I. Awal Segala Permasalahan

Ada yang runtuh di langit Alsava, ketika vonis itu jatuh dan ia yakin, akan terkekang untuk selamanya.

Semua bermula dari perceraian kedua orang tuanya, duo pebisnis yang sanggup memajukan perusahaan. Begitu disiplin dan ketat dalam urusan memanajameni orang-orang di bawahnya. Dan Alsava, suatu hari kelak, akan menduduki salah satu tahta perusahaan dan menyambung estafet kekuasaan sampai kelak ia memiliki anak, dan anaknya memberi singgasana ke anaknya, dan anaknya anak akan menjual jiwa sang anak untuk keberlangsungan perusahaan.

Seperti kerajaan yang tak akan pernah habis masanya.

Sampai kemudian kedua orang tua Alsava bertengkar hebat. Awalnya pertengkaran tersebut dipicu stres dan tekanan kerja yang menumpuk sejak lama. Alsava tahu kedua orang tuanya menikah hanya demi formalitas belaka. Mereka hanya mencintai harta, kekuasaan, pekerjaan, dan diri mereka sendiri. Sepasang egois yang terpaksa tinggal satu atap. Melahirkan seorang anak demi menurunkan kutukan, kelak. Dan Alsava mendengar kutukan tersebut terucap nyaring ketika ia hendak tidur dan ibunya membanting vas mahal yang dibelinya jauh-jauh di Yunani.

"Aku capek, aku butuh istirahat!"

"Aku juga!!" raung ayah Alsava. Dagunya sesak ditumbuhi jambang yang belum dicukur berhari-hari. "Kamu pikir kamu saja yang butuh rehat? Perusahaan sedang di ambang krisis. Kita harus menjual saham demi menutupi utang."

"Lalu membiarkan orang-orang asing itu mengendalikan keluarga kita?" Ibu Alsava menatap tajam, tidak ada sahutan, jadi ia sendiri yang menjawab, "tidak. Aku tidak sudi memberi celah sedikit pun pada investor untuk menyetir kita."

"Tapi kita butuh uang!"

"Dan berteriak tidak menghasilkan apa-apa!"

Hening. Alsava memeluk boneka kelincinya di balik pintu kamar. Sudah berhari-hari, perusahaan yang menaungi tambang serta perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan tersendat. Alasannya ada banyak aktivis alam yang mendesak mereka mundur dan menjauhi tanah adat. Tanah yang dahulu dijual kakek-nenek mereka sendiri demi segepok uang dan membeli perkakas megah. Dan kini, anak-cucu mereka kembali, menuntut hak yang telah dijual, atas nama alam dan kehancuran bumi.

"Aku capek begini terus." Sang ayah menyugar rambut acaknya frustrasi. Mendadak smartphone di atas meja berdering. Bunyinya seperti siksaan bagi telinga, tajam dan menusuk. Ayah Alsava segera mematikan benda tersebut tak sabar. Lalu menatap istrinya dengan pandangan dendam.

"Sudah lama, sejak aku bergabung dengan perusahaan, dan menikah denganmu: kamu tidak pernah mendengarkanku. Sekali pun. Aku tahu kamu lebih kaya, lebih punya kuasa. Tapi aku suamimu, kepala keluargamu."

"Jadi?" tantang sang istri, angkuh.

"Aku minta cerai. Kita pisah."

"Tidak bisa begitu."

"Kenapa? Kita juga tidak pernah saling mencintai."

"Perusahaan sedang sulit, dan kamu pergi meninggalkanku sendiri?! Egois."

"Kamu yang egois."

Satu vas lagi pecah. Dan tidak ada satu pun di antara mereka yang menurunkan dagu untuk mengalah.

"Sekali kamu pergi dari rumah ini, kamu tidak boleh kembali, bahkan untuk Alsava," ancam sang istri. Alsava masih menahan tangis di balik pintu kamar ketika dirinya disebut.

Lama tidak ada jawaban. Sampai detik detik itu bergulir ke keputusasaan, akhirnya sang ayah mendesah, berat dan pasrah. "Baik, aku pergi. Terserah kamu apakan anak itu nanti."

"Akan kubimbing dia supaya tidak salah memilih."

****

Dan omongan sang ibu terbukti benar. Karena Alsava, di usianya yang ketujuh belas tahun harus bertunangan dengan seorang kerabat jauh. Alsava tidak mengenal orang tersebut secara pribadi, murni mengenalnya sekilas dalam acara kumpul keluarga dan menemui sosoknya dua kali selama seumur hidup.

Ia orang yang tinggi, angkuh, dan tampan. Sesuatu yang rata-rata dimiliki kebanyakan anggota keluarga Alsava ketika mereka memiliki posisi penting dalam perusahaan. Dalam pesta yang serupa acara pemakaman, Alsava hanya merunduk, meratapi takdir, dan ketidakkuasanya melawan sang ibu yang selalu merasa benar.

"Ibu tahu yang terbaik untukmu," ucap wanita tersebut, ketika menemui Alsava di dalam kamar, beberapa jam sebelum pertunangan. Gaun malam sudah dipesan. Makanan dari restoran telah tiba, pelayan, dekorator, hilir-mudik memasang lampu hias, bunga putih di sudut-sudut, gelas-gelas yang disusun menyerupa piramid, dan lampu gantung beserta kain putih yang menjuntai seumpama jaring laba-laba.

Alsava yakin dunianya telah kiamat, tapi sang ibu tetap berada di sampingnya seolah menanti hari kebangkitan. "Dengannya, kau akan punya masa depan lebih baik."

"Aku gak kenal dia, Bu."

"Nanti akan terbiasa."

"Tapi aku masih muda."

" ... dan sebentar lagi akan dewasa."

"Kenapa harus sekarang?"

"Supaya kamu tidak salah memilih. Ayo cepat, perias sudah datang. Waktunya mendadanimu segera."

Alsava hendak membantah, tapi sang ibu sudah pergi keluar kamar dan membiarkannya nelangsa bersama orang-orang asing yang sibuk mempermak dirinya sekarang.

Lalu malam turun, semua lampu dinyalakan, menampakkan ruangan indah berdekorasi minimalis dengan bunga-bunga putih sebagai hiasan. Tidak banyak yang datang, hanya kolega dekat, keluarga, dan kerabat. Laki-laki yang ditunangkan dengan Alsava sendiri adalah sepupu jauhnya, seorang pria berusia dua puluh empat tahun. Kalau tidak salah namanya Dan Iswara Aryastya.

Andai saat itu Alsava bukan dalam keadaan terpaksa, gunda, dan menderita. Mungkin ia akan mengagumi Dan Iswara sebagai laki-laki yang tampan. Bagaimana tidak, tubuh pria itu tinggi, berahang tegas, dengan hidung mancung, mata tajam, dan rambut rapi yang menampakkan ciri orang terpelajar dan suka kerapihan.

Tapi malam ini, ketika Alsava mengenakan gaun putih dan maju memasuki acara. Ia benar-benar merasa berat dan mual. Ada hasrat ingin kabur seketika, melarikan diri, tapi ke mana? Alsava hanya sendirian, anak tunggal, sementara seluruh keluarganya menginginkan Alsava segera bertunangan dan mengikat diri pada orang yang entah siapa.

Maju, melangkah. Seolah ia penyihir yang sebentar lagi dihukum gantung karena salah merapal mantra. Alsava menengok sekilas orang sekitarnya: wajah-wajah kaku dan penuh kerut. Mereka orang-orang lelah yang letih diperbudak pekerjaan. Dan Alsava adalah salah satu budak yang harus menurut di altar persembahan.

Yang Alsava tahu, saat rambutnya digelung dan disemat tiara bertahta mutiara. Hidupnya telah berakhir. Tepat ketika ia naik ke podium kecil tempat sang tunangan menunggu bersama kedua orang tuanya. Di tengah-tengah keluarga yang lelah, upacara sederhanan nan sakral tersebut dilangsungkan.

Tidak ada janji khusus, hanya doa, harapan, dan mimpi yang dilontarkan bersama gemerlap lampu hias yang menggantung angkuh di langit-langit rumah. Setelah prosesi lamaran yang singkat—sekadar formalitas belaka, kedua insan tersebut harus berhadap-hadapan dalam setelan resmi dan memangku tangan.

"Dengan ini, Dan Iswara Aryastya dan Alsava Oksana, mewakili kedua keluarga, telah mengikatkan diri dalam janji pertunangan." Ayah calon tunangan pria, membuka suara, memulai pesta yang berbalut formalitas pekat.

Gemuruh dalam dada Alsava menguat, ia harus menahan diri dari semua emosi atau keluarganya akan malu mendapatinya meneteskan air mata—yang bukan tanda kebahagiaan.

"Yang disimbolkan dengan sepasang cincin." Ayah Dan mendeklarasikan.

Ucapan itu terus terngiang-ngiang layaknya doa kematian. Ibunya sendiri berdiri dekat seolah menyemangati dengan memberi tatapan kau pasti bisa! kepada anak perempuan satu-satunya tersebut.

"Bolehkah?" Dan memotong kesemrawutan pikiran Alsava. Gadis itu mengangguk, mengangsurkan tangan kirinya dan membuka sedikit jari-jari di telapak tangannya agar Dan dapat leluasa melingkarkan cincin ke jari manisnya.

Giliran gue. Alsava membatin, jari manisnya serasa kebas. Namun ia tetap harus mengikuti prosesi dan menyematkan cincin yang sama ke jari manis kiri Dan. Selesai. Keduanya resmi bertunangan sekarang. Seluruh keluarga mengucapkan syukur kepada Tuhan. Tapi tidak dengan Alsava.

Prang! Suara benturan kaca dengan keramik memecah senyap dari ritual sakral tersebut. Sontak semua kepala menoleh ke belakang—termasuk Alsava. Di balik piramid gelas dan meja jamuan, seorang gadis, membungkukkan diri meminta maaf dan segera pergi menjauh dari tempat serpih-serpih kaca berhamburan.

Ia berdiri, keluar dari balik meja tamu undangan. Segera memungut tas mungil putihnya dan berjalan sambil menundukkan kepala. Gaun ungunya menyapu ruangan sampai pintu depan. Pelayan yang berjaga langsung membukakan pintu sembari melempar senyum jenuhnya.

Gadis itu menghilang tanpa memberi salam atau bertukar sapa dengan orang sekitarnya. Seolah menghindar, seolah ingin cepat lari dari suasana yang menjemukan—atau menyakitkan. Entah ini cuma pengaruh efek kesedihan Alsava—atau tidak, gadis itu terlihat sedang menangis.

"Kenapa?" Seorang kerabat berbisik lirih. Di ruangan yang senyap, segalanya dapat terdengar dengan jelas. Mengapa, siapa, bagaimana?

"Dia sakit, tidak apa-apa." Ibu Alsava memberi jawaban, ia menggantungkan kedua tangannya pada pundak terbuka Alsava. Memberi ketenangan. "Wajahnya sangat pucat, pasti memaksakan diri."

"Ya." Alsava menyetujui, heran. Karena sesungguhnya, ialah si sakit yang harus ikut pergi dari neraka sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top