XI. Satu Langkah
Alsava termangu beberapa detik. Masih dengan dasi menggantung serampangan di kerah, juga sepasang sepatu di tangan kanan. Bahkan masih ada roti tawar terjepit di antara bibir saat matanya membelalak lebar-lebar.
Kenapa ada makhluk halus sepagi ini di rumahnya?
"Selamat pagi." Dadang sudah berdiri, memberi senyum simpul.
Refleks, Alsava menunjukkan sikap defensif. Badannya mundur selangkah, tangan kiri menutupi dada, dan tangan yang memegang sepatu mengacung tinggi. Wajahnya sudah menunjukkan ekspresi jangan-dekat-dekat-atau-mati miliknya.
Jika tidak salah, di rumah ini hanya ada dia. Dan sekarang, Dadang muncul. Bagaimana jika laki-laki itu berniat macam-macam?
"Sebentar-sebentar. Saya ke sini bukan mau ngajakin kamu berantem."
Alsava masih mempertahankan posenya. Tidak peduli laki-laki berpakaian necis di depannya mengangkat tangan sejajar kepala dengan raut keheranan. "Haumampha?" Kata-katanya tidak jelas, terhalang roti tawar yang masih menyumpal mulut.
"Apa?"
Semakin didengar, suara Dadang tambah membuat Alsava keki. Mau mengusir pun tidak bisa. Pasti laki-laki itu akan mengadu ke ibu, dan berimbas Alsava diceramahi semalaman. Apanya yang ikatan jika begini ceritanya?
Sedikit kasar, Alsava menyentakkan roti dengan tangan kiri. Mengunyah tak kalah kasar. Membuka suara setelah berhasil menelan. "Mau apa?"
Alsava semakin tak habis pikir saat melihat laki-laki itu kembali duduk. Seperti tidak memiliki dosa sudah mengganggu pagi Alsava yang tenteram.
"Saya nggak maksa kamu untuk menyukai saya." Ucapan laki-laki itu membuat kening Alsava mengernyit. Seingat Alsava, dia tidak pernah memancing topik paling menggelikan ini. Suka ... apanya? "Saya juga nggak minta kamu langsung menerima saya begitu saja."
"Hah?" Alsava jelas bingung. Ke mana arah pembicaraan ini? Meneliti ekspresi Dadang pun tak banyak membantu. Justru menambah kadar ketidakpahamannya.
"Tapi, kalau kamu nggak keberatan, sa—kita bisa mencoba dulu." Melihat Dadang yang menunduk—seperti orang yang kehilangan semangat hidup, Alsava bergeming. Pertahanan dirinya pun tanpa sadar mengendur.
Tidak biasanya makhluk menyebalkan semacam Dadang mau menunjukkan ekspresi seperti itu. Dadang yang biasanya akan mengangkat dagu tinggi-tinggi. Sepenuhnya tenggelam dalam kepercayaan diri segunung. Tapi, sekarang? Entah kenapa Alsava sangsi. Kentara sekali ada yang berbeda dari aura laki-laki di depannya ini.
Agak suram.
Alsava sedikit membelalakkan mata saat Dadang mendadak mengangkat kepala. Menatap kedua matanya intens.Sekilas, ada kilatan aneh yang menggoda simpatinya mengembang.
"Saya akan berusaha membuat kamu bisa menerima saya. Sepenuhnya. Tanpa paksaan, juga status yang mengikat kita." Seulas senyum tipis laki-laki itu semakin membuat Alsava ngeri. "Jadi, kalau boleh, saya minta kesempatan. Paling tidak, menjadi teman kamu."
Lidah Alsava kelu. Dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Andai situasinya seperti biasa, jelas Alsava tidak merasa perlu memikirkan lebih lanjut. Dia dengan yakin langsung menolak permintaan Dadang.
Namun, haruskah hari ini dia memberi pengecualian?
"Ah, maaf kalau tiba-tiba." Alsava masih mengamati dalam diam saat Dadang menggaruk telinga kanannya kikuk. Posisi duduk laki-laki itu juga mendadak terlihat tidak nyaman. Seperti duduk di atas tumpukan kulit durian.
Ah, kenapa mendadak menjadi melankolis begini, sih?
Sepertinya gosip ibu-ibu sosialita di pesta ulang tahun orang tua Dadang sedikit memberi efek bagi Alsava. Dia ingat gunjingan-gunjingan mereka berhasil membuat telinganya panas. Walaupun bukan dirinya yang menjadi subjek perbincangan, tetap saja Alsava gerah. Apa sepantasnya mereka membicarakan Dadang sampai sebegitunya? Parah, jika Alsava boleh berkomentar.
Ada satu percakapan yang masih menempel jelas di kepalanya. Jelas bukan jenis pembicaraan yang layak dilontarkan. Terlalu berlebihan.
"Bukannya sudah jelas? Dari awal, Dan memang yang nomor dua."
"Nggak sangka sampai separah itu, loh. Saya dengar, Dan bekerja di perusahaan orang tua tunangannya untuk protes, perusahaan yang di Jerman nggak dikasih ke dia."
"Di perusahaan itu, Dan cuma supervisor, 'kan?"
"Nah, iya. Saya pikir dia jadi GM atau wakil direktur. Ternyata cuma supervisor. Buat apa membelot kalau ujung-ujungnya nggak dapat posisi tinggi."
"Jelas saja orang tua mereka lebih memanjakan Yudhis. Nyatanya, Dan terlalu kekanakan. Bisa kacau perusahaan kalau dikasih ke dia."
Alsava ingat saat itu mati-matian menahan dengusan. Memangnya tidak bisa membicarakan yang lain? Nilai saham, mungkin. Atau tender dengan perusahaan asing. Atau sesuatu yang intinya bukan menjelekkan orang lain.
Fokus Alsava kembali saat laki-laki itu mengulurkan tupperware merah muda yang sebelumnya tergeletak di meja ruang tamu.
"Saya tahu kamu jarang makan siang karena kantin selalu ramai saat istirahat. Jadi, ini buat kamu."
Kotak bekal itu jelas menggelikan di tangan Dadang. Alsava juga sempat curiga diam-diam Dadang seorang pecinta merah muda. Namun, setelah kotak itu diberikan padanya, Alsava semakin membatu.
Jadi, Alsava harus bagaimana? Dia tidak tega jika menolaknya. Dan kalau Alsava menerima bekal tersebut, dia takut Dadang salah menafsirkan.
Sekali lagi, dia kembali mengingat perlakuan orang-orang di sekitar Dadang memperlakukan laki-laki itu. Membayangkan berada di posisi Dadang membuat Alsava bergidik ngeri.
Hanya menjadi bayangan dari kecemerlangan kakaknya. Menjadi bahan olok kolega orang tuanya. Siapa yang sanggup menerimanya terus-terusan?
"Saya nggak maksa, kok." Lagi-lagi, Dadang tersenyum simpul.
"Ya sudah," Dadang berdiri saat Alsava belum sepenuhnya terbebas dari Dadang-yang-hanya-bayangan, "saya berangkat dulu. Kamu juga, jangan sampai terlambat."
Seperti tidak sadarkan diri, Alsava mengamati kepergian Dadang sampai punggung berbalut kemeja biru gelap itu menghilang di balik pintu.
Beberapa menit setelahnya, Alsava sadar dari kelinglungannya. Tangannya bergerak ragu-ragu meraih bekal dari Dadang. Namun, getaran smartphone dari saku kemeja menghentikan niatan tersebut.
1 new message.
Alsava sedikit menarik napas panjang saat laki-laki itu kembali muncul. Kali ini dari smartphone-nya, dengan pesan yang sedikit enggan dibuka.
Sebenarnya saya mau mengajak kamu berangkat bareng. Tapi saya yakin kamu tidak mau ada gosip tentang kita. Jadi, buruan berangkat. Jangan sampai telat :).
Sekali lagi, Alsava termangu.Entah apa yang akan terjadi nanti, Alsava tidak mau menebak.
****
"Wihhh, tumben bawa bekal?"
Alsava melirik Nadira yang sudah mengintip penasaran pada kotak bekal yang dia bawa. Ya, dia sendiri juga tidak menyangka akan membawa bekal tersebut.
"Ya, gitudeh."
Saat penutup kotak dibuka, Alsava langsung dihadapkan dengan dua potong roti dengan berbagai isi yang berhasil mengundang rasa laparnya. Alsava jadi penasaran, apa Dadang membuat bekal ini seorang diri? Atau dia membeli? Meminta tolong pada pekerja rumahnya?
Dan kenapa Alsava peduli?
Baru saja Alsava berniat mengambil satu potong roti isi tersebut, smartphone yang tergeletak di samping kotak bekal bergetar. Panjang umur. Sepertinya laki-laki itu tahu jika Alsava baru akan memakan bekal darinya.
Semoga berselera makan bekalnya. Saya nggak terlalu pandai masak.
Jika biasanya Alsava akan jengkel setiap mendapat pesan gangguan dari Dadang, kali ini berbeda. Dia bahkan membayangkan Dadang tengah tersenyum canggung saat mengirim pesan tersebut.
Alsava mendesah. Susah ya jadi manusia. Terlalu mudah bersimpati. Pada orang yang paling menjengkelkan sekalipun.
Ya sudahlah.
Tanpa menjawab pesan dari Dadang, Alsava mulai menikmati bekalnya. Mungkin dia bisa menerima kehadiran laki-laki itu sebagai teman, tapi tetap saja butuh proses. Tidak semudah itu Alsava bisa menerima Dadang. Terlebih kesan pertama pertemuan mereka yang bisa dikatakan buruk.
"Gue ke kantin ya, Al." Oh, ternyata Nadira masih duduk tenang di bangku sebelah Alsava. Menata rambut ikal sepunggung dalam gelungan sederhana. Memakai bolpoin untuk pengait. "Mau nitip?"
"Enggak. Makan ini sudah cukup," jawab Alsava, tidak perlu berpikir lama. Seringai tipis tersemat di bibir Alsava saat sudut matanya menangkap seorang laki-laki dengan jaket jeans celingukan di pintu kelas. "Gebetan lonungguin, tuh."
Nadira mendadak kesetanan. Menyempatkan diri merapikan anak rambut yang mencuat, sebelum melesat keluar kelas.
"Ke kantin, Al," pamit Nadira, dengan senyum lebar. Alsava geli sendiri melihatnya.
Sepeninggal Nadira, Alsava buru-buru menandaskan bekalnya. Menyimpan kotaknya di balik laci, lantas melenggang keluar kelas.
Nadira memang sudah sempat mengajaknya berkeliling sekolah. Mengenalkan bangunan per bangunan yang tidak bisa Alsava hafal dalam sekali lihat. Namun, hari ini Alsava ingin berkeliling seorang diri. Sekaligus menenangkan perasaan kalut yang mengganggu sejak kedatangan Dadang ke rumahnya tadi pagi.
Banyak gerombolan murid-murid Nusantara di sepanjang koridor. Saling berteriak, memukul, mengejar. Tampak begitu menikmati masa putih-abu mereka. Beberapa juga duduk-duduk santai di atas loker sepatu dari kayu di depan kelas. Membicarakan serial drama yang sedang ramai belakangan, atau sekadar berimajinasi bertemu dengan idola.
Tanpa sadar, Alsava tersenyum mendengar percakapan-percakapan mereka.
"Mau mati gue lihat soal dari Pak Budi."
"Haha, udah biasa, 'kan? Yang diterangin apa, keluarnya apa."
"Kan gue bilang, Pak Budi tiada duanya."
"Tolong cariingue cowok ganteng bin tajir. Mau langsunggue seret ke KUA."
Percakapan-percakapan mereka semakin mengecil seiring jarak Alsava dengan koridor menjauh. Sampai di luar lapangan, tepat setelah lolos dari koridor, Alsava dihadapkan dengan murid laki-laki yang asyik menggiring bola. Saling berebut, berteriak, sesekali memaki.
Di luar kata-kata kasar yang terlontar, Alsava jelas melihat raut riang dari murid laki-laki tersebut. Seperti melepas stres dengan menjemur diri di bawah terik matahari.
Saat mata Alsava menangkap Adrian ada di antara kerumunan anak yang berlarian mengejar bola, seulas senyum perempuan itu terbentuk. Senakal-nakalnya Adrian, masih bisa terlihat normal, rupanya.
Pandangan Alsava jadi terfokus hanya pada Adrian. Mengikuti ke mana pun pergerakan laki-laki itu. Saat menggiring bola, tertawa riang bersama temannya, menyeka keringat. Semuanya tidak lepas dari pengamatan Alsava.
Terakhir kali melihat Adrian, laki-laki itu dalam kondisi babak belur. Dengan bangga menyatakan menang lima lawan satu dengan anak sekolah lain. Dan sekarang, saat mendapati Adrian tampak begitu wajar, tidak seperti biang onar di sekolah, perasaan Alsava menghangat.
Alsava sengaja tidak memanggil Adrian yang masih tenggelam dalam keriangannya. Yang ada dia malah mengganggu nanti. Dengan melihat saja Alsava tahu, laki-laki itu sedang menikmati masa putih-abunya. Seperti anak-anak yang lain.
Puas memperhatikan, Alsava kembali beranjak. Kali ini tujuannya ke taman belakang, tempat dia mengajari Adrian tempo hari. Di bangku yang sama pula.
Jika diingat-ingat ... ah, untuk apa pula meratapi nasib. Seperti akan berubah saja.
Sunyi sekali tempat ini. Rerimbun pohon menjadi tempat Alsava bernaung. Bersembunyi dari terik matahari yang membakar kulit pucatnya. Rambut tipis sebahunya terbang, dimainkan semilir angin.
Baru saja Alsava mendapatkan sedikit ketenangan, smartphone-nya kembali bergetar. Astaga. Ramai sekali benda tipis perseginya hari ini.
Sedikit malas mengeluarkan smartphone-nya dari kantong kemeja. Begitu selesai membaca sederet kalimat di sana, bahu Alsava merosot.
Ibu minggu ini nggak bisa pulang.Jangan lupa juga, Sabtu nanti kamu diundang ke rumah orang tua Dan. Tidak ada penolakan.
Semangat yang sudah berhasil Alsava kumpulkan sebelumnya, mendadak luruh. Perasaannya mendadak seperti dijungkirbalikkan.
Kalau kali ini memberontak lagi, ibu terpaksa mempercepat pernikahan kalian. Tidak perlu menunggu sampai kelulusan.
Alsava tertawa sinis. Harus sampai kapan dia menjalani hidup berdasarkan kemauan ibunya?
****
Di mana terakhir kali Dan meletakkan kaca matanya? Dia sudah mencari di meja, juga mengobrak-abrik isi tas selempang yang dibawa, tetap saja benda itu tidak ditemukan.
"Belum pulang, Pak Dadang?"
Dan menoleh. Mendapati seorang guru dengan blazer hitam membungkus kemeja putih. "Belum, Bu Neta. Lagi cari kaca mata."
Dan tidak ingin dianggap terlalu percaya diri, tapi faktanya memang dia tidak hanya populer di kalangan siswa. Guru-guru perempuan pun banyak yang menaruh minat pada Dan. Salah satunya Bu Neta ini. Karena itulah, Dan buru-buru membereskan barang yang tercecer di meja. Memasukkannya asal pada tas selempang yang mendadak penuh.
"Sepertinya tertinggal di kelas," alibi Dan. Tas selempangnya sudah tersampir di bahu kanan. Memberi seulas senyum pada Bu Neta. "Saya permisi dulu, Bu."
Tanpa menunggu jawaban Bu Neta, Dan segera melesat keluar ruang guru. Mendekam di sana sedikit lebih lama bukan ide yang bagus. Bu Neta pasti akan mencegatnya dengan berbagai macam cara.
Mulanya, tertinggal di kelas hanyalah alibi Dan untuk terbebas dari Bu Neta. Namun, mendadak Dan menyetujui alibinya tersebut. Di ruang guru, juga tasnya sudah tidak ada. Tinggal kelas tempat dia mengajar hari ini yang belum dicek.
Apa Dewi Fortuna sedang jatuh hati pada Dan? Kenapa rasanya hari ini semuanya berjalan seperti keinginan Dan? Lebih baik, malah.
Dan mengatur raut wajahnya, menampilkan senyum simpul.
"Belum pulang?"
Perempuan yang sedang melamun di barisan kedua mendadak tersentak. Membelalakkan mata saat menatap Dan.
Seperti tadi pagi, Alsa masih bertransformasi menjadi perempuan pendiam. Tidak lagi mengeluarkan kata-kata sarkasme yang acap kali membuat Dan jengkel.
Dan tersenyum dalam hati. Percaya rencananya akan berjalan sesuai harapan.
"Bukannya sudah bel sejak satu jam tadi?"
Dan masih mencoba. Kali ini mendekat. Mendudukkan diri di kursi depan Alsa.
Tentu saja kelas sudah sepi. Jika masih ramai, atau ada murid lain di sini, Dan tidak akan berani mengusik Alsa lebih jauh.
Namun, saat tatapannya bertemu dengan milik Alsa, Dan terpaku. Di mana tatapan bengis dan penuh pemberontakan yang biasa Dan lihat? Yang ada di sepasang netra cokelat itu hanya kekosongan. Tidak ada semangat melawan.
"Kamu ... nggakpa-pa?" Kali ini Dan tulus bertanya. Sepenuhnya khawatir melihat keadaan Alsa yang seperti orang linglung. "Alsa?"
Alsa masih bungkam. Tidak pernah melepaskan tatapan dari Dan. Sepasang mata perempuan itu berkilat-kilat. Siap menjatuhkan kristal, tapi tidak. Alsa mendongakkan kepala, seperti sengaja menahan air matanya.
"H—"
Ucapan Dan terpotong saat Alsa mendadak mengulurkan ponsel. Tanpa bertanya, Dan paham. Meraih ponsel tersebut, dan langsung dihadapkan dengan pesan dari ibu Alsa.
Kesempatan. Itulah yang Dan pikirkan setelah membaca pesan tersebut. Namun ....
"Apa memang jalan hidup kita sejak awal udah diatur mereka? Karena kita kebetulan lahir dari bibit mereka, jadi semuanya bisa terserah mereka?" Suara Alsa begitu rendah, kering, dan penuh kegetiran. Tatapannya menerawang, tidak lagi terkunci pada mata Dan. "Yang sebelumnya mungkin masih bisa ditahan. Mereka bercerai dan ayah dengan entengnya memberi hak asuh ke ibu. Apa aku pernah nolak?"
Dan tidak melepas pandangan dari pergerakan Alsa. Saat perempuan itu menghela napas panjang, mengusap hidung, juga menyandar tanpa semangat.
"Pindah rumah. Pindah sekolah. Pindah kota. Pindah semuanya. Memangnya aku nolak?" Alsa tertawa kecil, masih dengan suara kering yang semakin membungkam Dan. "Terus tiba-tiba, disuruh tunangan sama orang yang nggak dikenal. Setiap detik dihantui pernikahan paksa. Dipaksa menerima orang asing untuk jadi suami. Sekali aja, apa aku nggak berhak nolak?"
Dan semakin tercenung. Kehilangan kata-kata untuk merespons ucapan Alsa.
Dia tidak memiliki pengalaman menenangkan seseorang yang sedang kalut. Menyemangati seseorang yang sedang berada di titik paling bawah, Dan tidak tahu. Tapi, dia tetap ingin mendengarkan sampai Alsa selesai. Sampai Alsa puas memuntahkan semua keluhan yang tidak pernah berani diucapkan di depan ibunya.
"Tahu nggak? Tiap lihat temen-temen yang lain, aku mikir, 'seharusnya anak SMA memang begini. Galau karena nilai anjlok, patah hati, cita-cita. Bukannya mikir pernikahan setingan karena keegoisan orang tua'. Iya, 'kan?" Alsa jelas mati-matian tidak membiarkan air matanya jatuh. Mungkin, tidak ingin terlihat menangis di depan Dan.
Sekali lagi, Dan mendapati Alsa menarik napas panjang. "Jadi aku bingung, apa sih yang mereka sirikin dari cewek yang dipaksa nikah sama orang tuanya? Memang aku hidup berkecukupan, banget malah, tapi apa itu segalanya? Memang kebahagiaan cuma dinilai dari materi?"
Kekehan kering itu kembali menggelitik telinga Dan. Kali ini jauh lebih getir. "Harusnya mereka bersyukur nggak harus hidup di bawah kekangan orang tua."
Alsa diam. Dan juga belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi.
Sampai sepuluh menit ke depan, belum ada yang membuka suara. Dan mendesah.
"Awalnya, saya juga marah. Kenapa harus terjebak di pertunangan konyol seperti ini?" Dan mencoba menyusun kata-kata. "Karena terlalu serakah, meminta lebih dan lebih, sampai rela menggadaikan kebahagiaan orang-orang di sekelilingnya."
Saat melirik Alsa, Dan yakin perempuan itu sepenuhnya menarik minat pada ucapannya. "Tapi, saya tidak bisa menolak. Hanya ini yang bisa saya berikan untuk orang tua saya."
Mendengar kekehan Alsa, Dan terhenti sejenak. "Tapi, setelah mendengar pengakuan kamu, saya sadar." Dan menatap Alsa lamat-lamat. "Kita sama-sama korban di sini. Kedengarannya jahat, tapi saya sedikit senang. Saya punya teman. Bukan cuma saya yang disiksa."
Dan masih mengunci tatapan Alsa. Tidak mengizinkan perempuan itu memalingkan wajah. "Jadi, seperti kata saya tadi pagi," Dan menjeda, "saya akan berusaha sebaik mungkin supaya kamu mau menerima saya. Jadi, izinkan saya selangkah mendekat. Tanpa paksaan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top