XIV. Permintaan

Terima kasih telah mewarnai hidupku. Namun, apakah sekarang saatnya mengucapkan selamat tinggal?

****

Alsava termangu di antara tumpukan buku di hadapannya. Berita tentang pengeluaran Adrian dari sekolah cukup berhasil menyita pikirannya. Baru saja Alsava mengenal Adrian, menikmati lesung pipit yang bisa membuatnya kehilangan kendali, haruskah Alsava kehilangannya secepat ini?

Alsava tidak dapat berkonsentrasi dalam belajarnya malam ini. Pikiran buruk terus saja mengganggunya. "Lama-lama gue bisa gila. Adrian, kenapa lo harus lakuin hal bodoh, sih?"

Tentu saja itu bodoh. Siswa nakal di sekolah, wajar. Namun, kalau nakalnya sampai menyebabkan hancurnya reputasi sekolah, apa sebutannya kalau bukan bodoh?

Namun, Adrian punya alasan di balik tingkah bodohnya. Alasan yang berhasil membuat Alsava menganggap sikap Adrian itu wajar.

Alsava menyenderkan tubuhnya ke bangku yang ia duduki. Menarik poninya ke belakang dan menghela napas berat. "Gue harus apa?"

Langit-langit kamarnya terus ia tatap. Berharap secercah harapan tertulis di atas sana.

"Dadang. Sepertinya memang harus meminta bantuan Dadang."

Namun, sedetik kemudian Alsava lesu. Dadang ... memangnya orang itu mau menuruti permintaannya?

Alsava meraih smartphone-nya yang tergeletak di meja belajar. Memutar-mutar benda tersebut, bimbang. Antara menghubungi Dadang atau tidak. "Tapi gak ada salahnya dicoba. Oke, gue telepon Dadang."

Mengesampingkan gengsinya, untuk pertama kalinya Alsava menghubungi Dadang lebih dulu. Semoga saja tunangannya itu tidak kegeeran.

Calling Dan Iswara...

****

Dan kaget saat melihat nama pada layar smartphone-nya. Nama Alsava terpampang jelas di sana. Tak biasanya. Dan berpikir keras, mengapa Alsava menghubunginya?

"Ya?" ucap Dan begitu ia menjawab panggilan tersebut.

Tolong datang ke rumah, sekarang. Gue mau bicara.

"Bicara?"

Ya. Kalau gitu, itu aja. Malam.

Sambungan terputus begitu saja. Tanpa penjelasan dari Alsava yang berhasil membuat Dan kepikiran.

****

Dan melesat dengan mobilnya malam-malam hanya karena permintaan Alsava. Tak biasanya tunangannya itu memintanya lebih dulu untuk datang.

Apakah sudah luluh hatinya? Dan harap memang begitu.

Tak perlu menunggu terlalu lama atau bermacet ria di jalanan Jakarta. Jarak antara rumah Alsava dan apartemennya tidak begitu jauh hingga terhindar dari kemacetan.

Mobil Dan kini terparkir di rumah Alsava. Dan turun dari mobil lalu menuju ke pintu rumah. Menekan bel beberapa kali hingga gadis yang memintanya datang, membukakan pintu.

"Silakan masuk."

"Ada apa?"

Alsava juga Dan mengatakannya bersamaan. Itu berhasil membuat keduanya menjadi kikuk.

"Masuk dulu." Alsava berusaha menetralkan sikap kikuknya.

Dan menurut. Ia masuk dan mengikuti langkah Alsava hingga ke gazebo di taman.

Di gazebo inilah keduanya duduk. Saling diam. Alsava menunduk, Dan pun ikut menunduk. Sepi. Tidak ada yang berani memecah keheningan.

"Lo pernah sayang sama orang gak? Sayang yang benar-benar tulus. Bukan karena paksaan." Akhirnya Alsava yang memecah keheningan.

Sayang ya? Alsava sendiri pun tak yakin, sejak kapan ia mulai menyayangi Adrian. Yang Alsava tahu, ada rasa sedih akan kehilangan Adrian.

Dan mengangkat kepalanya, menatap Alsava yang kini juga menatapnya.

"Tentu pernah."

"Gimana rasanya pas lo harus kehilangan orang yang lo sayang?"

Saya sudah kehilangannya. "Pasti menyakitkan." Dan menjawab sekenanya saja.

"Itu perasaan gue sekarang ini."

"Kamu ... memangnya kenapa? Kehilangan siapa?"

"Adrian. Gu---"

Dan memotong ucapan Alsava. "Kamu masih dekat dengan anak nakal itu?"

"Iya. Cuma sama Adrian gue bisa merasa waras. Lepas dari segala beban yang ibu kasih ke gue." Alsava menghela napas sejenak. "Tapi Adrian terlibat tawuran. Dia terancam dikeluarkan karena ternyata dia dalang dari semua keributan tadi pagi."

"Ya. Saya tahu itu. Pengeluaran itu berhak dia terima atas sikapnya yang bukan seperti pelajar itu."

Alsava ingin marah mendengar Dadang mengomentari Adrian asal-asalan. Namun, menjelaskan alasan Adrian menjadi nakal adalah hal yang sia-sia. Lagi pula, Dadang pasti tak akan percaya.

"Adrian gak sejahat rumor yang beredar."

"Kamu meminta saya datang ke sini hanya untuk mendengarkan cerita tentang Adrian?" tanya Dadang dengan nada sinis.

Alsava menggeleng cepat. "Gue mau minta tolong."

"Apa?"

"Batalkan pengeluaran Adrian dari sekolah."

Dan yang tadinya duduk, sampai berdiri saking kagetnya. "Dia bersalah. Saya membatalkan pengeluaran Adrian artinya sama saja saya mendukung tindak kejahatan."

Terus tunangan sama anak di bawah umur, apa itu bukan tindak kejahatan? Ingin sekali Alsava mengatakan itu, tetapi tidak. Alsava sedang sangat membutuhkan bantuan Dadang.

"Sekali ini aja. Bantuin gue. Adrian berhak belajar. Adrian punya hak yang sama kayak siswa lainnya." Alsava memohon dengan wajah yang memelas.

Wajah memelas Alsava itu berhasil membuat Dan merasa iba. Lagi pula, benar kata Alsava. Anak nakal juga berhak bersekolah. Justru harusnya sekolah berusaha keras untuk membimbing anak-anak nakal.

Selain itu, Dan merasa ada kesempatan bagus yang tercipta dari kasus Adrian ini. Dan berpikir sejenak. Kenapa tak ia manfaatkan saja kesempatan ini? Pertunangannya jelas terancam hancur kalau Alsava malah menyukai Adrian.

"Sebagai orang kepercayaan ibu di sekolah, lo harus bantu gue." Alsava memohon lagi pada Dan. Kalau bukan karena Adrian, ia tak akan repot-repot meminta pertolongan Dan.

"Saya memang orang kepercayaan ibumu. Tapi saya tidak bisa sesuka hati." Dan memberi jeda sesaat, kemudian melanjutkan ucapannya lagi. "Tapi saya bisa lakukan. Asalkan kita harus deal untuk satu hal."

"Apa?"

"Jauhi dia."

"Siapa?" Alsava mengerutkan dahinya. Alsava tahu siapa yang dimaksud Dadang, ia hanya memastikan.

"Adrian. Kamu harus menjauh darinya."

Alsava ingin menolak. Bahkan Alsava ingin menyemprotkan berbagai macam umpatan untuk Dadang. Konyol. Alsava meminta ini semua kan karena ia tak ingin jauh dari Adrian. Lalu sekarang?

"Kamu tunangan saya. Jelas saya tidak suka kamu dekat dengan Adrian. Jadi, kalau kamu ingin Adrian tetap sekolah, turuti permintaan saya. Sisanya biar saya yang atur."

Alsava teringat tentang cerita Adrian sore tadi. Tentang bully yang Adrian alami. Tentang bagaimana dulu orang-orang merendahkannya. Juga tentang namanya yang sudah di-blacklist dari semua sekolah. Apa jadinya kalau setelah dikeluarkan nanti, Adrian tak dapat bersekolah lagi?

Lo harus tetap sekolah. "Oke." Dengan berat hati Alsava setuju. Baginya saat ini, Adrian yang terpenting.

****

"Kali ini, kamu dimaafkan."

Adrian tercengang, setengah tak percaya mendengarnya. Siapa saja tolong tampar pipinya. "Kok gak jadi?" tanya Adrian pada guru berkumis tebal dengan name tag Arman di dadanya, yang saat ini sedang bersamanya di ruang BK. Dia adalah Pak Kumis yang selalu ia jahili. "Padahal saya sudah siap untuk dikeluarkan," ucapnya dengan angkuh. Padahal jauh di lubuk hatinya, Adrian takut karena semua sekolah sudah mem-blacklist namanya.

"Mengeluarkan siswa nakal hanya akan membuatnya semakin nakal. Membimbingmu adalah tantangan kami."

"Wuih, keren. Ini baru namanya sekolah."

"Sekarang, silakan kembali ke kelas. Kamu bisa belajar lagi. Dan jangan ulangi lagi yang seperti kemarin."

"Kita lihat aja nanti, Pak." Adrian tersenyum semringah. Ia keluar tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali.

Arman mendengus kesal. Tatapan matanya kini berpindah ke balik lemari kayu berisi buku yang tersusun rapi di sebelah kanan Arman. Dadang bersembunyi di balik sana. Memperhatikan Arman yang membatalkan pengeluaran Adrian.

"Pak Dadang, kenapa membebaskan siswa nakal?" gumamnya pelan saat tubuh Adrian sudah menjauh dari pandangannya.

****

"Alsava harus tau tentang ini! Gue gak jadi dikeluarin!"

Adrian merogoh saku bajunya. Mengeluarkan smartphone-nya lalu menghubungi Alsava lewat SMS.

Kelas lo di mana ya? Gue bawa kabar gembira!

Pesan terkirim. Adrian tersenyum lebar setelahnya. Adrian duduk di kursi panjang kantin sekolah, menanti pesan balasan dari Alsava.

Sepuluh menit ia menunggu, pesan balasan tak kunjung masuk ke smartphone-nya. "Ah, mungkin Alsa lagi belajar. Ini kan masih jam pelajaran. Alsa anak baik, gak kayak lo, Yan." Adrian tertawa pelan lalu ia memutuskan untuk kembali ke kelas.

****

Alsava membaca pesan dari Adrian terlebih dahulu, sebelum memblokirnya. Kabar gembira ya? Pasti lo gak jadi dikeluarin 'kan? Alsava tersenyum getir. Jadi begini rasanya bahagia di tengah kesedihan. Sangat menyakitkan.

"Kenapa lo?" Nadira menepuk lengan Alsava saat mendapati temannya terlihat bersedih.

"Hah? Emang kenapa?"

"Habis baca SMS dari siapa? Kok langsung muram?"

"Biasa aja. Perasaan lo doang kali."

Alsava mengulas senyum ke Nadira. Tak mau diwawancarai banyak pertanyaan oleh temannya itu.

****

Bel istirahat berbunyi. Semua siswa di kelas Adrian berhamburan menghampirinya dan bertanya bagaimana Adrian bisa batal dikeluarkan.

"Yan, lo nyogok ya?" tanya Budi, salah satu teman sekelas Adrian.

"Mata lo. Gue juga gak tau kenapa gak jadi dikeluarin."

"Yan, emang kata Pak Kumis apaan? Kok lo bisa tetap sekolah sih?"

"Gak ada. Lo nanya terus, pusing gua."

Adrian masih menunggu pesan balasan dari Alsava, tetapi tak kunjung ada juga. Atau mungkin ... Adrian harus datang ke kelasnya?

Adrian ingat, ketua kelasnya pernah bahas Alsava. "Lo kenal Alsava 'kan?" tanya Adrian pada ketua kelasnya.

"Gak kenal, cuma tau aja."

"Di mana kelasnya?"

"Dia anak unggulan. XI MIPA 1."

Adrian langsung berlari keluar kelas. Membuat teman-temannya yang sedang bergerombol, kaget dengan pergerakan Adrian yang terlalu cepat.

"Buset, kayak dikejar hantu."

Adrian melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju kelas MIPA 1. Mungkin Alsava tak sempat berbalas pesan, makanya lebih baik Adrian datang ke kelas Alsava.

"Nah, itu MIPA 1." Adrian mendekat. Setelah ia sampai di depan kelas Alsava, Adrian tak menemukan sosok Alsava di sana.

"Eh!" Adrian menepuk pundak seorang siswi yang baru akan masuk ke kelas. "Alsava di mana?"

"Anjir, ada Adrian. Gak tau gue."

Siswi tersebut tersentak kaget. Lalu matanya membulat ketika mengetahui siapa orang yang menepuk pundaknya tadi. Secepat kilat siswi tersebut masuk ke kelas. Seolah tak mau berlama-lama berada di dekat Adrian.

"Yaelah, cuma nanya Alsava juga."

Dari kejauhan, Alsava melihat Adrian di depan kelasnya. Alsava menarik tangan Nadira untuk kembali putar arah, kembali ke kantin.

"Heh, kenapa lo?" Nadira kaget.

"Jangan ke kelas. Ada Adrian. Balik ke kantin lagi dulu."

"Bukannya lo kemarin habis mojok sama dia? Kok sekarang ngehindar?"

"Nanti gue jelasin," ucap Alsava asal. Penjelasan apa yang akan ia jelaskan pada Nadira? Soal ia yang harus menjauhi Adrian karena membuat kesepakatan dengan Pak Dadang, tunangannya? Nadira pasti akan copot jantungnya kalau tahu guru kesayangannya adalah tunangan Alsava.

****

"Kenapa cari lo susah banget?" Adrian bergumam pelan. Ia masih di depan kelas Alsava. Berharap orang yang ia cari segera memunculkan batang hidungnya, tetapi tidak. Alsava tak ada di kelas.

Adrian kembali menghubungi Alsava lagi. Kali ini lewat telepon. Harapan terakhir Adrian, Alsava mau mengangkat teleponnya.

Calling Alsava...

Namun, layar di smartphone-nya masih belum terhubung dengan Alsava.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

"Sekarang gak aktif?" Perasaan Adrian kini berubah. Tadinya ia memang senang karena tidak jadi dikeluarkan, tetapi sekarang, alasannya senang hari ini, mendadak hilang tanpa kabar. Adrian mulai merasakan kejanggalan. Ada yang aneh. Tak biasanya Alsava susah dihubungi.

Seolah Alsava terkesan menghindar.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top