Between Love and Crime (Four)

Sembilan bulan kemudian berlalu dengan sangat lambat. Sejak malam ia ditangkap, Radit tak pernah sekalipun mendapat kunjungan dari Gabriel, entah mengapa. Ia hanya sekali menitipkan masakan buatannya kepada Ditya saat kembarannya itu menjenguknya di sini. Sebetulnya Radit sangat merindukan Gabriel. Ia sangat ingin bertemu cewek itu, berbicara dengannya, lalu merengkuh gadis itu kedalam pelukannya, namun ia merasa tak pantas melakukan hal tersebut setelah apa yang dilakukannya pada Gabriel.

“ Dit, ada yang mau ketemu sama lo, tuh,” perkataan Anton, sang sipir penjara, membuat pria itu tergeragap. Lamunannya hancur sudah. Ia menatap Anton.

“ Siapa, pak?”

“ Udah, liat aja sendiri.” Anton membukakan pintu, lalu menggiringnya menuju sebuah tempat yang ditempati para tahanan jika ada keluarganya yang berkunjung.

Radit mengedarkan pandangannya begitu ia dan Anton memasuki ruangan yang mirip aula tersebut. Di sana ada beberapa tahanan yang sedang dijenguk keluarganya.

“ Itu, Dit. Di pojokan,” ujar Anton sambil menunjuk bangku yang terletak paling pojok. Di sana ada seorang wanita yang duduk sambil menimang-nimang anaknya. Ia pun menghampiri wanita tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui siapa wanita itu sebenarnya.

“ Gab... riel?”

Wanita itu menoleh dan tersenyum. “ Halo, Raditya Dewantara. Apa kabar?”

Radit menatap Gabriel tak percaya. Ia terperangah. Gabriel? Tunangannya yang telah dilukainya begitu parah datang kemari setelah tak terdengar kabarnya selama sembilan bulan?

“ Radit? Hei, ngapain diem kayak Patung Pancoran gitu?” ia langsung tersadar begitu mendengar tawa renyah Gabriel. Ia pun duduk di depan tunangannya itu.

“ Kamu... kenapa kesini?” tanya Radit pelan.

“ Ya jenguk kamu, lah! Masa’ mau ngecengin sipir di sini?” Gabriel menjawab. “ Emang kenapa? Nggak boleh kalo aku kesini?”

“ Ya... bukan begitu...” kata Radit sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah. “ Cuma kamu kan nggak pernah kesini selama sembilan bulan. Jadi ada angin apa kok kamu mau nemuin aku?”

Pipi Gabriel memerah karena malu. “ Aku kangen sama kamu.”

Radit tersenyum. Lega karena Gabriel merasakan apa yang ia rasakan.

“ Oh iya, ini,” Gabriel mendorong sebuah tempat makan ke hadapan Radit. “ Rendang. Aku yang masak.”

“ Makasih.”

Dengan lahap ia menyantap makanan yang dibawakan Gabriel. Beberapa saat kemudian ia terhenti karena pemandangan di depannya. Gabriel sedang membelai-belai rambut bayi yang digendongnya.

“ Halo, sayang... kenapa bangun? Laper ya?” Gabriel tersenyum lalu mengambil botol susu bayi dari tasnya. “ Tuh, ayah juga makan. Kompakan deh.”

Radit terdiam. Entah mengapa hatinya senang sekali ketika Gabriel mengatakan ‘ayah’ sambil menunjuk dirinya. Ia pun memfokuskan perhatiannya kepada Gabriel dan bayinya.

“ Namanya siapa, Gab?” tanyanya tanpa sadar.

“ Fabio Arjuna Dewantara. Gimana? Bagus nggak?” Gabriel balik bertanya.

“ Terserah kamu aja. Ngapain tanya pendapat aku?”

“ Kamu kan ayahnya, jadi kamu juga punya hak untuk ngasih anak ini nama.”

Radit kembali terperangah. Setelah apa yang dilakukannya pada cewek itu, ia masih membiarkannya mendapatkan hak seorang ayah? Cewek ini nggak normal, ya? Mungkin kalau itu cewek lain, pasti cewek itu sudah pergi jauh membawa anaknya tanpa memedulikan bapaknya. Tapi ini...

“ Bagus kok. Bagus banget,” kata Radit akhirnya. Gabriel tersenyum.

“ Mau gendong?” ia menawarkan, membuat Radit kaget.

“ Eh? Tapi...”

“ Udah, nggak apa-apa. Coba aja,” Gabriel menyerahkan Fabio kepada ayahnya. Bayi itu langsung menangis ketika berada dalam gendongan ayahnya.

“ Jangan kaku, Dit. Lemesin tangan kamu,” saran Gabriel. Benar saja, setelah Radit melemaskan lengannya, bayi itu langsung terdiam. Ia menatap pria itu dengan kedua matanya yang sipit dan mungil. Bibirnya bergerak-gerak kecil.

Radit tersenyum ketika menatap bayinya. Fabio mewarisi mata sipit milik ayahnya. Selebihnya ia sangat mirip dengan ibunya, Gabriel.

“ Dia mirip banget sama kamu, Gab,” gumam Radit, “ cuma matanya sipit, kayak aku.”

“ Iya. Kalo ketawa jadi segaris, kayak nggak ada matanya,” timpal Gabriel. Kemudian mereka berdua tertawa.

Tawa Radit terhenti kala menyadari tatapan Gabriel tertuju kepadanya. Mereka berdua saling pandang selama beberapa saat. Tangan Gabriel bergerak menyentuh pipi kanan Radit.

“ Kamu kurusan, ya...” gumamnya.

Dengan tangannya yang bebas Radit mengalihkan tangan Gabriel dari pipinya. Ia menggenggam tangan mungil dengan jari-jemari yang lentik itu, lalu mengecupnya. Gabriel terpaku.

“ Gab,” Radit menghela napas. “ Aku minta maaf atas apa yang pernah aku perbuat ke kamu. Aku tau aku ini brengsek, bajingan, pengecut, sama kayak yang Ditya bilang. Dan aku tahu aku nggak berhak untuk dapat kata ‘maaf’ dari kamu...”

“ Sst...” Gabriel memotong. “ Semua orang pernah melakukan kesalahan, Dit. Semua orang berhak mendapatkan maaf. Juga semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.”

Radit terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa menghadapi ketulusan hati Gabriel.

“ Aku udah maafin kamu dari dulu kok, Dit.”

Radit mendongak. “ Kenapa, Gab? Kenapa kamu mau maafin aku? Kenapa kamu nggak pernah marah ke aku walaupun aku udah kurangajar banget bikin kamu sekarat? Kenapa kamu nggak dendam ke aku walaupun gara-gara aku kamu sama Fabio terancam mati?”

“ Itu semua karena aku cinta sama kamu, Raditya Dewantara.” Gabriel membelai rambut tunangannya itu. “ Aku nggak akan pernah marah walaupun kamu udah ngebunuh aku sekalian. Yah, paling juga gentayangin kamu sekali-dua kali.” Ia mengedikkan bahu, berusaha menetralkan suasana dengan candaannya. Usahanya berhasil. Radit kembali tertawa dan suasana kembali normal.

“ Gab...”

“ Iya?”

“ Kalo seumpamanya kita nikah bulan depan, kamu mau nggak?”

“ Hah? Secepat itu?” tanya Gabriel tak percaya. Ia menatap pria di depannya dengan nanar.

“ Aku udah punya kamu, juga Fabio. Terus mau nunggu apa lagi?” ujar Radit mantap. “ Plus kita juga harus bikin akta lahirnya Fabio. Kan kalo mau bikin akta lahir harus punya surat nikah,” ia mengajukan sebuah alasan.

Gabriel tampak ragu. Ia sepertinya tidak yakin dengan lamaran Radit. “ Nggak usah keburu-buru, Dit. Aku nggak mau pernikahan kita nggak dilandasi dengan cinta. Aku nggak mau kita menikah hanya gara-gara Fabio,” ujarnya lemah.

“ Aku cinta kamu, Gab.” Pernyataan Radit yang ini benar-benar membuat Gabriel terkejut.

“ Kamu tau? Waktu kamu nggak pernah ngunjungin aku di sini selama sembilan bulan, aku kangen berat sama kamu, Gab. Selama itu aku sibuk berpikir, apa kamu benci banget sama aku sampai kamu nggak mau jenguk aku...”

“ Tapi... gimana sama Rossa?” tanya Gabriel lagi.

“ Aku udah ngelupain dia sejak lama. Sekarang aku positif cinta sama kamu, Gabriel Purnawarman.”

Tangan Radit yang besar menggenggam tangan Gabriel yang mungil. Jari-jemari mereka saling bertautan. Kelihatannya begitu pas.

“ Jadi gimana? Kamu mau nggak nikah sama aku?”

Dengan malu-malu Gabriel mengangguk. Radit langsung menghembuskan napas lega melihat anggukan Gabriel. Mereka bertatapan selama beberapa saat. Radit mendekatkan wajahnya ke wajah Gabriel, bermaksud mengecup bibir tunangannya itu. Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, sampai akhirnya hanya berjarak satu mili...

“ Oeee...”

Tangis Fabio menginterupsi mereka. Gabriel melengos, sementara Radit menatap bayinya itu dengan kesal.

“ Duh, nak. Nggak bisa liat ayahmu mesra sama ibumu, ya?” ia menyerahkan Fabio ke Gabriel. Melihat itu, Gabriel hanya bisa tertawa.

                                                            ***

“ Gila, Gabriel sama Radit makin so sweet aja!”

“ Hah? Masa’ sih?”

“ Iya, ini gue baru dikirimin fotonya.”

“ LIAT!!! SINI CEPET, GUE MAU LIAT!!!”

Ya, di Sabtu siang yang panas ini Diandra, Bella, Kiara, Karina, Callista, dan Alya sedang berkumpul di sebuah restoran. Mereka sedang melakukan ritual mingguan mereka, yaitu hangoutbareng. Namun kali ini mereka melakukannya tanpa Gabriel, karena cewek yang satu itu lebih memilih untuk menemui Radit, tunangannya yang kini mendekam di penjara. Mereka oke-oke saja. Wajar kalau Gabriel kangen, sudah lama ia tidak bertemu dengan pria itu.

“ Anjrit! Kayaknya Gabriel bakal beneran jadi ipar gue, nih...” desis Ditya ketika melihat foto Radit yang sedang mencium pipi Gabriel dengan Fabio yang melongo. Tunggu. Ditya? Apa yang dilakukannya di sini?

Ah, rupanya Ditya telah menjalin hubungan spesial dengan salah satu sahabat Gabriel sejak seminggu yang lalu. Siapakah dia? Jawabannya adalah Alya. Teman-teman Alya bertanya-tanya bagaimana bisa seorang Almira Alyana Putri yang berperangai halus bak seorang puteri keraton tersebut bisa menjadi kekasih seorang Arditya Dewantara yang Ternyata kakak laki-laki Alya merupakan teman dekat Ditya saat masih kuliah. Otomatis Ditya bertemu dengan Alya di rumah gadis itu serta mendapatkan kesempatan untuk mengenal gadis itu lebih dekat. Dan sejak saat itulah mereka berdua menjadi dekat dan akhirnya berpacaran.

“ Ditya...” tegur Alya halus.

“ Ups. Sorry, babe, kelepasan,” Ditya menutup mulutnya. Alya menggelengkan kepalanya. Ia harus lebih sering mengingatkan Ditya tentang kebiasaannya berkata tidak benar.

“ Greget amat ya, di penjara foto kayak begitu,” celetuk Kiara.

“ Tau nih. Mesra banget, sumpah. Gue jadi envy,” Bella menggelendot di lengan Luis, kekasihnya. Memang Sabtu siang itu mereka juga mengajak pacar-pacar mereka. Bella membawa Luis, Karina membawa Tristan,  dan Alya dengan Ditya. Kiara, Diandra, dan Callista masih single.

“ Heh, kudunya kami yang iri. Lo bertiga udah pada taken, lha kami? Single-single aja,” gerutu Diandra sebal.

“ Alah, Di. Lo kan udah ngincer abangnya Kiara, tuh, si Daniel sejak sembilan bulan yang lalu. Kenapa nggak lo tembak aja?” cetus Karina. Diandra langsung pasang ekspresi sok jual mahal.

“ Dih, nggak romantis banget. Masa’ cewek yang nembak duluan?” ujarnya.

“ Kan udah jamannya emansipasi, Di. Ya gantian, dong. Masa’ semuanya kudu cowoknya dulu yang ngelakuin. Ya, nggak?” Callista mencari dukungan. Kiara, Bella, Karina, dan Alya mengangguk setuju. Tiba-tiba ponsel Luis berbunyi.

“ Halo... iya, ma? Sekarang? Oh, iya. Iya, Luis berangkat.” Luis memasukkan ponselnya ke saku. “ Bel, mama pengen ketemu sama kamu, tuh. Pulang duluan, yuk?” ajaknya kemudian.

“ Cieee, yang mau ketemu calon mertua...” ledek Diandra, Alya, Kiara, Karina, serta Callista. Bella hanya bisa nyengir.

“ Ya udah. Girls, gue duluan ya,” Bella melambaikan tangan ke arah teman-temannya.

“ Iya, hati-hati ya...” Alya membalas mewakili teman-temannya. Bella dan Luis pun pergi.

“ Eh, Al, kita lanjut jalan yuk?” ajakan Ditya memecah keheningan di antara mereka.

“ Mmm...” Alya menatap ragu kepada teman-temannya.

“ Udah, Al. Kalo mau nge-date ya pergi aja. Nggak apa-apa kok,” kata Kiara santai.

“ Ayo deh, kalo gitu,” Alya berdiri dan menggandeng tangan Radit.

“ Bro, gue sama Karin boleh ikut, kan?” tanya Tristan.

“ Ayo, deh. Kita double date,” Ditya berujar santai. “ Duluan, ya,” ia pamit kepada Diandra, Callista, dan Kiara yang masih duduk. Mereka bertiga mengiyakan. Lalu Ditya, Alya, Tristan, dan Karina pun pergi.

“ Duh, iri banget gue liat mereka,” ujar Kiara muram begitu dua sahabatnya serta kekasih mereka pergi.

“ Lo pikir cuma lo yang iri? Gue juga,” Callista menimpali. Kemudian mereka terdiam sampai akhirnya sebuah sepeda motor berhenti di depan restoran. Reflek mereka menoleh ke arah jendela. Pengemudi sepeda motor itu membuka helm-nya, dan ternyata itu Daniel. Cowok itu tersenyum ke arah tiga cewek yang duduk di dekat jendela tersebut, lalu memasuki restoran dan menghampiri mereka.

“ Udah lama nunggu?” tanyanya kepada Kiara.

“ Nggak, kok. Nggak terlalu.” Kiara menjawab.

“ Duh, sorry, ya. Tadi dimintain tolong sama Pak Wijaya buat ngebenerin AC kantor,” Daniel menyebutkan nama atasannya tersebut.

Kiara mengerutkan dahi. “ Sejak kapan lo alih profesi jadi tukang AC?”

“ Tanya aja sama Pak Wijaya.” Daniel melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 12.30. “ Jadi, nggak? Atau mau pulang aja?”

“ Jadi dong...” ujar Kiara cepat. “ Eh, gue duluan ya, mau nge-date sama abang gue, nih! Daaah...” ia melambaikan tangan ke Diandra dan Callista. Mereka berdua mengangguk. Sebelum pergi, Daniel melemparkan senyum manis ke arah dua cewek itu, membuat hati Diandra berbunga-bunga.

“ Aaa, senyumannya itu lhooo...” Diandra langsung histeris begitu Kiara dan Daniel menghilang dari pandangan mereka berdua.

“ Cieee, yang lagi kasmaran,” ledek Callista. Diandra tersenyum lebar.

“ Eh, Cal, masa’ sih, lo nggak punya gebetan gitu?” tanyanya kemudian. Callista menggelengkan kepalanya.

“ Gue nggak mikir kesitu. Gue nggak mau pacaran dulu. Maunya konsentrasi kuliah dulu, sampe wisuda, terus nyari kerja. Habis itu baru deh nyari pacar.” Gadis berdarah Italia-Indonesia itu menjelaskan rencana hidupnya.

“ Yeee, tapi nggak apa-apa kan, punya gebetan? Buat semangat hidup,” desak Diandra.

Callista menghela napas. “ Gue belum nemu orang yang pas buat digebet.”

Mata Diandra melebar. Senyumnya juga makin lebar. “ Gue tau siapa yang pas buat lo.” Katanya mantap.

Sebenarnya Callista enggan menanggapi omongan sahabatnya ini. Paling-paling Diandra mengajukan cowok terkeren di kampusnya, atau cowok sekampus yang wajahnya lumayan. Tetapi karena kepo, akhirnya ia bertanya, “ siapa, Di?”

“ Itu, tetangganya si Gabriel... siapa ya, namanya? Presto? Eh, bukan... Peras? Bukan bukan, bukan... em... siapa, ya?” Diandra berusaha mengingat-ingat nama yang dimaksud. Kontan Callista menjawab.

“ Pras, maksud lo?”

“ Nah! Iya! Itu yang gue maksud!” seru Diandra bersemangat. Callista mendelik.

“ Dih, ogah!” tolaknya mentah-mentah.

Diandra menatap sahabatnya itu dengan bingung. “ Lha, kenapa, Cal? Dia itu ganteng lho. Sebenernya gue pengen ngegebet dia, tapi karena ada si Daniel, nggak jadi deh. Hehehe.”

“ Lo nggak tau, ya? Walaupun ganteng, dia itu mantan napi, Di. Ya gue nggak mau lah cowok gue punya label kayak gitu!” Callista mengajukan argumennya. Diandra mengangkat kedua bahu.

“ Terserah lo, deh. Tapi gue saranin lo jangan ngehina dia. Bisa jadi lo kena karma terus fall in lovesama dia, lho.” Diandra membasahi bibirnya sebelum melanjutkan, “ lo tau, Cal, karma does exist.”

“ Whatever.” Callista tak peduli. “ Mau kena karma, kek, mau kena karmi, kek, terserah.”

Diandra melengos melihat reaksi sahabatnya. “ Terserah lo deh. Pokoknya hati-hati aja.” Ia melirik jam tangannya. “ Eh, gue duluan, ya. Papa udah ngejemput nih. Lo mau gue anter pulang?” ia menawarkan.

Callista tersenyum dan menggeleng. “ Gak usah, Di. Makasih. Gue mau lanjut jalan habis ini.”

“ Oke kalo gitu. Daah,” Diandra ngeloyor pergi. Tinggal Callista sendiri di restoran ini bersama pengunjung lainnya.

Gadis itu menyesap jus yang ia pesan sedari tadi. Ia berencana untuk memesan makanan sebelum melanjutkan kegiatan jalan-jalannya. Ketika ia mau mengangkat tangan untuk memanggil pelayan, tiba-tiba seorang wanita berdiri di hadapannya.

“ Maaf, mbak, maukah mbak berbagi meja dengan mas ini? Di sini udah keisi semua,” ia menunjuk seorang pria di sebelahnya. Callista mengangguk dengan terpaksa. Sebetulnya ia ingin sendiri, namun ia kasihan kepada pria itu. Ia kembali menyesap jus-nya yang hampir habis tanpa memperhatikan pria yang kini duduk di depannya.

“ Makasih, ya, udah mau berbagi meja sama aku,” ujar pria itu dengan suaranya yang nge-bassdan sedikit serak. Mata Callista melebar mendengar suara itu. Rasanya ia pernah mendengar suara itu! Tapi di mana?

Perlahan Callista mendongak dan ia langsung terkejut melihat pria di depannya itu. Begitu pula sebaliknya.

“ Pras?”

                                                            ***

“ Lo?” Pras menatap gadis itu dengan tak kalah terkejutnya. “ Ngapain lo di sini?”

Callista memutar bola matanya. “ Kelihatannya gue lagi ngapain?” ia balik bertanya dengan judes.

Pras tersenyum melihat tanggapan Callista. “ Duh, non. Nggak usah sewot gitu, dong. Judes amat sih...” godanya, membuat Callista bergidik risih.

“ Duh, kenapa tadi gue ngiyain aja, ya? Goblok lu, Cal,” gumam cewek itu seolah-olah Pras tidak berada di depannya.

“ Emang,” Pras menimpali dengan datar. Callista mendelik. Ia bisa saja melayangkan sebuah tonjokan ke rahang pria itu jika saja pria itu belum memanggil seorang pelayan yang dengan langkah cepat langsung berada di hadapan mereka berdua.

“ Saya pesan fettuccine sama black coffee, nggak pake gula ya,” pesanan pria itu langsung dicatat oleh sang pelayan. Pras menoleh ke arah Callista.

“ Lo mau pesen apa?” tanyanya lembut. Callista menatapnya tajam. Nafsu makannya menurun drastis ketika melihat pria itu muncul di hadapannya.

“ Nggak usah,” ketusnya. Pras mengangkat sebelah alis.

“ Yakin? Wajah kamu kayak wajahnya orang laper gitu deh.” Ia menatap Callista dalam-dalam.

Sebenarnya Callista merasa lapar, namun entah mengapa ia gengsi untuk menarik kembali kata-katanya. Jadi ia hanya diam.

Pras menghela napas. “ Sirloin steak satu, sama...” ia melirik gelas minuman Callista yang kosong, “ jus jeruk.”

“ Tunggu sebentar,” pelayan itu menyunggingkan senyum kecil lalu pergi. Callista menatap pria 27 tahun itu dengan kesal.

“ Gue kan nggak pesen!”

Pras mengedipkan sebelah mata, “ don’t worry. My treat, lady.”

“ Nama gue bukan lady!” seru Callista kesal.

“ Terserah,” Pras tidak menanggapi perkataan cewek itu lebih lanjut dan memilih untuk melahap pemandangan di luar restoran. Callista melengos.

Tetapi, secara diam-diam, ia memperhatikan wajah Pras. Diandra benar. Pria itu memang tampan. Garis wajahnya tegas, kedua alisnya tebal. Matanya menyorot tajam. Hidungnya tidak mancung, tetapi juga tidak pesek. Bibirnya tipis. Ditambah lagi ia memiliki tubuh atletis dengan otot bisep yang menonjol. Wanita manapun yang melihat Pras pasti tak akan bisa menolak pesona pria itu.

“ Udah puas ngeliatin wajah gue?” suara itu secara tiba-tiba menyentak Callista dari lamunannya. Pipi cewek itu merona merah karena malu. Pras terkekeh. Tidak ada pembicaraan di antara mereka sampai akhirnya pesanan mereka datang.

“ Tadi... lo habis darimana?” tanya Callista berusaha memecahkan kecanggungan di antara mereka berdua.

Pras mengangkat sebelah alis, tak menyangka cewek ini akan mengajaknya bicara duluan. “ Habis nge-gym,” jawabnya. “ Lo sendiri?”

“ Habis jalan sama anak-anak. Tapi mereka mencar bareng pacar mereka masing-masing.”

“ Lha lo kok diem aja di sini? Nggak sama pacar?”

Callista melengos. “ Kalo gue punya pacar, gue pasti udah cabut duluan dari sini.”

Pras manggut-manggut. “ Oh ya, omong-omong, kita belum kenalan secara resmi,” ia memelintir topik pembicaraan.

Dahi Callista berkerut. “ Gue udah kenal lo.”

“ Oh, ya? Sekarang, siapa nama gue?” pancing Pras.

“ Pras.”

“ Pras siapa?”

Callista nyengir. “ Nggak tau, hehe.”

Pras tertawa kecil lalu mengulurkan tangannya. “ Prasetya Wiranata. Panggil aja Pras.”

Callista menjabat tangan pria itu. “ Callista Casto. Panggil aja Callista. Udah, kan?”

Pras mengangguk. “ Nama lo bagus.”

“ Thanks. Nama lo juga.”

Selanjutnya mereka mengobrol tentang apapun. Mulai hobi, sahabat, film favorit, sampai keadaan ekonomi negara. Dan tanpa sengaja, Callista menanyakan sesuatu yang bersifat sedikit pribadi dan mungkin kurang pantas ditanyakan oleh seorang teman baru.

“ Mmm... Pras, boleh nggak gue tanya? Sebenernya lo masuk penjara karena apa?”

Pras yang bersiap menyesap black coffee-nya terpaku. Ia tak menyangka gadis ini bertanya tentang hal itu. Suatu hal buruk di masa lalunya yang sangat ingin ia lupakan...

Melihat reaksi Pras, Callista jadi merasa tak enak. “ Mmm... gue salah omong, ya?”

Pras tersadar dari lamunannya. Ia menatap Callista sambil menunjukkan senyum misteriusnya. “ Nggak. Lo nggak salah ngomong, kok.” Ia mengambil jeda dengan meminum kopinya. Pikirannya kembali tenang saat cairan berwarna hitam dan pahit itu menuruni kerongkongannya. “ Jadi, lo bener-bener mau tau?” tanyanya beberapa saat kemudian.

Callista mengangguk malu-malu. Pras kembali meneguk kopinya sebelum mulai bercerita.

“ Itu terjadi saat gue masih berumur 21 tahun,” ia menarik napas sejenak, “ masih baru lulus kuliah. Waktu itu gue punya cewek, namanya Erika. Pas hari wisuda, gue berencana ngelamar dia karena hubungan kita udah lumayan lama dan gue udah sreg sama dia. Tapi ternyata dia udah hamil sama orang lain.”

Napas Callista tercekat.

“ Gue udah bilang nggak apa-apa. Itu murni kesalahan semata. Gue siap nerima anak itu jadi anak gue, tapi si Erika malah minta pisah. Belakangan baru gue tau kalo Erika punya affair sama sahabat gue, dan anak itu anak sahabat gue.

“ Beberapa hari kemudian, sahabat gue nelpon dan ngajak gue ketemuan. Lo tau? Ternyata maksud dia ngajak ketemuan itu buat ngebunuh gue, agar tetangga-tetangganya berpikiran bahwa gue emang udah mati dan minta dia buat gantiin posisi gue di samping Erika, plus supaya dia nggak ngerasa bersalah udah ngehamilin Erika. Waktu dia mau nusuk gue pake pisau, reflek gue ngedorong dia sampai dia jatuh dari balkon tempat kita ketemuan dan mati.

“ Polisi nyelidikin kasus ini. Gue bilang gue dorong dia buat pembelaan diri, tapi Erika nggak percaya. Dia bilang gue emang udah punya rencana buat ngebunuh sahabat gue itu. Kasus ini pun dibawa ke pengadilan. Awalnya gue yakin gue nggak bakal dipenjara karena gue memang nggak salah. Tapi keluarga sahabat gue serta Erika menyuap hakin. Dan akhirnya hakim memvonis gue hukuman lima tahun penjara.” Pras mengakhiri ceritanya. Diam-diam Callista merasa bersalah karena telah mengecap pria itu sebagai orang yang hidupnya penuh dengan kriminal. Padahal ia hanya korban ketidakadilan karena uang.

“ Pras,” panggilnya pelan, “ gue minta maaf, ya.”

Dahi pras berkerut, “ buat apa?”

“ Karena gue udah nuduh lo sebagai orang kriminal.” Callista menjawab dengan wajah bersalah. Pras tertawa melihatnya, membuat cewek itu malu.

“ Heh! Ngapain ketawa? Emang ada yang lucu?” semburnya judes. Pras langsung menghentikan tawanya.

“ Buset. Kirain udah jinak. Ternyata masih aja lebih galak daripada herder,” gumamnya.

Callista mendelik marah, “ lo pikir gue binatang pake jinak segala?”

“ Terserah, deh.” Pras mengedikkan bahu. Ia melirik ke arah piring dan gelas Callista yang kosong. “ Udah selesai?”

Callista mengangguk. Pras meminta bill kepada pelayan.

“ Makasih,” kata Callista datar.

“ Sama-sama,” Pras tersenyum. “ Habis ini lo mau kemana?”

“   Lanjut jalan.” Jawab Callista, masih dengan nada datar.

“ Mau jalan bareng?”

Callista terkejut dengan ajakan Pras. Tanpa sadar ia berkata, “ i... ya?”

“ Oke kalo gitu. Tunggu bentar, gue mau ganti baju dulu,” belum sempat cewek itu berkata apa-apa lagi, Pras sudah terlebih dahulu ngacir ke kamar mandi.

                                                            ***

Lima menit kemudian, Pras muncul di hadapan Callista. Dia yang semula memakai kaus you can see dan celana pendek kini berganti memakai kemeja lengan pendek warna biru muda dengan motif kotak-kotak dipadu dengan celana jeans. Rambutnya diberi ­gel. Hal tersebut tentulah menambah pesonanya. Callista sendiri sempat melongo melihat dandanan Pras yang keren abis.

“ Sudah siap?” tanyanya lembut. Callista mengangguk. Mereka berdua berjalan keluar restoran diiringi dengan tatapan

iri para wanita yang tertuju pada Callista.

Acara jalan-jalan mereka berdua sangat asyik. Pras baik sekali. Pria itu tak segan membelikan Callista sesuatu yang menurut gadis itu bagus. Callista tentu senang. Ia bisa menyimpan uang yang akan digunakannya untuk shopping kali ini.

Setelah putar-putar, Pras mengajak Callista ke arena ice skating. Ia menantang cewek itu untukskating yang diterima Callista dengan sepenuh hati.

“ Yakin bisa lo?” Pras bertanya dengan nada meremehkan. Saat itu mereka sudah berada di arenaice skating.

Callista mencibir. “ Wah, ngeremehin nih anak. Kudu dikasih pelajaran, nih.”

“ Ayo kalo gitu. Yang kalah enaknya ngapain, ya?”

“ Jalan jongkok keliling arena!”

“ Oke!”

Sedetik kemudian mereka mulai meluncur dan berputar di atas es. Keceriaan terpancar dari wajah mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak, menikmati permainan ini. Sampai akhirnya satu jam kemudian mereka mulai capek.

“ I think there’s no winner or looser,” Pras terengah-engah.

“ Yeah. I think so, too,” Callista menyetujui, sama terengah-engahnya. Kemudian mereka berdua tertawa.

“ Kalo gitu...” Pras menggantung kalimat. Napasnya kembali normal.

“ Apa?” tanya Callista penasaran.

Tanpa Callista duga, secepat kilat Pras menyambar karet yang ia gunakan untuk menguncir rambutnya sehingga rambutnya terurai begitu saja. Callista kaget.

“ Kalo lo berhasil dapetin ini,” Pras menggoyangkan kuncir rambut itu di depan mata cewek itu, “ lo menang!” kemudian ia kembali meluncur, meninggalkan gadis itu yang masih terpaku. Tapi sejurus kemudian Callista mulai mengejar Pras.

“ Praaaaasssss!!! Balikin!” teriaknya.

Pras menoleh ke belakang dan menjulurkan lidahnya, “ nggak! Lo kudu ngedapetin ini by yourself!!!”

“ Pras, please... gue dah capek nih,” keluh Callista. Ia memperlambat langkahnya. Pras yang merasa kasihan pun berhenti meluncur. Tetapi, tanpa disangka, Callista malah mendorongnya sampai merapat ke dinding pembatas. Kedua tangan cewek itu menghalangi tubuhnya untuk pergi kemana-mana. Tahu Pras sudah tidak berkutik, Callista langsung menyambar kuncir rambutnya dari tangan pria itu.

Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu, namun entah mengapa konsentrasinya kabur begitu mendapati mata hitam Pras menatap matanya dalam-dalam. Jantungnya berdebar sepuluh kali lebih kencang. Perutnya menggelenyar, seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di dalam sana.

Wait, wait

 I feel my heart change

Whenever you come around

The earth shake, it’s more than I can take

I think my feet just left the ground

I know it

Feels like flying, I can’t stop smiling

You’re the one I’ve been dreaming of

It’s like happily ever after, nothing else matters

I guess that’s falling in love

That’s falling, that’s falling, I guess that’s falling in love

That’s falling, that’s falling, I guess that’s falling in love...

(Chelsea Ward-That’s Falling in Love)

Inikah karma yang dimaksud Diandra? Gue jatuh cinta sama Pras? Tanya Callista dalam hati.

Ah, tapi biarlah. Karma yang satu ini indah...

                                                            ***

Daniel dan Kiara secara kompak membanting tubuh mereka di sofa hitam di apartemen mereka. Dengan kompak pula mereka melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 22.00. Itu berarti sudah sepuluh jam mereka berjalan-jalan mengelilingi kota.

“ Gila, capek banget...” Kiara menaruh sekresek besar berisi novel-novel yang baru dibelinya dari toko buku.

“ Iya...” Daniel menyetujui.

Kiara menoleh ke arah kakaknya. “ Makasih banget ya, Dan, udah mau nemenin gue jalan-jalan.”

Daniel balas menatap Kiara. “ Never mind.”

Kiara sangat bersyukur memiliki kakak seperti Daniel. Pasalnya Daniel selalu bisa membagi waktunya antara bekerja dengan menemani adiknya. Ia juga selalu menuruti apapun permintaan adiknya selama ia bisa. Sungguh sosok kakak idaman. Tetapi selama ini ada yang mengganggu pikiran Kiara. Kakak satu-satunya ini belum pernah punya pacar sama sekali.

“ Dan...”

“ Iya?”

“ Lo nggak kepikiran buat punya pacar?”

Daniel yang sedang asyik mengamati cicak di langit-langit langsung kembali menoleh ke adiknya. “ Kenapa lo tanya begitu, sih?”

“ Ya...” Kiara mengangkat alis, “ nggak apa-apa, sih. Cuma... apa lo nggak malu tiap Malam Minggu selalu jalan sama cewek yang berstatus sebagai adik lo?”

Daniel tertawa kecil. “ Nggak, tuh. Gue nggak pernah merasa malu kalo gue jalan sama lo. Menurut gue, saudara itu jauh lebih penting daripada pacar.”

Kiara manggut-manggut, paham dengan perkataan kakaknya.

“ Gue belum mikir sampe ke situ, Ki. Prioritas gue cuma dua. Yang pertama itu lo. Terus yang kedua pekerjaan gue. Udah, itu aja.”

Kiara menggigit bibir. Ia tak menyangka akan masuk nomor satu daftar prioritas kakaknya. “ Tapi, Dan, lo nggak mau cari gebetan baru? Cari kebahagiaan baru, lah, Dan. Masa’ lo masih nggak bisa lupain Kak Clara, sih?”

Daniel terdiam. Clara adalah cewek yang dulu pernah disukainya saat SMA. Mereka lumayan dekat. Tetapi ketika Daniel menyatakan perasaannya, cewek itu menolak. Ia lebih memilih Boy, teman sekelas Daniel yang berlatar belakang keluarga kaya ketimbang Daniel yang yatim-piatu. Sejak saat itu Daniel menutup pintu hatinya erat-erat.

“ Gue nggak mau punya pacar dulu, Ki. Gue nggak mau kalo gue sampe ngelupain tugas gue sebagai kakak cuma gara-gara pacaran,” akhirnya Daniel mengajukan sebuah alasan.

Kiara melengos. “ Lo pasti bisa bagi waktu antara kerja, pacaran, sama ngurus adik, Danny.”

“ Gue rasa nggak begitu.”

“ Danny!” Kiara sedikit kesal. “ Gue ini bukan prioritas utama lo lagi, tau nggak? Gue udah dua puluh tahun, Dan! Gue bisa ngurus diri gue sendiri! Oke, gue menghargai kalo lo masukin gue ke dalam daftar prioritas lo yang nomor satu. Tapi apa pernah lo masukin kebahagiaan lo sebagai prioritas?”

Daniel kembali terdiam. Ia sibuk menelaah perkataan adiknya.

“ Lo tau, Dan? Gue nyari kerjaan paruh waktu itu supaya gue bisa lebih mandiri dan nggak terlalu bergantung ke lo lagi. Gue pengen lo punya pacar yang bisa bikin lo bahagia, Dan. Lebih bahagia dari saat ini.”

“ Gue bakal coba nyari.” Daniel menyerah.

Mata Kiara berbinar. “ Janji?”

Daniel mengangguk. Tangannya membentuk lambang ‘peace’. Kiara tersenyum lebar.

“ Gue ngerekomendasiin Diandra. Lo masih inget kan, sahabat gue Diandra? Dia naksir sama lo, Dan,” kata Kiara semangat. Daniel tersenyum.

“ Gue coba, deh.” Daniel mengacak-acak rambut adik satu-satunya itu. “ Udah, tidur sana. Besok kita jalan lagi.”

“ Hah? Jalan lagi?” tanya Kiara.

Daniel mengangguk. “ Iya. Rey yang ngajak. Sampe gempor, katanya,” jawabnya pelan. “ Tidur sana. Udah malam. Besok Rey jemput jam sembilan.”

“ Asyiiik!” pekik Kiara kegirangan seperti anak kecil. “ Oke, gue tidur dulu, deh. Night, Danny,” ia mengecup pipi kakaknya kilat sebelum berlari ke kamar.

“ Have a nice dream, Ki.” Daniel hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya.

Setelah Kiara menutup pintu kamar, Daniel menyalakan televisi, tetapi tidak ditontonnya. Entah mengapa film yang ditayangkan di Malam Minggu ini kurang menarik perhatiannya ketimbang sebuah foto besar yang dipajang di ruang televisi.

Kebahagiaan, ya? Daniel tersenyum sinis. Ia tidak percaya dengan kalimat ‘Happily Ever After’. Baginya, kebahagiaan sempurna itu tidak ada di dunia ini. Paling-paling hanya kebahagiaan sesaat.

Setelah kedua orangtuanya meninggal, Daniel merasa tidak pernah menemukan apa yang dinamakan kebahagiaan sempurna seperti yang ada di novel-novel roman. Kehilangan kedua orangtuanya sama seperti kehilangan sepasang paru-paru yang menopang hidupnya.

Daniel masih ingat betul bagaimana ia kehilangan ibunya.

                                                            ~***~

Daniel menatap wanita yang terbaring di atas ranjang rumah sakit itu dengan miris. Sesekali wanita itu memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya yang semakin lama semakin sesak. Di sebelah wanita itu ada seorang anak perempuan yang sedang memeluk wanita itu. Wanita itu membelai-belai rambutnya.

“ Mama...” panggil Daniel lirih. Wanita yang bernama Revanya Dirgantara itu menoleh.

“ Iya, sayang?” tanyanya lembut.

“ Mama harus kuat, ya. Janji?” Daniel merajuk. Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Revanya tertawa mendengar perkataan anak sulungnya itu. Disuruhnya bocah berusia enam tahun itu berbaring di sebelahnya.

“ Mama nggak bisa janji, sayang...”

“ Kenapa?”

“ Ini takdir Tuhan, sayang. Kalau Tuhan memang mau mengambil mama sekarang, ya kita nggak bisa nolak,” ia menjelaskan. Penjelasan itu membuat Daniel menangis.

“ Mama kok gitu, sih...”

Revanya mengecup pelipis anak sulungnya itu. Tepat setelah itu, napasnya mulai terengah-engah. Daniel jadi panik.

“ Ma? Mama? Mama nggak apa-apa, kan? Ayo, ma, mama harus bertahan...” ia menggenggam tangan ibunya kuat-kuat. Revanya kembali tersenyum.

“ Daniel sayang, anak mama yang paling gagah dan berani...” bisiknya lirih, “ kalau mama udah nggak ada, kamu jaga Kiara sama Irvina, ya? Jangan buat papa repot. Ya sayang? Mama sayang kalian semua...”

Revanya memberikan sebuah ciuman penuh kasih sayang kepada Daniel dan Kiara. Ia memeluk kedua anaknya itu erat-erat, seolah belum rela berpisah dengan mereka. Tetapi, beberapa saat kemudian pelukannya melemah, terus melemah, sampai akhirnya ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

“ Mama! Jangan tinggalin Daniel, ma! Daniel sayang mama...” bocah berusia enam tahun itu terus mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang terbujur kaku. Sementara adiknya yang baru berusia dua tahun menangis keras-keras, seolah tahu bahwa ibunya pergi hari ini. Sampai beberapa lama kemudian, Rafael Dirgantara langsung menggendong kedua anak itu, menjauhkan mereka dari jasad ibu mereka.

“ Papa... Daniel nggak mau ditinggal mama...” Daniel terus menangis sambil memukul-mukul bahu ayahnya. Terus

seperti itu, sampai akhirnya ia kelelahan dan tertidur.

                                                            ~***~

Daniel mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Airmatanya selalu saja mendesak untuk keluar saat ia mengenang kejadian itu. Tak lama setelah kematian ibunya setelah melahirkan adik keduanya, Irvina Dirgantara, bayi mungil itu menyusul kepergian ibunya. Daniel sudah merelakan mereka berdua pergi. Ia masih punya ayah. Ia masih punya satu kebahagiaannya. Tetapi dua tahun setelah itu, kebahagiaan itu lagi-lagi direnggut paksa darinya dan Kiara.

                                                            ~***~

Malam itu Malam Minggu. Seperti biasa, Rafael Dirgantara, ayah dari Daniel dan Kiara Dirgantara, mengajak kedua anaknya berjalan-jalan. Ritual itu mereka lakukan mulai pukul 17.00 sampai pukul 20.00. Dan kali ini, mereka berdiri di basement, bersiap untuk pulang ke rumah.

Rafael sedang mempersiapkan mobil yang ditumpanginya bersama kedua anaknya ketika melihat bayangan

sekelompok orang yang misterius. Insting detektif-nya langsung muncul.

“ Daniel, cepat bawa Kiara sembunyi.” Perintahnya tegas.

“ Hah? Memang ada apa, pa?” tanya Daniel polos.

“ Udah, lakuin aja apa kata papa. Cepat, Daniel,” Rafael kembali memerintah anaknya. Daniel pun membawa Kiara bersembunyi di balik sebuah mobil besar.

Beberapa saat kemudian ia mendengar suara dua orang laki-laki yang berdebat. Lalu selang beberapa saat ada baku hantam. Dan sepuluh menit kemudian...

DOR!!!

Daniel mendengar suara tembakan yang mengerikan. Suara itu muncul tak hanya sekali, namun berkali-kali. Ia pun menutup telinga Kiara supaya adiknya itu tak mendengarkan suara yang mengerikan tersebut, walaupun resikonya ia harus mendengar suara tembakan itu berkali-kali. Beberapa lama kemudian suara itu berhenti, digantikan oleh suara derap kaki yang semakin lama semakin menjauh. Daniel yang merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi langsung keluar dari tempat persembunyiannya bersama adiknya. Ia langsung shock melihat kondisi ayahnya yang mengenaskan. Dada beliau dihantam timah panas tidak hanya satu, tetapi banyak. Wajahnya dipenuhi luka lebam. Beliau sekarat.

“ Papa!” jerit Kiara melihat kondisi ayahnya. Gadis kecil berusia empat tahun itu langsung memeluk ayahnya, membuat seluruh tubuhnya ikut terkena darah.

“ Pa... papa...” panggil Daniel.

“ Da... niel,” Rafael terbatuk, “ ka... kamu jaga Ki... ara, ya... jaga di...a ba...ik-b... baik, D... Daniel...”

Setelah itu Rafael langsung kehilangan kesadarannya. Daniel dan Kiara menangis, menjerit, dan meraung melihat ayah mereka yang tercinta sekarat

. Satpam basement datang bersama para pengunjung mall. Seseorang langsung menelepon ambulans. Lalu, yang Daniel ingat, ayahnya dibawa ke rumah sakit. Namun sebelum sampai di rumah sakit, sang ayah telah menghembuskan napas terakhirnya. Ketika ia dan Kiara menangisi ayahnya yang telah pergi, Oom Alex, salah seorang sahabat ayahnya, langsung membawa mereka pergi.

                                                            ~***~

Daniel merebahkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata, berusaha melupakan ingatan menyedihkan tersebut. Ayahnya tewas akibat dikeroyok dan ditembaki oleh anggota geng penjahat yang kala itu sedang diincar polisi. Ia sangat bersyukur beberapa minggu setelah kematian ayahnya, geng itu langsung ditangkap. Ia berharap mereka membusuk di penjara.

Setelah kematian ayahnya, Daniel dan Kiara tidak terurus. Tidak ada yang merawat mereka, baik dari pihak Keluarga Revanya maupun pihak Keluarga Rafael. Hal itu disebabkan karena pernikahan mereka berdua tidak disetujui. Untunglah Oom Alex dan isterinya, Tante Widya, bersedia merawat mereka berdua. Rumah mereka berdua terletak persis di sebelah rumah masa kecil Rey. Dari situlah persahabatan mereka dimulai.

Ketika Daniel lulus SMA, Oom Alex dan Tante Widya pindah ke Australia. Mereka berdua meninggalkan Daniel dan Kiara di bawah pengasuhan adik Oom Alex, yaitu Oom Niko. Begitu lulus SMA, Daniel langsung berusaha meraih cita-citanya menjadi detektif swasta seperti almarhum ayahnya. Dan jadilah ia seperti ini. Menurutnya, kebahagiaan itu kembali sedikit setelah ia berhasil menjadi salah satu detektif swasta di BEPIA dan mengajak Kiara pindah ke sebuah apartemen yang ia sewa sendiri. 

“ Gue ngerekomendasiin Diandra. Lo masih inget kan, sahabat gue Diandra? Dia naksir sama lo, Dan.”

Entah mengapa di tengah-tengah keasyikannya mengingat masa lalu, perkataan Kiara muncul kembali di pikirannya. Mungkin Kiara benar. Ia harus mencari kebahagiaan baru.

Diandra, ya. Hmm...

Sebenarnya Daniel juga tertarik kepada gadis itu. Sejak pertemuan mereka yang pertama kali di rumah sakit, ia merasa bahwa gadis itu sangat menarik. Tetapi Daniel segera melupakan perasaan itu. Ia masih belum menginginkan kehidupannya ini diwarnai dengan sesuatu yang bernama cinta itu.

Tapi mengingat percakapannya dengan Kiara tadi, ia jadi tergoda. Mungkin kali ini ia bisa mencoba...

Ah, sudahlah. Daniel menatap ke arah langit-langit. Coba saja dulu. Siapa tahu berjodoh, ya, kan?

Daniel tersenyum. I’ll try, then... pikirnya.

                                                            ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top