Between Love and Crime
Bunyi alarm membuat Gabriel terbangun. Cewek itu mengerjap-ngerjapkan matanya selama beberapa kali, berusaha membuat pandangannya jadi lebih jelas. Ia terkejut ketika mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing baginya. Bukan kamar berwarna pink dengan sofa dan springbed yang empuk, karpet tebal, serta boneka bertebaran miliknya, namun kamar dengan dinding berwarna biru laut, kasur berukuran king size, dan komputer lengkap dengan seabrek peralatan kerja lainnya. Tentu bukan tipikal kamar untuk seorang cewek pemilik kafè kecil yang girly.
Matanya terbelalak ketika melihat pakaiannya terserak di lantai, bercampur dengan pakaian seorang pria. Buru-buru ia membungkus tubuhnya dengan selimut rapat-rapat. Kemudian ia berusaha berdiri, mengabaikan rasa pusing yang menjadi di kepalanya. Ia membuka pintu kamar dengan tergesa-gesa sehingga pintu itu menabrak dinding dan menimbulkan suara berdebam. Hal tersebut membuat seorang cowok yang berdiri menghadap jendela besar menoleh kaget.
Seketika Gabriel terpaku melihat cowok itu. Bibirnya kering dan lidahnya kelu. Cowok itu pun mengalami hal yang sama.
“ R... Radit?” dengan terbata ia mengucapkan satu nama tersebut.
***
Beberapa saat kemudian, Radit dan Gabriel duduk berhadapan di sofa ruang keluarga. Mereka berdua sama-sama terdiam. Perasaan canggung memenuhi atmosfer di ruangan itu.
“ Radit...”
Cowok itu menengadah, menatap mata hitam milik Gabriel. “ Ya?”
“ Jadi... kita...”
“ Yeah. We did ‘that’,” tukas Radit langsung, mencegah Gabriel melanjutkan kalimatnya. Mereka berdua kembali terdiam untuk beberapa saat sebelum Gabriel kembali berkata.
“ Tapi kita nggak sengaja, kan? Kita... kita mabuk, kan?” nada suaranya terdengar panik. Radit menghela napas, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.
“ Iya. Kita mabuk,” ia menegaskan, menekankan kata ‘mabuk’. Gabriel tertunduk dengan wajah sedih. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan dan mulai terisak. Ia tidak pernah menyangkan akan begini jadinya.
Semalam ia nekat menerima ajakan Raditya Dewantara, seorang pengusaha muda yang tampan serta digilai oleh para wanita—termasuk dia—untuk pergi ke bar, padahal sebelumnya ia belum pernah pergi ke tempat semacam itu. Lalu, di sana Radit memperkenalkannya dengan beberapa temannya. Mereka menantangnya untuk minum dan ia menerima tantangan gila itu. Dan tanpa disangka, ia dan Radit berakhir seperti ini.
“ Dit... how if I got pregnant?” Gabriel melontarkan kemungkinan terburuk yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Radit kembali menatap Gabriel. Wajahnya terlihat lelah.
“ I’ll take the responsibility,” gumamnya pelan.
“ You sure?”
“ Yes. I’ll marry you, Gab.”
***
Sepasang mata itu menatap lurus ke depan dengan tajam. Tatapan itu terarah ke seorang wanita yang sedang asyik menyirami bunga di halaman depan rumahnya. Sudut bibir pria itu terangkat. Ia sangat senang melihat wanita itu. Semua yang ada di diri wanita itu selalu membuatnya tertarik untuk terus mengamatinya, walaupun hanya dari jarak jauh.
Prasetya Wiranata, itulah nama pria tersebut. Pria yang berusia 27 tahun ini juga merupakan salah satu penghuni di kompleks perumahan ini. Sebenarnya pria ini ramah dan baik hati, namun para warga menjauhinya karena label mantan napi yang melekat di dirinya. Hanya Gabriel, tetangga depan rumahnya sekaligus wanita yang sedari tadi diamatinya yang tidak menjauhinya walaupun ia berstatus mantan napi. Yah, itulah salah satu hal yang membuatnya tertarik pada wanita tersebut.
“ Dik Gabriel, lagi siram-siram, nih?” tanyanya basa-basi. Gabriel sontak menoleh dan tersenyum manis.
“ Iya, bang,” jawabnya.
“ Sendirian di rumah?”
“ Iya.”
“ Lho, Radit-nya mana?”
“ Kerja, bang. Lembur.” Memang, sejak kejadian bulan lalu, Gabriel bertunangan dengan Radit. Mereka tinggal di satu atap. Sudah seminggu ini Radit sering pulang lewat tengah malam atau bahkan tidak pulang. Sebagai seorang tunangan, tentu saja ada rasa khawatir yang terselip di hati Gabriel. Namun ia tidak mau berpikir negatif. Maka ia selalu berpikir bahwa calon suaminya tersebut sedang sibuk sekali sampai harus lembur.
“ Oh...” Pras mengangguk-angguk. “ Makanya nggak pernah kelihatan pulang sore.”
Gabriel kembali tersenyum manis, membuat jantung Pras berdetak lebih kencang. Baru saja ia akan mengatakan sesuatu, sebuah mobil Avanza berwarna putih berhenti tepat di depan mereka. Kemudian seorang wanita keluar dari mobil dengan wajah ceria.
“ Gabriel!” seru wanita itu girang sembari memeluk tubuh Gabriel yang ramping.
“ Callista!” Gabriel balas memeluk sahabat lamanya itu dengan tak kalah riang. “ Ka-pan pulang dari Italia? Jahat ya, nggak datang ke pestaku...”
“ Ahahaha, sorry deh, Gab. Habisnya aku masih kangen sama papa, jadinya stay agak lama di sana. By the way aku baru nyampe bandara semalam,” sahut cewek yang dipanggil Callista itu.
“ Oh... ya udah deh, masuk yuk!” ajak Gabriel lalu merangkul Callista. “ Eh, Bang Pras, duluan ya!” serunya sebelum kembali melangkah masuk rumah.
“ Iya,” Pras membalas. Ketika Callista menoleh untuk melihat wajah Pras, pria itu menyunggingkan senyum misterius. Tatapan tajamnya menusuk, seolah-olah ia sedang mendalami arti tatapan Callista. Kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi ekspresi yang tak bisa ditebak. Callista yang merinding pun langsung memalingkan mukanya.
***
Mata Pras memicing ketika melihat rumah di seberang rumahnya itu begitu sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah yang tidak terlalu besar namun mewah tersebut.
Ia tahu, semalam sekitar pukul setengah dua belas ia melihat Radit keluar dari Pajero-nya dengan dandanan acak-acakan. Selang tak lama kemudian ia mendengar suara teriakan dan bentakan dari bibir kedua penghuni rumah tersebut—tipikal pertengkaran pasangan biasa. Beberapa menit kemudian ia mendengar sebuah jeritan kecil sebelum akhirnya hening.
Awalnya Pras tidak curiga. Mungkin mereka berdamai sesaat setelah pertengkaran mereka. Tetapi, jika suasana di antara mereka berdua baik-baik saja, mengapa rumah itu terlihat begitu sepi? Mengapa aura penuh kemisteriusan menguar dari rumah mewah tersebut?
Pras menggelengkan kepalanya. Dia sudah berpikir terlalu jauh. Yah, mungkin saja mereka masih tertidur.
Tapi dugaan itu langsung terhapus dari pikirannya ketika melihat Radit keluar dari rumah. Dandanannya tetap acak-acakan seperti semalam walaupun setelan jas hitam yang dipakainya semalam telah diganti. Ia membawa dua buah koper besar, sepertinya berisi pakaian. Kemudian ia memasuki Pajero-nya dan pergi dengan cepat. Pras berbalik, bersiap melangkah menuju dapur untuk membuat kopi, namun langkahnya tertahan oleh satu pikiran.
Kemana Gabriel?
Pria itu kembali merapat ke jendela sembari berharap wajah Gabriel terlihat dari balik jendela. Tapi harapan hanya tinggal harapan. Rumah itu tetap sepi, seperti rumah hantu yang telah lama tidak dihuni.
Pasti dia masih tidur. Pasti... Pras berusaha meyakinkan dirinya supaya tidak berpikiran negatif. Ia terus berusaha menepis dugaan bahwa sesuatu telah terjadi dengan Gabriel. Tapi pertengkaran itu terjadi pada tengah malam dan ini sudah siang, hampir sore. Tidak mungkin, kan, Gabriel tidur selama itu? Jika cewek itu beraktivitas di dalam rumah, pasti bayangannya akan terlihat dari jendela. Dan jika mereka baik-baik saja, tidak mungkin Radit pergi dari rumah dengan tergesa-gesa seperti itu.
Pasti ini ada apa-apanya.
Pras pun memutuskan untuk mengecek keadaan Gabriel, tetapi kemudian ia berhenti. Ia merasa dirinya terlalu ikut campur. Akhirnya ia pun memutuskan untuk membuat kopi.
***
Tiga jam kemudian, Pras kembali mengamati keadaan rumah tetangganya itu. Rumah itu berstatus sama seperti tiga jam yang lalu, sepi dan—kelihatan—tak berpenghuni. Sebenarnya Pras ingin langsung mendobrak pintu tersebut, namun ia menahan diri. Ia tidak mau dianggap lebih kriminal lagi.
Tetapi, setengah jam kemudian, pria itu mulai tak tahan. Dia gelisah. Gabriel juga belum muncul sejak tadi. Dengan hati yang mantap pun ia pergi ke rumah tetangganya itu.
“ Dik Gabriel?” panggilnya. Tidak ada sahutan. Pras pun mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
“ Dik Gabriel?” tetap tidak ada sahutan. Diketuknya pintu itu lebih keras. Tetap tidak ada tanggapan. Oke, hanya satu jalan untuk masuk.
“ Sorry, Dit, tapi ini perlu banget...” gumamnya sesaat sebelum mendobrak pintu tersebut. BRAK!!! Pintu itu terbuka dengan satu tendangan keras. Setelah pintu membuka, Pras langsung berlari menuju kamar Gabriel di lantai atas.
“ Dik Gabriel?” Pras membuka pintu kamar dan tampaklah sebuah pemandangan yang membuatnya shock.
“ Oh, God...”
***
Seminggu setelah kejadian tersebut, Callista tidak pernah main ke rumah yang didiami Gabriel dan Radit lagi. Tatapan tajam Pras, ekspresinya yang tidak bisa ditebak, serta aura misterius yang melekat erat di tubuh pria itu masih tertanam di otaknya. Ditambah lagi dia memiliki gelar mantan napi. Ngeri rasanya membayangkan semua hal itu.
Tetapi, kali ini ia mendapat sebuah firasat. Firasat tentang sesuatu yang buruk akan menimpa temannya. Awalnya ia menganggap itu hanyalah sebuah pikiran konyol akibat kelakuan Pras yang mencurigakan. Namun makin lama firasat tersebut makin terasa nyata, sehingga cewek berdarah Italia ini harus memastikan bahwa Gabriel baik-baik saja walaupun ada resiko ia akan bertemu dengan pria berwajah sangar yang tinggal di seberang rumah sahabatnya itu.
Saat ini, Callista sedang memacu mobilnya di jalanan yang tidak terlalu ramai. Semakin dekat ia dengan rumah Gabriel, detak jantungnya semakin keras. Sampai akhirnya ia tiba di depan rumah mewah itu. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat pintu depan yang terbuka lebar.
“ Gab? Gabriel?” panggilnya begitu masuk ke dalam rumah. Dengan tergopoh-gopoh ia menaiki tangga menuju kamar Gabriel. Ia kembali mengalami sport jantung ketika melihat Pras, pria yang ia harapkan tidak akan pernah ditemuinya lagi sedang bersimpuh di sebelah Gabriel. Kondisi Gabriel begitu mengenaskan. Sebuah pisau tertancap di lengan kanannya dan satuu lagi di paha kirinya. Darah mengotori pakaiannya. Belum lagi lebam yang memenuhi sekujur tubuhnya. Seketika tatapannya tertuju ke arah Pras.
“ Heh, lo apain temen gue? Hah?” serunya berang.
“ Weits, jangan berpikiran buruk dulu. Gue cuma nolongin temen lo,” Pras berusaha menjelaskan. Tentu saja Callista tidak percaya.
“ Mana ada pelaku kejahatan yang ngaku?” cewek itu tambah berang. “ Jangan sentuh temen gue!” bentaknya sambil melotot.
Pras pun berdiri sambil mengangkat tangannya. “ Oke deh, nona cantik. Gue gak bakal nyentuh temen lo sedikitpun,” ujarnya santai. Setelah memberikan satu tatapan tajam, dengan cepat Callista menggantikan posisi Pras di samping Gabriel.
“ Gab? Gab, lo bisa denger gue, kan? Please, Gab, bangun... gue gak mau lo mati,” ujarnya sembari mengguncang-guncang tubuh Gabriel. Tentu saja tak ada respon.
“ Gabriel...” Callista terus menerus memanggil nama sahabatnya itu sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya. Hal itu membuat Pras memutar bola matanya. Ngapain coba manggil-manggil doang? Orang juga kagak ada respon dari Gabriel, pikirnya.
“ Gab...”
“ Maaf ngeganggu,” potong Pras cepat yang membuat Callista langsung menoleh dan menghadiahinya sebuah lirikan tajam. “ Bukannya lebih baik telpon ambulans? Biar dia cepet ketolong,” lanjutnya.
Callista terdiam. “ I... iya juga sih,” cewek itu menggaruk kepalanya yang Pras yakin tidak gatal sama sekali. Pria itu kembali memutar bola matanya. Nih cewek gak mikir amat ya, pikirnya lagi.
“ Heh! Ngapain lo pake muter bola mata segala? Cepetan telepon ambulans!” perintah Callista yang tidak suka dengan ekspresi Pras.
“ Iya, iya, nona cantik,” sahut Pras kaget.
“ Nggak usah manggil gue dengan sebutan ‘nona cantik’ begitu!” marah Callista lagi.
“ Iya, iya...” sebenarnya Pras jengkel. Tetapi untuk menghindari pertengkaran lebih lanjut, maka ia memilih untuk mengikuti gadis ini saja.
“ Udah,” Pras menutup flip ponselnya, lalu memasukkannya ke saku.
“ Good.”
“ Lo nggak nyiapin barangnya Gabriel buat di rumah sakit nanti?” tanya Pras.
“ Bener juga lo,” kata Callista. Kecurigaan di wajahnya mulai berkurang walaupun hanya sedikit. Hal itu cukup membuat Pras lega, setidaknya ia tidak lagi terlalu dicurigai.
“ Jangan lega dulu. Gue masih nganggep lo sebagai tersangka,” pernyataan Callista kontan membuat perasaan Pras down lagi.
“ Terserah, deh...” gumamnya pasrah.
***
Daniel memarkirkan Honda MegaPro merahnya di basement apartemennya. Cowok berusia 24 tahun itu kemudian menaiki lift menuju lantai 3. Di lantai 3 ia meneruskan langkahnya menuju apartemen yang terletak di pojok kiri. Ia sedikit kaget menemukan apartemennya dalam keadaan tidak terkunci.
“ Ki?” ia memanggil adiknya. “ Lo udah pulang?”
“ Iya, gue di sini,” sesosok cewek keluar dari kamar. Wajahnya fresh, menandakan cewek itu baru selesai mandi.
“ Tumben lo udah pulang?”
“ Kerjaan cuma dikit,” jawab Kiara santai, “ lha lo sendiri?”
“ Kasusnya udah kelar,” Daniel melepas jaketnya lalu melemparkannya ke sembarang tempat. Memang, Daniel bekerja sebagai detektif swasta di BEPIA—Bali Eye Private Investigation Agent—, sebuah lembaga penyelidikan yang bertugas menyelidiki kasus yang bersifat pribadi. Sudah dua minggu ini ia ditugaskan untuk menyelidiki kasus perselingkuhan seorang isteri pejabat.
“ Ki, injek-injekin badan gue, ya.” Pinta Daniel setelah ia tengkurap di samping sofa.
“ Mandi dulu, ngapa?”
“ Entaran dulu. Pegel banget nih badan gue.”
“ Dih, jorok.”
“ Biarin. Eh, nginjeknya agak kerasan, ya. Biar mantep.”
“ Oh, mau yang mantep? Bentar,” Kiara beranjak masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia muncul dengan sepatu high heels setinggi 10 cm.
“ Mau ngapain lo?” tanya Daniel was-was ketika adiknya tersebut berjalan mendekatinya.
“ Katanya mau yang mantep. Ya gue pake ini,” jelas Kiara enteng sambil menunjuk high heels yang dikenakannya. Hal itu membuat Daniel mendelik.
“ Lo mau bunuh gue? Udah, pake kaki telanjang aja!” serunya kesal.
“ Duh, Dan, kalo gue gak sayang sama lo, udah gue getok pala lo ampe mati dari dulu,” Kiara merengut, kemudian menaiki tubuh kakaknya yang kekar dan berisi tersebut. Keheningan memenuhi atmosfer di antara mereka berdua selama beberapa saat.
“ Gimana akhir kasusnya?” Kiara buka suara.
“ Ternyata yang sering bareng sama isteri pejabat itu cuma sahabatnya. Suaminya aja yang cemburuan,” jelas Daniel pelan.
“ Sia-sia dong lo pake nyamar-nyamar segala?” cibir Kiara.
“ Seenggaknya gue dibayar, kan?” balas Daniel.
“ Hehe, iya juga sih.” Kiara terkekeh. “ Eh, lo mau makan nggak? Habis ini gue mau masak.”
“ Emang ada apa aja?”
“ Cuma telur doang.”
Daniel manyun. “ Nggak banget, deh...”
Kiara terkekeh lagi, “ sorry. Gue belum sempat belanja.”
“ Adik macam apa lo itu?” ledeknya. “ Masak yang enakan dikit kek. Spaghetti kah, sayur asem kah...”
“ Dih, gaya lo! Dulu lo itu suka banget makan nasi ama garam doang! Pake pengen makanspaghetti segala,” balas Kiara tak mau kalah.
“ Tapi ngertiin gue, dong. Abang lo satu-satunya yang paling cakep ini kan udah kerja, capek, kudu nyamar, kudu lari-larian, kudu berantem sama tukang pukul tersangka... masa’ cuma dikasih makan telor? Bisa-bisa kurus badan gue nih. Ntar kalo gue kurus terus dipecat, lo mau makan apa?”
“ Garam,” jawab Kiara santai sesantai-santainya.
“ Dasar kunyuk,” gumam Daniel dan BUG!!! Satu tendangan mendarat telak di pantatnya.
“ Ki! Sakit, tau!” protesnya.
“ Maaf abangku yang ganteng, adikmu ini nggak sengaja,” kata Kiara dengan wajah tak berdosa. Daniel melengos. Baru saja ia akan mengatakan sesuatu, intro lagu Kasabian yang berjudul ‘Days are Forgotten’ terdengar. Ada panggilan masuk. Kiara mengambil ponselnya yang tergeletak di meja dan mengangkat telepon.
“ Halo?”
“ Ki!” suara Callista terdengar panik. “ Cepetan ke rumah sakit, sekarang!”
“ Hah? Siapa yang sakit?” Kiara bertanya.
“ Gabriel, Ki... Gabriel...”
“ Gabriel kenapa?”
“ Gabriel sekarat, Ki! Kayaknya dia dibunuh...”
“ Ya ampun... oke, oke, gue kesana. Ya? Lo hubungi yang lainnya dulu.”
“ Cepetan, Ki!”
“ Iya, iya, lo tenang dulu, ya? Berdoa, supaya Gabriel selamat. Oke? Gue cabut bentar lagi.” Klik. Sambungan telepon diputus. Wajah Kiara berubah panik.
“ Ki? Ada apa?” Daniel berdiri lalu menatap adiknya dengan wajah khawatir.
“ Dan, cepetan mandi dan anterin gue ke rumah sakit!” seru Kiara panik.
“ Hah? Ngapain?” Daniel bingung.
“ Gabriel, Dan... dia sekarat, dia dibunuh, Dan. Cepetan mandi!”
“ O... oke, oke.” Daniel pun ngibrit ke kamar mandi.
***
Rumah Sakit Sehat Husada, pukul 18.30.
Daniel dan Kiara baru saja sampai. Mereka berjalan setengah berlari menuju tempat di mana Callista dan yang lainnya menunggu. Di sana sudah ada Callista, Tante Renata—Ibu Gabriel—, Tante Diana—Ibu Radit—, Pras, Bella, Alya, Diandra, serta Karina.
“ Gimana Gabriel?” tanya Kiara langsung.
“ Kritis. Dia kehilangan banyak darah,” Bella menatap ke arah ruang operasi dengan tatapan sedih.
“ Radit mana?” Kiara kembali bertanya.
“ Nggak tahu. Ponselnya juga nggak aktif,” Diandra angkat bicara.
“ Tadi gue lihat dia pergi,” sahut Pras. Kontan semua pandangan tertuju ke arahnya.
“ Yakin lo?” Callista mengangkat alis, tak percaya.
“ Yaelah, non. Kagak percaya amat sih sama gue?” Pras kesal karena tidak dipercayai.
“ Abis muka lo muka kriminal,” ucap Callista enteng. Pras jadi semakin keki.
“ Jadi menurut lo, tersangka utamanya Radit?” Daniel buka suara. Semua pandangan teralih kepadanya.
“ Lho, Ki, ini siapa?” tanya Karina bingung. Kiara menatap sahabatnya satu persatu. Ia memang belum pernah mempertemukan Daniel dengan mereka.
“ Girls, ini Daniel Dirgantara, abang gue,” Kiara menunjuk Daniel, “ Dan Danny, ini sahabat gue, Bella, Callista, Karina, Diandra, sama Alya...”
Daniel mengulurkan tangannya dan disambut oleh Alya. “ Gue Alya.”
“ Callista.”
“ Karina. Panggil gue Karin.”
“ Bella.”
Akhirnya tangan Daniel terulur ke arah Diandra, namun cewek itu tak kunjung menjabat tangannya. Matanya terfokus ke wajah Daniel.
“ Di? Diandra?” panggil Callista. Tak ada respon.
“ Hoy, Diandra, hoy... sadar!” Karina menjentikkan jarinya beberapa kali di depan muka Diandra. Cewek itu pun tersadar seketika.
“ Eh, iya?” Daniel tersenyum melihat mimik muka Diandra yang lucu. Hal tersebut membuat Diandra melted.
“ Diandra, kan? Gue Daniel, panggil aja gue Dan atau Danny,” cowok itu pun mengambil inisiatif untuk menjabat tangan Diandra terlebih dahulu.
“ Mmm... iya. Salam kenal ya,” Diandra membalas malu-malu. Daniel kembali tersenyum.
“ Oke, kembali ke topik awal. Jadi, menurut... eh, siapa nama lo?” Daniel menoleh ke arah pria yang berdiri di samping Callista yang tak lain dan tak bukan adalah Pras.
“ Pras.”
“ Jadi, menurut lo, tersangka utamanya itu Radit?”
“ Ya. Gue yakin.”
“ Nggak mungkin! Radit nggak akan mencoba untuk membunuh Gabriel! Radit bukan anak yang seperti itu,” sanggah Tante Diana.
“ Betul! Lagipula, bisa jadi Pras yang membunuh Gabriel, kan? Dia yang pertama datang ke rumah Gabriel dan dia juga mantan napi! Mungkin aja dia ngelakuin kejahatan lagi!” Callista mendukung sanggahan Tante Diana. Pras yang semakin kesal menghadiahinya dengan tatapan tajam, membuat cewek itu terdiam.
Daniel menghela napas. “ Nggak semua orang yang pertama kali datang ke TKP itu tersangka utamanya,” jelasnya.
“ Kenapa bisa begitu?” cecar Tante Diana. “ Dan darimana kamu tahu?”
“ Tante, saya kerja di BEPIA dan saya sudah pernah mengerjakan kasus seperti ini. Kalau tante mau bukti, ini saya punya lisensinya,” Daniel merogoh sakunya, mengeluarkan dompetnya, lalu menunjukkan lisensi yang menandakan bahwa ia merupakan detektif.
“ Tapi nggak mungkin, kan, Radit yang melakukan itu? Anak saya nggak jahat...” wajah Tante Diana berubah sedih. Tante Renata menepuk-nepuk bahunya.
“ Sekarang kita lapor ke polisi saja, supaya cepat ditangani,” usul Daniel.
“ NGGAK!” seru Tante Diana langsung. Semua menatap beliau dengan wajah bingung.
“ Lah, kenapa tante?” tanya Karina.
“ Saya nggak mau kasus ini dipublikasikan! Polisi itu kerjanya transparan, jadi pasti ada pihak yang mempublikasikan hal ini. Saya ingin kasus ini diselidiki secara pribadi.”
“ Kalau begitu tante bisa sewa detektif swasta,” kata Bella.
“ Iya, betul,” dukung Kiara.
“ Baiklah kalau begitu,” Tante Renata angkat bicara, “ kami mau Daniel yang menangani kasus ini.”
“ Sa... saya?” Daniel terkejut. “ Jangan, tante. Saya punya teman yang lebih berpengalaman menangani kasus ini. Tante mau saya hubungkan dengan teman saya?” cowok itu bersiap untuk menelepon Rey, sahabatnya ketika Tante Renata mencegahnya.
“ Nggak usah. Kami mau kamu yang menangani kasus ini. Harus kamu.” Tegas beliau. Daniel menelan ludah. Goodbye libur sementara...
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top