XXI. Waktunya Bergerak


Satu-satunya tersangka yang lewat di pikiran Alsa adalah Dadang. Dia guru, bawahan di perusahaan ibunya, dan punya andil dalam mengawasi yayasan. Jadi, datang ke kamarnya ketika Dadang sibuk mandi adalah satu-satunya kesempatan. Sebuah titik emas yang mungkin tidak akan didapatinya lagi ketika bersama laki-laki yang sangat overprotective kepada barang-barangnya tersebut: Alsa tidak pernah melihat Dadang di depan umum menggenggam smartphone.

Sejurus kemudian suara air pancuran telah menghilang.

"Alsava?!" pekik Dadang datang dari belakang. Alsava diliputi hening—lebih buruk lagi—dia tertangkap basah mengecek smartphone Dadang tanpa permisi. Apa yang harus ia lakukan? Pura-pura gila, kesurupan, amnesia dadakan?

"Kamu ngapain?" tanya Dadang. Suara langkah kakinya yang basah berkecipak di atas marmer. Alsava meneguk liur, berusaha mengumpulkan nyali, dan berbalik perlahan-lahan sembari meletakkan kembali smartphone Dadang di belakang punggungnya.

"Anu ... cuma, kunjungan," jawab Alsava, jelas mencurigakan. Tetapi pikiran kalutnya segera teralihkan sosok Dadang yang basah dan hanya ditutup selapis handuk dari bawah pusar sampai atas lutut.

Glek.

Alsava tahu, Dadang itu ganteng dan bertubuh tegap. Tetapi keseharian membuat ia sering memakai kemeja dan celana panjang bahan katun. Membuatnya mirip pemuda terpelajar yang sedang meniti karier. Alsava tidak tahu, kalau Dadang punya dada bidang padat, perut kotak-kotak, dan otot yang liat, juga berkilauan bekas siraman air.

"Tumben?" tanya Dadang polos. Apakah ia tidak sadar cuma pakai handuk di hadapan seorang gadis baik-baik?

"Di-disuruh Ibu." Muka Alsava memerah, selain kesal karena ketahuan, ia juga malu harus berpandangan dengan Dadang. Entah kenapa, mata cowok itu memicing dan berusaha mendekat ke arahnya. Kaki-kaki Dadang berjalan maju seolah hendak mengambil pakaian dari dalam lemari. Namun, tiba-tiba ia berhenti beberapa jengkal dari hadapan Alsava.

"Kenapa malu? Saya tunangan kamu. Ini pemandangan biasa yang akan kamu lihat setiap hari setelah kita menikah."

Wajah Alsava makin meradang. Entah kesannya terdengar melecehkan atau dia cuma kepalang malu sampai bingung mau membalas apa. "Ja-jangan ngomong macam-macam!"

"Hahaha," Dadang tertawa, jernih dan mengalir. Kenapa suaranya malah bikin suhu kamar meningkat. Harusnya Alsava segera keluar dan menyelamatkan diri, bukanya berlama-lama meladeni ocehan pria tersebut.

"Kamu manis, kalau merona gitu."

DOR! Ada yang meletus di kepala Aslava. "Gu-gue keluar ya." Ia menunjuk pintu kikuk, masih merunduk, berusaha pergi dan berpaling dari kejadian paling awkward seumur hidupnya.

"Tunggu." Dadang mencegat satu tangan Alsava, dingin dan basah. Kepala Alsava seketika meletup-letup dalam rasa panas. "Kamu ngapain, sebenarnya?" tanya Dadang, lebih intens dan tajam. Alsava bisa merasa cengkeraman kuat menyandera pergelangan tangannya. Rasanya suhu menukik tajam ke titik membekukan. Alsava bisa merasa seluruh kehangatan menguap.

"Lepas! Gue cuma kunjungan kok."

"Lalu, masuk kamar saya, termasuk kunjungan juga?"

"Lo pernah masuk kamar gue, masa gak boleh lihat balik."

"Apa yang mau kamu lihat? Saya? Kamar saya? Atau sesuatu ..." Suara Dadang melemah. Tidak ada lagi keriangan. Alsava bisa menebak di balik batok kepalanya, Dadang sedang melihat smartphone­-nya dan mencurigai sesuatu untuk beberapa saat.

"Alsava, kamu lihat ponsel saya?"

Alsava menggeleng cepat. Masih berusaha menarik tangannya dari genggaman Dadang.

"Alsa, saya tanya lagi, kamu melihat isi ponsel saya tanpa permisi?"

"E-enggak."

"Bohong!" Suara Dadang merendah, berat, dan menekan.

"Gak, gue baru aja nyampe ke sini. Sumpah!"

Dadang mengambil napas. Ditariknya Alsava sampai gadis itu menghantam dinding dan kedua bahunya tertangkup lengan telanjang Dadang. Alsava tidak bisa berbuat apa-apa, ia selemah dan sepasrah boneka yang dipaksa menghadap langsung mata pemahatnya. Ketakutan, bingung, dan gugup.

Alsava tidak bisa menatap balik kedua mata yang serius dan berusaha mencincangnya sampai lumat tersebut.

"Alsa, jujur. Kamu lihat isi ponsel saya?"

Alsava menggeleng.

"Saya lihat dari tadi kamu diam di depan ponsel saya. Kamu pasti melihat isinya, 'kan? Jawab!"

Kenapa Dadang bersikeras membuatnya mengaku? Apa perkara bukti transfer itu? Kenapa Dadang tampak sangat marah dan keukeuh ingin membuatnya membuka suara?

Benak Alsava menggelegak, kali ini bukan perkara malu, handuk, dan tubuh berotot yang basah. Tapi kemarahan, sesuatu yang sudah lama tidur dan ingin bangkit ke singgasananya. "Kalau ya, kenapa?" Alsava berusaha melepaskan diri. Setelah dijawab, Dadang melonggarkan pegangannya dan membiarkan Alsava berdiri dua ubin di depannya.

"Gue tahu duit sekolah lo selewengkan. Gue tahu lo yang motong dana operasional sekolah. Loe harusnya malu! Gue aduin ke Ibu, baru tahu rasa."

"Heh," Dadang tersenyum, senyum miring yang menandakan ia masih punya pion penting untuk menyelamatkan diri dari situasi genting. Tetapi nyatanya, senyum itu beralih pahit seolah terkhianati setelah berusaha keras mengorbankan segalanya. "Saya pikir, setelah perjanjian itu, kita bisa dekat. Nyatanya, kamu masih keras kepala dan bebal. Asal kamu tahu, uang itu saya pakai untuk tujuan khusus."

"Apa, tujuan apa?"

"Saya tidak bisa cerita sekarang."

Alsava menggeram kesal. "Apasih di hidup lo yang gak ada agendanya? Lo bersedia tunangan cuma buat jabatan. Sekarang lo dipercayain ngawas sekolah, cuma buat duitnya. Lo tuh sebenarnya mau apa? Kenapa gak pernah puas? Dasar tamak!" Semua keluar seperti ratusan peluru yang menghujat terpidana mati. Sayangnya, sang terdakwa tidak takut. Ia justru menerima semua sakit tersebut sendirian, dengan tangan terbuka.

"Iya, saya tamak. Saya merasa tidak pernah cukup untuk urusan ini. Saya rela melakukan apa saja, demi seseorang. Kalaupun itu membuat saya masuk penjara. Paling tidak, saya berhasil mengembalikan senyumnya."

Alsava tidak paham, yang jelas, pria di depannya sudah gila dan merangkap psikopat. Bagaimana bisa ia tidak merasa bersalah dan hidup bergelimang dosa?

"Lo sakit!"

"Sejak awal, Alsa, kamu baru tahu?"

"Gue aduin lo sekarang!"

"Terus apa?" tanya Dadang, suaranya berayun meremehkan. "Tanpa bukti, Ibumu tidak akan percaya dan pasti menganggap itu cuma akal-akalanmu untuk membatalkan pertunangan."

Kali ini, giliran Alsava yang tersenyum. "Gue bakal suruh Ibu meriksa rekening lo, rekening sekolah, dan rekening perusahaan. Sama transaksi-transaksinya. Ibu pasti curiga, rekening lo banyak transfer duit ke antah-berantah."

Seketika rahang Dadang mengatup keras. "Sialan!"

Melihat tanda bahaya, Alsava segera berjingkrak lari ke pintu keluar. Belum sempat tangannya mendorong kenop, Dadang sudah menarik tubuhnya kencang, dan melempar Alsava ke atas ranjang di belakang. Seolah, ia cuma seringan seonggok kapas.

Di depannya, Dadang menjulang perkasa, terlihat jelas ia berusaha menahan emosi dengan bernapas keras-keras. Dadanya naik turun dalam tempo yang sangat cepat.

"Kamu aduin, saya bakal pastikan kamu hancur." Dadang menunjuk, meradang.

Alsava yang tidak mau kalah, berdiri menjulang di atas ranjang seolah memperkuat status bahwa kekuasannya lebih tinggi dari Dadang. Ia anak pemilik perusahaan, titahnya bisa jadi satu perintah tak terbantahkan bila sampai ke Ibu. Hanya perlu cerita menyakinkan. Alsava tidak mau kalah.

"Gue bakal ngelawan. Gue bukan cewek yang dulu pasrah dijodohkan. Gue punya hak, dan lo harus dihentiin." Alsa balik menunjuk, ke bawah, ke satu bidang di antara dua bola mata Dadang.

"Berani kamu menghalangi saya ...."

"Iya, berani! Kenapa? Lo takut?"

"Kamu akan menyesal."

"Gue gak bakal mempan diancem."

"Masalahnya, Ibumu lebih percaya pada saya."

Alsava mendesis. "Memang, tapi lihat, kalo untuk gue, Ibu pasti serius." Dadang masih membatu, ini membuat Alsava memanas dan ingin mencakarnya sampai berdarah. "Gue acak-acak rekening lo!"

"Saya pastikan, Alsava, kamu tidak akan berani menghancurkan rencana saya. Cobalah jadi tunangan yang baik. Duduk, diam, dan menurut. Kalau perlu, kita bekerja sama. Atau, kita buat perjanjian saja. Sebuah kontrak, yang berisi pernyataan bahwa kita tetap terikat, tapi tidak mencampuri urusan masing-masing." Saran Dadang terdengar persuasif, tetapi Alsava sadar, laki-laki di depannya ini licik seperti ular.

"Saya bahkan bisa membantu kamu kembali ke Adrian. Asal kamu membantu saya menjaga rahasia saya. Kita bisa jadi rekan di sini. Biarkan pertunangan ada sebagai ikatan formal."

Adrian ... kembali? Itu artinya, Alsava tidak perlu menghindarinya lagi. Tidak perlu pura-pura tuli ketika Adrian memanggil, atau menghindarinya di kantin dengan sengaja. Bahkan, mereka bisa kembali ke kegiatan lama yang baru saja mereka nikmati: main di Miaw's Paws.

"Sudah saya bilang, saya berusaha jadi tunangan terbaik. Kalaupun bersama saya tidak membuatmu bahagia, mungkin memberimu kesempatan kembali pada Adrian adalah keharusan."

Tapi, sumpah, pikiran Alsava kembali kusut. Entah tawaran atau handuk Dadang yang menggantung rentan di pinggangnya yang mendistraksi ruang pikir. Astaga! Goyang sedikit, handuk itu bakal luruh. Bakal ke mana kepolosan matanya setelah ini? Memang Dadang tidak nyari jubah mandi atau celana tidur? Suara hati Alsava menjerit nyaring. "Lo gila, kita tunangan, tapi satunya punya hubungan lain. Apa kata orang? Ibu? Ortu lo?"

"Makanya saya bilang, saya bisa bantu menutupi. Saya pastikan kalian bisa bahagia tanpa terendus. Dengan syarat, kamu membantu dengan menjaga rahasia saya."

"Kenapa sih?" suara Alsava meleleh. Meski manis, tawaran itu kental akan aroma keputusasaan. "Lo berbuat sejauh itu, cuma buat harta? Siapa sebenarnya orang yang lagi lo jaga senyumnya? Sepenting apa dia, sampai lo gak waras dan nyaris menghalalkan berbagai cara gini?"

"PENTING!" Dadang berteriak. Suaranya nyaris meledakkan jantung Alsava. "Anak manja sepertimu tahu apa? Yang kamu tahu, dunia seolah memojokanmu, mengasihani diri sendiri, membenci orang-orang yang sebenarnya peduli dan berusaha menjaga masa depanmu. Kamu diberi kasih sayang, harapan, dan kebanggaan. Tapi kamu masih tidak mensyukurinya. Dan sekarang, kamu minta saya menjelaskan siapa 'dia' dan kenapa saya rela melakukan apa saja demi 'dia'?" Dadang terkekeh, suaranya gelap dan suram. "Jangan bercanda. Kamu tidak akan mengerti."

"Lo ..."

"Jadi, kamu menolak saran tentang perjanjian tadi?"

Alsava tidak menjawab, kentara berusaha melawan dengan menatap lurus ke arah Dadang.

"Sayang sekali. Berarti, saya harus pakai kekerasan. Ingat, ini masih wilayah saya." Dadang menatap sekitarnya, kamar, persegi empat, agak luas, dengan satu pintu masuk, dan dua jendela.

Yang Alsava lupa, ia ada di kamar Dadang, sendirian, di atas ranjangnya. Melawan pun, dia tidak akan bisa. Tapi ... Alsava berpikir, menimbang situasi. Masa iya dia nyelakain gue? Kampret. Alsava melirik-lirik ke kiri dan ke kanan. Ada lampu tidur, lemari, meja kerja, laptop, sapu!

Mungkin benda itu bisa digunakan. Tapi gimana cara nerobos Dadang?!

Dadang maju, menengadah, berusaha mengintimidasi lewat tatap matanya yang mencekam. Tetapi Alsava sudah mengkristalkan hatinya agar tidak lagi berkorban. Ia muak diperbudak permintaan yang bukan keinginannya. Alsava harus berani menyuarakan hatinya, sekarang, atau tidak selamanya.

"Oke, fine. Kamu boleh pergi sekarang."

Alsava tergugu, sekejap ia berpikir Dadang akan menerjangnya dan berusaha mempraktekkan smack down. Melihat gelagat aneh ini, Alsava jadi lebih waspada. Ingat, Alsava mengorek ingatan, Dadang itu tenang sebelum badai sebenarnya datang. Firasatnya berkata, ada yang tidak beres.

"Lho, kok diam? Saya mau ganti baju. Atau kamu mau lihat saya telanjang?" Dadang menggoda, senyum jenakanya keluar tatkala melihat Alsava kembali memerah.

"Dasar mesum!" Alsava melempari Dadang bantal bertubi-tubi. Setelah puas, ia turun dari ranjang, dan segera hengkang ke luar kamar. Di sisi lain pintu, tubuhnya bersandar kepayahan. Banyak emosi terkuras, belum lagi pipinya memanas, dan dadanya masih mendidih. Semua menyatu dalam harmoni sumbang kekesalan yang mengantarnya pada rasa lelah.

****

Alsava kembali ke mobil, pikirannya ditumpuk segudang gundah. Rasanya mau menabrakan diri ke tiang listrik dan pura-pura sakit agar punya kesempatan istirahat. Toh, selama beberapa minggu ini, banyak kelumit ruwet membelitnya bertubi-tubi. Entah Dewi Keberuntungan sedang membencinya, atau para malaikat nasib senang mempermainkannya.

Alsava tancap gas, mobilnya melaju keluar ke jalan raya. Di lampu merah perempatan, kesumatnya membara. Ia ingin melaporkan Dadang sekarang juga, segalanya harus berhenti. Ibunya tidak akan mengabaikan Alsava bila itu menyangkut perusahaan dan sekolah. Lihat saja, Alsava bercermin di kaca tengah mobil, percaya diri.

Namun, sudah menggulir sampai ke bawah pun, kontak Ibunya tidak kelihatan. Bahkan log panggilan masuk dan keluar telah dibersihkannya karena kebanjiran telepon Dadang. Sial. Alsava memukul setir, kenapa dia bego sekali sih? Nomor Ibunya, nomor paling penting sejagad raya, ternyata tidak pernah ia simpan seumur hidup. Alsava terbiasa ditelpon, bukan menelpon. Dan sekarang ia kena batunya.

"Bangke!"

Ibunya di luar kota, kemungkinan masih lama pulang. Sementara kasus ini sangat mendesak. Kenapa dia tidak berpikir dulu sebelum mengancam Dadang? Kalau begini, ia sama saja seperti singa tak bertaring yang cuma bisa menggertak.

Tapi, secercah harapan muncul sesaat lampu lalu lintas berubah kuning ke hijau. Alsava menginjak pedal gas dengan tidak sabaran, di rumah pasti ada nomor telepon Ibu. Para asistem rumah tangga minimal punya. Mereka pasti senang hati memberinya nomor tersebut. Kenapa harus putus asa? Alsava tersenyum, dadanya ringan, dan hampir melayang ke langit kemenangan.

Setelah beberapa kali belok, masuk pertigaan, dan beberapa perempatan lagi. Mobilnya masuk ke dalam rumah. Baru saja ia ingin berteriak mencari asisten rumah tangga yang biasa nongkrong di dapur, smartphone-nya bergetar di kantong. Siapa? Batin Alsava. Syukur-syukur kalau itu Ibunya. Tetapi, nomor yang tertera tidak dikenali. Ragu-ragu, Alsava menggeser tombol hijau. Kalaupun telepon iseng, ia bisa menekan tombol merah, dan memblokir nomor itu selamanya.

"Halo, siapa ya?"

"Halo. Kak Alsava ya? Dari kelas XI MIA 1 itu?" Sebuah suara asing menjawab. Seorang laki-laki.

"Iya. Kenapa ya? Lo dapat nomor gue dari mana?" Entah kenapa perasaan Alsava tidak enak.

"Gue temen Adrian. Dia di UGD sekarang." Suaranya tenang, tapi terdengar cemas.

"Apa?!" Hati Alsava mencelus, seketika semua organnya meluruh ke perut, memberi sensasi mual sekaligus dingin. "Kok bisa, kenapa, kenapa?"

"Adrian dihajar orang. Gue kira anak-anak sekolah sebelah yang balas dendam. Pas gue datang, tampang mereka beda, lebih sangar dan preman. Adrian kalah telak. Gue mau bantu, dia udah keburu ambruk. Terpaksa gue nyelamatin Adrian dulu."

"Dia dihajar di mana?"

"Di depan Toko Buku Agung."

"Apa? Serius?!" Hati Alsava menjerit, kenapa Adrian bisa di sana? Memberi makan kucing, setiap hari, selama itu?

"Serius." Suara itu menekan. "Asal Kakak tahu aja ya, Adrian jadi sakau sejak dihindarin. Gue tahu, Kakak berusaha jaga jarak sama dia. Tuh anak sampai putus asa, tahu gak, nyoba hubungin Kakak. Tapi semuanya gagal. Dan sekarang, ketika dia digebuk orang, dia gak bisa ngasih kabar sama sekali. Makanya gue nelpon pake hape gue."

Lidah Alsava membeku, rasanya ada yang menusuk paru-parunya sekarang. Perlahan dan tajam. Ia tidak bisa menangis, ketakutan dan tanda tanya membelenggunya untuk bereaksi berlebihan.

"Kak," suara itu memanggil. Konsen Alsava kembali. "Dia masih nungguin Kakak, makanya dia selalu berdiri di depan toko buku itu. Jadi gue mohon, please, jenguk dia. Sekali aja. Jelasin alasan Kakak menghindar."

Alsava mengencangkan tangan, smartphone-nya bergetar. Tidak perlu banyak penyangkalan lagi. Sekarang waktunya bertarung, dia harus menerebos dinding itu. "Gue ke sana. Kirim nama rumah sakitnya dan posisi bed-nya lewat SMS."

Ada helaan napas lega di ujung sana. Sebuah senyum terimajinasikan di benak Alsava. "Thanks. Kalo misalnya Kakak mau nolak Adrian, tunggu dia sembuh ya, takut semaput," candanya. Alsava terkekeh, ia tidak mungkin menghapus perasaan itu.

"Gue bakal ngehadapin kenyataan. Makasih udah ngasih kabar."

"Sama-sama."

Sambungan terputus. Kini waktunya Alsava bergerak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top