VI. Miaw's Paws
Si Setan Sekolah itu ternyata tak sepenuhnya setan. Dia mempunyai sisi lembut yang tak disangka-sangka.
****
Sosok samar-samar yang Alsava pikir itu adalah Adrian, membawa Alsava pada rasa penasaran yang kuat. Maka hari ini, dengan langkah ragu-ragu, Alsava mencoba mendekati kelas yang dikenal sebagai kelas buangan. Kelas itu terletak setelah turun tangga, di lorong sepi dekat laboratorium kimia yang jarang terpakai, yang membuat lorong itu tidak banyak dilalui siswa.
Julukan kelas itu tentu tak datang begitu saja. Kelas itu mendapat julukan tersebut karena di sana hanya berisi murid-murid nakal yang tidak punya niat belajar. Dalam sehari, pasti ada saja yang berbuat ulah. Belum lagi, hampir seluruh siswanya selalu mendapat nilai yang anjlok.
Alsava semakin mendekat. Kini ia sudah berada di depan pintu masuk kelas tersebut. Alsava merasakan hawa-hawa tidak menyenangkan yang datang dari para murid yang tampak memiliki penampilan layaknya preman jalanan.
Di dalam sana, murid-murid berkumpul di satu meja entah sedang membicarakan apa. Ada yang memukul-mukul meja, dan ada yang mencoret-coret entah apa di papan tulis juga meja, membuat setiap meja di kelas itu penuh dengan coretan.
Tak hanya itu, sampah juga berserakan di mana-mana. Tidak ada manusia yang peduli terhadap sampah yang berserakan di kelas tersebut. Bagaimana mau peduli terhadap kelasnya, sedangkan pada diri sendiri saja mereka tak peduli. Penampilan yang sangar semakin terlihat sangar dengan baju yang berantakan. Benar-benar kelas dan manusia yang tak terurus.
Alsava bergidik, merasa geli. Namun, rasa penasaran Alsava lebih besar dari rasa jijiknya pada kelas itu. Adrian yang ia lihat mengelus kucing di seberang toko buku kemarin membuat rasa penasarannya meningkat. Kalau memang manusia urakan itu penyuka kucing, berarti berhati lembut, bukan?
Alsava pun nekat masuk ke kelas buangan itu. Namun tidak terlalu ke dalam, rasanya Alsava hanya sanggup sampai di ambang pintu saja. Tiba-tiba ia membayangkan puluhan harimau yang siap menerkamnya, jika ia mengganggu kandang mereka.
Buset, ini kelas apa rumah hantu? Alsava bergumam dalam hatinya. Alsava meneliti setiap sudut ruangan kelas. Ia bisa melihat kursi-kursi tak berada pada tempat yang seharusnya. Kursi yang melingkar tak beraturan juga terbalik posisinya.
Dan mata Alsava menangkap sosok Adrian. Alsava melihat Adrian sedang duduk di meja, dikelilingi oleh teman-temannya yang sama kacaunya dengan penampilan Adrian. Baju Adrian itu, selalu berantakan setiap Alsava lihat. Tidak pernah dimasukkan. Alsava sendiri heran, bagaimana Adrian bisa merasa nyaman dengan pakaian yang seperti itu. Dasar cowok aneh.
Alsava tak mau berlama-lama berdiri di depan kelas itu. Jadi, dengan sesegera mungkin ia memanggil sang Setan Sekolah. "Adrian!"
Rupanya teriakan Alsava menarik perhatian seisi kelas. Otomatis semua murid menatap heran ke arahnya, termasuk Adrian. Tak lama setelah itu, tatapan heran mereka berganti dengan tatapan tak suka. Terutama Adrian. Tatapannya bahkan lebih mengerikan daripada permasalahan yang sekarang sedang Alsava alami. Percayalah, tatapan Adrian itu seolah mengunci mata Alsava agar terus menatapnya. Supaya Alsava tahu, baru saja ia meneriaki nama seekor singa yang sedang tertidur hingga terbangun dan merasa terganggu.
Adrian berdiri lalu berjalan mendekati Alsava. Lenggangannya serampangan.
Begitu jarak antara ia dan Alsava terlahap habis, Adrian bertanya dengan ketus. "Mau apa lo?"
"Gue mau ngembaliin sesuatu. Barang lo yang ketinggalan di mobil gue waktu itu."
"Dompet?"
Adrian berhasil menebak. Alsava yakin, lelaki itu merasa kehilangan dompetnya.
"Iya. Waktu lo sembunyi di mobil gue, dompet lo ketinggalan." Alsava mengambil dompet yang ia simpan di saku roknya. Lalu menyerahkannya pada Adrian.
"Duh, bener ternyata. Dompet gue ketinggalan di mobil lo." Adrian mengambil dengan kasar dompet yang ada di tangan Alsava.
Adrian membuka dompetnya. "Lo gak ambil isinya 'kan?" tanya Adrian sambil melirik dengan sinis.
"Lo pikir gue maling?!" Alsava balas menatap dengan sinis. Sudah syukur ia mau mengembalikan dompet Adrian.
Dasar, benar-benar cowok tak tahu tata krama. Kemarin, saat Alsava menolong Adrian, cowok yang sekarang di hadapannya itu pun tak mengucapkan terima kasih. Sama seperti sekarang ini.
"Ketinggalan dari kemarin tapi baru sekarang lo balikin. Kali aja isinya lo babat duluan." Adrian menyunggingkan senyum simetris pada Alsava. "Gara-gara lo, gue makan di kantin jadi nilep mulu, kemarin. Dosa gue lo yang tanggung ya. Kan lo penyebabnya."
"Ha?" Alsava menganga selebar mungkin mendengar pernyataan semena-mena Adrian.
"By the way, kok lo tahu nama gue? Lo fans gue ya? Belum kenalan udah tahu nama." Adrian mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Merasa angkuh karena memiliki fans baru. "Udah ah, gue balik masuk ya." Adrian mengerlingkan sebelah matanya sebagai salam perpisahan untuk Alsava.
Lagi. Sama seperti kemarin saat Adrian keluar dari mobil Alsava. Bukannya ucapan terima kasih, justru kerlingan yang Alsava dapat.
Apakah kerlingan mata Adrian itu bentuk rasa terima kasihnya?
Kalau ya, Adrian kelewat narsis.
Ah, Alsava hampir saja lupa akan satu hal. Tujuannya ke kelas mengerikan ini 'kan tidak hanya mengembalikan dompet, tetapi juga untuk memastikan sesuatu.
Sebelum Adrian terlalu jauh, Alsava berteriak. "Tunggu!" teriak Alsava sedikit kuat. Yang lagi-lagi berhasil membuat seisi kelas Adrian kembali terfokus padanya.
"Lo kemarin di seberang toko buku ya? Lo main sama kucing?"
Adrian bisa mendengar pertanyaan Alsava dengan jelas. Pertanyaan itu membuat Adrian menyipitkan matanya lalu menggeleng untuk menjawabnya, sebelum akhirnya ia membalikkan tubuhnya lagi, menghadap Alsava.
"Kucing? Lo pikir gue cowok manja yang mainannya sama kucing?" jawab Adrian kuat-kuat. Sengaja. Adrian tak mau terdengar rendahan di hadapan teman-temannya.
"Tapi gue yakin itu lo. Secara penampilan dan gestur tubuh, kentara banget kok kalau itu lo."
Adrian tertawa terbahak-bahak. Diikuti tawa teman-temannya, yang dari tadi memperhatikan Adrian yang sedang ditemui oleh cewek entah dari kelas mana.
Membuat Alsava jadi seperti badut yang sedang ditertawakan ramai-ramai.
"Gue gak suka kucing. Mendingan, lo cabut. Sana." Adrian berusaha menetralkan tawanya, berhenti perlahan-lahan.
Daripada harga diri Alsava jatuh akibat ditertawakan, Alsava pun memilih pergi dari kelas buangan tersebut. Sebelum ia meninggalkan kelas itu, Alsava menyindir Adrian. "Terima kasih dompetnya udah dibalikin, Adrian." Alsava mengulas senyum yang dipaksakan.
Agar makhluk tak tahu tata krama itu bisa belajar mengucapkan terima kasih.
****
Alsava mempunyai satu binatang kesukaan, yaitu kucing. Kemarin, waktu Alsava tanya pada Dadang soal kucing, Dadang menjawab tak suka. Alsava makin yakin, ia dan Dadang tak cocok untuk bersama. Bagaimana kalau nanti mereka telah resmi menikah dan Alsava ingin memelihara kucing di rumah sementara Dadang akan kumat alerginya karena kucing? Perang dunia pasti akan terjadi.
Alsava tak ambil jalan pulang arah ke rumahnya. Ia kembali ke seberang toko buku, untuk memastikan kucing yang kemarin kehujanan itu sudah selamat. Karena biasanya, kucing yang terlantar seperti itu tak punya tempat pulang. Dia akan kembali lagi dan lagi ke tempat semulanya beristirahat.
Alsava memajukan kepalanya sedikit sambil tetap menyetir mobilnya. Di depan sana, sudah hampir sampai toko buku. Alsava memajukan kepalanya untuk memastikan, masih ada atau tidak anak kucing kemarin.
"Nah, 'kan! Masih di sana!" Alsava memekik, heboh sendiri di dalam mobil.
Namun, ada yang aneh. Anak kucing tersebut lagi-lagi bersama sosok yang sama, seperti yang Alsava lihat kemarin sore. Maka, untuk memastikan siapa sosok tersebut, yang Alsava curigai adalah Adrian, Alsava memarkirkan mobilnya. Sedikit jauh dari tempat kucing dan sosok misterius itu.
Setelah mobil berhasil terparkir, tanpa pikir panjang lagi, Alsava keluar dari mobil dan menghampiri anak kucing tersebut. Alsava bisa menyaksikan dari tempatnya, sosok jangkung itu sedang memberi makan anak kucing.
Setelah jarak antara ia dan anak kucing juga sosok misterius itu terlahap habis, keyakinan Alsava ternyata benar.
Dia Adrian, siswa nakal yang bersembunyi dari kejaran guru, di mobilnya kemarin.
"Sore, Adrian," sapa Alsava dengan nada meremehkan. Kedua tangannya pun ia lipat di dadanya. Untuk memberikan kesan angkuh, karena ucapannya ternyata benar.
Sosok jangkung yang merasa terpanggil itu, menoleh ke belakang.
Adrian mendapati seorang cewek yang menghampirinya ke kelas tadi pagi, sedang berdiri dengan senyum dan gaya angkuhnya. Tangan Adrian yang tadinya berisi makanan kucing yang sedang dijilati anak kucing tersebut, langsung membuang isinya.
Adrian yang berjongkok, kini berdiri, menatap Alsava dengan tampang kikuknya.
"Masih mau mengelak?" tanya Alsava.
"Ini ... gue ... gue ... gimana ya, gue cum---"
"Cuma lagi kasih makan anak kucing yang terlantar di jalanan?"
"Ya, iseng doang. Kebetulan lewat aja, terus gue kasih makan," jawab Adrian asal.
"Oh, iseng, ya?" Alsava mengangguk-angguk, pura-pura percaya. Namun di detik berikutnya, Alsava kembali membuat Adrian kelabakan dengan pernyataannya sendiri. "Iseng yang niat. Jangan dipikir gue bego, makanan yang tadi dimakan kucing itu bukan makanan biasa."
Adrian langsung kaget dengan jawaban Alsava.
"Itu makanan kucing yang harganya lumayan mahal. Orang iseng mana yang mau buang uang cuma demi keisengannya?" Alsava merasa menang.
Anak kucing yang masih ada di sekitar kaki Adrian, dengan tiba-tiba melendot di kaki jenjang cowok itu. Alsava mendapat ide lagi.
"Wow, keisengan lo sampai bikin kucing itu suka sama lo. Kayak udah sering banget ngasih dia makan. Keren." Alsava memasang wajah terkagum-kagum. Tak lupa ia menepuk kedua tangannya untuk keisengan terniat Adrian.
Adrian menghela napas berat. Habis sudah, tidak ada yang bisa ditutupi lagi.
"Oke-oke. Iya, gue lagi kasih makan anak kucing yang terlantar di jalanan. Yang kemarin lo liat juga gue." Adrian mengaku. Toh, ia sudah ketahuan.
"Terus, kenapa tadi di sekolah lo gak mau ngaku?"
"Ya ... karena ...." Adrian menggantungkan jawabannya. "Tunggu deh, ngapain gue harus ngaku ke lo? Emang lo siapa?"
Gantian, sekarang Alsava yang jadi kikuk. Benar, untuk apa Adrian mengaku? Memangnya dia siapanya Adrian?
"Karena ...." Tiba-tiba satu ide muncul di kepala Alsava. "Karena gue bakalan bocorin ke semua orang di kelas lo, kalau Adrian, si Setan Sekolah yang bar-bar abis ternyata seorang pecinta kucing. Tapi itu gak berlaku kalau lo mau ngaku ke gue, lo itu pecinta kucing!"
Habis lo Adrian, gue menang!
"Apa?" Adrian menyipitkan kedua matanya. Ia sedang diancam? Baru kali ini ada orang yang berani mengancamnya.
Namun, Adrian tak bisa menolak ancaman cewek di depannya ini. Mau dikemanakan reputasinya sebagai setan sekolah kalau-kalau tentang ini bocor di sekolah?
"Oke. Gue ngaku, gue suka kucing."
Alsava tersenyum puas. Tanpa ragu-ragu, senyum itu juga ia tampilkan di depan Adrian. Biar Adrian tahu, dirinya telah menang.
"Tapi satu hal, lo gak boleh bilang ke siapa pun tentang ini. Kalau sampai soal ini bocor ke orang lain, awas lo!" Kali ini Adrian yang mengancam.
"Oke. Deal." Alsava setuju. Ia mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Adrian menatap bingung tangan Alsava. Lagi-lagi, gadis itu menampilkan gelagat yang tak biasa dari orang-orang kebanyakan. Biasanya orang lain akan menjauh darinya, tetapi Alsava tidak.
Tepat saat Adrian akan membalas uluran tangan itu, Alsava menarik kembali tangannya. Hingga membuat laki-laki di hadapannya itu merasa kesal.
"Gue emang deal. Tapi lo harus mau lakuin satu hal."
"Apa lagi, sih?" tanya Adrian dengan nada kesal. Oke, memang gadis itu berbeda dari orang kebanyakan. Tapi kenapa gadis itu suka sekali memonopoli dirinya? "Lo banyak mau."
"Ikut sama gue. Gabung di komunitas Cat Helper."
Adrian mendengus sebal, lalu merasa menyesal, sempat kagum dalam hatinya pada cewek yang ia pikir tadi berbeda dari orang kebanyakan. Nyatanya, cewek ini menyebalkan.
"Enggak. Persetujuan kita cuma sebatas gue ngaku kalau gue ini suka kucing. Bukan ikut ke komunitas Cat Helper kayak kata lo."
"Tapi kalau lo gak mau ikut, gue bakal bocorin lho, ke temen kelas lo." Alsava masih mencoba melakukan ancaman. "Atau nih ya, yang lebih parah, gue bakal bilang ke satu sekolah." Alsava memberi jeda pada ucapannya, lalu melanjutkannya kembali. "Pada tahu gak? Adrian si Setan Sekolah kita pecinta kucing lho, wow, ternyata dia gak sesangar penampilan dan sikapnya ya." Alsava berbicara dengan nada sebagaimana ia akan membocorkannya nanti. Nadanya terdengar meremehkan.
"Gue gak peduli." Adrian menjawabnya dengan nada ketus. "Gue bisa lakuin apa aja semisal lo berani bilang ke orang lain." Adrian membalikkan keadaan. Kali ini Adrian yang mengancam. "Satu orang aja tahu soal ini, abis lo."
Ancaman terakhir itu membuat Alsava sedikit ngeri. Namun Adrian satu-satunya orang yang saat ini memiliki minat yang sama dengannya. Alsava tak boleh gentar, apalagi melepaskan Adrian.
"Gue ga---" Belum sempat Alsava melanjutkan ucapannya untuk kembali mengancam Adrian, cowok tak tahu tata krama itu berjalan melenggang meninggalkannya.
Alsava tak boleh melepaskan Adrian. Dengan langkah lebar-lebar, Alsava mengejar Adrian hingga tangan cowok itu berhasil ia gapai dan cengkeram. Ditarik Alsava dengan paksa tangan Adrian sampai cowok itu tersentak kaget.
"Apa-apaan lo!" Adrian menyentak tangannya agar terbebas dari tangan Alsava. Tenaga laki-laki memang berbeda, lebih kuat, tangan Alsava langsung terlepas meski sebelumnya mencengkeramnya kuat.
"Aw!" Alsava merintih kesakitan akibat hentakan tangan Adrian. "Lo kasar."
"Lo duluan yang mulai." Setelah itu Adrian langsung berbalik badan lagi dan berniat meninggalkan Alsava. Sayangnya niat itu harus ia kubur dalam-dalam. Karena nyatanya, cewek di hadapannya ini berhasil menarik kembali tangannya. Kali ini Adrian diseret masuk ke mobilnya. Dan kali ini pun cengkeramannya lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Tubuh Adrian didudukkan paksa di jok belakang. Lalu Alsava ikut duduk di sebelahnya. Mobil pun dikunci Alsava.
"Lo gila?" Adrian hampir tak percaya. Benar-benar ada cewek yang berani memperlakukannya semena-mena.
"Makanya ikut, plis." Alsava meminta sekali lagi.
"Kalau gue bilang enggak, ya enggak. Ngotot banget sih."
"Lo suka kucing 'kan? Jadi, ayo gabung."
"Gue suka sekadar suka. Gak perlu ikut komunitas gitu-gituan."
Perdebatan pun terjadi lagi.
"Kalau lo ikut komunitas, lo bisa bantu kucing-kucing terlantar lainnya. Bukan cuma yang di depan toko buku."
"Enggak."
"Ayolah, Adrian. Plis."
"GUE BILANG ENGGAK, YA ENGGAK! Lo itu ngerti bahasa Indonesia gak sih?!"
Adrian mulai kesal.
Sial. Alsava bingung harus memakai jurus apa lagi untuk membujuk Adrian. Haruskah Alsava meniru adegan dramatis di televisi?
Oh, ya, sepertinya memang harus!
Jurus terakhir. Alsava berharap jurus yang kali ini berhasil.
"Adrian ...."
Apa lagi sekarang? batin Adrian. Adrian menatap wajah Alsava dengan sedikit malas.
"Gue mohon. Gue orang baru di kota ini. Gue gak nemu orang yang satu minat sama gue. Cuma lo." Nada bicara Alsava memelas. "Gue cuma minta lo gabung ke komunitas yang sebenarnya juga lo suka. Apa susahnya coba?" Dan semakin memelas di kalimat terakhirnya.
"Gak usah drama gaya bicara lo. Sekali enggak, tetap enggak."
"Adrian ...."
"GAK!" bentak Adrian lagi. Lebih kasar dari sebelumnya.
Kali ini, Alsava benar-benar kaget, tubuhnya sampai menegak saat Adrian membentaknya. Alsava pasrah, mungkin dirinya terlalu mengganggu Adrian.
"Oke. Maafin gue." Nadanya melemah dan tidak dibuat-buat. Alsava membuka pintu mobilnya. Mempersilakan Adrian untuk keluar. "Silakan." Alsava tak menatap Adrian.
Adrian merasakan perubahan yang signifikan. Tadi memang Alsava mendramatisir, tetapi kali ini, Adrian tahu Alsava tak sedang bermain drama.
Adrian menghela napas berat. "Komunitas apa namanya? Terus, kegiatannya ngapain aja?"
"Miaw's Paw. Kegiatannya yang pasti kita bakal sering turun ke jalan. Nyari kucing terlantar dan dirawat bareng-bareng. Seru, 'kan?"
Adrian diam tak menjawab lagi. Namun, Alsava butuh jawaban. "Jadi, mau ikut, 'kan?"
"Kapan?"
"Sekarang juga." Alsava merasa Adrian sebenarnya ingin ikut.
Dengan cepat, Alsava pindah ke jok depan, kursi kemudi. Ia pindah tanpa keluar mobil, hanya melangkah asal ke jok depan.
Adrian bingung melihat pergerakan Alsava.
"Oke, kita berangkat," ucap Alsava yang lebih pantas disebut sebagai perintah.
"Loh, apaan?!"
Mobil dinyalakan, dan pedal gas diinjak hingga pergilah keduanya dari seberang toko buku. "Ah, kita belum kenalan secara resmi. Gue Alsava." Tak peduli kalau cowok di belakangnya sudah misuh-misuh.
Terserah lo aja, terserah! Adrian mengumpat dalam hati. "Awas kalau komunitasnya gak seru. Gue cabut duluan."
Alsava melihat wajah Adrian yang terlihat kesal, dari kaca depan. Perkiraan Alsava tak salah, Adrian memang berhati lembut. Buktinya, meski kesal dia tetap mau diajak pergi.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top