XII. Bencana Besar

Siang itu bukan yang pertama kali Adrian membolos di jam terakhir sebelum istirahat kedua. Lebam-lebam di wajahnya masih belum hilang sepenuhnya, walaupun pengeroyokan itu terjadi hampir seminggu yang lalu.

Adrian tahu benar, bahwa kemenangannya yang telak atas pengeroyokan tak imbang tempo hari sulit diterima oleh pihak lawan. Adrian sudah membalas dendam, namun dendam di antara dua kubu itu sepertinya tidak akan pernah berakhir.

Adrian mendengus mengingat kejadian dua hari yang lalu. Ketika itu, ia tengah sibuk berkumpul dengan teman-teman berandalannya sambil merokok dan menyesap kopi panas di warung BiAtem—warung kopi langganan mereka yang berada tidak jauh dari sekolah. Sedang asikbercengkrama, tiba-tiba sebuah batu berlapis kertas lusuh memecahkan kaca etalase sederhana warung BiAtem. Satu jengkal dari kepala Adrian. Seolah sengaja dibuat sedikit meleset dari kepala Adrian untuk menekankan peringatan keras. Selang beberapa detik setelahnya, terdengar suara deru motor yang memancing Adrian dan teman-temannya untuk melihat keluar. Hanya kepulan asap yang tersisa, dan seragam batik yang dipakai oleh pengendara motor itu yang samar-samar ditangkap oleh mata Adrian.

Kertas yang menyertai batu itu adalah sebuah surat tantangan dari sekolah lawannya.

Sebab itulah, kini Adrian beserta teman-temannya yang lain memilih bolos dari sekolah. Mereka sudah siap untuk menghadapi serangan dari sekolah lawan dengan segala konsekuensinya.

"Ton, nanti, lo, Deri sama Eko yang lempar bom botol. Kita butuh umpan, bom botol itu bagus untuk bikin konsentrasi lawan pecah. Lo nggak keberatan 'kan?" Adrian berdiri sambil mengutarakan strategi di antara teman-temannya yang duduk melingkar di warung BiAtem yang seluruh kursi panjangnya telah disingkirkan untuk memperluas ruangan.

Anton—orang yang diajak Adrian bicara tadi, mengangguk dan melirik tumpukan kardus yang bisa dipastikan berisi bom botol tersebut. Beserta tumpukan balok kayu dan karung-karung yang berisi batu.

"Sisanya, gueudahsiapin balok kayu sama batu-batu gede. Gue pastiin persiapan kita kali ini lebih matang dari mereka. Makanya, kita harus menang, apapun yang terjadi."

Warung kopi BiAtem hari itu telah beralih fungsi menjadi markas tentara anak SMA badung yang sarat akan dendam dan hasrat ingin menang.

Satu per satugerombolan itu keluar sambil membawa senjata masing-masing. Melesat keluar dengan tertib menuju tempat yang telah ditentukan. Detik-detik berdetak curam, meningkatkan kecemasan yang diam-diam terselip di setiap hati para pemuda itu.

Adrian berada di barisan paling depan. Mereka tiba di tempat yang dijanjikan bersamaan dengan pasukan lawan mereka, SMA Patra Jaya. Kedua kubu itu berhadap-hadapan dalam jarak yang riskan. Saling mengamati dan mencari kelemahan satu sama lain.

Matahari semakin terik begitu samar-samar Adrian mendengar suara bel istirahat di sekolahnya berbunyi. Peluh mulai menetes membasahi kemeja putih Adrian yang berantakan. Pasukan lawan mulai merangsek maju ketika teriakan lantang Adrian terdengar, "Maju!" Komando yang terdengar di siang terik itu seakan menyalurkan energi bagi orang-orang yang berdiri di belakang Adrian.

Kilatan emosi terpancar nyata di iris hitam Adrian, seakan tak pernah bisa dipadamkan oleh apa pun juga. Secepat kilat, balok-balok kayu dan batu melayang menampar udara yang terik, untuk kemudian jatuh ke tanah bersama percikan darah atau bahkan tubuh-tubuh yang tak siaga.

Sekali lagi batu melayang, kali ini menarget pelipis kiri Adrian. Ia melesat ke kanan, menghindar dengan lincah. Sesekali ikut melempar, dengan batu besar di karung yang sudah disiapkan sebelumnya.

Seseorang tiba-tiba menyeruak, menghadang Adrian. Serta merta melayangkan sebuah kepalan tangan ke arah hidung Adrian. Namun, Adrian membungkuk. Memberi serudukan keras, mendorong laki-laki itu ke depan. Dibalas sikutan keras di punggung.

Adrian mengumpat, setengah mengerang. Menahan nyeri di punggungnya. Geram. Balas mendaratkan sikutan ke pinggang. Lalu melanjutkan serangan itu dengan menghadiahkan tendangan lutut di perut, tidak memberi kesempatan pada lawannya untuk membalas. Ditendangnya lutut laki-laki itu hingga terjatuh dan membiarkannya tergeletak dengan napas tersengal.

Adrian kembali meringsek maju, melihat seorang rekannya dikeroyok. Namun, baru tiga langkah berlari, sebuah sirine mengaburkan fokusnya. Ia sama sekali tidak menyadari sebuah balok kayu melesat tiga jengkal di belakang kepalanya.

"Shit!" Kepala Adrian pening. Belum lagi suara sirene yang semakin mendekat.

Adrian gamang. Menahan pening yang semakin menjadi, ia tertatih mengikuti gerombolan antek-anteknya. Beruntung, dua orang sigap, membantunya melesat segera. Bersembunyi di markas, sebelum polisi menangkap mereka.

***

"Nad, longgak mau ke kantin?" Alsava menoleh ke arah Nadira begitu bel tanda istirahat kedua berbunyi.

"Nanti aja, capek gue," sahut Nadira malas. Suaranya agak sedikit teredam karena ia membenamkan wajah di antara lekukan sikunya di atas meja. Alsava merasa bahwa teman sebangkunya itu bertingkah tidak seperti biasa. Memang, mereka baru saja menghabiskan dua jam mata pelajaran untuk menyelesaikan tugas diskusi kelompok biologi yang harus dikumpulkan pada menit-menit terakhir. Mereka tak punya pilihan selain mengerjakan tugas yang jumlahnya tidak sedikit dalam tempo yang sesingkat-singkatnya atau mereka akan mendapat hukuman semacam membersihkan lapangan sekolah dan yang lebih parah dari itu, membersihkan wc yang bau.

"Tumben. Biasanya lo kayak singa laper jam segini," ledek Alsava sambil mencubit pelan lengan Nadira. Mendapat perlakuan semacam itu dari Alsava, gadis itu meringis.

"Iya emang. Gue terkam juga lo, Al. Berisik." Nadira agak menggeser posisinya agar sedikit berjarak dari Alsava, meski pergeseran itu sebenarnya tak banyak membantu.

"Lo seriusannggaklaper?" tanya Alsava sekali lagi. Memastikan apakah Nadira benar-benar menolak ajakannya atau tidak.

"Gue laper, tapi nanti ke kantinnya, Alsa. Capek nih." Nadira akhirnya mendongak untuk menatap teman sebangkunya, Alsava. Sebelum akhirnya kembali membenamkan kepalanya di atas meja.

Alsava mengedikkan bahunya tak acuh. Sebenarnya ia sendiri tidak terlalu ingin ke kantin. Ia hanya penasaran mengapa Nadira lebih memilih tidur di kelas daripada mencari makan siang seperti biasanya.

Selagi menunggu Nadira selesai dengan kegiatannya mencumbu meja kelas mereka, Alsava memainkan ponselnya iseng. Entah sekedar membuka-tutup media sosial, atau sekedar memainkan game klasik semacam menyusun balok dan sebagainya.

Sepuluh menit berlalu. Kelas yang tadinya sepi mulai ramai kembali karena para penghuninya sudah kembali dari kantin dengan jajanan mereka masing-masing.

Alsava melirik teman sebangkunya yang seakan tidak terusik dengan keramaian itu. Meski pelan-pelan kelas itu mulai mengeluarkan berbagai macam aroma yang bisa membuat hidung berkerut. Campuran antara bau keringat dan makanan.

"Nad," panggil Alsava sekali lagi. Ia baru akan mengucapkan sesuatu ketika tiba-tiba suara keras terdengar.

Prangggg!!!

Semua kepala lantas menoleh ke asal suara. Alsava tahu bahwa Nadira tersentak bangun di sampingnya sambil bertanya kaget, "Apaan tuh?!"

Jendela kaca yang paling dekat dengan tempat duduk Alsava pecah berantakan. Di antara pecahan kaca yang berserakan itu, ada sebongkah besar batu yang menjadi penyebab bunyi keras tadi. Beruntung yang duduk tepat di sebelah jendela itu belum kembali ke kelas. Atau bisa dipastikan akan ada pertumpahan darah yang lebih menggegerkan kelas.

Setelah jendela itu pecah, suara-suara dari samping sekolah mulai merembes ke dalam ruang kelas itu. Semua penghuni kelas, termasuk Alsava dan Nadira, terlonjak dari tempat duduknya. Sebagian langsung menangkap sinyal bahaya dan menghambur keluar, sebagian lagi mencoba mengintip situasi di luar sana dengan waswas.

Nadira yang notabene masih belum sepenuhnya sadar, mendadak membelalakkan mata begitu sekali lagi mendengar suara keras. Kali ini terdengar seperti sebuah ledakan. "Ada tawuraaann!" teriaknya cemas. Ia tetap berteriak begitu meski responnya terhitung sangat amat terlambat. Ia langsung menarik lengan Alsava yang masih persis di sampingnya.

Saat itu, dua kubu yang terlibat pertikaian berada persis di balik jendela-jendela kelas Alsava. Saling lempar, saling pukul, saling beradu. Terdengar jerit-jerit kesakitan, meski lebih banyak jerit amarah yang tertangkap telinga Alsava.

Semakin keras Nadira menarik lengannya, kaki Alsava seakan semakin terpaku di tempatnya. Sejak tadi ia mencoba mencerna apa yang tertangkap oleh matanya. Ia melihat sosok yang sangat mencolok, satu-satunya yang ia kenali di antara gerombolan begundal setan di sekolahnya. Alsava tidak tahu apakah itu nyata, atau penglihatannya tengah berkhianat.

Alsava memicingkan mata, mencoba memfokuskan pandangannya ke arah lelaki itu. Lalu hatinya mencelus. Tidak salah lagi, itu memang Adrian.

Ledakan-ledakan semakin gencar terdengar. Suaranya amat nyaring, sehingga Alsava kemudian tersadar. Saat itu, teman-temannya yang lain sudah mencapai pintu untuk keluar kelas.

"Alsa, ayo! Lo ngapain sih," ajak Nadira dengan nada khawatir.

Tepat saat mereka berdua sampai di pintu kelas, sebuah bom botol terlempar ke dalam kelas mereka dan meledak dengan suara keras. Persis di tempat Alsava berdiri tadi. Alsava menahan napas, menyadari bahwa kematian amat sangat dekat dengannya beberapa saat yang lalu. Jika ia keras kepala tetap berdiri di sana beberapa detik lagi, ia pasti sudah tamat.

Sementara itu, koridor dipenuhi murid-murid yang panik. Hampir semua kelas yang berada satu koridor dengan kelas Alsava menyaksikan aksi tawuran yang berlangsung di sepanjang jalan itu.

Tak lama kemudian, sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara. Semua murid yang berada di koridor harus berkumpul di lapangan sekarang juga demi keamanan mereka.

"Kerjaan Adrian nih pasti," gerutu Nadira di samping Alsava.

"Hush, jangan suudzongitu." Alsava berbisik keras di telinga Nadira. Ia tak mau teman-temannya yang lain juga terpengaruh oleh tuduhan yang diucapkan Nadira. Tak peduli tuduhan itu dilontarkan Nadira dengan alasan yang kuat.

"Ya gimanaguenggak berprasangka buruk, Al. Sekolah kita nggak pernah tawuran sebelumnya. Tapi sejak Adrian masuk sekolah ini, sekolah kita jadi sering berurusan sama anak sekolah lain."

Teriakan dan ledakan semakin keras terdengar dari samping sekolah itu. Mereka yang masih tersisa di koridor lantas buru-buru melarikan diri menuju lapangan. Tidak ada yang mau ambil risiko, jika nanti bom botol dan batu-batu itu terlempar sampai koridor. Meskipun itu hampir mustahil.

Alsava ingin berlari menemui Adrian, meminta lelaki itu agar mengakhiri pertikaian. Tapi melihat situasi yang sangat kacau, sangat kecil kemungkinannya Alsava akan sampai pada Adrian sebelum tertangkap oleh sekolah musuh.

Yan, lo kenapa sih?

Ketika sejuta kemungkinan terburuk tentang kondisi Adrian mengusik benak Alsava, suara sirene mobil polisi terdengar lebih nyaring. Menggema di penjuru sekolah, seperti singa yang mengaum untuk melerai bayi-bayinya yang bertengkar. Semua murid yang awalnya berkumpul di lapangan, kini mengikuti langkah Pak Arman dan guru-guru yang lain menuju ke gerbang sekolah. Menghampiri lokasi kejadian yang sudah dicampuri oleh polisi.

Ada sekitar dua belas orang yang tertangkap. Alsava meneliti satu persatu orang yang tertangkap. Namun tak ada Adrian di sana. Ia baru akan menarik napas lega ketika Nadira tiba-tiba berkata, "Itu tuh antek Adrian semua. Setengahnya dari sekolah lain."

"Maksud lo?" tanya Alsava gamang. Mengapa pula Nadira sampai menghafal para antek Adrian?

"Al, Adrian bisa aja lolos sekarang. Tapi kaki tangannya udahketangkep. Cepat atau lambat dia pasti bakal ditangkep juga."Alsava mematung. Memikirkan perkataan Nadira. Hingga akhirnya dua belas orang yang tertangkap bersama pasukan polisi dibawa ke ruang BK untuk ditindaklanjuti sebelum mereka dibawa ke kantor polisi. Sementara Alsava dan teman-temannya diminta kembali ke kelas karena situasi sudah aman terkendali.

****

Alsava masih menunduk dan diam di tempatnya. Murid-murid yang kelasnya mengalami kerusakan, dibebaskan dari jam-jam pelajaran setelah istirahat kedua, pasca tawuran itu terjadi. Alhasil, kelas di sepanjang koridor yang sama dengan kelas Alsava kini tengah riuh.

Gosip tentang Adrian menyebar cepat bagai racun sianida. Atau lebih tepatnya itu bukan gosip. Itu kenyataan. Adrian akan dikeluarkan dari sekolah karena terbukti menjadi dalang dari kekacauan itu. Ia yang memimpin anak-anak sekolah mereka dan bertanggung jawab penuh untuk apapun yang dilakukan oleh anggota-anggotanya yang terlibat.

Karena itulah Alsava menjadi resah. Ia tak memedulikan Nadira yang cerewet mengomentari tindakan dan konsekuensi yang diterima oleh Adrian. Alsava tengah sibuk memutar otak dan mencari cara untuk menyelamatkan Adrian.

Ia adalah putri dari pemilik yayasan dan donatur tetap yayasan itu. Ia pasti bisa melakukan sesuatu untuk mencegah Adrian dikeluarkan dari sekolah.

Tapi, ia masih belum bisa menemukan caranya. Ia tidak mungkin membujuk orang tuanya untuk memberikan hak veto agar Adrian tidak dikeluarkan, tanpa dibuntuti oleh pertanyaan atas dasar apa ia ingin membantu Adrian.

Ia juga tidak mungkin membujuk Dadang. Karena ... atau mungkin ia bisa? Dadang kan mata-mata perusahaan? Baiklah, Alsava harus mulai mencari cara agar Dadang mau membantunya. Apa pun konsekuensi yang akan ia terima.Apalagi selama beberapahari terakhir, Dadang mulai menunjukkan itikad baiknya untuk menjadi teman Alsava. Membujuk Dadang pasti tidak akan terlalu sulit lagi.

****

Sepulang sekolah, Alsava memutuskan untuk menemui Adrian di tempat biasa. Ia harus tahu mengapa Adrian sampai kalap seperti itu.

Sesampainya di seberang toko buku, Alsava menemukan Adrian lebih dulu tiba di sana dan sudah memberi makan kucing seperti biasanya.

Melihat Adrian yang seperti itu, orang yang berlalu lalang di jalanan itu tidak akan menyangka bahwa Adrian adalah orang yang sama yang menjadi pemimpin geng tawuran tadi siang di sekolahnya dan terancam dikeluarkan.

"Yan," panggil Alsava pelan. Seakan jika bersuara lebih kencang dari itu, ia akan melukai telinga Adrian.

"Hm," sahut Adrian tanpa menoleh ke asal suara. Memangnya siapa lagi perempuan yang akan menemuinya di seberang toko buku dan tidak terkejut melihat tingkahnya?

"Kepala lo kenapa?"

"Kejedot."

"Bohong." Alsava nyaris akan menangis saat mengatakan itu. Tapi ia cepat-cepat menetralkan ekspresinya sebelum Adrian melihatnya.

"Kenapa gue harus bohong?" tanya Adrian sok polos.

"Gue mau ngomong sama lo," ujar Alsava sambil masih berdiri di belakang Adrian. Mengabaikan pertanyaan bodoh Adrian yang tak selayaknya dijawab.

"Apa? Mau ngomong kalo lo suka sama gue?" Adrian masih sibuk memberi makan kucing kecil kesayangannya tanpa peduli suasana ramai di sekitarnya.

"Gila. Ga usah ge-er."Alsava tiba-tiba saja merasa dongkol. Karena kalimat sepele Adrian itu berhasil membuat pipinya terasa panas.

"Ya udah, kita cari tempat ngadem dulu aja." Adrian tiba-tiba berdiri setelah kucing itu selesai dengan makanannya.

"Kafe biasa aja, gimana?" usul Alsava kemudian.

Mereka berdua pun meninggalkan kucing mungil dengan perut gendutnya itu, menuju ke arah kafe tempat mereka biasa mengobrol.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top