XV. Lesap
Terhitung, lewat delapan puluh menit Adrian menunggu di depan toko buku. Biasanya, tanpa janjian pun, Alsa pasti datang. Walaupun lebih sering terlambat, karena harus berganti baju terlebih dahulu. Akan tetapi, tidak biasanya Adrian dibuat menunggu selama ini.
Sekali lagi, untuk yang ketiga kali dalam sepuluh menit terakhir, Adrian mengecek smartphone-nya. Tiga menit lagi, berarti sudah satu setengah jam dia menunggu. Jangankan batang hidung, kabar dari Alsa pun belum mendarat ke tangannya.
Dia mendesah. Menunggu itu membosankan, ya. Adrian baru menyadarinya hari ini.
Adrian berusaha membunuh kebosanan dengan menghitung mobil yang lewat. Satu, dua, tiga, sampai dua puluh. Dan pada hitungan dua puluh yang keempat, dia kembali bosan.
Tidak tahu kenapa, perasaannya semakin gelisah. Jika memang berhalangan, Alsa pasti menghubunginya. Dan kalau sampai detik ini saja Alsa belum ada kabar, apa yang harus Adrian lakukan?
Lalu-lalang orang sesekali menatapi Adrian heran. Jelas saja. Wajahnya masih dipenuhi lebam bekas tawuran, juga menang telak lawan lima orangnya.
Omong-omong lebam, tiap kali membahasnya, Adrian jadi teringat Alsa. Bagaimana ekspresi melongo perempuan itu saat Adrian dengan bangganya menyebutkan menang telak lawan lima orang. Dengan badan bergeming, mulut terbuka lebar-lebar, dan mata melotot. Adrian selalu senyum-senyum gaje setiap mengingatnya.
Alsa, ya. Kenapa di saat perempuan itu tidak ada kabar, mendadak Adrian memiliki keinginan kuat untuk bertemu? Oh, di luar kabar baik yang ingin dia sampaikan.
Smartphone Adrian bergetar. Balasan dari Alsa, Adrian yakin.
Buru-buru Adrian merogoh saku celananya. Membebaskan smartphone-nya dan membuka SMS dari Alsa.
Disc40% Iced Blend ....
Jika tidak sayang benda persegi pipih itu, Adrian sudah siap melemparnya ke tengah jalan. "Sialan!" Kenapa pula SMS spam datang di waktu seperti ini? Sengaja mempermainkannya, ya?
Napas Adrian mendadak kembang-kempis. Terima kasih kepada Dewi Fortuna karena melupakan makhluk menyedihkan yang terdampar di emperan toko buku. Bukannya bertemu Alsa, dia malah diterjang hujan deras.
"Nikmat bener hidup lo, Yan," gumam Adrian, tersenyum sinis.
Terpaksa, Adrian menyeret kakinya memasuki kafe yang sudah beberapa kali dia kunjungi bersama Alsa. Setidaknya, dia masih mendapatkan kesenangannya, tempat duduk yang biasa dia dan Alsa tempati, kosong.
Bangku penuh kenangan.
Astaga. Memikirkan istilah menggelikan seperti itu saja, Adrian terkekeh sendiri. Bukan-bukan. Sepertinya bukan bangku penuh kenangan, tetapi bangku penebusan dosa. Mengingat tidak hanya sekali Adrian dibuat frustrasi setiap kali menduduki bangku ini.
Sudah berapa kali hari ini Adrian melamun? Sampai-sampai pramusaji yang menghampiri meja terabaikan. Setelah tersenyum canggung dan mengucapkan pesanan, Adrian menatap jalanan di luar kafe.
Cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Di cuaca hujan pun, sepertinya mereka masih sibuk, ya.
Saat tatapannya berserobok dengan tempias, Adrian tidak bisa memalingkan pandangan. Riak kecil yang memercik-mercik setetes demi setetes mulai membasahi pelataran kafe.
Sekali lagi, Adrian membenarkan perkataan banyak orang. Hujan itu membawa kenangan. Entah menyenangkan, atau malah mengundang pilu.
Namun, kasus Adrian hari ini, kenangan yang membuatnya tersenyum tipis.
"Ya ampun, gue udah jelasin berapa kali, coba. Dan lo tetap gak paham juga?"
Adrian tidak kuasa menahan tawa kecilnya. Saat itu, Alsa sudah menjambak-jambak rambutnya sendiri, dengan raut gemas. Wajah pucat perempuan itu bahkan sudah bersemu merah, jelas sekali tidak sabaran.
"Gue tahu, gue memang bego itungan."
Tangan kanannya digunakan untuk menopang dagu, masih mempertahankan senyum gajenya.
"Karena ini kubus, bidang efgh bisa diproyeksikan, persis ke abcd. Lalu, gambar hasil proyeksinya. Persegi abcd, dengan titik p' di antara bc dan q' di antara cd. Lalu tarik diagonal ...."
Apalagi ya, dulu? Ah, Adrian tidak bisa mengingatnya. Dan sedetik kemudian, dia malah tertawa geli. Menertawakan kebodohannya, juga kesabaran Alsa mengajari makhluk pilon.
Sekali lagi, Adrian sedikit tersentak saat pramusaji kembali ke mejanya. Membawa pesanannya.
"Terima kasih," ujar Adrian, masih mengingat sopan santun. Namun, tetap tidak menghilangkan senyum bloon dari ekspresinya.
Sepeninggal pramusaji tersebut, Adrian segera menyesap kopi hitamnya. Mendesah lega saat cairan pekat tersebut menghangatkan kerongkongannya.
Adrian masih melanjutkan lamunannya. Saat dia dan Alsa ke Miaw's Paw. Bagaimana asyiknya perempuan itu bermain-main dengan anak kucing. Juga, tatapan khawatir Alsa saat melihat beberapa kucing terluka.
"Berasa jadi malaikat, ya?"
Yah, Adrian pun dalam hati akan mengamini. Nyatanya, Alsa-lah yang sedikit demi sedikit berhasil mengembalikan sosok Adrian yang dulu. Alsa pula yang begitu tulus memberi perhatian pada titisan iblis, kata mereka, saat yang lain memilih menjaga jarak. Perempuan berkulit pucat tersebut juga tak keberatan dibuat pusing mengajari Adrian yang otaknya mulai menumpul, saking lamanya tidak menyentuh buku.
Adrian jadi penasaran. Apa Alsa tidak memiliki secuil pun kekurangan—selain cerewet juga pemaksa, tentunya—seperti dirinya? Kenapa sisi Alsa yang ada di mata Adrian hanya penuh dengan aura positif? Sedikit menyebalkan.
Ada satu hal yang mengganggu Adrian belakangan. Dia tidak tahu kenapa.
Intinya, setiap kali memikirkan Alsa, ada sesuatu aneh yang membuat Adrian seperti orang gila. Cengengesan sendiri, atau gatal ingin menggigit ujung smartphone-nya. Dan yang paling ekstrem, Adrian harus menghabiskan berjam-jam dengan memukuli samsak, untuk meredakan perasaan aneh itu.
Jadi, sebenarnya ada apa dengan dirinya? Dan, apa hubungannya dengan Alsa?
****
Adrian masih setia merekatkan bokongnya di kursi kafe. Mengamati lalu-lalang kendaraan dari balik kaca kafe.
Mendadak, Adrian kembali tercenung. Kealpaan Alsa dari kegiatan rutin mereka, jelas masih menjadi kecamuk bagi Adrian.
Perasaan laki-laki itu kembali kalut. Refleks, tangannya merogoh saku celana. Mengeluarkan smartphone. Siapa tahu, ada balasan dari Alsa yang tidak Adrian sadari.
Entah sudah ke berapa kali Adrian mendesah. Lagi-lagi, hanya kekosongan yang ditunjukkan benda pipih itu. Laporan terkirim dari pesan spamnya pun belum ada.
Jari-jari panjangnya menari lincah di atas layar. Saat menampilkan pop up berlatar hijau dengan nama Alsa di sana, Adrian menempelkan smartphone ke telinga.
"Tetap gak aktif."
Setengah menggerutu, Adrian menyambar tas punggung hitamnya. Bergegas keluar kafe.
Dia semakin dibuat tidak nyaman dengan perasaan kacau karena ketiadaan Alsa di sebelahnya.
"Dia ke mana sih?"
Jika diingat-ingat, Adrian tidak tahu apa-apa tentang Alsa, bukan? Adrian tahu Alsa putri seorang pengusaha yang kebetulan menjadi donatur sekolahnya saja dari ketua kelasnya. Lainnya? Apa yang Adrian tahu? Tidak ada.
"Apatis!" Adrian menggerutu, "Udah dibaikin, gak balik ngasih perhatian. Dasar gak tahu diri!"
Lagian, bego sekali dia, sampai-sampai tidak menanyakan apa pun tentang Alsa. Padahal Adrian sudah bercerita banyak pada perempuan itu. Termasuk masa terpuruknya dulu.
"Besok deh, ke kelas Alsa lagi." Adrian membulatkan tekad. Bisa tidak bisa, harus bertemu.
Keluar dari kafe, Adrian disambut udara lembap, juga aroma hujan yang masih kental tercium. Bahkan, masih ada sisa rintik hujan, tapi tidak terlalu deras.
Apa Alsa suka hujan? Apa perempuan itu juga menyukai aroma basah hujan? Atau perempuan itu hanya tahu tentang kucing? Adrian tersenyum miring. Alsa lagi, ya?
Omong-omong, kubangan di kanan-kiri jalan ini sedikit membuat Adrian berpikir, jika ada mobil yang ....
"Shit!"
Baru juga dia memikirkannya, sudah kejadian. Dari pinggang ke bawah, berhasil dibuat kuyup setelah guyuran menakjubkan mobil hitam yang sempat-sempatnya ngebut di jalanan licin pasca hujan.
Adrian sudah dibuat terbengong-bengong. Mulanya, dia berniat mengejar mobil itu. Namun, melihat pengemudinya tidak melambatkan laju sama sekali, Adrian mengurungkan niatnya. Bisa-bisa, kakinya patah lebih dulu kalau memaksa mengejar.
Coba, mana lagi yang bisa membuat hari Adrian semakin apes?
Satu keberuntungan karena pihak sekolah mendadak berbaik hati memberi pengampunan untuk Adrian, dan harus diganti seperti ini?
Pertama, Alsa yang tidak ada kabar. Kedua, Alsa yang tidak bisa Adrian temui di mana pun. Ketiga, Adrian yang ingin sekali bertemu Alsa, tapi tidak bisa. Keempat, pertanyaannya tentang kehidupan Alsa lebih lanjut belum terjawab.
Tunggu. Kenapa semuanya jadi penuh Alsa? Memangnya, siapa Alsa yang sampai-sampai berhasil membuat Adrian ketergantungan seperti ini?
Sepertinya, kopi yang diminum Adrian tadi mengandung alkohol. Buktinya, dia mabuk sekarang. Dan semakin melantur.
Adrian menepuk kedua pipinya keras. Menyegarkan pikiran yang semakin berkabut.
"Sadar, Yan. Jangan makin kayak orang gila."
Setelah menarik napas panjang-panjang, Adrian kembali melanjutkan langkahnya. "Oke. Gak bisa naik bus dulu," gumamnya, menatapi celananya yang mengenaskan. Mengangguk lemah.
Adrian melangkah kecil-kecil menuju zebra cross. Arah rumahnya mengikuti jalan di seberang.
"Jakarta kapan gak rame, coba?" Dia mungkin juga akan merasa sepi saat tidak mendengar dengungan klakson bersahutan, saking terbiasanya dengan suara bising kendaraan.
Baru saja Adrian ingin menyeberang, langkahnya mendadak kaku. Tatapannya terpaku pada sepasang muda-mudi yang baru saja keluar dari mobil.
Adrian yakin dia tidak memiliki minus mata, atau penyakit mata sejenisnya. Jelas, matanya masih sehat.
Apa dia berhalusinasi lagi?
Beberapa kali matanya berkedip. Memastikan sesuatu janggal beberapa meter dari tempatnya berdiri itu tidak nyata. Namun, semakin banyak Adrian berkedip, visual yang ditangkap matanya pun tambah jelas.
Seorang perempuan dengan rambut tipis sebahu tengah tersenyum tipis. Adrian jelas tahu, sangat hafal pada tubuh mungil tersebut. Namun, yang membuatnya seperti terkena serangan jantung adalah, seseorang yang berdiri di samping perempuan itu.
"Siapa?"
Jarak Adrian dengan kedua orang itu cukup jauh, jadi, tidak mungkin mereka bisa mendengar suaranya.
Adrian tidak salah lihat. Matanya masih berfungsi dengan sangat baik. Jelas-jelas, sepasang netra gelapnya melihat Alsa dengan laki-laki yang hanya bisa Adrian lihat punggung, saling melempar senyum.
Badan Adrian mendadak kebas. Pikirannya juga kosong. Matanya terpaku pada dua orang di sana.
Laki-laki di sebelah Alsa sudah melepaskan jaket. Mempersempit jarak dengan Alsa, lantas menggelar jaket hitam tersebut di atas kepala Alsa. Membiarkan tubuh jangkungnya diciumi hujan.
Dan sekarang, Adrian hanya bisa menatap punggung keduanya. Tidak lagi wajah dengan senyum manis milik Alsa. Tapi entah kenapa, walaupun Adrian sangat tidak suka menebak, dia yakin Alsa tengah tersenyum lebar. Menyambut apa pun perkataan laki-laki itu dengan senyum malu.
Adrian mual. Perasaan menyesakkan ini ... sebenarnya kenapa dengannya?
Baru beberapa saat lalu dia membayangkan waktu-waktu berduanya dengan Alsa. Baru berapa menit dia berhenti memikirkan Alsa, dan sekarang Adrian dipaksa memikirkannya lagi?
Adrian ingin menyangkal. Adrian tidak ingin semakin memperjelasnya.
Tapi ... apa posisinya untuk berada di samping Alsa sudah tergeser?
"Tergeser?" Adrian tertawa getir. Pasti dari awal, di sana memang sudah ada yang menempati, 'kan? Adrian saja yang terlalu percaya diri mendekat.
Badan Adrian limbung. Pikirannya yang sudah sempat jernih semakin kalut. Mungkin, kepalanya sebentar lagi akan meledak, saking banyaknya kemungkinan yang dia pikirkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top