XVIII. Rumor
Maaf, karena di saat kau terbaring lemah, justru pengkhianatan yang kuberi.
****
Wajah lesu dan tidak bersinar seperti biasanya adalah pemandangan yang kini harus Dan lihat dari seorang yang mempunyai tempat di hatinya. Dan harus meninggalkannya demi mendapatkan apa yang Dan mau. Jabatan dan kekuasaan. Bukan Dan tak sayang pada temannya itu, hanya saja harga diri di hadapan orang tualah yang paling utama.
Tak hanya itu, ada satu hal yang Dan perjuangkan demi temannya melalui cara ini---bertunangan dengan Alsava.
Ditatap Dan wajah kesayangannya yang tengah terlelap itu. Perlahan tapi pasti, tubuh temannya semakin kurus akibat dari penyakitnya. Bibir yang dulu merah merona, kini bahkan sudah tidak berwarna lagi.
Sering Dan membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada temannya. Oleh karena kemungkinan terburuk itu, Dan melakukan semua ini. Dan tidak mau kehilangan raga temannya itu, meski nantinya tidak lagi bisa mendapatkan hati temannya.
Meski semua bayangan itu terasa pahit, Dan tetap mengulas senyum. Apa lagi yang bisa ia berikan selain senyum? Dan sadar, pengkhianatan itu sudah cukup menyakiti hati temannya. "Kamu bersabarlah. Kamu pasti sembuh."
Dan beranjak dari duduknya. Mencium dengan lembut dahi teman kesayangannya. "Aku pergi dulu."
****
Dan keluar dari ruang rawat temannya. Setelah dari rumah sakit ia berencana untuk kembali ke apartemen dan mengistirahatkan beban di kepalanya. Tidur, mungkin itu cara tercepat untuk lupa sesaat pada permasalahan hidupnya. Namun, begitu sampai di loket apotek, Dan melihat seseorang yang tak asing lagi baginya. Seseorang yang sudah ia renggut kebahagiaannya. "Alsava?"
Dan berniat untuk menghampiri Alsava, tetapi rasanya tunangannya itu pasti akan bertanya sesuatu yang tidak bisa ia jawab. Namun, pintu keluar rumah sakit juga ada di apotek itu. Mau tidak mau, ia harus melewati Alsava.
Dengan ragu, Dan menghampiri Alsava. "Alsava?" panggil Dan dari balik punggung Alsava.
Mendengar namanya dipanggil, Alsava menoleh ke belakang. Alsava kaget, Dadang juga ada di rumah sakit ini. "Lo ngapain?"
Dan terdiam saat mendengar pertanyaan Alsava. Apa yang sebaiknya harus ia katakan? Matanya menatap Alsava, kosong.
Alsava menatap Dadang penuh curiga. Tunangannya itu malah diam saja dan menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Alsava menaikkan alisnya sebelah. Memberi kode pada Dadang untuk menjawab pertanyaannya.
Dan tersentak kaget melihat gelagat Alsava. "Ah ... saya hanya menjenguk teman."
"Oh," jawab Alsava tanpa minat.
"Kamu ngapain?"
"Beli obat hipertensi buat ibu. Mau dibawa buat besok berangkat ke luar kota."
"Kenapa harus di apotek rumah sakit? Memangnya di dekat rumah kamu tidak ada?"
"Nggak. Tutup."
Dan mengangguk untuk menanggapi Alsava.
Alsava mengambil obat yang ia beli lalu berjalan keluar dari apotek. Diikuti Dan yang juga sama-sama akan ke parkiran.
"Langsung pulang?"
Kepo banget! "Ya iya, emangnya mau ngapain lagi? Udah malam juga."
"Kalau gitu, saya duluan. Mobil saya di sebelah sini."
"Oke," jawab Alsava seadanya.
"Kamu naik mobil?"
"Ya kalau ke parkiran berarti gue naik mobil."
"Baiklah, saya hanya bertanya. Kalau gitu hati-hati."
Alsava masih juga jutek. Entah sampai kapan Dan harus berusaha meluluhkan Alsava. Rupanya permintaan kesepakatan kemarin tak begitu berpengaruh bagi Alsava.
Alsava mengangguk pelan. Keduanya berpisah di parkiran. "Jenguk teman?" gumam Alsava pelan saat mobil Dadang sudah melesat meninggalkan parkiran.
****
"Bazar minggu depan dibatalkan kata Bu Ningsih, guru ekonomi kita."
"Iya. Kata penanggung jawab bazar juga gitu. Katanya dana operasional kita kurang. Jadi bazar terpaksa dibatalkan."
"Dengar-dengar, pemilik sekolah udah lama nggak kirim dana. Sampai-sampai banyak event sekolah yang dibatalkan."
"Tapi kok bisa ya? Bukannya pemilik sekolah kita ini orang yang tajir berat? Gak mungkin kehabisan uang untuk perkembangan yayasannya sendiri."
"Ekstrakulikuler juga banyak yang dibekukan sementara. Bahkan basket juga ikut dibekukan! Padahal basket punya andil besar dalam menyumbang prestasi untuk sekolah kita."
Alsava melotot mendengar perbincangan dari murid kelas yang benar-benar membuatnya bingung. Baru saja kakinya menginjakkan lantai kelas, sudah banyak berita tidak mengenakkan yang ia dengar. Seisi kelas sedang membicarakan hal negatif tentang sekolah milik ibunya. Ada juga yang mengatakan ibunya berhenti mengirim dana operasional ekstrakulikuler. Alsava memang tak tahu menahu soal dana sekolah. Namun, satu yang ia yakin dari ibunya. Ibunya tidak akan berhenti meningkatkan prestasi yayasan miliknya sendiri.
Ini kenapa? Alsava membatin.
"Alsa!" Nadira berteriak memanggil Alsava yang masih terdiam di depan kelas. "Sini!" teriak Nadira lagi.
"Eh, si Alsava itu bukannya anak pemilik sekolah kita ya?"
Pelan, tetapi Alsava bisa mendengar dirinya sedang dibicarakan.
"Iya. Kemarin kan anak kelas buangan ramai banget bikin berita soal si Alsava. Heran gue, mereka tahu aja ya soal ginian."
"Namanya juga kelas buangan. Kerjaannya cari tahu soal gosip, bukan mikirin gimana caranya biar pinter."
Masih pagi. Namun, Alsava harus mendengar banyak gosip yang tidak mengenakkan. Sekarang identitasnya sudah ketahuan. Padahal Alsava tidak ingin ada satu orang pun yang tahu soal siapa dirinya sebenarnya di sekolah ini.
Alsa pun ke mejanya untuk menghampiri Nadira. Begitu ia sampai, tas ranselnya ia letakkan. Alsava mengambil bekal sarapan yang tadi ia bawa. Dua potong roti selai cokelat. Sengaja ia bawa dua, yang satu memang ia siapkan untuk Nadira. "Sarapan?"
"Wah! Kebetulan, gue belum sarapan." Nadira langsung menyomot roti tersebut bahkan tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Alsava hanya bisa bergeleng sembari tertawa pelan.
"Ngomong-ngomong, lo udah tahu berita soal sekolah kita?" tanya Nadira sambil tetap mengunyah rotinya.
"Soal dana operasional yang tersendat?"
Nadira hanya mengangguk, mulutnya masih penuh dengan roti, susah berbicara.
"Tadi gue dengar pas masuk kelas. Emangnya gimana ceritanya sih?"
Nadira menelan sisa roti di mulutnya sampai habis. Setelah mulutnya kosong, barulah ia menjawab. "Sebelum itu gue mau protes."
"Ha? Apaan?"
"Lo anak pemilik sekolah tapi kenapa diam-diam aja sih, Alsa?!" Nadira heboh sendiri.
Alsava hanya menyengir lebar-lebar.
"Gila, gue punya temen yang posisinya penting di sekolah ini. Harusnya bisa gue pamerin ini mah."
"Nyokap gue yang posisinya penting, Nad. Gue ya sama kayak lo dan semuanya."
"Dermawannya ...." Nadira memangku dagunya di telapak tangan sambil menatap Alsava dengan wajah sok imut.
"Back to topic!" Alsava merasa geli ditatap seperti itu. "Jadi ... gimaja ceritanya?
"Udah dengar berita soal batalnya bazar belum?"
Alsava menggeleng. Ia ingin tahu lebih banyak tentang ini dari Nadira.
"Katanya kekurangan dana. Padahal kelas kita udah bikin persiapan untuk bazar itu. Bahan makanan udah dibeli. Soft drink juga udah lengkap. Tapi mendadak, Bu Ningsih bilang kalau bazar itu dibatalkan."
"Kekurangan dana? Rasanya gak mungkin. Gue tahu banget gimana nyokap. Dia tipe orang yang berdedikasi tinggi sama apa yang dia miliki. Termasuk sekolah ini."
"Nah, itu dia. Selain punya sekolah, nyokap lo juga punya perusahaan, 'kan? Mana mungkinlah dana yang nggak seberapa aja nggak bisa dia kirim."
Alsava menyipitkan matanya, berusaha berpikir.
"Kalau kata gue sih, ada yang mainin duitnya." Nadira melanjutkan lagi omongannya.
"Maksud lo?" Alsava memasang mimik kaget mendengar ucapan dari Nadira.
"Ya lo tahulah, sekarang ini kita hidup di zaman di mana korupsi bertebaran. Di lingkungan sekolah sekalipun."
Dalam hati Alsava setuju. Namun, siapa yang berani korupsi dana operasional ekstrakulikuler sekolah? Terlebih lagi, siapa orang jahat yang dengan tega mematahkan semangat para siswa yang sudah mempersiapkan segalanya untuk bazar minggu depan?
Siapa pun itu, Alsava harus mencari tahu. Ada harga diri ibunya yang dipertaruhkan dalam gosip ini.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top