IX. Sang Putri dan Ksatria para Setan [2]

Lama Alsava menunggu di depan toko buku langganan. Biasanya Adrian yang jadi penghuni pertama, nongkrong, masih berseragam SMA. Tapi hari ini laki-laki itu tidak ada. Padahal matahari kian miring ke barat. Miaw's Paw akan tutup menjelang petang.

Baru saja Alsava berniat ngadem di kafe sebelah toko buku, Adrian sudah memunculkan diri di ujung jalan. Lusuh. Seragamnya awut-awutan. Laki-laki itu berusaha menutupi kotoran di wajah dan pakaiannya dengan jaket yang—entah dari mana. Karena Adrian selama ini tidak pernah membawa jaket.

Semakin dekat, Alsava yakin Adrian baru selesai berantem. Terlihat dari sudut bibirnya yang berdarah, pipi lebam, kerah robek, dan beberapa kancing seragam yang lepas. Belum lagi rambut yang berantakan, buku-buku jari memerah, dan celana abu-abu yang kotor terselubung debu.

Parah. "Lo dikeroyok?"

Anehnya, Adrian tersenyum bangga. "Ho-oh, sama lima orang."

"Serius?"

"Cari tempat neduh dulu gih, panas." Adrian mengusap-usap ujung bibirnya yang berdarah dengan jaket bulukan yang juga sama nahasnya. Lalu meringis. Keadaannya sangat menyedihkan.

"Ke mobil gue deh, cepat." Alsava membuka pintu mobil, lalu meninggalkan Adrian sendiri di jok tengah dan segera mencari warung untuk membeli air dan tisu. Setelah menyeberang jalan dan kembali, Alsava menyodorkan sebotol air dingin untuk mengompres dan satunya untuk diminum.

"Thanks." Adrian menerima sebotol, meringis saat mulut botol air minteral menyentuh ujung bibirnya tidak sengaja. Lalu meneguk, jakunnya naik-turun berbasuh peluh. Setelah tandas separuh, barulah ia mengembuskan napas, dan mengusap mulut.

"Kompres lebamnya."

"Iya-iya."

"Kok lo bisa babak belur gini sih?" Alsava menutup pintu mobil, lalu menyalakan AC. Udara perlahan-lahan mulai dingin. Tapi mereka belum bergerak sama sekali. Tidak jika Adrian tidak bercerita dan merapikan seragamnya.

"Gue balas dendam."

Alsava menyodorkan tisu, membiarkan Adrian membersihkan wajah, leher, tangan, dan seragamnya perlahan-lahan. "Gue ngerokok dulu boleh gak?"

Diam. Alsava mau menyebut tidak, tapi lidahnya terpaku saat Adrian sudah mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik. Tampak alami dan terbiasa. Padahal usianya begitu muda. Dalam-dalam Adrian mengisap sigaret putihnya, lalu mengembuskan napas serupa awan pelan-pelan ke udara.

Sejenak Alsava mengencangkan udara AC dan memutar penuh kadar pengharum mobilnya.

"Lo ngerokok sejak kapan?"

"Percaya gak?" Adrian tersenyum, masih tengil, dan kusut. "Dari SMP." Lesung pipitnya membius. Tapi Alsava enggan tenggelam dan coba melogiskan nalar.

"Balas dendam kenapa?"

Jakun Adrian naik-turun. Kepalanya mendongak ke arah jendela. Seolah pikirannya sedang mereka atau sekadar mencari kata-kata. "Temen kelas gue, ada yang dikeroyok. Gue tahu dan bikin perhitungan. Tapi gak nyangka aja mereka ngajak berantemnya di akhir pelajaran. Gue bolos satu mapel."

Mata Alsava membelalak, ulangan biologi tadi jangan-jangan ....

"Tenang, gue tetap ulangan kok. Waktu ulangan, gue keluar setelah selesai ngerjain soal. Jam ketiga beneran gak balik ke kelas."

"Gak usah diladenin, 'kan, bisa, hancur gitu jadinya."

"Kenapa, kasihan liat gue?" Adrian menaikkan alis kirinya setingkat. Hancur, manis, lesung pipit, jakun yang menggoda, seragam acak-acakan, dan rokok. Kenapa semua itu membuat Adrian tampak menyedihkan sekaligus jujur apa-adanya. Membuat Alsava, sebagai perempuan, merasa istimewa karena diserahi penampilan terburuk seorang laki-laki yang tidak akan pernah ditunjukkannya pada umum.

"Gaklah." Alsava menepis, tapi bingung ingin memberi alasan apa. "Jadi?" Alsava coba kembali ke topik.

"Ya itu tadi, gue balas dendam. Udah gak mungkin ngelak. Mereka ngatain sekolah kita pecundang segala macem. Hape gue habis diteror kata-kata makian. Langsung aja gue hajar mereka satu-satu. Lima orang. Menang telak." Adrian mengisap rokoknya lagi, lalu mengembus angkuh ke langit-langit mobil. "Sori bikin mobil lo bau."

"Minta satu dong."

Adrian membatu. Rokoknya masih terjepit di bibir. Sementara Alsava menatapnya lurus dengan tampang biasa yang tidak menyiratkan candaan. Alsava sendiri tidak mengerti kenapa ingin. Namun melihat Adrian tampak nyaman dan tenang, Alsava jadi penasaran juga apa enaknya ngerokok.

"Yakin?" Adrian menaikkan alis kirinya lagi. Urgh.

"Iya." Alsava menjulurkan tangannya takut-takut. Seumur hidup ia tidak pernah menyentuh barang yang dicap ibunya haram tersebut. Ada rasa takut, juga dorongan kuat untuk memberontak. Semakin mudah rasanya karena barang tersebut ada di hadapannya, dalam genggaman Adrian.

Dadang pasti akan menceramahinya lima album kalau tahu ini.

"Nyalain sendiri." Adrian memberi pemantiknya. Cantik. Pemantik itu bukan pemantik biasa. Tapi pemantik perak mengilap dengan ukiran rumit di satu sisinya. Sesaat Alsava terperangah dengan benda di tangannya, lalu menekan ujung pemantik, kikuk. Seumur hidup Alsava tidak pernah memegang benda seperti ini kecuali korek api untuk membakar sampah daun di halaman.

Setelah rokok menyala, dengan ragu Alsava menempelkan ujung filter di mulutnya. Manis. Bukan manis gula, tapi manis biang gula yang menyengat dan lama menempel di ujung lidah.

"Jangan diemut, anjir." Adrian tertawa. Rokoknya hampir tandas dan abunya ditangkup dalam tangan. Masih mikir kebersihan juga dia.

"Gue gak nyangka ini manis."

"Ada yang rasa blueberry malah."

"Wah." Alsava takjub. Rokoknya terus membakar hingga membentuk abu di ujungnya. Lalu perlahan-lahan, coba mengisap dan seketika itu juga tersedak. "Uhuk, uhuk!" Asap keluar dari hidungnya yang susah napas. "Apaan nih?" Alsava lagi-lagi terbatuk. Asap terus mengepul dari hidung dan sedikit mulutnya ketika menggerutu. "Alat pembunuh!"

"Dasar noob. Sini, buang-buang rokok gue aja." Adrian merebut rokok Alsava cepat. "Gak usah sok nyoba kalo emang gak bisa."

"Yang ginian lo suka? Heran."

"Udah terbiasa. Asam rasanya mulut kalo gak ngudud sehari." Dengan santai, Adrian mengisap rokok bekas Alsava dan mengembuskannya pelan.

"Yan?"

"Hm?"

"Itu bekas mulut gue." Wajah Alsava merona mekar.

"Terus?"

"TERUUUSSS?!"

"Daripada gue rugi. Kok lo memerah, sakit?"

Alsava tidak yakin Adrian paham dengan teori-ciuman-tidak-langsung.

"Kayaknya lo gak cocok ngerokok."

Iya, Adrian benar-benar tidak tahu teori itu.

"Dasar lemah. Putri Pengusaha cuma segini kekuatannya, disembur asap dikit langsung demam."

Alsava berjengit, gosip itu sudah sampai di telinganya. "Gue gak selemah itu." Alsava membela diri. Masih meriang. Meski demikian, saat Adrian yang menyebut, ia tidak kelihatan mengejek. Hanya menyatakan fakta. "Daripada setan sekolah, cerita tentangnya aja serem, ternyata remed semua pelajaran." Alsava membalas, tidak mau kalah.

"Daripada Putri Perusahaan, kesannya aja sombong. Ternyata pemaksa dan bisa galau. Gue pikir orangnya dingin, judes, hahaha."

"Gue pikir lo tukang cari gara-gara."

"Gue pikir lo hobinya jalan-jalan di mall."

"Gue pikir lo hobinya berantem doang, gak mikir nilai."

"Gue pikir lo orangnya angkuh." Embusan asap terakhir, Adrian membuka pintu kaca sedikit, lalu membuang puntung dan seluruh abu rokoknya keluar. Lantas kembali menatap Alsava. "Ternyata baik."

Seketika Alsava kembali memerah. "Gue ... gue ...," kata-katanya habis. "Gue gak nyangka lo suka kucing."

"Lo juga suka. Yuk, kapan nih berangkat?"

Tahun depan! Alsava segera berbalik dan menginjak pedal gas mobilnya yang sudah menyala. Sibuk berkonsentrasi pada jalan agar tidak teralih ke kaca tengah, kaca yang menampilkan sosok Adrian yang sempat memanaskan pipinya barusan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top