setelah menyelesaikan tugasnya menyelidiki dugaan perselingkuhan isteri pejabat itu ia bisa beristirahat minimal beberapa hari. Tetapi gara-gara tante-tante sialan itu... ah, tidak apa-apalah. Toh dia dibayar.
Tiba-tiba sudut matanya menangkap bayangan sebuah buku bersampul cokelat di lantai kamar Radit. Daniel pun membuka buku itu dan di dalamnya tertera deretan angka-angka yang hanya sang empunya yang mengerti artinya.
“ Hmm... another mystery to solve,” gumamnya. Cowok itu memasukkan buku tersebut ke dalam tas yang dibawanya sebelum melanjutkan kembali investigasinya.
***
Daniel mengacak-acak rambutnya frustasi. Sudah lebih dari satu jam ia berusaha mengotak-atik buku tersebut, namun tidak ada hasil. Akhirnya ia menelepon Rey, sahabatnya yang sudah sangat berpengalaman dalam menyelesaikan kasus semacam ini. Rey bersedia membantunya. Ia berjanji akan datang pukul 15.40, tetapi sampai pukul 16.40 ia belum juga datang. Hal itu membuat Daniel tambah frustasi.
“ Sabar, Dan. Macet kali,” Kiara yang baru pulang dari kafè tempatnya bekerja berusaha menenangkan kakaknya.
“ Gue udah kagak bisa sabar, Ki! Gue gak akan bisa tenang kalo nih misteri belum bisa terpecahkan. Bisa meledak kepala gue!” seru Daniel.
“ Ya tapi tenang dulu, lah, Dan... gue yakin lo bisa mecahin nih misteri,” Kiara menepuk-nepuk bahu kakaknya. Ya, memang itulah sifat Daniel. Ia tidak akan bisa tenang jika ia tidak bisa mengerjakan tugas yang seharusnya ia kerjakan. Satu-satunya cara membuat cowok itu sedikit lebih tenang adalah menepuk-nepuk bahunya atau membelai-belai rambutnya, persis dengan apa yang dilakukan oleh mendiang ibunya dulu. Tepat saat Daniel mulai tenang, Rey pun datang dengan cengiran lebarnya.
“ Heh, kunyuk! Kemana aja lo, hah?” semprot Daniel langsung. Cengiran Rey makin lebar.
“ Sorry, bro. Macet banget. You know lah, ini Jakarta,” jelas Rey. Kemudian ia beralih ke Kiara dan menyerahkan sebotol besar coca-cola yang dibelinya di minimarket. “ Nih, Ki. Buat ngeredain amarah kakak lo ini...” ujarnya sambil mengerlingkan sebelah mata. Wajah Kiara langsung memerah. Maklum, ia sudah cukup lama naksir sahabat kakaknya ini.
“ Woi, kampret! Jangan ngecengin adik gue mulu! Bantuin gue sini, cepet!” omel Daniel lagi. Rey pun mengambil inisiatif untuk segera membantu Daniel sebelum sahabatnya itu menjadi cerewet melebihi nenek-nenek.
“ Oke, apa yang bisa gue bantu?” tanya Rey setelah pantatnya menempel di sofa. Daniel menyerahkan buku bersampul cokelat tersebut.
“ Gue kagak ngerti harus gimana lagi,” keluh Daniel. Rey mengamati deretan angka-angka yang tertera di buku itu.
“ Dan, gue boleh minta pulpen sama buku atau kertas gak?” tanyanya langsung.
“ Ki, ambilin pulpen sama kertas gih!” perintah Daniel kepada Kiara yang sedang berada di dapur.
“ Iya, sebentar!” sahut Kiara. Tak berapa lama, gadis itu muncul dengan pulpen dan kertas di tangan kiri serta sebuah baki berisi dua gelas besar coca-cola dan dua piring nasi goreng.
“ Nih,” Kiara meletakkan semua bawaannya di depan Daniel dan Rey.
“ Thanks, Ki,” ujar Daniel dan Rey bersamaan. Kiara mengangguk, lalu pergi entah kemana.
Dengan cepat Rey meraih kertas dan pulpen tersebut. Ia menuliskan sederet angka, ditambah dengan huruf di bawahnya. Misalkan 1=A, 2=B, dan seterusnya.
“ Buat apa sih, Rey? Lo nggak hafal alfabet sama angka?” tanya Daniel blo’on.
“ Asem lo. Diem dulu, ah, lagi konsen ini.” Rey bergumam pelan.
“ Apaan sih, Rey? Kasih tahu gue ngapa,” Daniel tidak bisa menahan kekepoannya lebih lama lagi.
“ Gue bilang diem.” Rey menegaskan. Daniel pun terpaksa menahan penyakit keponya yang sudah amat sangat akut tersebut. Jika tidak, Rey pasti ngambek dan tidak mau membantunya lagi.
“ Jadi gini cara kerjanya, Dan,” cowok berusia 25 tahun yang ditaksir Kiara itu menjelaskan kepada Daniel, “ ini kan ada angka-angka. Tadi gue udah urutin mulai angka 1-26 sama huruf A-Z. Nah, kalau 1 itu berarti A. 2 berarti B. Jadi lo tinggal nulis huruf yang sesuai dengan angka yang tertera di buku itu.”
“ Hah? Maksudnya?” Daniel tidak mengerti.
Rey berdecak. Kesal karena temannya ini tak kunjung mengerti. “ Duh, Dan. Masa’ lo kagak ngerti sih? Begini, lho. Di sini kan ada tulisan ’18 1 4 9 20 25 1’, kalo menurut angkanya kan 18=R, 1=A, 4=D, 9=I, 20=T, 25=Y, 1=A. Jadinya ‘Raditya’.”
Mata Daniel berbinar. “ Oh, oke. Gue paham sekarang.”
Rey menghembuskan napas lega. “ Baguslah, Dan. Kalo lo gak ngerti juga, gue udah rencana buat nyiram lo pake coca-cola, nih.”
“ Hehehe.”
Selanjutnya Daniel meneruskan pekerjaan Rey, sampai akhirnya tersusun kalimat seperti ini.
Hari ini gue udah berhasil menjalankan rencana yang udah gue pendem selama dua minggu ini. Tahu rencana apa itu? Gue bakalan menyingkirkan Gabriel, si cewek sialan itu dari hidup gue. Dia yang udah ngerusak hubungan gue sama Rossa gara-gara insiden itu. Dia udah ngerusak semua hal yang udah gue bangun dari awal bersama Rossa.
Sebenarnya gue khawatir juga waktu menjalankan rencana gue itu. Gue khawatir dia hamil. Sebulan ini, baik gue maupun dia nggak pernah nyinggung soal insiden itu atau kemungkinan dia hamil. Kalau dia hamil, otomatis gue juga bakal ngebunuh janin yang ada di dalam rahimnya. Anak gue sendiri. Bagaimanapun, janin itu nggak bersalah apa-apa.
Semoga aja dia nggak hamil...
Raditya Dewantara
“ Gile, sadis bener...” Rey yang sebelumnya berniat untuk menenggak coca-colanya jadi urung setelah membaca tulisan tersebut. “ Nih bocah greget banget ya...”
“ Berarti ini udah direncanakan,” dengan cepat Daniel mengambil keputusan.
“ Tapi bisa jadi yang nulis orang lain, kan?” Rey melontarkan satu kemungkinan dengan tak kalah cepat.
“ Kalo gitu, berarti gue kudu bisa nyari sesuatu yang bisa mengonfirmasi bahwa itu tulisan Radit...” gumam Daniel.
“ Nghag adha apha-apha shlahin hini?” tanya Rey dengan mulut penuh nasi goreng.
“ Buset, Rey. Dikunyah dulu ngapa,” nasihat Daniel bijak.
Rey pun dengan patuh menuruti nasihat Daniel, “ maksud gue, nggak ada apa-apa selain ini?”
Daniel menggeleng. “ Kagak. Gue cuma nemu ini. Yang lainnya dibawa sama dia.”
“ Raditya Dewantara itu pengusaha properti, kan?” Rey kembali bertanya.
“ Iya,” Daniel mengangguk.
“ Kalo menurut gue gini aja, Dan. Lo nyamar jadi OB aja, terus pura-pura ngebersihin kantornya si Radit. Gimana? Gue yakin itu bukan hal yang susah bagi seorang Daniel Dirgantara, kan?”
“ Itu rencana gue.”
“ Bagus. Jadi ini udah fix, ya.”
“ Sip.”
Selanjutnya, kedua sahabat itu memakan nasi goreng sembari bercanda.
***
Pukul 19.00.
Tante Diana mondar-mandir di depan kamar tempat Gabriel dirawat. Wajahnya tampak gelisah. Tante Renata berulangkali menyuruh beliau duduk agar lebih tenang, namun beliau tidak mau. Sampai akhirnya seseorang datang mendekatinya.
“ Ma,” sapa orang itu.
Raut wajah Tante Diana berubah agak cerah. “ Ditya! Duh, mama nungguin kamu dari tadi, nih.”
“ Hehehe...” cowok yang dipanggil Ditya itu terkekeh. Dia adalah Arditya Dewantara, adik kembar Raditya Dewantara. Sejak kemarin ia memang ditugaskan mamanya untuk mencari keberadaan kakak kembarnya itu.
“ Gimana? Radit udah ketemu?” tanya Tante Diana sembari berharap-harap cemas.
“ Ng...” Ditya, dengan raut wajah tak enak menggeleng pelan. “ Pak Tarjo bilang beliau nggak bisa menemukan Radit di mana-mana, ma.” Pak Tarjo adalah sopir pribadi keluarga Dewantara.
Dahi Tante Diana berkerut. “ Kok kamu nyuruh Pak Tarjo, sih? Kan mama nyuruh kamu!” seru beliau jengkel.
“ Mamaku yang cantik, maaf nih ya, tapi papa nyuruh Ditya buat bantuin di kantor. Radit pinter banget ma. Dia ninggalin kantor dalam keadaan semburat. Banyak meeting yang harus dihadiri, dokumen yang harus diperiksa... perfect timing banget kan, ma?” cowok itu berusaha menjabarkan alasannya.
“ Alasan aja kamu,” gerutu Tante Diana. “ Lha terus gimana ceritanya Pak Tarjo nggak bisa nemuin Radit?”
“ Wah, Ditya nggak tahu, ma. Pokoknya Ditya udah bikin daftar tempat-tempat yang biasa Radit kunjungi. Bahkan Ditya udah bikin top ten list-nya, lho, ma,” jawab Ditya kalem.
Tante Diana menatap anaknya jengkel. Wanita berusia hampir setengah abad tersebut heran bagaimana bisa anaknya yang memang agak sableng itu tidak bisa serius dalam keadaan genting seperti ini. “ Kamu pikir ini apa pake bikin top ten list segala? Serius dikit dong, Ditya!”
“ Duh, mama santai dikit, dong. Jangan tegang begitu, ma. Ya, nggak, Tante Renata?” Ditya mencari dukungan.
Tante Renata tersenyum. “ Betul banget. Jangan terlalu tegang begitu, Di. Aku yakin cepat atau lambat Radit akan ditemukan dan kita akan mendapat penjelasan tentang semua ini.” Kata beliau tenang.
Tante Diana terduduk di bangku sebelah Tante Renata. Beliau menarik napas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca. Tante Renata pun membelai-belai punggungnya dengan halus. Sementara Ditya mengambil keputusan untuk melihat keadaan Gabriel.
Gadis itu menoleh ke arah Ditya ketika pria itu berhenti tepat di ambang pintu kamar. Tatapannya datar, tanpa ekspresi. Ditya grogi dibuatnya.
“ H... hai,” sapanya gagap. Gabriel tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
Ditya miris melihat keadaan cewek itu. Kepalanya diperban. Tangan kanannya serta kaki kirinya digips. Belum lagi memar-memar di sekujur tubuhnya. Kata dokter, ia mengalami sejumlah luka dalam walaupun tidak terlalu parah serta gegar otak tingkat sedang akibat benturan yang cukup keras di kepalanya. Ditya masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Dokter Febrian kemarin.
“ Ia mengalami pendarahan. Untung saja janinnya kuat, jadi masih bisa bertahan. Tetapi masih diperlukan pemantauan khusus untuk kondisi janinnya. Kami akan berusaha sekuat tenaga agar Nona Gabriel dan janinnya bisa diselamatkan.”
Kurang ajar lo, Raditya Dewantara, geram batin Ditya. Lo hampir ngebunuh anak lo sendiri, goblok! Anak yang nggak berdosa! Dan lo juga hampir ngebunuh ibunya, bangsat!
Ditya menarik napas panjang. Semoga tuh bajingan cepat ditemukan, batinnya lagi.
***
Pukul 09.00.
Daniel memarkirkan mobil inventaris kantornya di depan ‘Dewantara Property Company’, perusahaan properti milik keluarga Dewantara. Ia merapikan setelan jas yang dipakainya lalu turun dan memasuki gedung besar tersebut.
“ Selamat pagi, bapak,” sapa seorang agen properti wanita kepada Daniel. “ Silahkan, mau cari rumah tipe berapa?”
“ Saya lihat-lihat dulu, mbak,” sahutnya sambil tersenyum. Agen properti tersebut mengangguk, lalu pergi menjauh dari Daniel. Cowok itu sedang serius mengamati maket bangunan rumah tipe 90.
Kayaknya bagus nih kalo gue beli nih rumah, pikir cowok itu. Bosen juga di apartemen mulu. Kiara pasti setuju.
Daniel pun melirik harganya di brosur. Seketika matanya mendelik ketika melihatnya.
Bujug! 600 juta? Bisa kagak makan enam bulan gue, rutuknya.
Ia pun langsung mengalihkan fokusnya ke hal lain. Matanya menangkap bayangan seorang office boy yang baru saja akan memasuki lift. Langsung saja Daniel mengejarnya. Tepat ketika pintu lift akan tertutup, cowok itu menahannya dengan kedua lengannya yang kekar.
“ Eh, mas, mau ngapain?” tanya si office boy.
“ Naik lift,” jawab Daniel.
“ Mas lebih baik jangan naik lift yang ini. Soalnya lift ini sering berhenti sendiri. Serem, mas,” saran si office boy.
“ Lha abang ngapain naik lift ini kalo sering rusak?” Daniel bertanya bingung.
“ Pak Radit yang nyuruh, mas. Katanya nggak sopan kalo para office boy naik di lift yang sama dengan klien,” jelas office boy tersebut dengan wajah memelas.
Wah, jelas diskriminasi, nih. Office boy juga manusia. “ Nggak apa-apa, deh. Lagian saya naik lift ini juga karena ada perlu sama abang.”
Wajah si office boy berubah bingung, “ mau ngapain sama saya, mas?”
Daniel tersenyum misterius. Ia membiarkan pintu lift tertutup sebelum melanjutkan perkataannya. “ Jadi begini, bang. Saya mau minjem seragam abang.”
Si office boy langsung kaget. “ Hah? Buat apa, mas?”
“ Ada deh. Pokoknya penting.”
“ Nggak bisa, mas!” tolak si office boy keras.
“ Lho, kenapa?” Daniel mengerutkan dahi.
“ Waduh, pokoknya nggak bisa, mas,” ujar si office boy.
Daniel melengos. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus ribu. “ Kalo begini, bang?”
Tatapan si office boy berubah ragu. “ Kurang nih, mas.”
Daniel memutar bola matanya. Dasar kunyuk! “ Dua ratus ribu deh, bang.” Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu lagi. Si office boy mengangguk senang.
“ Boleh.” Tanpa ba-bi-bu office boy itu langsung melepas bajunya di hadapan Daniel, membuat cowok itu mendelik.
Buset! Masih mending kalo badannya sixpack, lha ini? Kagak ada bedanya sama papan cucian!
“ Nih, mas. Nanti taruh di ruang OB aja, ya.” Si office boy menyerahkan pakaiannya kepada Daniel. Sekarang ia hanya memakai kaus dalam—atau bisa disebut kaus kutang—serta boxer hitam.
Daniel tersenyum jijik. “ Makasih ya, bang.”
Ting!
Pintu lift terbuka. Si office boy keluar sambil menenteng peralatan mengepel yang dibawanya tadi. Daniel pun buru-buru ngibrit ke kamar mandi.
***
Setelah lima menit berganti baju, Daniel keluar dari kamar mandi dengan pakaian barunya: seragam office boy.
Sebenarnya seragam itu agak kekecilan. Satu kancing bawahnya tidak bisa dikancingkan, sehingga perutnya yang sixpack sedikit terekspos. Begitu juga dengan kedua lengan kekarnya, membuat beberapa pekerja wanita di sana terpesona. Daniel hanya bisa nyengir pasrah ketika salah seorang diantara mereka terang-terangan menggodanya.
Daniel kembali masuk lift. Ia ingin menuju ke lantai empat, lantai di mana kantor Radit berada. Sialnya, ketika ia akan membuka pintu ruangan, pintu itu terkunci. Ia sudah mempersiapkan pick lock set yang disimpannya di saku celana ketika ia mendengar suara tawa melengking di belakangnya.
“ Hihihihihihi...”
“ WAAAA!!!” sontak Daniel berteriak kaget. Ia pun bersiap memukul seseorang yang berada di belakangnya. Namun, ketika mengetahui bahwa suara tawa itu hanya berasal dari seorang manusia—wanita, tepatnya—biasa, Daniel pun menurunkan kepalan tangannya.
“ Maaf, mas. Kaget ya?” tanya seorang wanita yang mengenakan blazer warna merah dipadu dengan rok hitam pendek berlipit-lipit yang panjangnya selutut. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
“ Ah, nggak kok, mbak. Cuma hampir mati kena serangan jantung aja,” jawab Daniel sarkastis. Bukannya merasa bersalah, wanita itu malah tersenyum lebih lebar lagi.
“ OB baru, ya? Mau ngapain di ruangannya Pak Radit, mas?” wanita itu kembali bertanya.
“ Iya, saya OB baru. Ng... saya disuruh untuk membersihkan ruangan Pak Radit,” Daniel menjawab dengan agak gugup.
“ Oh, ya? Disuruh sama siapa?” wanita itu bertanya lagi.
“ Sama Pak Ditya.” Daniel mencatut nama saudara kembar Radit itu.
“ Ooh...” wanita itu ber-oh ria. “ Mmm, sayang banget, ruangannya dikunci. Harus minta kunci ke Pak Kuntoro, salah satu OB di sini,” lanjutnya dengan genit.
“ Oh, oke. Saya mau minta kunci dulu,” Daniel mulai beranjak, namun wanita itu telah mencekal tangannya terlebih dahulu.
“ Eits, mau kemana?” wanita itu menatap Daniel dengan tatapan lapar. “ Aku punya kunci cadangannya lho...”
Daniel menelan ludah, tak menyangka wanita yang tadi diduganya sebagai kuntilanak—walaupun rasanya tak mungkin, mengingat ini masih pagi—ini genit dan liar juga.
“ Eh... nggak deh, mbak. Mendingan saya minta ke Pak Kuntoro aja,” Daniel tetap tidak bisa pergi karena wanita tersebut telah merapatkannya ke pintu. Dengan gerakan cepat dan lihai ia membuka pintu, lalu mendorong Daniel ke dalam ruangan.
“ Kamu ganteng banget sih... tahu, nggak? Cewek-cewek di sini pada ngomongin kamu...”
Sebenarnya Daniel ingin langsung menendang perut cewek ini, menyambar setumpuk dokumen yang terletak di meja, lalu lari sekencang-kencangnya. No! Dia cewek... mending kalo cowok... hah? Cowok? Lebih amit-amit lagi!
“ Eh... mbak... saya disuruh sama Pak Ditya buat ngebersihin ruangan ini secepat mungkin...” kata Daniel, berusaha mengusir cewek ini.
“ Duh, kamu ini! Pak Ditya lagi ada meeting di luar, jadi kamu nggak perlu takut...”
“ Tapi mbak...”
“ Stella!” terdengar teriakan seorang wanita dari luar, “ ih, di mana sih tuh anak? Stella!”
Wanita ber-blazer merah yang ternyata bernama Stella itu berdecak kesal. “ Iya, sebentar!” ia menyahut dengan setengah hati. “ See you later, sexy. Lain kali kita lanjutin lagi, ya,” ia mengedipkan sebelah mata kepada Daniel, lalu bertolak keluar ruangan. Daniel menghembuskan napas lega. Dia belum pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang wanita di sepanjang hidupnya, jadi tentu saja ia masih polos.
Dengan cepat Daniel melangkah menuju meja kerja Radit. Diambilnya setumpuk dokumen yang tergeletak di meja tersebut. Setelah mengamatinya beberapa saat, ia mengambil sejumlah dokumen yang ditulis tangan oleh Radit. Setelah itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut.
***
Tulisan tangan di dokumen dengan tulisan tangan di jurnal ternyata cocok. Hal tersebut mengkonfirmasi bahwa Radit-lah pelakunya. Dan sekarang Daniel tengah berada di halaman depan rumah milik Arditya Dewantara. Ia menekan bel yang berada di sebelah pintu rumah tipe 150 tersebut. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya berpakaian ala pembantu membukakan pintu rumah.
“ Ya, pak, bapak cari siapa?” tanya wanita tersebut dengan sopan dan ramah.
“ Daniel Dirgantara dari BEPIA,” Daniel menunjukkan tanda pengenalnya, “ saya mau cari Pak Arditya. Apa dia ada?”
“ Ya, tuan sedang di dalam. Silahkan masuk,” wanita tersebut memimpin langkah Daniel menuju ruang tamu. Setelah mempersilahkan Daniel duduk, wanita tersebut memanggil majikannya. Beberapa detik kemudian Ditya muncul dari kamarnya.
“ Ada perlu apa datang kemari?” tanya Ditya sopan. Ia memerintahkan Bi Imah—pembantunya—untuk membuatkan Daniel teh yang ditolak cowok itu dengan halus.
“ Nggak perlu repot-repot. Saya cuma sebentar, kok,” kata Daniel. “ Ada pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada Anda, Pak Ditya.”
“ Panggil Ditya aja. Kayaknya usia kita nggak beda jauh.”
“ Okelah kalau begitu.”
“ Nah, sekarang apa yang akan Anda tanyakan?”
“ Bisakah Anda memberitahu saya tempat apa saja yang biasa Pak Radit kunjungi?” Daniel bertanya tanpa basa-basi.
“ Banyak, sih, tapi ada beberapa tempat yang paling sering dikunjungi olehnya,” jawab Ditya.
“ Apa saja?”
“ Mmm...” Ditya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, berpikir keras. Ia berusaha mengingat isi top ten list yang kemarin dibuatnya. “ Marguerita Bar, Pub Clover, Family Disco, Spearmint Club... mmm... apa lagi, ya?” Ditya kembali berpikir keras. “ Ah! Begini saja.” Cowok itu merogoh sakunya, lalu mengeluarkan selembar kertas yang telah kusut. “ Ini top ten list-nya.”
Sebetulnya Daniel ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Top ten list? Kayak chart lagu aja. “ Lalu, bagaimana ciri-ciri mobil yang dikendarai Pak Radit?”
“ Pajero dengan warna putih. Ada sedikit goresan di bagian belakangnya.”
“ Nomor plat?”
“ Emm...” Ditya kembali berpikir, “ B 786 AL.”
Daniel mengeluarkan notes dan pulpen untuk mencatat nomor plat mobil milik Radit. Mendadak ia teringat sesuatu.
“ Oh ya, apa Anda tahu seorang wanita yang bernama Rossa?” todongnya langsung.
“ Rossa? Banyak. Dulu ada mantan pacar saya namanya Rossa. Terus sekretaris saya yang bohay itu namanya juga Rossa. Dan cewek yang biasanya saya temui di bar namanya juga Rossa. Memangnya kenapa?”
Dahi Daniel berkerut. Nih anak playboy abis deh... “ Bukan. Saya rasa bukan salah satu dari mereka. Pak Radit menyebutkan nama ‘Rossa’ di jurnalnya. Apakah Anda tahu Rossa yang dimaksud?”
“ Oh, bilang dong,” kata Ditya, “ ya, Radit punya pacar, namanya Rossa.”
“ Sudah berapa lama mereka berhubungan?” Daniel berusaha mengorek informasi lebih dari kembaran Radit ini.
“ Mmm... sudah cukup lama. Sejak mereka berdua masih berumur tujuh belas tahun,” jawab Ditya.
“ Apakah Anda memiliki foto Rossa?”
“ Ada, kok. Tunggu sebentar, ya.”
Ditya bangkit dari sofa, lalu berjalan ke arah bufet hitam yang terletak di sudut ruang tamu. Ia membuka laci paling atas lalu mulai mengobok-obok isinya. Semenit kemudian ia berhasil menemukan benda yang dicarinya. Ia menyerahkan foto tersebut kepada Daniel.
“ Yang di tengah itu Rossa,” Ditya menjelaskan. “ Foto itu diambil saat dia berulangtahun yang ketujuh belas. Saat itu juga, Radit yang memang telah menyimpan perasaan padanya sejak umur empat belas tahun langsung menyatakan perasaannya dan langsung diterima Rossa. Yah, bisa dibilang ini tanda kalau mereka jadian.”
Daniel mengamati foto tersebut dengan seksama. Di foto itu, sekumpulan anak-anak remaja bergerombol, sementara di depan mereka ada Rossa dan teman perempuannya di sebelah kanan, sementara Ditya dan Radit di sebelah kiri. Posisi Radit dan Rossa bersebelahan. Mereka bergandengan tangan dengan wajah malu-malu, sementara yang lainnya tertawa bahagia.
“ Eh, kenapa diliatin terus? Bagus, ya?” celetuk Ditya membuyarkan konsentrasi Daniel.
Daf*q nih anak! Bikin konsentrasi buyar aja! Gerutu Daniel di dalam hatinya. “ Boleh saya bawa dulu fotonya?”
Ditya mengangguk. “ Duh, emang bagus banget ya, sampai lo kepingin bawa tuh foto? Udah, ambil aja. Gue sama Radit masih punya banyak kopiannya, kok.” Cetusnya.
Daniel tersenyum tipis. “ Nggak. Pasti gue balikin,” karena Ditya mulai menggunakan bahasa gaul, maka Daniel pun mengikutinya. Ngapain juga nyimpen fotonya orang? Foto keluarga aja gue cuma ada satu, pikirnya.
Ia berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan ke arah Ditya yang langsung dijabat oleh cowok itu. “ Terimakasih atas bantuannya.”
“ Sama-sama. Gue harap lo bisa cepet nemuin kakak gue yang bajingan itu.”
Daniel sedikit meringis mendengar ucapan Ditya yang agak kasar tersebut. “ Gue berusaha.”
***
Daniel memutuskan untuk memulai pencariannya pada pukul 19.00. Biasanya anak-anak muda mulai bersenang-senang ke pub-pub yang tersebar di seantero Jakarta ini. Setelah mempersiapkan pakaian ala anak muda yang gemar dugem, daftar yang diberikan Ditya, sertasmartphone-nya, ia pun siap berangkat.
“ Ki, gue berangkat dulu,” pamitnya kepada adik satu-satunya itu.
“ Iya, Dan. Hati-hati, ya. Jangan sampai kecantol sama cewek-cewek doyan dugem di sana,” pesan Kiara.
“ Nggak bakalan. Gue janji,” Daniel mengecup dahi Kiara sekilas. “ Dah, gue berangkat.”
“ Iya. Jangan ngebut. Gue gak mau kalo lo masuk rumah sakit. Gue pengen lo pulang dalam keadaan selamat,” nasihat Kiara. Hal ini telah menjadi kebiasaannya kala Daniel sedang bersiap menghadapi misi yang sedikit ekstrem—menurutnya.
“ Sip.”
Daniel berjalan menuju basement. Ia memasuki mobil inventaris kantornya dan pergi.
***
Ternyata letak tempat foya-foya itu saling berjauhan. Belum lagi macetnya. Daniel sedikit menyesal mengapa tadi ia tidak membawa MegaPro-nya saja. Setidaknya ia masih bisa menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalan ini.
Ia telah mengunjungi Marguerita Bar, Pub Clover, dan Family Disco, namun ia tidak mendapati keberadaan seorang Raditya Dewantara di sana. Sekarang ia sedang dalam perjalanan menuju tempat ke-4 menurut top ten list yang diberikan Ditya, yaitu Spearmint Club.
Lagi-lagi perjalanan cowok berusia 24 tahun ini terhenti. Kali ini diakibatkan oleh lampu merah. Tak henti-hentinya ia merutuk sambil sesekali menghantam dashboard dengan kepalan tangannya. Namun segala sumpah serapah yang awalnya mengalir bagai air dari bibirnya terhenti seketika saat matanya menangkap bayangan sesuatu.
Sebuah Pajero putih dengan sedikit goresan di bagian belakangnya serta plat bernomor B 786 AL berada tepat di samping kanan agak maju dari mobilnya. Ya, itu mobil milik Radit.
Suara klakson dari belakang membuat Daniel kembali tersadar. Ternyata traffic light sudah berubah menjadi hijau dan mobil Radit telah melaju dengan kecepatan tinggi. Buru-buru Daniel menginjak pedal mobilnya dalam-dalam, berusaha menyusul mobil Pajero putih itu.
“ I’ll catch you, Raditya Dewantara...” ia bergumam pelan sambil tetap memacu mobilnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top