XIII. Memoar
Di sinilah Alsava, di tempat mereka pernah belajar bersama, dan menunggu hujan reda dengan sendirinya. Di meja dan kursi yang sama, dengan pemandangan jendela kaca raksasa membentang ke luar jalan raya. Alsava tengah termangu setengah melamun, kenapa laki-laki di depannya bisa begitu ceroboh dan terlibat tindakan sebodoh tawuran?
Lebam di wajah Adrian yang menjadi trofi kemenangan satu lawan lima dulu belum sembuh. Sekarang harus ditambah beberapa luka kecil di pipi dan kedua lengannya.
"Kenapa?" tanya Adrian, jelas merasa diperhatikan dan heran.
"Kacau."
"Tadi pagi memang kacau."
"Lo," Alsava segera meralat, "yang kacau." Lalu tersentak dan sadar dari keadaan setengah melayangnya. Memusatkan seluruh perhatian pada Adrian. "Lo itu gila apa bego? Ikut tawuran, semuda ini."
"Lo kayak emak-emak."
"Gue khawatir, Yan!" Alsava nyaris berteriak. Ia tidak mengerti kenapa Adrian masih bisa tenang-tenang saja setelah keluar dari medan perang yang bisa merebut nyawanya itu. Masih teringat jelas rasanya, ketika bom botol terlempar lewat kaca jendela kelas Alsava, dan meledak. Jantungnya seketika berhenti bekerja dan seluruh indera pendengarannya berdenging ketakutan.
"Gak usah lebay. Gue masih sehat kok, selamat-selamat aja. Yang penting gue gak ketangkep. Lagian SMA kita menang."
Andai ada air putih atau kopi panas, Alsava pasti menyiramkannya pada Adrian supaya laki-laki itu lekas waras. "Gue di kelas, hampir mati berdiri denger orang teriak dan saling lempar batu. Belum lagi ada satu bom nyasar, meledak di kelas gue."
Adrian terkejut. "Lo gak papa kan?"
"Gue takut," jujur Alsava. "Panik. Hampir gak ngerti apa yang terjadi. Terus, gue liat lo. Tahu gak, pikiran gue apa saat itu?"
Adrian membatu. Pesanan mereka tiba-tiba datang dan dua gelas kopi dingin dengan cemilan manis mendarat mulus di antara keduanya. Alsava mendongak, mengangsurkansenyum, dan mengangguk. Namun, cepat pramusaji itu pergi, sekilat itu pula senyum di wajahnya memudar.
"Lo mikir apa?" tanya Adrian, takut Alsava kehilangan minat.
"Gue mikir keselamatan lo, gue mikir gimana jadinya kalo lo ketangkep segala macem."
Hening. Tidak ada yang menyentuh makanan atau minumannya duluan.
"Kenapa?" Alsava mendapati Adrian juga melontarkan pertanyaan yang sama.
"Lo dulu." Adrian mempersilakan. Kentara salah tingkah. Ia mulai tidak nyaman dan memperbaiki cara duduknya yang sempat terlalu santai.
"Gak, lo dulu. Kenapa apa tadi?"
"Kenapa lo khawatir?" tanya Adrian, lurus. Kedua matanya menatap sayu ke depan, seolah bingung, juga heran, bercampur rasa tidak percaya yang kental. "Gue bukan siapa-siapa lo."
"Kita teman, kenapa sih lo nanya gitu terus?"
"Teman ya."
"Yaiyalah!" Alsava frustrasi. Mana keinginan membunuhnya di saat ia butuh seperti ini. "Emang itu gak cukup? Emang lo gak pernah mikir, apa, perasaan orang di sekitar lo, kalo longelakuin hal-hal berbahaya?"
"Enggak." Adrian menggeleng, jujur. Dua mata besarnya membulat tidak berdosa. Namun satu detik kemudian, ia menunduk. Tampak Adrian uring-uringan dan membuang wajah ke jendela, seolah berharap dapat jadi tembus pandang dan menghilang di hadapan Alsava. Di hadapan gadis yang terus menerornya dengan tatapan tajam dan tangan menggenggam garpu.
"Gue mau marah, Yan! Gue mau cincang lo, gue mau makan lo. Ha! Gue bisa jadi Sumanti sekarang. Gue kesal. Gue gak ngerti kenapa lo mau ikut tawuran. Liat lo babak belur kemarin aja gue udah kaget setengah mampus. Apalagi tadi pagi, pengen mampus beneran tahu gak?" Napas Alsava memberat. Satu-dua, setiap tarikan dan embusan adalah pelampiasan pada paru-parunya yang terus-menerus menahan emosi. Tetapi Adrian hanya bersikap pura-pura tidak peduli. Kepalanya masih meneleng ke samping, sibuk menghitung semut di jalan.
"Lo denger gue gak?"
"Gue heran, lo seharusnya gak sekaget ini. Gue kan Setan Sekolah."
"Gue kira itu cuma rumor."
"Rumor gak bakal ada kecuali emang dari kejadian nyata."
"Semacam cerita yang dilebih-lebihkan."
"Gue emang dari dulu bandel, Alsa. Gue bahkan di-blacklist di semua SMA Negeri."
"Tapi gue cuma mau percaya, Adrian itu ya, Adrian yang gue kenal, yang suka kucing."
Seketika Adrian terkekeh. Bahunya yang kaku melunak dan ia maju menghadap wajah Alsava. Sengaja menyandarkan kepala di atas satu tangan. Gadis itu langsung mundur dalam kebingungan.
Adrian tampak tidak menangkap sinyal tersebut dan mulai mencubit keik bertabur parutan cokelatnya dengan tangan lain yang nganggur. "Lo naif."
Seketika wajah Alsava memerah, antara emosi, atau perasaan lain. Rasanya ada yang aneh. Tepatnya di jantung, tempat benda itu berdebar-debar di waktu yang tidak tepat. Kenapa Adrian tersenyum dan menampakkan lesung pipit itu lagi?!
"Lo mau dengar kisah gue gak?" tawar Adrian. Laki-laki itu mulai menyedot kopi dinginnya dan menikmati keik lebih leluasa.
"Kisah apa?"
"Gue, sebelum jadi Adrian yang sekarang."
****
Alsava ingin percaya, tapi ia tidak bisa. Terlalu banyak perbedaan mereka sekarang jika disejajarkan. Seolah satunya Adrian, satunya lagi Adrian terendam minyak plus disengat lebah.
"Ini beneran lo?!" pekik Alsava. Terus membanding-bandingkan foto yang dikasih Adrian dan diakuinya sebagai wujud masa SMP. Di dalam gambar tersebut, tampak seorang bocah gendut kelebihan lemak, dan bermata sipit. Lihat saja pipinya, seperti dua bantal ditempel jadi satu.
"Kok bisa." Alsava masih tidak percaya. Mulutnya tanpa sadar menganga. Kedua mata Alsava bolak-balik dari foto ke Adrian masa kini.
"Ini ada hubungannya dengan pertanyaan lo: kenapa gue bisa terlibat tawuran." Adrian menyesap kopi dinginnya yang tinggal separuh, tanpa sedotan. Sedikit busa tertinggal di atas bibirnya dan segera dihapus dengan jempol sendiri sambil diemut. "Sialan, gak boleh ngerokok di sini."
"Jadi?" Alsava mengembalikan foto tersebut. Adrian hanya mengapitnya dengan kedua jari dan memutar-balikkan lembaran kaku itu di jemarinya. Seolah berpikir, seakan mencari awalan yang pas untuk pembuka kehidupan masa lalu seorang Adrian.
"Gue korban bully. Sejak kelas satu SMP."
Alsava menyimak.
"Gue gak pernah cerita ini ke siapa-siapa. So, keep it secret." Adrian menarik napas. Tampaknya semua beban ini memberatkan pundaknya terlalu lama hingga tidak tahu, dari mana ia harus memulai mencairkannya satu per satu. "Gue gendut, iya. Gembrot malahan. Tapi gue pinter. Gue sempat masuk SMP Negeri favorit dan jadi rangking satu di semester awal. Gue seneng banget. Tapi itu gak berlangsung lama. Gue sadar, gue terlalu jelek buat dikagumin. Gue diolok-olok di belakang, dikatain babi, peranakan bison, sapi. Macam-macam."
"Yan ...." Alsava terkesima.
"Jahat banget, 'kan? Gue kesal. Gue gakngerti kenapa mereka bisa sekeji itu. Tapi, sebanyak apa pun gue melawan, gue cuma bisa pasrah dan disiram di toilet berjamaah. Gue gagal nyelamatin harga diri gue waktu itu."
Adrian terdiam. Minuman dan kopinya sudah habis hingga Alsava merasa ingin memanggil pelayan dan memesan lagi. Namun Adrian cepat menggenggam tangan Alsava yang tergeletak di atas meja, mencegahnya untuk berdiri, dan pergi.
"Gue belom selesai."
"Gue mau mesan-"
"Tunggu gue, please."
Seketika rasa bersalah membanjiri dada Alsava, membuat gadis itu murung, dan merasa bodoh. "Maaf. Gue gak sopan."
Tangan mereka masih menggenggam. Walau sebenarnya ujung-ujung jari Adrian hanya menumpuk di atas tangan kiri Alsava. Tapi itu sudah cukup membuat Alsava terpaku dan diam menyimak. Lebih-lebih pipi Alsava memanas dan jantungnya berdentum keras.
"Gue bikin lo gak nyaman, ya?"
Seketika Alsava menggeleng. "Gak, terusin aja, terus." Lalu detik itu juga merasa semakin dungu dan ingin mengeriput jadi liliput.
"Oke." Adrian menarik napas, lagi. "Sejak saat itu, gue selalu mendam amarah. Pokoknya tiap liat mereka, pikiran gue cuma: habisi, habisi, habisi. Lalu gue olahraga mati-matian, nurunin berat badan, latihan tinju, mukulin samsak sampai memar dan lecet. Tekad gue cuma penginngehajar mereka, terus bikin orang tunduk karena ketakutan. Iya, gue jadi ikutan keji. Pelajaran guetinggalin, nilai gak pernah guepikirin. Semua prestasi lenyap di tahun kedua SMP. Gue selalu keluar-masuk ruang BK. Diceramahin sampai berbusa. Tapi guebudeg. Pikiran gueudah terpusat buat ngehancurin hidup orang-orang yang dulu ganggu gue."
Hening. Suasana kafe semakin ramai dengan turunnya matahari ke sisi barat. Alsava tidak berani bergerak, ia juga tidak tahu harus merespons apa. Ia selalu berpikir, Adrian cuma anak badung yang nakal karena cari perhatian. Bukan keadilan.
Tangan Adrian masih di atas jari-jari Alsava. Terasa dingin dan basah. Alsava ingin menariknya, menyelamatkan diri dari debar aneh di dadanya.
"Satu per satu, pem-bully gue takluk. Mereka kalah. Babak belur. Gak ada yang membendung kemarahan gue sama sekali. Selama gue bisa menghajar, selama gue bisa melampiaskan amarah: gue senang. Gue gak punya teman sebaik lo, yang rela mikir hidup gue bakal gimana ke depannya. Gak ada. Gue beneran bablas, dulu dan akhirnya dikeluarkan. Terus gue masuk SMP negeri lain, tetap berulah dan dikeluarkan. Berkali-kali. Sampai gue lulus dan seluruh SMA negeri mem-blacklist nama gue."
Tiba-tiba Adrian menunduk. Tangannya masih di tempat yang sama, enggan lepas. Bola matanya kosong, antara melamun atau sedang mencegah emosi lain bangkit.
"Yan, lo pernah nyesal?"
"Hm?" Adrian mendongak.
"Selama lo berantem dan dicap nakal di mana-mana, lo pernah ngerasa bersalah?"
"Sering." Adriam tersenyum, getir. "Kalo dulu, gue dikendaliin amarah. Sekarang gue dikekang rasa bersalah. Gue gak ngerti gimana lampiasinnya selain ke berantem dan berantem. Soalnya guegak bisa hal lain. Teman-teman gue juga, semua tukang berantem dan anak terbuang."
"Tapi lopintar, Yan."
"Masa?"
"Lo pernah pintar, lo pernah jadi rangking, lo sebenarnya bisa kalo lo mau. Lo cuma butuh niat."
"Thanks. Meski fitnah, kedengarannya menyenangkan."
"Gue serius!" Alsava menarik tangannya. "Lo bisa kalo lo mau."
"Sebenarnya gue masih gak ngerti, kenapa ada orang sebaik lo, mau repot-repot denger dan bacotingue. Tapi, gue makin gakngerti dengan diri gue sekarang."
"Maksud lo?"
"Gue mau jujur."
Mendadak jantung Alsava melompat. Jujur? Apa yang mau dijujurkannya?
"Sejak kenal lo, gue ngerasa beda." Adrian tersenyum, manis dan polos. "Gue jadi suka dan pengen terus belajar. Belajar jadi baik, belajar menyayangi kucing, belajar menghargai diri dan nilai."
"Kayaknya ikut komunitas pecinta kucing bikin lo makin lunak."
"Gue adem gini cuma sama lo doang."
Haruskah Alsava bangga? Kenapa pipinya kembali memanas?! "Te ... terus, gimana?"
"Apanya?"
"Niat lo sekarang?"
"Gue pengin ke Miaw's Paw lagi, terus belajar bentar buat ulangan harian besok. Sama lo, gimana?"
Selama bukan menyangkut berantem dan cerita masa lalu, Alsava mengangguk. Lalu mereka beranjak dan membayar makanan. Saat keluar kafe itulah, ketika Adrian maju terlebih dahulu dan siluetnya tersangkut di ambang pintu: Alsava terhipnotis. Punggung Adrian yang tegap sekaligus tampak retak. Banyak cerita yang membangun sosok itu sekarang, dan semuanya jelas bukan cerita bahagia.
"Habis dari komunitas, kita ke sini lagi ya buat belajar?" Adrian menoleh melewati bahu, sengaja menahan pintu kaca dengan kedua tangan.
Yang penting, Adrian sekarang adalah Adrian yang dikenal Alsava. "Oke." Adrian yang hanya hidup untuk masa sekarang.
Lalu keduanya tersenyum, dan Alsava merasa hangat saat itu juga.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top