XXV. Perjanjian Terakhir
Beberapa hari kemudian, setelah mendengar penuturan Aya. Alsava pun paham. Adrian kini sudah sadar dan bisa berjalan walau harus dibantu kruk dan terpincang-pincang. Kadar toleransi rasa sakitnya seimbang dengan kebebalannya yang tidak mau istirahat lama-lama di kamar perawatan. Sebaliknya, Dadang masih terkapar lemah dan belum sadar dari tidurnya.
Tubuh Dadang hancur lebur, perban di dada, patah di tangan, collar neck membungkus leher, dan memar di kepala. Seluruh hidupnya bertopang pada kanula oksigen, layar elektrokardiogram, dan cairan infus. Seketika Alsava merasa kasihan.
Pria itu ... sejak awal mengorbankan segala-galanya untuk seseorang yang ia cintai. Dadang tidak jahat, hanya saja ia salah cara untuk menyelamatkan kekasihnya. Apapun akan saya lakukan untuk mengembalikan senyumannya, kalimat itu pernah Alsava dengar dan menjadi awal mula konfrontasi mereka.
Sekarang Alsava paham. Senyum Aya, gadis manis yang kehilangan rambut, rona di wajah, dan daging di balik kulitnya—orang yang Dadang sayangi sepenuh hati melebihi kasihnya pada siapa pun.
Siapa pun akan berlaku gila jika orang yang dicintainya perlahan sekarat dimakan penyakit mematikan.
Tetapi Aya tegar. Tidak sedikit pun ia mengutuk sakitnya. Justru keselamatan Dadang-lah yang membuatnya was-was. Sorot khawatir terpancar jelas ketika wanita tersebut mengulurkan tangan ke wajah Dadang, mengelusnya, menyentuh memar demi memar dengan lembut: seperti kaki peri melangkan di atas permukaan danau tanpa menimbulkan riak.
"Dia laki-laki terbodoh sekaligus paling berani yang pernah kutemui," celetuk Aya. Tubuhnya membungkuk, mengecup hidung dan dahi Dadang. Lamat-lamat, bibir pucat itu menyesap penyesalan berbalurkan air mata. Aya menangis.
Hati Alsava semakin perih. Adrian menenangkannya dengan menggenggam tangan Alsava erat-erat. "Gak apa-apa." Dibanding Dadang, Adrian hanya mengalami luka ringan dan retak di lengan kanan. Masih sadar dan mampu berjalan.
"Kalau nyokap lo nanya kenapa, lo jawab apa?"
Adrian terdiam, agak bingung dengan pertanyaan mendadak tersebut. "Gue bilang habis berantem. Selesai."
"Kalau Pak Dadang kenapa-kenapa, bokap nyokapnya bakal peduli gak?" Tatapan Alsava menerawang ke depan. Berkabut, ada air mata menggumpal di pelupuk matanya. "Gue kasihan. Selama ini gue ngira dia cuma orang tamak. Gue gak peka."
Adrian mendesah, "Bukan salah lo. Pak Dadang juga gak mau cerita."
"Pantas Pak Dadang marah banget ke gue. Gue emang anak manja." Alsava menghapus air matanya dengan lengan baju. "Gue ngerasa bersalah, aneh."
"Kasihan ke diri sendiri gak bakal bikin Pak Dadang sehat. Mending kita keluar."
Alsava mengangguk. Namun, baru dua langkah mereka beranjak. Dadang tiba-tiba mengerang. Kedua tangannya bergerak terangkat, seolah mencari sesuatu. Kedua matanya terbuka separuh, seperti orang mengantuk. Ada ringisan nyeri ketika ia mencoba duduk, dan Aya segera mencegahnya bergerak lebih jauh.
"A-air," pinta Dadang. Aya segera mencari-cari di nakas. Tidak ada apa-apa. Ruangan sempit berisi satu ranjang dan kamar mandi dalam itu baru saja mereka masuki.
"Gue yang beli." Adrian keluar kamar. Sedetik kemudian, kepalanya muncul seperti jamur di balik pintu. "Diem di sini ya, jangan ke mana-mana." Ia menunjuk Alsava.
"Iya, gue gak bakal lari kok. Kan, ucah pincang." Alsava tersenyum. Adrian balas dengan senyum yang lebih manis.
"Kalian ... kenapa masih di sini?" tanya Dadang, suaranya parau dan kering. Aya masih di sampingnya, berusaha menenangkan. "Ay, kamu seharusnya istirahat. Sudah saya bilang, jangan pergi sendiri. Siapa yang menemanimu ke sini? Kenapa, kenapa menangis? Siapa yang membuatmu sedih?" Dadang menjulurkan jari telunjuknya, berusaha menghapus basah dari pipi kekasihnya.
"Kamu bikin aku takut. Kupikir kamu bakal mati."
Dadang terkekeh, "Untukmu, saya larang nyawa saya sendiri pergi sebelum kamu bahagia."
"Dan!" panggil Aya, "Sudah. Berhentilah."
"Tidak! Saya tetap usahakan. Kita pergi ke Singapura besok. Saya sudah menyiapkan segala-galanya. Maaf kalau saya tidak bisa menemani kamu berangkat."
"Dan? Kankerku sudah parah. Tidak ada harapan. Cepat atau lambat aku bakal mati. Jangan kematianku datang lebih cepat dengan kelakuan anehmu."
"Aya ...." Suara Dadang melemah. "Jangan menyerah! Pasti ada cara. Saya yakin kamu bisa hidup sampai tua. Kita akan menikah Aya, punya anak dua, perempuan dan laki-laki. Yang perempuan akan mirip saya, nakal, tetapi perhatian. Yang laki-laki manis sepertimu, lembut dan agak cengeng. Kita sudah sering membicarakan ini, kan' Ay? Kita akan membangun keluarga, punya rumah, hidup bersama ...."
Tangis Aya semakin deras. "Dan ... cukup."
"Kita akan melihat mereka tumbuh dewasa, Ay. Kita akan berjuang membesarkan mereka. Kita kuliahkan di universitas ternama. Lalu kita akan bangga, karena mereka lulus cum laude."
"Bermimpi ada batasnya, Dan."
"Saya yakin kamu masih bisa bertahan. Kalau kamu kalah, penyakit itu akan memakanmu. Saya tidak mau hidup tanpamu, Aya. Saya menyukai kamu sejak pertemuan pertama kita di perosotan, saya mencintai senyummu, saya menyayangimu. Tolong, jangan suruh saya berhenti menyelamatkan kamu."
"Tidak ada yang bisa diselamatkan, Dan."
"Ay, kamu tidak menyayangi saya?"
"Justru karena aku sayang, aku gak kuat lihat kamu menderita."
"Ay ...?"
"Dan, berhenti. Aku mohon."
Dadang tidak merespons. Ia malah menjulurkan tangan sehatnya ke depan dan memeluk pundak ringkih Aya. Mendekapnya lemah seolah memeluk patung kaca yang mudah pecah. Sorot mata Dadang menajam, tetapi sedih, dan diliputi kekecewaan. Ia bertemu pandang dengan Alsava. Sejenak gadis itu menggeleng, ikut sedih akan nasib yang menimpa pasangan tragis tersebut.
"Kamu sudah tahu. Aya pasti menceritakan semuanya." Dadang melepaskan pelukannya. Dari atas ranjang, ia menoleh seperti mayat berbicara. "Kalau kamu mau mengadukan saya, silakan. Tetapi saya mohon, tunggu sampai besok. Biarkan Aya pergi dan tenang menjalani perawatannya."
Alsava maju, menyentuh pagar brankar, dan mengamati lebih dekat tubuh penuh perban serta bidai yang membebat kaki kanan dan tangan kirinya. "Gue gak bakal aduin lo."
"Kenapa?"
"Air datang!" Adrian muncul membawa tas kresek bergambar logo minimarket. Aya berterima kasih. Lalu menjulurkan sebotol air mineral dengan sedotan di dalamnya kepada Dadang. Sejenak, suasana hening ketika Dadang minum.
Alsava menyentuh bahu Adrian. "Gue minta tolong, boleh?"
"Gue udah babak belur gini buat lo. Ya bolehlah. Apa?"
"Tolong bawa kak Aya keluar sebentar. Gue mau bicara berdua dengan Pak Dadang."
"Sekarang?"
Alsava mengangguk. Tanpa membantah, Aya melangkah keluar dipapah Adrian yang jalannya terpincang-pincang. Setelah pintu tertutup, barulah Alsava mengembuskan napas, dan menyusun kalimat pembuka dalam kepalanya. Ada banyak hal ingin ia lontarkan, mengenai pertunangan, sekolah Adrian, dan Aya.
"Jangan harap karena kita cuma berdua, kamu bisa membunuh saya."
Leher Alsava berputar tajam, "Idih, geer amat. Ngapain nambah derita situ. Kayak kurang sial aja hidupnya."
Dadang tidak tertawa. "Saya hampir membunuh pacar kamu."
"Cuma hampir. Luka-lukanya ringan. Sementara lo nyaris mati di UGD."
"Jadi, kalau saya tidak diadukan. Kamu mau apa?"
"Mau ceramahin lo." Alsava mengambil napas. "Lo denger kata kak Aya tadi? Dia nyuruh lo berhenti."
"Karena Aya tidak percaya dirinya bisa sembuh."
"Bukan! Lo salah." Alsava menggeram. "Aya sakit parah. Umurnya tinggal sedikit."
"Saya yakin dia bisa sembuh," potong Dadang. Terdengar marah.
"Terima kenyataan, Pak. Aya minta ke lo bukan buat dirinya sehat kayak semula. Dia cuma pengen lo ada di sampingnya."
Dadang terdiam, napasnya berat. Ia memejamkan mata tetapi kentara masih sadar. "Saya tidak sanggup hidup tanpanya."
"Itu namanya egois. Aya udah berusaha, dan itulah hasilnya. Lo gak bisa maksa keadaan. Kadang gak selamanya yang kita perjuangain bakal sesuai dengan apa yang kita harapkan."
"Terus apa, Alsa? Menunggunya mati tanpa usaha?"
"Temenin dia." Alsava menggenggam tangan Dadang yang masih utuh. Lemah dan berurat. Dingin dan pucat. Dadang balas menggenggam, setitik air matanya jatuh, meluncur melewati pelipis, dan akhirnya lesap di atas bantal.
"Saya tidak bisa ...."
"Lo harus bisa. Aya cuma pengin lo temenin di saat-saat terakhirnya. Buat dia bahagia, buat dia mengenang, dan gak menyesal mati muda."
"Rasanya sakit, Alsa. Saya tahu, tetapi saya tidak bisa menerima ...."
"Gue tahu. Kenyataan emang sakit." Alsava belajar. Sejak perceraian kedua orang tuanya, pindah ke kota baru meninggalkan teman-teman, dan bertunangan: membuatnya terbuka bahwa masalah tidak bisa dihindari terus-menerus. "Tapi, tiap masalah pasti ada hikmahnya." Seperti sekarang, Alsava belajar bahwa tidak selamanya yang tampil di permukaan adalah kenyataan yang sesungguhnya.
"Saya tidak sanggup." Dadang menggeleng.
"Lo jadi jelek kalo ngeluh gitu."
"Saya hanya ingin bahagia bersamanya."
"Gue juga awalnya sengasara, Dan. Gue terpaksa tunangan di usia muda."
"Sementara Aya harus mati sebelum punya keluarga."
"Gue tahu. Kalo gue jadi lo, gue udah bunuh diri pasti. Tapi lo kuat. Lo punya tekad dan kemauan. Lo pasti bisa."
"Masalah kita berbeda."
"Tapi punya kesamaan. Kita sama-sama dipermainkan nasib."
"Apakah salah saya mencintai orang yang mencintai ketidakberhargaan saya?"
"Gak, lo gak salah. Lo cuma tersesat, hilang arah. Lo kuat, Dan." Wajah Alsava memanas. Pandanganya berembun karena air mata. Genggamannya semakin kuat, Dadang terus meremas tangan Alsava seolah meminta kekuatan.
"Saya hanya ingin senyumnya kembali."
"Kalo gitu, cobalah jadi kuat di hadapan Aya."
"Berpura-pura tegar padahal saya hancur perlahan-lahan di dalam."
"Kalo lo nyerah, Aya akan sedih."
"Saya sudah menyaru jadi luka dan kesedihan itu sendiri."
"Aya cuma butuh kehadiran lo."
"Saya hanya ingin ia kembali bahagia."
Alsava menggeleng. Air matanya jatuh ke sudut mata Dadang. Kini Alsava-lah luka dan kesedihan pria tersebut. "Lo cuma butuh pengampunan, dari diri lo sendiri."
Dadang tersentak, tangisnya tertahan ketika ia mengatupkan bibir, lantas bersuara, "Pengampunan?" Seolah kata-kata itu asing terdengar. "Ya, saya memang tidak bisa mengampuni diri saya sendiri jika Aya tiada."
"Karena lo sayang dia."
"Karena dialah hidup saya."
"Lo punya hidup sendiri, Dan."
"Hidup saya tidak berarti apa-apa tanpa Aya."
"Lo kayak mau mati."
"Saya mati, sejak Aya divonis kanker stadium akhir."
"Terus? Mengasihani diri sendiri bakal bikin Aya sehat lagi?"
Dadang terdiam. Dadanya mengembang dalam usaha menarik napas. Sakit. Alisnya bertaut ketika ia menahan rasa perih tersebut: entah dari luka atau perasaannya.
"Jawab gue Dan!" Hidung Alsava membersut, rambut pendeknya menjuntai di kiri kanan pipinya. Terayun pilu.
"Saya cuma ingin Aya sembuh."
"Dan itu gak mungkin. Aya butuh lo, Dan. Sebagai teman, pasangan, dan penyemangat. Ini saatnya membalas jasa. Waktunya lo membayar apa yang sudah Aya beri ke lo."
"Andai semudah itu." Suara Dadang memelan, namun kali ini minim penyangkalan.
"Cinta bikin lo gak waras." Alsava kagum, sekaligus perih pada sosok orang yang paling dibencinya sejagat raya. Dengan tangan satunya, Alsava mengelus kening Dadang. Menyingkirkan anak-anak rambut yang menganggu wajah.
"Sejak awal, Alsa. Kamu baru tahu?"
"Lo jadi puitis, gak asik. Nilai Bahasa gue gak bagus, tahu."
"Tahu. Saya lihat di rapot kamu kok." Dadang mengambil napas. Rasanya satu menit seperti penantian yang panjang. Layar EKG bergelombang konstan, ada enam kolom yang masing-masing punya angka dan warna tersendiri. Hijau untuk jantung, biru pernapasan, kuning nadi, merah darah. Tidak ada bunyi konstan mesin seperti di film-film. Sementara kantong infus mengalir ke pergelangan kakinya dan kantong darah ke punggung tangan kanannya.
Dadang membuka mata. "Jadi, bagaimana pertunangan kita?"
"Batalin aja. Gue udah muak."
"Sama. Saya juga sama kesalnya."
"Adrian?"
"Saya tidak punya dendam khusus ke dia. Besok, dia boleh tenang karena saya tidak akan mengganggunya lagi." Dadang meremas tangan Alsava lebih erat. "Maafkan saya, untuk segalanya."
"Gue juga."
"Kamu kuat Alsa. Saya iri masa muda saya tidak seperti kamu."
"Heh, gak usah lebay. Malah gue yang ngerasa gak ngelakuin apa-apa selama ini." Alsava melepaskan tangan, menariknya dengan ringan seolah beban telah lenyap dari sekelilingnya. "Jadi, kita deal?"
Dadang mengangguk. Di bawah temaram cahaya sore yang merayap ke jendela, mereka berjanji untuk mengakhiri apa yang dimulai dari awal. Dadang melepas cincinnya, Alsava pun sama. Besok, Alsava akan membuangnya. Atau dijual, buat keperluan jajan dan traktir teman sebagai syukuran.
Yang mana pun, Dadang sudah tidak peduli pada ikatan tersebut. Alsava membiarkannya istirahat. Di luar kamar, Aya memeluknya tanpa kata, dan segera masuk ke dalam menemani Dadang. Lalu Adrian muncul, masih babak belur. Ia mengulurkan satu tangan, menyerahkan sebotol air minum.
Seketika tangis Alsava tumpah. Tetapi kali ini bercampur kelegaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top