Between Love and Crime (Three)
Ternyata menyusul mobil yang dikemudikan oleh Radit bukanlah sebuah hal yang mudah. Di antara macetnya Kota Metropolitan Jakarta, ia masih bisa selip sana selip sini. Sementara Daniel kelabakan karena ia harus mengikuti Pajero tersebut. Berulangkali ia mendapat makian dari sesama pengemudi lain karena ulahnya yang ugal-ugalan. Sebodo amat, pokoknya gue bisa nangkep tuh orang! Batin Daniel.
Setelah satu jam mengemudikan mobil secara ugal-ugalan dan ngebut bak film ‘Fast and Furious’, akhirnya Daniel berhenti di sebuah tempat bernama Bloody Mary Bar. Dari Pajero putih tersebut keluarlah sesosok lelaki bertubuh jangkung memakai kemeja merah dengan celana jeans. Ia memasuki bar tersebut. Setelah memastikan lelaki itu benar-benar tidak tahu bahwa ia diikuti, Daniel turun dari mobilnya. Ia pun ikut memasuki bar itu.
Suasana di dalam bar begitu ramai. Banyak sekali anak-anak remaja yang sedang bersenang-senang di sana. Cowok itu bergidik ketika melihat seorang pria paruh baya yang dikerumuni cewek-cewek yang tentu saja masih sangat muda dan seksi. Lalu ada juga sepasang anak muda yang tidak malu memamerkan kemesraan mereka yang melenceng jauh dari batas kewajaran. Daniel sangat bersyukur, meskipun tanpa peng-handle-an orang tua, ia berhasil menjaga dirinya dan adiknya dari pergaulan semacam ini.
Daniel duduk di salah satu kursi di depan meja pantry. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru bar. Didapatinya Radit sedang duduk di sofa merah yang terletak di sudut ruangan, hanya berjarak dua bangku darinya bersama wanita yang Daniel yakini adalah Rossa. Wanita itu memakai baju yang serba terbuka sehingga memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya yang menggoda. Rambutnya yang berombak di cat merah tua. Daniel menajamkan telinganya, berusaha mendengar apa yang mereka bicarakan di tengah suara musik yang sangat keras.
Asyik-asyiknya mengamati Radit dan Rossa, Daniel dikejutkan oleh suara seorang wanita di telinganya.
“ Mau pesan apa, mas?”
Daniel menoleh dan tampaklah seorang cewek yang berdiri di belakang meja pantry. “ Air mineral aja deh, mbak.”
“ Kok cuma air putih?” cewek itu bertanya sembari tersenyum kecil.
“ Karena air mineral itu melambangkan kemurnian, semurni kecantikanmu, mbak,” jawab Daniel dengan nada merayu. Ia memberikan bonus sebuah kerlingan mata kepada cewek bartender tersebut. Cewek itu tersenyum malu, kemudian pergi entah kemana.
Sebenarnya Daniel ingin mencoba minuman sejenis Margarita, Vodka, atau Bermuda Highball—hanya untuk bereksperimen saja. Tapi Daniel tahu betul bahwa minuman semacam itu merupakan candu. Dan kalau ia sampai ketagihan dan mabuk, sama saja ia mempertaruhkan pekerjaannya.
“ Ini, mas. Gratis, deh, buat mas.” Cewek bartender itu meletakkan segelas air putih di samping Daniel.
Daniel tersenyum penuh terima kasih. “ Thanks, mbak.”
Cewek itu balas tersenyum lalu melayani pelanggan yang lain. Daniel menyesap air putihnya sedikit, lalu kembali fokus ke pekerjaannya.
“ Kamu kemana aja, sayang? Dari tadi aku hubungin kamu,” terdengar suara manja Rossa.
“ Sorry, babe. Aku harus menghilang dulu. Ditya udah ngirim Pak Tarjo buat ngikutin aku,” Radit menjeaskan dengan suara frustasi. Rossa merebahkan kepalanya ke dada Radit.
“ Tapi seenggaknya kamu kasih tau aku dulu dong. Aku kan khawatir,” katanya lagi. Radit mengangguk. Kemudian ia menunduk dan mencium bibir Rossa. Segera mereka berdua tenggelam dalam nuansa kemesraan.
Buset. Ibu dari anaknya lagi di rumah sakit, eh dianya malah begini. Sableng deh. Daniel berpikir.
“ Gimana si Gabriel?” Daniel yang menangkap kata ‘Gabriel’ langsung makin menajamkan telinganya. Konsentrasi dan rasa was-wasnya meningkat dua kali lipat.
“ Kemarin aku liat kondisinya di rumah sakit. Lumayan parah, sih. Aku malah berharap dia mati,” jawab Radit.
“ Hah? Jadi kemarin kamu ke rumah sakit? Ketemu Ditya?” Rossa kembali bertanya. Goblok banget nih cewek! Ya nggak lah! Maki Daniel mendengar perkataan Rossa.
“ Ya nggak lah. Ditya nggak bakalan ngebiarin aku keluar dari rumah sakit hidup-hidup,” ujar Radit setengah kesal. Kemudian mereka berdua terdiam.
“ Eh, sayang, kamu sadar nggak?” Rossa kembali membuka pembicaraan.
“ Apa?”
“ Kayaknya orang tua kamu nggak nyuruh polisi buat nyariin kamu, deh...”
Radit melengos. “ Ya itu dia. Aku takut kalo mereka nyewa detektif swasta.”
Rossa menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tanpa disangka ia dan Daniel bertemu pandang. Ia melemparkan senyum manis yang dibalas sama manisnya oleh Daniel. Hal itu langsung memancing sikap posesif Radit.
“ Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?” tanyanya.
“ Nggak, nggak ada apa-apa, kok,” Rossa berkilah. Radit memberikan tatapan jangan-coba-coba-deketin-cewek-gue ke arah Daniel. Daniel membalasnya dengan tatapan datar serta wajah tak bersalah.
Radit berdiri dan dengan kasar menarik tangan Rossa. “ Kita pergi.”
“ Ke... kemana?” wajah Rossa menunjukkan ekspresi takut.
“ Udah, pokoknya kita ikut!” paksa Radit.
Melihat gelagat yang tidak beres, Daniel bertambah was-was, tetapi ia sadar ia tidak boleh gegabah. Setelah Radit dan Rossa keluar dari bar, barulah ia menyusul sepasang kekasih itu.
Suasana di luar bar cukup sepi, hanya ada satu-dua orang pengunjung yang datang. Daniel meningkatkan tingkat kewaspadaannya. Cowok itu mengepalkan tangannya kuat-kuat sebagai persiapan jika ada orang yang tiba-tiba memukulnya dari belakang. Namun tiba-tiba...
DUAGH!!!
Daniel merasakan punggungnya nyeri akibat pukulan yang cukup keras. Ia terjerembab ke jalan. Kemudian ia mendengar suara derap kaki yang semakin lama semakin menjauh. Ia berusaha menoleh ke belakang dan mendapati sosok seorang lelaki dengan kemeja merah dan celanajeans: Radit!
“ Shit!” umpatnya. Dengan cepat ia berdiri, mengabaikan rasa sakit di punggungnya, dan mengejar sosok Radit.
Sialnya, Radit telah berada di dalam mobilnya. Pajero tersebut meluncur tepat di depan Daniel. Spontan cowok itu berlari ke arah mobilnya.
Acara kebut-kebutan pun dimulai lagi. Kali ini lebih seru. Beberapa kali mobil Radit maupun mobil Daniel hampir menabrak kendaraan lain yang berada di jalan raya. Dan kali ini, Daniel berhasil membuat bemper mobilnya tergores pembatas jalan. Soal dimarahi atasan itu nanti. Pokoknya gue kudu berhasil nangkep satu bajingan itu!
Namun secepat apapun Daniel, Radit masih lebih cepat. Jarak antara Pajero putih yang dikemudikan Radit dengan Alphard hitam yang dikemudikan Daniel semakin jauh. Ditambah lagi rasa sakit di punggungnya yang makin menjadi. Akhirnya Daniel pasrah. Ia mulai mengurangi kecepatannya sedikit, sehingga mobil Radit semakin jauh. Tetapi, walaupun begitu, Daniel tidak akan berhenti. Ia akan terus mencari Radit sampai ketemu.
***
Pukul 00.00.
Suasana di rumah milik keluarga Bella sunyi senyap. Semuanya telah terlelap dalam balutan bunga tidur yang indah, termasuk Bella. Gadis itu sedang bermimpi berkencan dengan artis idolanya ketika suara dering telepon yang mengganggu memaksanya bangun.
“ Aduh, siapa sih nelpon malam-malam begini?” gerutunya pelan. Dengan setengah hati ia melangkah meraih ponselnya yang terletak di nakas samping tempat tidurnya.
“ Halo?” sapanya setelah ia mengangkat telepon.
“ Denger, ya. Cepetan bawa uang dua puluh juta ke gedung di sebelah Pabrik Rokok X kalo lo mau sahabat lo, Diandra selamat.” Dengan cepat suara seorang pria menyahut. Bella kaget dibuatnya.
“ Hah? Lo siapa?” tanya Bella.
“ Itu nggak penting. Yang penting, lo kudu ke tempat yang gue sebutin tadi dengan cepat. Kalo nggak, sahabat lo bakalan mati di tangan gue!”
“ Heh, lo siapa?!” kali ini Bella berteriak, namun sia-sia. Sambungan telah diputus. Buru-buru Bella melepas piamanya, menggantinya dengan baju yang biasa dipakainya untuk hangout, lalu menyambar tas kecilnya.
“ Bi! Bi Mei!” panggilnya kepada salah satu pembantunya. Sejurus kemudian wanita paruh baya yang dipanggil Bi Mei tersebut keluar dari kamarnya dengan tergopoh-gopoh.
“ Iya, ada apa, non?” tanya beliau sopan kepada anak majikannya itu.
“ Bi, kalo papa sama mama nyariin Bella, bilang Bella lagi di rumah Kiara ya! Ada perlu!” jelas Bella terburu-buru.
“ Ba... baik, non!” ujar Bi Mei. Setelah itu, Bella memakai sandalnya, lalu dengan satu gerakan cepat ia mengambil kunci mobil dan berlari menuju garasi.
***
Daniel masih tetap berusaha untuk mengejar mobil Radit ketika smartphone-nya yang ia letakkan di dashboard berdering. Ada panggilan masuk. Sebenarnya ia ingin mengabaikan panggilan tersebut, tapi ketika melihat nama Kiara terpampang di layar ia pun mengangkatnya.
“ Ya, Ki?” sahutnya sesaat setelah menekan tombol loudspeaker.
“ Danny! Lo di mana?” Kiara malah balik bertanya.
“ Gue lagi berusaha ngejar Radit nih. Kenapa?”
“ Cepetan pergi ke gedung sebelah Pabrik Rokok X!!!” Kiara berseru panik dari seberang.
“ Hah? Ngapain?” Daniel menangkap sebuah ketidakberesan dari perkataan Kiara.
“ Diandra, Dan... Diandra diculik!”
“ APA?!” entah mengapa secara otomatis Daniel berteriak.
“ DANNYYYYY!!! Jangan teriak ngapa, kuping gue sakit nih!” Kiara balas berteriak dengan kesal.
“ Oke, oke, maaf. Lo tau siapa yang nyulik dia?”
“ Nggak tau, tapi kata Bella itu Radit soalnya suaranya mirip,” jawab Kiara.
“ Hmm... oke, oke. Gue bakalan kesana. Lo di rumah aja, ya?”
“ Apa? Nggak, gue ikut kesana!” tolak Kiara tegas.
Daniel mulai kesal. “ Lo mau ngapain? Di sana bahaya, Ki! Gue nggak mau ambil resiko lo kenapa-napa!” ia sedikit membentak.
“ Nggak, Dan! Diandra itu sahabat gue! Jadi gue sama anak-anak nggak akan ngebiarin dia kenapa-napa!”
Daniel semakin terkejut. “ Anak-anak? Jadi lo bareng sama yang lain?”
“ Iya!”
“ Oh, shit man...” Daniel mengumpat pelan. “ Udah, kalian di rumah aja, ya. Oke? Gue nggak mau kalian kenapa-napa.”
“ NGGAK!” kembali terdengar penolakan Kiara, namun kali ini dibarengi dengan suara Bella, Alya, Callista, dan Karina. Daniel berdecak kesal. Nih cewek-cewek keras kepala amat sih, gerutunya.
“ Oke, lo semua boleh kesana.” Daniel menyerah. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa melawan kekeraskepalaan yang dimiliki adiknya itu. “ Hati-hati. Pelan-pelan aja. Usahakan jangan ada di sana kalo gue belum datang.”
“ Oke, Dan.” Sambungan pun ditutup. Daniel menghela napas frustasi.
***
Daniel sampai di gedung sebelah Pabrik Rokok X bebarengan dengan sebuah sedan hitam. Dari sedan tersebut keluarlah Pras. Mereka saling pandang selama beberapa saat.
“ Pras? Lo ngapain di sini?” Daniel bertanya.
“ Tadi waktu gue mau pulang, gue lihat mobilnya Radit. Akhirnya gue ikutin dia dan sampai ke sini,” Pras menjelaskan, “ lo sendiri?”
“ Adik gue bilang temennya diculik, terus dia bilang penculiknya Radit,” Daniel mengalihkan pandangannya ke arah gedung tersebut. Gedung itu sudah sangat tua dan terbengkalai. Cat putih di bagian luarnya tampak kusam. Gedung ini juga dikelilingi semak-semak yang rimbung serta pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suasana menyeramkan memenuhi atmosfer.
“ Tunggu apa lagi? Ayo kita masuk,” ajak Pras tampak tak sabar. Ia mulai melangkah tetapi Daniel menahannya.
“ Ntar dulu. Kita tunggu adik gue sama temen-temennya,” katanya pelan.
“ Hah? Cewek-cewek itu mau kesini?” Pras terkejut.
“ Hmm,” Daniel menjawab dengan gumaman. Ia membuka pintu mobilnya dan mengambil sebuah kotak hitam yang terletak di atas dashboard. Ia mengambil sebuah pistol dari dalam kotak lalu mengembalikan kotak itu ke tempatnya semula.
“ Gile...” desis Pras pelan. Daniel menoleh.
“ Kenapa? Keren ya?” tanyanya pede. “ Udah, gue tau kalo gue itu keren. Tapi lo nggak usah naksir gue juga kali.”
Mendengar itu, Pras menjadi kesal. “ Siakul! Lo pikir gue hombreng? Masih normal, bro, masih normal gue ini...” ia menekankan kata ‘normal’. Daniel tertawa kecil.
“ Weits, iya, iya. Gue tau. Nggak usah sewot gitu, bro...” ujarnya. Tepat setelah itu, sebuah mobil berwarna pink memasuki halaman depan gedung. Dari dalam keluarlah Bella, Alya, Kiara, Callista, dan Karina.
Bella langsung menyerahkan sebuah kantong kresek berukuran sedang kepada Daniel. “ Nih. Tadi penculiknya minta tebusan uang dua puluh juta. Ini uangnya,” jelasnya seolah mampu membaca pikiran Daniel.
Daniel menolak untuk menerimanya. “ Masukin ke tas. Jangan dikasih ke penculiknya. Kita bisa membebaskan Diandra tanpa uang tebusan. Ayo masuk.”
Pras berjalan lebih dahulu disusul Daniel, kemudian Kiara, Bella, Callista, Karina, dan yang terakhir Alya. Di dalam gedung sangat gelap. Cewek-cewek saling berpegangan satu sama lain. Karina menjerit ketika sesuatu melintasi kakinya. Langsung saja Alya yang berada di belakangnya membekap mulutnya erat-erat. Pras yang berada paling depan langsung menoleh dan menyilangkan telunjuknya di depan bibir. Karina membalasnya dengan anggukan dan menyuruh Alya melepaskannya. Rombongan pun kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah, ponsel Bella bergetar. Ada pesan masuk. Bella membukanya dan isinya seperti ini.
Gue tunggu di lantai 4.
“ Dia nuggu di lantai empat,” Callista berbisik menyampaikan pesan yang diterima Bella.
“ Good. Dikit lagi,” sahut Daniel. Mereka pun kembali berjalan. Setelah beberapa lama, mereka bertujuh pun sampai di lantai 4. Di sana ada sebuah ruangan yang pintunya terbuka dengan penerangan yang cukup. Mereka yakin disitulah sang penculik menahan Diandra.
“ Pasti Diandra ada di situ,” gumam Alya.
“ Gue yakin juga begitu,” Pras menimpali.
“ Oke, ayo masuk. Tunggu apa lagi?” Karina beranjak masuk ke ruangan tersebut ketika Daniel menahan tangannya.
“ Pelan-pelan. Biar Bella masuk duluan. Habis itu kita susul,” cowok itu menjelaskan rencana yang ia susun.
“ Tapi, Dan, kalo Bella sampai diserang gimana?” tanya Alya khawatir.
“ Nggak akan. Gue jamin dia nggak bakal kenapa-napa,” Daniel berusaha menenangkan.
“ Ya tapi kalo Bella bener-bener diserang gimana?” Kiara buka suara.
“ Kalo Bella diserang ya kita serang balik. Apa susahnya?” sahut Pras enteng.
“ Gue setuju sama Pras.” Daniel menegaskan. “ Bella, lo berani kan masuk ke sana dan pura-pura mau ngasih uang tebusan ke penculiknya sendiri? Nanti kami nyusul,” ia beralih kepada Bella. Tangan gadis itu gemetar ketakutan. Ia memberi cewek itu tatapan penuh keyakinan sehingga ketakutan Bella mulai luntur. Beberapa saat kemudian cewek itu mengangguk mantap.
“ Demi Diandra,” gumamnya.
“ Bagus,” Daniel tersenyum. Bella pun melangkah menuju ruangan tersebut.
Suara tawa seorang pria yang sangat nge-bass terdengar ketika Bella memasuki ruangan. “ Akhirnya lo datang juga,” ujar pria itu. Baik Daniel maupun Pras langsung dapat mengenali suara tersebut. Bagaimana bisa Daniel melupakan suara sesorang yang diikutinya beberapa jam lalu? Dan bagaimana bisa Pras melupakan suara salah satu tetangga terdekatnya?
“ Kurangajar,” geram Pras.
“ Lepasin temen gue dulu, baru uangnya gue kasih,” kemudian suara Bella yang halus menggema ke seluruh ruangan.
Radit kembali tertawa. “ Kita ngelakuinnya barengan. Lo kasih uangnya, gue bebasin temen lo.Simple, kan?”
Pras yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya muncul di ambang pintu. “ Nggak secepat itu, Dit.”
Radit tampak terkejut. Raut wajahnya mengeras. “ Ini sama sekali bukan urusan lo, Prasetya Wiranata.”
“ Gue tau ini bukan urusan gue. Tapi gue nggak akan ngebiarin tetangga gue sendiri ngelakuin hal kayak gini!” seru Pras dengan api kemarahan yang berkobar. “ Gue bakal nyerahin lo ke polisi!”
“ Oh ya? Coba aja kalo bisa,” sekonyong-konyong Radit mengeluarkan sebuah pistol yang rupanya terselip di pinggangnya. Ia mengarahkan pistol itu ke arah dada Pras dan bersiap menarik pelatuknya. Daniel pun langsung mengambil tindakan. Ia berjalan setengah berlari ke arah Pras sembari menodongkan pistolnya ke arah Radit.
“ Dit, turunin pistolnya. Kita bisa ngomong baik-baik, kan?” ia mencoba bernegosiasi dengan Radit.
“ Sorry, tuan detektif, nggak bisa begitu.” Radit tersenyum licik. “ Gue cuma harus ngebunuh tetangga gue yang sukanya ikut campur ini, terus lo bisa biarin Bella ngasih uang tebusannya ke gue dan Diandra bebas. Udah gitu aja.”
“ Tugas gue di sini untuk memastikan semuanya selamat,” balas Daniel dingin. “ Turunin pistolnya, Dit. Kita bicara baik-baik. Tanpa senjata.”
Radit tak bergeming. Ia tetap menodongkan pistolnya. Pras membeku. Bella gemetar. Sementara Diandra yang didudukkan di sebuah kursi kayu dengan tangan diikat serta mulut disumpal kain tampak sangat tidak berdaya. Melihat itu, Daniel langsung mencapai puncak kesabarannya.
“ Dit, turunin pistolnya. Kalo lo nggak mau, dengan terpaksa gue harus pake senjata.”
“ Coba aja kalo lo bisa,” sontak Radit menarik tubuh Diandra, memaksa cewek itu berdiri. Lalu ia memiting leher cewek itu. Ia menempelkan ujung pistol ke pelipis Diandra. Dan secara tiba-tiba, entah darimana keluarlah dua anak buah Radit. Yang satu langsung menyandera Bella, sementara yang satunya lagi mengancam Kiara, Alya, Callista, dan Karina dengan senapan, membuat mereka semua ketakutan.
“ Gimana?” tanya Radit.
Daniel menelan ludah. “ Pras, mundur. Jagain cewek-cewek di belakang,” perintahnya. Pras langsung mematuhinya tanpa banyak bicara.
“ Heh, kenapa mundur? Takut?” ledek salah seorang anak buah Radit. Daniel ingin sekali langsung menembaknya di bagian kepala, tetapi jika itu bisa membuat adiknya dan sahabat-sahabatnya terbunuh, maka ia memilih untuk diam dan menahan amarah.
“ Oke,” Daniel menghembuskan napas dan menyelipkan pistolnya ke pinggang, “ apa yang bisa gue lakuin buat lo?”
“ Jadi lo nyerah gitu aja? Lembek,” ejek Radit berusaha memanas-manasi Daniel. Tetapi melihat Daniel yang sepertinya adem-adem saja, maka ia pun tak berniat untuk meledeknya lagi. “ Ambil uangnya dari Bella, terus kasihin ke gue.”
Ketika ia mengambil uang dari tas Bella, Pras langsung berseru marah, “ gimana sih lo ini? Katanya nggak perlu pake uang!”
Daniel tak mempedulikan teriakan kemarahan Pras. Ia berkonsentrasi penuh untuk menjalankan rencana yang disusunnya secara mendadak ini. Semakin dekat ia dengan Radit, semakin meningkat pula konsentrasinya. Ketika berada tepat di depan tunangan Gabriel tersebut, langsung saja ia menendang perut Radit sehingga cowok itu terpental ke dinding. Sementara itu tubuh Diandra langsung meluruh ke lantai.
“ Bangsat!” terdengar umpatan dari belakang. Daniel menoleh dan tampaklah anak buah Radit yang menyandera Bella bersiap menembaknya. Reflek ia mengeluarkan pistolnya, lalu dengan sangat cepat ia berhasil melumpuhkan penjahat tersebut dengan dua timah panas yang bersarang di dadanya. Bella langsung menghambur memeluk Diandra erat-erat begitu ia lepas.
“ Brengsek!” rupanya Radit sudah kembali berdiri. Ia menembakkan sebuah peluru ke arah Diandra dan Bella. Daniel kontan mendorong kedua cewek itu minggir sehingga peluru tersebut menyerempet lengannya. Belum sempat ia mempersiapkan pistolnya untuk menembak Radit, pria itu telah lebih dahulu menabraknya. Ia berlari keluar ruangan, bergabung dengan anak buahnya yang masih tersisa.
“ Kalian nggak apa-apa?” tanya Daniel pada Bella dan Diandra yang dijawab dengan sebuah anggukan. Cowok itu pun langsung berlari keluar untuk membantu Pras dan adiknya melawan Radit dan anak buahnya.
Di luar, Pras sedang terlibat baku hantam dengan Radit, sementara anak buah Radit dikeroyok oleh Kiara cs. Cewek-cewek itu ramai-ramai menghajarnya dengan tas atau high heels masing-masing.
“ Rasain! Mampus lo!”
“ Bajingan kayak lo itu kudunya mati!”
“ Daf*q!!!”
“ Rasain lo, bakal jadi kayak tempe penyet lo nanti!”
Radit berhasil menjatuhkan Pras dengan satu bogeman di rahang, membuatnya tersungkur. Selanjutnya Radit mengarahkan pistolnya ke arah Callista yang berdiri membelakanginya.
“ Callista, awas!” reflek Pras langsung menerjang tubuh mungil cewek berdarah Italia tersebut, membuat mereka berdua berguling-gulingan di lantai. Merasa kehilangan target, Radit pun mengarahkan pistolnya ke arah Kiara. Melihat adiknya terancam dibunuh, Daniel pun langsung mengarahkan pistolnya ke arah Radit, dan...
DOR!!!
Satu terjangan timah panas mengenai lengan Radit, membuatnya tersungkur sambil mengerang kesakitan. Daniel langsung berlari ke arah Kiara, memeluk adiknya itu erat-erat.
“ Gue bilang juga apa! Lo nggak usah kesini, Ki! Ini bahaya buat lo sama temen-temen lo! Lo hampir aja kebunuh, Ki, lo hampir aja mati!”
“ Maaf...” bisik Kiara sedih, “ lo nggak apa-apa, kan, Dan?”
Daniel tidak menjawab. Ia masih sedikit shock menghadapi kenyataan bahwa adiknya hampir saja mati di tangan Radit. Ia terus memeluk adiknya erat-erat sampai suara Pras menyadarkannya.
“ Gue udah telpon polisi. Bentar lagi mereka nyampe,” ujarnya. “ Yang itu juga udah beres,” lanjutnya sembari menunjuk anak buah Radit yang telah diikat oleh Alya dan Karina.
Daniel tersenyum tipis. “ Makasih, Pras.”
Pras mengangguk. Kemudian keheningan menyelimuti mereka sampai akhirnya polisi datang sepuluh menit kemudian dan menangkap Radit serta anak buahnya. Mereka pun dibawa ke kantor polisi untuk diproses secara hukum.
***
Radit terus menundukkan kepalanya ketika ia digiring masuk ke kantor polisi. Ia dapat merasakan semua tatapan tertuju ke arahnya. Ditambah lagi dengan blitz kamera para wartawan yang entah darimana tahu tentang ini. Ia tidak mendongak sekalipun sampai ia mendengar suara seseorang yang sangat familier.
“ Masih hidup aja lo,” itu suara Ditya. Spontan Radit menoleh. Ternyata di sana sudah ada mama dan papanya yang menatapnya kecewa, Mama dan Papa Gabriel yang menatapnya dengan ekspresi yang susah ditebak, Ditya yang menatapnya dengan tajam seolah ingin mengulitinya sekarang juga, serta...
Gabriel.
Cewek yang telah dilukainya baik secara fisik maupun psikis.
Cewek itu duduk di atas kursi roda. Kaki dan tangannya digips. Kepalanya diperban. Sebuah memar menghiasi tangannya yang putih. Yang membuat Radit terkejut, tatapan gadis itu bertolak belakang dengan tatapan yang diberikan kedua orang tua mereka. Tatapan yang diberikannya begitu hangat, lembut, dan penuh cinta yang tulus walaupun Radit telah melukainya sedemikian rupa. Dan yang lebih membuat Radit terkejut, senyum manis perlahan mengembang di bibir cewek itu.
Sekarang Radit sangat menyesal mengapa ia bisa mencoba untuk membunuh Gabriel.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top