XIX. Jarak

"... heran, Bu. Baru kali ini kejadian, sepertinya."

"Nah, iya, 'kan? Biasanya, sekolah kita nggak pernah ada kendala keuangan begini."

"Paling ada tersendat atau telat kirim."

"Bukan loh, Bu. Saya dengar-dengar kabar sudah dapat kiriman, tapi nggak sebanyak biasanya. Makanya jadi macet pembangunannya. Kegiatan Minggu depan dibatalkan. Imbasnya sampai ke ekstrakurikuler, loh."

"Iya, saya juga dengar masalah itu. Tapi saya masih heran. Biasanya, kita juga sering adain acara-acara skala besar. Nggak pernah sekali pun macet karena kurang anggaran."

Bel istirahat sudah berbunyi sekitar sepuluh menit. Mulanya, Alsava berniat ke kantin, setengah menggerutu, sebenarnya. Bagaimana bisa dia membawa bekal tapi melupakan botol minumnya? Rencana yang sudah disusun matang-matang di rumah tadi—mengurung diri di kelas bagian belakang selama istirahat—harus dia gagalkan sendiri.

Lantas sekarang, apa lagi?

Telinganya yang sedari awal memang suka mencuri dengar obrolan orang-orang—jika tidak ingin disebut penguping, tanpa sengaja mendengar obrolan dua orang guru yang berjalan beriringan beberapa meter di depannya. Bahkan, dia tidak sadar sudah memelankan langkah.

Tidak perlu meminjam otak jenius milik Dr. Frost untuk membuat Alsava paham. Dia dengan mudah langsung menarik kesimpulan. Kendala keuangan. Lagi-lagi, telinganya mendengar obrolan senada tentang keuangan sekolah yang mendadak kekurangan. Dan ujung-ujungnya, memojokkan perusahaan ibunya dan mengklaim tidak becus mengurus sekolah. Ck.

Alsava jadi penasaran. Apa memang ibunya belum mengirim pasokan dana? Atau sudah mengirim tapi memang nominalnya berkurang, sampai terjadi kegegeran seperti ini? Dia benar-benar tidak ingin memikirkan kemungkinan lain seperti pihak ketiga yang bermain-main dengan keuangan sekolah.

Sayangnya, pilihan pertama dan kedua harus dicoret. Alsava memang tidak tahu-menahu sekaligus tidak mau tahu tentang aliran dana perusahaan yang akan dibawa ke mana. Pun tidak memiliki urusan yang mewajibkannya ikut berpusing ria tentang uang, uang, dan uang.

Namun, satu hal yang mengganjal.Alsava jelas mendengar ibunyamembicarakan 'pasokan' dan'SMA Nusantara' diikuti embel-embel 'seperti biasa' beberapa hari lalu. Dengan kata lain, dia yakin seharusnya sekolah sudah mendapatkan cukup dana. Jangankan untuk event sekolah, untuk meneruskan pembangunan laboratorium astronomi pun masih mencukupi.

Opsi ketiga jelas menjadi pilihan saat ini.

Dan demi Tuhan, Alsava tergoda untuk menjadi apatis. Membayangkan Sang Ibu stres memikirkan larinya aliran dana, jelas menjadi hiburan untuknya. Tidak salah bukan jika sesekali ingin menjadi penjahat? Selalu berperan sebagai yang tertindas hanya akan membuat depresi berkepanjangan.

Gue sekolah di sini karena gue pikir bisa bebas dari iuran-iuran yang memberatkan. Ternyata sama aja.

Sudah kegiatan bazar dibatalin, ditarik uang pembangunan pula.

Bukannya biasanya nggak pernah ditarik iuran pembangunan, ya?

Judul doang seikhlasnya, tapi minimal dua juta per anak. Disuruh jual ginjal?

Sial! Keluhan-keluhan terlontar dari teman-temannya, membuat kuping Alsava panas. Jika sudah begini, mana mungkin dia bisa berlagak apatis? Urusannya bukan hanya dengan Sang Ibu di sini, tapi juga seluruh penghuni sekolah.

Ah, tidak juga. Sekeras apa pun Alsava mencoba untuk berlagak apatis, tidak peduli pada keadaan ibunya, tetap saja dia gatal ingin ikut bertindak. Sekali memikirkan Sang Ibu, Alsava tidak akan tidak akan tahan jika tidak ikut campur.

Terlebih lagi saat sebuah edaran dibagikan, dia tidak bisa lagi menahan diri. Begini intinya: Karena ada beberapa kendala, sekolah memohon bantuan untuk memberikan iuran seikhlasnya.

Sejauh itu belum ada masalah. Namun, pada baris paling akhir .... Mengatakan sumbangan minimal dua juta. Wah, Alsava benar-benar ingin tertawa rasanya.

Dia yakin, jika masalah keuangan ini terus berkepanjangan, tinggal menunggu waktu sampai satu per satu protes dari orang tua murid melayang. Sisanya, serukan selamat tinggal untuk kehidupan SMA yang tenteram.

Alsava menghela napas panjang. Kembali melangkah, kedua guru tadi juga sudah hilang di balik pintu ruang guru. Tangannya tanpa sadar mengacak-acak rambut. Kenapa dia harus terjebak di situasi seperti ini?

"Sial!" Alsava mengerem langkah.

Belum cukup masalah keuangan sekolahan, satu masalah lagi muncul. Seorang laki-laki dengan seragam super berantakan, tengah berjalan lambat dengan kepala celingukan, sekitar lima meter dari Alsava

Adrian.

Sudah hampir seminggu Alsava menghindari kontak dengan Adrian. Dan sialnya, menambah beban yang harus ditanggung. Masalahnya, Adrian tidak hanya duduk tenang di dalam kelas, mengikuti pelajaran dengan khidmat. Namun, semakin Alsava menghindar, laki-laki itu juga kian gencar mengejarnya.

Alsava pun tidak berhenti mengutuki Nadira. Saat dibutuhkan seperti ini, perempuan itu tidak ada. Bersembunyi di balik tubuh Nadira yang hampir lima belas senti lebih tinggi selalu berhasil menghindarkan Alsava dari kejaran Adrian.

Sadar terlalu lama bergelut dengan pengandaiannya, Alsava segera menyeret kaki menuju lorong di belakangnya. Jika berjalan lurus, lorong ini akan membawanya ke toilet dan dia bisa menghindari Adrian di sana.

Baiklah. Alsava harus mengikhlaskan makanannya dan menghabiskan sisa waktu istirahat di toilet.

Benar-benar hari yang sangat lancar.

****

"Nggak ada? Lagi?" Adrian sudah siap berseru, saking depresinya.

Sudah berapa kali dia bolak-balik ke kelas ini? Dan hasilnya selalu sama. Orang yang dicari tidak pernah memunculkan batang hidung. Bukankah semakin jelas, Alsa benar-benar menghindarinya? Untuk alasan yang tidak bisa dia pikirkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, Adrian melangkah gontai. Tidak peduli badannya menabraki kerumunan murid yang berjalan antusias menuju kantin.

"Lo ngapain sih, Yan?"

Adrian mendesah. Tangan kirinya terangkat, melonggarkan dasi yang semakin terasa mencekik. Tangan kanannya ikut terangkat, menyugar rambut, sedikit menjambak.

Pikirnya, saat Alsa dulu memintanya menjauh, perempuan itu sedang dalam suasana hati yang buruk dan akan membaik seiring waktu. Tapi sekarang, perempuan itu benar-benar tidak menggubrisnya?

"Lo harus jauhin gue. Itu yang terbaik buat sekarang."

Masih melekat betul kata-kata Alsa sebelum perempuan itu melancarkan aksi melarikan diri dari Adrian. Dan mendengarnya, membuat emosi Adrian tersulut.

"Kenapa? Gue butuh alasan! Lo gak bisa begitu aja nyuruh gue jaga jarak. Sebelumnya juga kita baik-baik aja. Gak ada yang perlu menjauh atau dijauhi."

Namun, jawaban Alsa benar-benar mencacati kepercayadirian Adrian.

"Lo siapanya gue, sih? Dari awal kita emang bukan siapa-siapa, 'kan? Gak salah, dong kalau gue mau kita kayak dulu lagi? Nggak saling bersinggungan."

Saat itu, Alsa mengatakannya di antara tawa meremehkan. Benar-benar bukan Alsa yang dia kenal sebelumnya. Adrian? hanya terdiam, kehabisan kata. Ucapan Alsa jelas memberi bekas menyakitkan untuknya.

"Udah, 'kan?" Dan pertanyaan singkat itu yang menjadi penutup obrolan mereka. Juga, kali terakhir mereka bertegur sapa.

Sehari setelah kejadian itu, Adrian dapat mengesampingkan perasaan terlukanya untuk sementara, dan mulai menuntut penjelasan. Dan seperti inilah kejadiannya sekarang. Bermain kucing-kucingan dengan Alsa.

Mungkin, lebih baik dia menyerah saja. Untuk apa mengejar kalau pihak lawan tidak memberi respons? Yang ada malah membuang-buang tenaga.

Harusnya memang begitu. Namun, keinginannya untuk mendapat jawaban jauh lebih besar. Sadar tidak sadar, semangat Adrian kembali membara.

Hari ini! Dia harus bisa berbicara dengan Alsava, hari ini.

****

"Ketemu!"

Suara antusias tersebut membuat Alsava mendongak. Dia sedikit membeliak saat menemukan siapa yang sudah berdiri angkuh di depannya.

Sial! Alsava mengumpat dalam hati. Orang yang mati-matian dia hindari—bahkan rela menghabiskan waktu di perpustakaan seperti ini—malah sudah berdiri di depannya.

Ah. Sudah berapa lama dia tidak menatap wajah tengil tersebut dari jarak dekat? Rasanya, sudah lama sekali Alsava tidak melihat pemilik rambut kepirangan berantakan tersebut. Jika tidak sadar tempat, juga situasi dan perjanjiannya dengan monster-yang-dikutuk-menjadi-tunangannya, Alsava mungkin sudah memeluk Adrian, saking rindunya.

Pikiran macam apa, itu? Alsava menertawakannya.

"Kenapa?" Suara serak Adrian menarik Alsava kembali memijak bumi. "Gue masih butuh penjelasan."

Karena tunangan biadab gue. Kalau nggak, lo bisa dikeluarin dari sekolah.

Adrian terkekeh, menarik napas panjang, lantas menyisir jambulnyake belakang. Kelihatan benar sedang frustrasi. "Lo masih mau diemin gue? Tanpa bilang apa-apa?"

Gue udah jawab, kok. Cuma, gak gue suarain.

Alsava merasa benar-benar tolol. Sampai akhir pun, dia tidak pernah bisa mengabaikan laki-laki titisan setan di depannya ini.Walaupun dia hanya menyuarakan jawabannya dalam diam.

"Oke. Gue tunggu di sini, sampai lo ngomong sesuatu."

Tanpa aba-aba, laki-laki itu sudah duduk di depannya. Terus melemparkan tatapan laser pada Alsava. Tidak mengalihkannya sedikit pun.

Sial, sial, sial! Sepertinya Adrian tahu betul Alsava tidak akan tahan jika terus ditatapi seperti itu. Sekarang, Alsava memang bisa berpura-pura sibuk dengan novel di tangannya. Namun, dalam beberapa menit ke depan, pertahanannya pasti runtuh.

Sekali lagi, Adrian mendesah. "Gue bukan cenayang." Saat melirik Adrian dari balik novel, Alsava sadar. Tatapan laki-laki itu meredup. Seperti ... kehilangan semangat? "Kalau gue ada salah, lo harusnya maki gue. Kasih tahu di mana letak salahnya, biar bisa guebenerin. Kalau diem-diem begini, mana bisa gue paham?"

Alsava masih diam. Nyatanya, bukan Adrian yang salah di sini. Masalahnya ada pada dirinya, juga kemelut kehadiran Dadang. Dari tadi, dia sudah gatal untuk membuka suara. Namun, dia tidak bisa. Sekali saja menjawab, Alsava takut akan kelepasan. Takut menceritakan semuanya.

Hampir lima belas menit keduanya masih sama-sama diam. Adrian yang masih diam, menunggu respons Alsava. Dan Alsava, mati-matian menghindari kontak mata dengan Adrian.

"Oke." Dilihatnya Adrian bangkit, menghadiahkan seulas senyum tipis padanya. Merasakan jarak Adrian yang semakin mendekat, Alsavamemundurkan badan. "Gue gak mau. Gak akan pernah menjauh. Juga, gue gak izinin lo jauh-jauh dari samping gue. Silakan diingat."

Setelah mengerling dan kembali melemparkan senyum jenakanya, Adrian melesat keluar perpustakaan. Rasanya, Alsava seperti mati di tempat.

Alsava tidak yakin. Sekilas, dia melihat ada kilatan aneh di sepasang netra hitam Adrian. Dan mendadak, perasaannya tidak enak.

****

"Lagi-lagi dia mukulin orang?"

"Tiga orang. Anak Petra."

"Bener-bener berandalan."

"Sttt, jangan keras-keras, nanti dia denger."

"Setelah ini, abis lo dihajar dia."

Lagi. Sudah kenyang rasanya dia mendengar bisikan-bisikan negatif tentang dirinya. Adrian tersenyum miring, tetap berjalan santai. Sedikit meringis saat pelipis kirinya terasa nyeri.

"Oi-oi, diem. Ada orangnya!"

Sebuah seruan lirih memancing Adrian tertawa kecil. Dia berhenti, melenguh tertahan saat tulang bahunya berderak. "Tiga orang doang, masih kurang." Adrian berjongkok, melipat celana panjang yang membungkus kaki kirinya, setinggi betis. Sedangkan yang satunya, tetap dibiarkan menjuntai panjang.

"Satu atau dua lagi mungkin?" Dia berdiri, merenggangkan tulang-tulang jari sebelum membentuk gerakan mengepal-membuka-mengepal beberapa kali.

Tak memerlukan banyak waktu sebelum kerumunan murid yang sebelumnya menatap terkejut pada responsnya, memilih mundur teratur. Adrian memberi senyum sinis, sebelum kembali melangkahkan kaki ke kelasnya.

Beruntung pikirannya sudah sedikit jernih hari ini. Jika saja mereka menyinggung Adrian kemarin, tepat setelah berbicara—jika bisa dikatakan begitu—dengan Alsa, saat pikirannya kalut karena Alsa, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada para penggosip itu.

Berterima kasih juga pada tiga anak Petra yang sudah terlebih dahulu mengusik ketenangannya. Kekesalannya terlampiaskan dengan memukul habis ketiganya. Walau sebenarnya, pukulan di pelipislah yang membuat kepala Adrian jernih.

Artinya, pengejaran penjelasan, kembali dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top