X. Bayangan

Ada tetapi seperti tak ada. Hanya dianggap bayangan yang kehadirannya tak mendominasi.

****

Hari ini merupakan hari yang penting untuk keluarga Dan. Ayahnya akan merayakan ulang tahun yang ke-50. Setiap kali orang tuanya ulang tahun, Dan merasa bahagia. Karena Dan berkesempatan untuk bertemu lagi dengan mereka.

Selama ini Dan sudah tak lagi pulang ke rumah. Dan bukan kabur dari rumah, tetapi sejak ia bisa menghidupi dirinya sendiri, Dan memilih untuk tinggal terpisah dari orang tua. Hanya akan menjadi tekanan batin jika Dan tetap tinggal bersama orang tuanya.

Dan menerawang jauh ke luar jendela. Sore ini, suasana hatinya sedang kacau. Memang ada kebahagiaan yang terselip, tetapi rasa sedih lebih mendominasinya saat ini. Mendadak Dan punya firasat buruk tentang pesta itu. Sepertinya, hal yang sama akan terjadi lagi, seperti yang sudah-sudah.

Pesta besar-besaran dengan kolega terdekat, itu acara yang selalu diadakan di ulang tahun ayahnya. Saat pesta berlangsunglah mental Dan harus diuji. Lewat setiap ucapan perbandingan antara ia dan kakaknya yang notabenenya lebih sukses darinya.

Dan beranjak dari duduknya. Langit sore akan tenggelam dan berganti dengan gelapnya malam. Semoga saja tak segelap hatinya di pesta itu nanti.

Dan meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Pakaiannya sudah rapi sedari tadi, dengan kemeja putih polos dan celana hitam berbahan keper, membuat Dan terlihat sangat gagah. Tak lupa dasi hitam yang melingkar di lehernya. Untuk menambahkan kesan gagahnya, Dan memakai jas berwarna hitam pekat, senada dengan warna celana dan dasinya.

Yakin pakaiannya cukup rapi, Dan melangkah ragu, menuju mobilnya. Sepatu pantofel hitam pun sudah terpasang dan menambah kesan formal dalam penampilannya. Ini memang acara ulang tahun, tetapi yang menghadiri adalah orang-orang penting. Dan harus tampil maksimal, agar tak membuat malu keluarga.

Dan menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Berharap penetralan napas ini dapat membuatnya lebih tenang, sedikit saja.

****

"Alsava, cepat turun. Kita sudah terlambat, Nak."

Alsava menghela napas berat. Bibirnya bergerak tak beraturan ketika mamanya berteriak. Alsava meniru teriakan mamanya, hanya saja, dengan volume lebih kecil dan dengan bibir yang mencong sana-sini.

Sudah hampir setengah jam Alsava memperlama keberangkatannya ke acara yang sama sekali tak ia minati itu. Lebih baik Alsava mengurus kucing seharian di komunitas daripada harus ke sana.

Ulang tahun ayahnya Dadang.

Alsava pura-pura masih ber-make up, padahal ia hanya duduk diam di depan cermin. Menatap pantulan dirinya sendiri dan seketika ia merasa bodoh. Kenapa juga harus menuruti permintaan mamanya untuk ikut ke acara itu?

Yah, tapi sebagai tunangan Dadang, sudah pasti Alsava harus ikut.

"Hidup itu gak selalu bergantung pada aturan yang dibuat orang dewasa, Alsa." Alsava meniru ucapan Adrian padanya, waktu itu. "Selagi lo punya prinsip, gak ada salahnya untuk melanggar peraturan," lanjut Alsava lagi. "Begitu, 'kan, Adrian?" Masih dengan tetap menatap cermin, Alsava bertanya seolah-olah Adrian ada di hadapannya saat ini.

Demi Dewa Neptunus, seharian bersama Adrian yang menyebalkan itu jauh lebih baik daripada harus bertemu Dadang.

"Alsava, kenapa kamu lama sekali?"

Entah sudah teriakan yang keberapa. Alsava mulai tak tega. Ya, baiklah, ia akan pergi ke neraka itu. Bertemu dengan Dadang, rasanya sama seperti akan bertemu malaikat maut yang siap mencabut nyawanya kapan saja.

Alsava merapikan gaun putih yang dikenakannya. Alsava selalu membenci acara formal. Karena dalam acara formal, ia tak bisa berdandan ala kadarnya, mengekspresikan dirinya sebagai seorang remaja biasa.

****

Mobil-mobil mewah terparkir di halaman rumah yang cukup besar itu. Alsava dapat melihat berbagai merek mahal yang harganya fantastis ada di sana. Dari teras menuju ruang tengah, digantungi lampu-lampu dan bunga hias yang ditata secantik mungkin, memanjakan mata tamu undangan yang melihatnya. Meja dan kursi ditata serapi mungkin, lengkap dengan hiasan bunga mawar di setiap mejanya. Yang paling mendominasi di sana adalah suara orang-orang sedang berbicang. Entah membicarakan apa, mungkin sedang memamerkan prestasi yang telah mereka raih, satu sama lain. Apa lagi yang dibahas para petinggi perusahaan kalau bukan saling meninggikan diri?

Alsava tak mengerti, apa gunanya pesta yang kelewat mewah ini. Bayangkan saja, hanya bertambah umur saja harus memanggil banyak orang untuk dijamu makan malam. Apa yang membanggakan dari bertambahnya umur? Waktumu semakin sedikit di dunia ini, untuk apa merayakannya?

Alsava bisa melihat, ada mobil hitam Dadang yang juga terparkir di sana.

"Ayo, Alsava."

Ajakan mamanya itu lebih terdengar seperti ajakan untuk masuk ke neraka. Siapa yang mau? Namun, apapun perkataan mamanya tidak mungkin ditolak.

Jadi, ya, mau tidak mau, Alsava masuk.

Mengikuti mamanya yang sudah keluar lebih dulu, Alsava juga keluar dari mobil. Berjalan berdampingan dengan mamanya menuju pintu masuk rumah keluarga Dadang dengan langkah yang malas.

Ergh, acara orang tua. Pasti bakalan ngebosenin.

****

Acara utama dimulai. Ayah Dan memotong kue red velvet berukuran dua tingkat sebagai tanda usianya semakin bertambah. Riuh suara tepuk tangan membuat suasana pesta semakin meriah. Semuanya bertepuk tangan, sebagai simbol ucapan selamat untuk Ayah Dan.

Setelah prosesi pemotongan kue itu selesai, seluruh tamu berhambur ke tempat makanan yang sudah disediakan dalam pesta tersebut.

"Aduh, Yudhis, kamu sekarang tinggal di Jerman ya? Mengurus perusahaan ayahmu yang di sana?"

Alsava yang sedang meletakkan beberapa camilan kue ke piringnya untuk dimakan, mencuri dengar pembicaraan seorang ibu-ibu yang sedang bertanya pada seorang laki-laki yang berpenampilan rapi. Sama seperti seluruh laki-laki yang ada di pesta tersebut, lawan bicara ibu tersebut juga memakai setelan jas yang cukup rapi.

"Mukanya rada mirip Dadang. Tapi versi lebih cakepnya, sih. Saudaranya, kali, ya." Alsava bergumam pelan dan masih tetap mengambil beberapa camilan. Wajah Dadang saja Alsava tidak ingat---kalau bukan karena ditunangkan---apalagi wajah saudaranya Dadang. Saking lamanya mereka tak saling bertemu sebagai sepupu jauh.

Alsava tahu, Dadang punya saudara laki-laki. Namun, Alsava tidak tahu bagaimana rupa laki-laki tersebut.

Entahlah, untuk apa juga ia peduli pada keluarga Dadang? Memikirkan Dadang saja sudah cukup membuatnya gila.

"Sukses besar ya kamu. Katanya di Jerman, perusahaan ayahmu berkembang pesat berkat kamu. Tidak seperti Dan."

Benar. Perbincangan itu sedang membahas Dadang.

Jadi, benar itu kakaknya Dadang.

Alsava yang tadinya akan segera pergi dari posisinya saat ini, mendadak langkahnya terhenti secara otomatis saat mendengar nama Dadang disebut. Bukan. Bukan Alsava berminat pada apa pun yang berkaitan dengan Dadang, hanya saja, topik kali ini lebih menarik.

"Dengar-dengar, Dan jadi guru. Seperti tidak punya kerjaan saja."

Seorang ibu sosialita dengan perhiasan yang terlihat mentereng di pergelangan tangan dan lehernya, tampak sangat berminat dengan pembahasan ini. Dia mengangguk-angguk setuju dengan apa yang baru saja diucapkan rekannya. "Tapi bukannya Dan juga punya jabatan tinggi di perusahaan ibu dari tunangannya ya?" Ibu tersebut ikut menanggapi.

"Apa perusahaan ayahnya tak bisa dia pegang? Pasti ayah kalian tidak percaya pada kemampuannya, makanya Dan tidak diberi jatah posisi di perusahaan, malah bekerja di perusahaan lain."

Mendadak Alsava berpikir, perkataan ibu tersebut ada benarnya juga. Untuk apa Dadang menjadi guru kalau ayahnya saja punya perusahaan? Dan, kenapa pula Dadang menjabat di perusahaan mamanya bukan di perusahaan milik ayah Dadang sendiri?

"Ayahnya memang tidak percaya pada dia. Mungkin lebih pintar Yudhis ketimbang Dan." Satu yang lainnya datang, seolah sudah menguping dan langsung bergabung saat topik kian menghangat.

Yudhistira Panji Aryastya tersenyum semringah untuk menyahuti bincangan ibu-ibu di sampingnya itu. Ia merasa menang telak dari adiknya.

Alsava kaget melihat kakak Dadang tersenyum. Apa-apaan itu? Kenapa Dadang dibicarakan sampai segininya dan orang yang disebut-sebut sebagai kakak Dadang hanya diam dan tersenyum?

Layakkah sikap seorang kakak seperti itu?

****

Pulang kemari memang bukan pilihan yang tepat.

Dan memasang wajah muram, saat tak sengaja mendengar perbincangan kolega ayahnya bersama sang kakak. Tadinya, Dan ingin menghampiri kakaknya, sekadar bertukar obrolan melepas rindu.

Sayangnya, kerinduannya selalu salah jika itu ditujukan untuk keluarganya sendiri.

Dan hanya bayangan kakaknya. Selamanya akan begitu. Kakaknya yang utama, ia hanya nomor sekian. Mungkin, suatu saat jika Dan mati, keluarganya tetap tidak akan peduli. Selama kakaknya tetap hidup dan terus menorehkan prestasi untuk keluarga.

Dan tak kuasa lagi mendengar cemooh orang lain tentang dirinya malam ini. Dan pun berjalan menghampiri ayah dan ibunya, berpamitan pulang demi menyelamatkan kejiwaannya.

"Iya, berkat Yudhis, perusahaan di Jerman berkembang sangat pesat. Banyak investor-investor yang tidak takut berinvestasi ke perusahaan karena yakin dengan ide brilian Yudhis yang sangat menjanjikan. Perusahaan yang bekerja sama, pasti akan untung kalau yang menangani adalah Yudhis. Sekarang pun ada proyek baru yang akan segera berjalan."

Langkah Dan terhenti kembali saat ia kembali mendengar, kakaknya disanjung lagi. Kali ini ayahnya yang menyanjung.

Dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Haruskah ia memiliki dendam pada kakak sendiri hanya karena selalu dibanding-bandingkan?

Percuma. Untuk apa pamit pulang kalau kehadirannya saja seperti tak dianggap? Dan memutuskan untuk keluar dari neraka ini, tanpa berpamitan pada orang tuanya. Hatinya terlanjur panas, tak bisa diredakan lagi.

Dan meninggalkan rumah yang menjadi saksi bahagianya masa kecilnya. Sekaligus rumah yang menjadi saksi, betapa menyedihkannya ia saat dewasa.

Dan menuju ke rumah sakit, menemui seorang teman yang sedang berjuang untuk hidup.

****

Tak ada yang lebih menyedihkan selain melihat temanmu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dengan dibatasi kaca pada pintu masuk ke ruang ICU, Dan memperhatikan setiap lekuk wajah pucat temannya itu. Tak ada pancaran cahaya kehidupan di sana, tidak seperti manusia pada umumnya.

Temannya itu baru saja melakukan kemoterapi untuk bertahan hidup. Menyedihkan. Untuk hidup saja harus ditopang oleh bahan kimia. Ingin rasanya Dan masuk ke ruangan itu, menggenggam tangan temannya, sekadar menyuntikkan semangat lewat genggamannya. Namun, Dan tak boleh masuk. Temannya harus benar-benar istirahat setelah menjalani kemoterapi.

Tolong selamatkan dia. Hanya dia yang mengerti saya. Hanya dia yang tidak membandingkan saya dengan kakak. Dia tidak boleh Kau renggut juga. Dan berdoa dalam hatinya. Berusaha tegar melihat kondisi temannya yang terpasang alat medis.

Sesuatu yang jahat telah Dan lakukan pada temannya itu, Dan sadar akan hal itu. Namun, percayalah, Dan sangat menyayangi temannya yang saat ini sedang berjuang untuk tetap hidup.

Hanya saja, keadaan yang memaksa.

****

Dan masih mengingat jelas setiap ucapan orang-orang yang meremehkannya di rumah keluarganya, tadi. Termasuk ucapan sang ayah. Dan berjanji pada dirinya sendiri. Dan harus membeli semua ucapan sampah orang-orang. Membuat mereka nantinya akan bertekuk lutut padanya. Berbalik memujanya atas kesuksesannya, bukan lagi sang kakak.

Dan sudah lelah diremehkan. Jalannya sudah terbuka lebar menuju kesuksesan.

Alsava adalah kunci kesuksesannya.

"Alsava, kamu harus menikah dengan saya. Saya tidak akan pernah melepaskan kamu. Saya harus mendapatkan perusahaan keluargamu agar saya dihargai," ucap Dan pelan tetapi membara, dengan mata yang membulat sempurna. Tekadnya sudah bulat untuk terus menjalani pertunangan ini sampai Alsava lulus sekolah dan menikah dengannya.

Alsava adalah kunci bagi Dan, agar orang-orang melirik ke arahnya. Tahta perusahaan keluarga Alsava, harus jatuh ke tangannya.

Persetan dengan bagaimana perasaan Alsava, yang penting Dan bisa merenggut kembali harga dirinya yang telah hancur berantakan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top