VIII. Di Balik Kaca Kafe

"Ketemu di depan toko buku lagi, 'kan?" tanya Alsava, memastikan. Seraya menunggu jawaban dari seberang sana, ia menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga, sementara kedua tangannya sibuk mengikat tali pada sepatunya.

"Gue udah di depan toko buku. Lo di mana?" Suara di seberang sana balik bertanya. Dari nada bicaranya, tampak jelas lelaki itu tengah kesal karena menjadi satu-satunya orang yang harus menunggu.

"Gue masih di rumah. Lo nggak pulang ke rumah dulu ya?"

"Ngapain gue ke rumah dulu? Dua kali bolak-balik jadinya. Udah deh, lo buruan ke sini aja, Al."

"Iya, ini gue berangkat. Bye!" ujar Alsava. Ia lalu mematikan sambungan telepon itu sambil berlari keluar dari rumahnya, menghampiri tukang ojek online yang telah menunggu di depan gerbang.

Sementara menunggu Alsava, Adrian berdiri tak sabaran di depan toko buku. Sesekali memandangi jam tangannya dan merasa semakin kesal karena waktu tampaknya berjalan amat lambat, dan Alsava tak kunjung sampai. Detik berikutnya, ia melempar pandang ke seberang jalanan, mengamati apa saja yang melintas dan setengah berharap akan menemukan kucing kecil yang ia temukan waktu itu. Tapi selain para pejalan kaki, tak ada makhluk lain yang melintasi trotoar di seberang sana hari ini.

Langit tampak mendung. Adrian tahu sedang turun hujan lebat nun jauh di sana, di suatu tempat yang naungan awan hitamnya tampak lebih tebal daripada tempatnya menunggu sekarang. Firasatnya mengatakan bahwa hujan akan turun pula di daerah itu. Sempat terlintas di benaknya untuk masuk ke dalam toko buku selagi menunggu Alsava tiba. Tapi selain hal itu akan membuat Alsava bingung mencarinya nanti, Adrian tahu bahwa masuk ke sana jauh lebih membosankan daripada berdiri di depan toko buku.

Tak lama kemudian, di depan Adrian, seorang tukang ojek online menurunkan seorang penumpang yang sejak tadi ditunggu kedatangannya.

"Ya elah, lama banget sih lo, Alsaaa," gerutu Adrian begitu Alsava tiba di hadapannya.

"Ya sori. Gue kan tadi udah bilang mau ganti baju dulu di rumah."

"Lo nggak bawa mobil?"

"Lo gak liat gue ke sini naik apa? Pake acara nanya lagi lo," jawab Alsa dengan nada kesal.

"Ya udah sih, gue cuma nanya."

"Mobil gue lagi di bengkel," jelas Alsa tanpa diminta.

"Kita naik taksi aja ya kesananya," usul Adrian seraya merogoh saku celana abu-abunya. Awalnya Alsa menyangka Adrian akan mengeluarkan ponsel atau sesuatu yang berhubungan dengan rencana naik taksi mereka. Tapi ternyata lelaki itu hanya mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik api.

"Lo bisa gak sih, gak usah ngerokok depan muka gue? Gue kira lo mau pesen taksi di aplikasi hp."

"Ya lo aja yang pesen taksi, susah amat. Gue ngerokok di samping lo, bukan depan muka lo, Bego."

"Lo mati nggak usah ngajak-ngajak gue kali."

"Siapa yang mau mati?" tanya Adrian sok polos. Namun, alih-alih melanjutkan perdebatan tak bermutu itu, Alsava memutar bola matanya jengah. Ia lebih memilih untuk memesan taksi dan mengabaikan asap rokok yang mengepul di udara, seolah Adrian sengaja menyebarkan asapnya khusus untuk membuat Alsava kesal.

Alsava sedang sibuk dengan layar ponselnya, ketika hujan mendadak turun. Adrian adalah orang pertama yang menyadari rintik-rintik halus itu menyentuh kulitnya.

"Al, hujan nih. Neduh dulu aja gimana?" Kata-kata Adrian mencegah Alsava menyentuh pilihan pesan berwarna hijau di ponselnya. Saat itu hujan mulai menderas tanpa diduga sama sekali.

Gadis itu mendongak untuk merasakan rinai-rinai hujan menyentuh kulit wajahnya yang polos tanpa make up. Ia agak terkejut menyadari perubahan cuaca itu. Langit di atas kepalanya begitu kelabu, seakan tak mengizinkan putih menodainya. Alsava ingin memprotes perkataan Adrian, tapi kata-kata lelaki itu tak ada salahnya, "Ya udah deh."

Dan akhirnya pilihan mereka berdua jatuh pada kafe yang terletak di sebelah toko buku tempat mereka janjian. Kebetulan di sana ada fasilitas penghangat ruangannya, sangat cocok dijadikan tempat untuk menunggu hujan reda. Aroma pekat mengepul di udara, hangat dalam ruangan itu sangat kontras dengan hujan yang menebarkan dingin di luar sana.

Setelah duduk di tempat kosong yang tidak begitu jauh dari pintu masuk, Alsava mengangkat tangannya untuk memanggil seorang waitress. Sementara Adrian membuka tasnya yang basah akibat terkena hujan, kemudian ia menggeleng pasrah. Dikeluarkannya semua isi dari tas tersebut yang kebanyakan terlihat seperti sampahbungkus permen, carikan kertas, pensil yang hanya setinggi ruas jari kelingkingada beberapa buku PR dan buku latihan yang ujung-ujungnya sedikit basah. Buku-buku itu sekilas terbuka dan menampakkan isinya karena dikeluarkan secara serampangan.

Sementara itu, Alsava diam-diam mengamati gerak-gerik Adrian yang kelihatan agak frustrasi dengan tasnya yang basah. Alsava melihat beberapa buku latihan yang dihamparkan oleh Adrian yang sedikit terbuka. Beberapa buku itu menampakkan lembaran yang diberi tinta merah oleh sang guru.

"Gue mau lihat buku latihan lo, dong. Boleh ya?" Alsava penasaran ingin memastikan apa yang sebenarnya tertulis di buku-buku itu, sebab ia tak ingin buruk sangka hanya karena melihat tinta berwarna merah di sana. Siapa tahu tinta merah itu merupakan nilai sempurna.

"Kepo lo!" Adrian buru-buru menutup beberapa buku tulisnya yang terbuka dan menampakkan sedikit nilainya yang memalukan. Ia menyebutkan pesanannya kepada waitress yang bertanya padanya setelah sebelumnya bertanya pada Alsava.

"Gue mau liat, titik." Alsava merebut paksa buku-buku yang baru akan dimasukkan Adrian ke dalam tasnya. Sebelum Adrian sempat bereaksi, Alsava sudah puas membolak-balik halaman dari buku-buku yang dirampoknya dari tangan si empunya. Kemampuan membaca memindainya yang cepat ternyata ada gunanya.

"Santai aja kali, gak usah sok malu sama gue. Gue bantu lo belajar mau? Gue bukannya sok pinter ya, gue cuma kebetulan aja lagi baik hati." Tak ada mimik mengejek dalam sorot mata Alsava saat mengatakan itu pada Adrian. Itu benar-benar niat yang tulus dari hatinya untuk membantu Adrian.

"Gak mau gue," tandas Adrian sambil mengalihkan pandangannya dari Alsava. Lalu memperhatikan jalanan yang lumayan lengang di balik jendela kaca besar kafe yang terpercik titik-titik air hujan. Menunggu pesanan mereka yang seakan tak pernah sampai.

Hening.

****

"Lama dih, Hujannya gak reda-reda." Alsava menggerutu pelan, memasang wajah kesal dan mengerucutkan bibirnya. Kemudian ia melirik Adrian yang mulai melemparkan pandangan ke penjuru kafe.

"Nggak usah masang muka kayak gitu, gak cocok," ujar Adrian setelah perkataan gadis itu berhasil menarik perhatiannya lebih dari hiruk pikuk kafe.

"Gue bosen."

Mata Adrian teralih ke arah buku-bukunya yang tadi basah. Buku-buku itu nyaris mengering karena Adrian rajin memindahkan gelas kopinya yang panas ke atas buku yang hanya basah sedikit itu. "Ya udah, lo ajarin gue aja, gimana?"

"Tadi gak mau, dasar labil."

"Ya daripada saling bengong? Udah hampir setengah jam kita cuma jadi observer lingkungan."

Alsava mengangguk setuju. Adrian pun meraih salah satu buku dan membukanya pelan, seakan ia menanti kejutan besar di balik buku itu. Alsava mengajarinya dengan sabar, sampai Adrian yang semula bengong dengan penjelasan gadis itu, akhirnya mengerti beberapa bentuk pelajaran. Pelajaran tambahan dari Alsava seakan menjadi rutinitas lain yang menjadi alasan untuk Adrian tetap bertemu dengan Alsava. Mungkin esok atau lusa Adrian akan menyodorkan buku pelajarannya kembali agar Alsava menjelaskan untuknya supaya ia mengerti.

Alsava akhirnya tahu bahwa Adrian tidak seburuk dugaannya. Adrian cerdas dan terhitung cukup cepat dalam menyerap ilmu. Nilai yang didapatkan Adrian bukan karena ia bodoh, tetapi karena selama ini ia cenderung malas-malasan dan membenci guru yang memberinya materi.

"Ya soalnya guru-guru nganggep gue kayak kotoran di kelas. Sengaja menciptakan kebencian." Adrian berkilah ketika Alsava mengocehinya tentang perkara tidak boleh membenci guru yang notabene orang tua kedua mereka setelah ayah dan ibu.

"Lo-nya aja yang baper sih, Yan. Negatif mulu. Makanya jangan suka bolos, jangan suka merokok, jangan suka tawuran "

"Gue juga nggak mau tawuran."

'Terus kenapa tawuran?"

"Sekolah sebelah tuh yang suka cari perkara. Main keroyokan bisanya. Gue nggak suka temen-temen di sekolah kita digituin padahal mereka nggak punya salah. Ini tentang reputasi sekolah kita, Al. Gue nggak mau sekolah kita dianggap penakut." Kebencian berkilat-kilat di iris matanya. Seakan tak ada belas kasihan untuk pelaku yang telah melukai harga diri sekolahnya itu.

"Iya, tapi emangnya nggak ada cara lain selain tawuran?"

"Nggak ada, Al. Harga diri mutlak harus dibela. Jangan mau dianggap remeh sama orang lain, itu prinsip gue sejak dulu. Dan harga diri di sini bukan cuma tentang diri gue sendiri. Tapi juga tentang semua orang yang ada di dekat gue, termasuk lo juga."

"Tapi nama baik lo jadi buruk di mata orang-orang yang lo bela itu, termasuk gue. Karena itu lo berhasil menyandang gelar rules breaker paling ulung di antara murid lain, bahkan di tahun pertama lo sekolah."

"Al, ada hal yang lebih penting daripada peraturan. Hidup nggak selalu bergantung pada aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Ya, selagi lo punya prinsip, nggak usah takut melanggar peraturan."

Perkataan itu seakan cambuk yang baru saja menghantam Alsava telak. Alsava telah memberi Adrian pelajaran tambahan mengenai sekolah. Dan Adrian telah membayarnya lunas dengan sebuah pelajaran hidup. Bahwa hidup tidak melulu pasrah dan harus menuruti sesuatu yang bukan kehendaknya.

***

Perkataan Adrian terus berputar dalam kepala Alsava hingga ia pulang ke rumah dan kembali menjalani rutinitasnya yang tanpa Adrian. Namun, perkataan lelaki itu masih terus melekat dan menjadi alasan bagi seorang Alsava untuk lebih berani. Terutama dalam menghadapi ibunya dan Dadang.

"Al, kamu turun sebentar, ya. Tapi ganti baju dulu. Di bawah ada Dan," kata ibunya setelah Alsava membukakan pintu kamar untuknya.

Alsava mengangguk, menuruti ibunya untuk menemui Dadang. Namun, ia sudah bertekad untuk lepas dari kekangan pertunangan yang tidak pernah ia inginkan itu. Ia akan menghadapi Dadang dan akan berusaha lepas dari kekangan lelaki itu.

Ketika Dadang mengajaknya untuk pergi ke kafe, hari itu Alsava hanya mengangguk monoton. Mengikuti langkah Dadang menuju ke mobilnya dan pergi ke kafe. Ia dan lelaki itu tidak pernah banyak bicara. Bahkan sejak pertama kali mereka dipertemukan. Bagi Alsava, lelaki itu hanya pantas sebagai kakaknya, tidak lebih. Menjadi tunangan Dadang, tidak peduli setampan apa pun dia, Alsava tetap tidak mengharapkan itu.

"Kamu itu tunangan saya, Alsava. Jangan sampai kamu melakukan hal yang aneh-aneh untuk merusak reputasi saya." Dadang tiba-tiba berkata demikian saat Alsava tengah membaca buku menu yang tersedia di meja.

"Emang gue ngapain?" tanya Alsava polos. Seingatnya, dia sama sekali tak melakukan kesalahan apapun untuk membuat reputasi Dadang rusak.

"Kamu nggak perlu deket-deket sama setan sekolah itu," kata Dadang secara mengejutkan.

"Kenapa emangnya? Hubungan gue sama dia nggak ada urusannya sama reputasi lo."

"Jelas ada hubungannya. Kamu itu tunangan saya, Alsava Oksana."

"Gue nggak peduli. Lu jangan pernah lupa bahwa hubungan kita cuma sebatas menguntungkan orang dewasa, Dan." Alsava menolak ikatan itu sejak awal, dan ia bertekad akan lepas dari jeratan Dadang secepatnya, bagaimanapun caranya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top