Better Than Before - 7
Langit sudah mulai gelap. Sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang mulai ramai. Di dalamnya ada Junwoo yang duduk di depan kemudi serta Saehyun dan Leo yang duduk di bangku penumpang. Mereka baru saja pulang setelah bertamsya bersama seharian.
"Apa Leo tidur?" tanya Junwoo tanpa mengalihkan fokusnya saat menyetir.
"Iya. Aku rasa dia kelelahan karena banyak bermain tadi." Saehyun tertawa kecil saat mengingat bagimana antusiasnya Leo saat bermain di taman bermain.
"Aku bisa mengerti perasaan Leo. Dia pasti sangat bahagia bisa bertamasya bersama kedua orangtuanya. Ah, aku jadi teringat masa kecilku dulu. Aku selalu membuat Ayah serta Ibu kewalahan karena terlalu hiperactive." Junwoo tertawa pelan, tidak ingin membangunkan Leo.
Tanpa dia tahu wajah Saehyun terlihat sangat murung. Mendengar betapa bahagianya masa kecil Junwoo yang sangat disayangi oleh kedua orangtuanya atau pun melihat Leo yang sangat bahagia tadi membuatnya merasa ditampar ribuan kali. Hatinya bagai tertohok besi panas begitu dia menyadari betapa jauhnya perbedaan kehidupan masa kecilnya dengan Junwoo maupun Leo.
Setetes air mata jatuh meluncur membasahi kedua belah pipinya.
Lima menit kemudian mobil yang mereka tumpangi telah sampai di depan rumah. Usai memarkirkan mobil, Junwoo segera membantu Saehyun untuk menggendong Leo yang semakin tertidur lelap.
Dari belakang, Saehyun bisa melihat betapa ringannya setiap langkah Junwoo saat menaiki anak tangga. Padahal dia tengah menggendong Leo. Itu membuktikan betapa bahagianya Junwoo saat ini.
Usai menutup pintu rumah, Saehyun tidak langsung menuju kamar. Dia malah melangkahkan kaki menuju dapur—membuka lemari es, mengambil sebotol air dari dalam sana lalu menuangkannya ke dalam gelas. Saehyun langsung menenggak habis air es yang tadi dituang. Helaan demi helaan napas mengalun berat.
Dia tidak hanya lelah fisik, melainkan lelah batin juga. Ia semakin merasa tak karuan semenjak mendengar celotehan Junwoo tadi. Karena itu mengingatkan betapa tragisnya kehidupan masa kecilnya dulu. Mengingatkannya akan kenangan buruk saat ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya, dan pada akhirnya malah membuatnya teringat pada Kwon Seohyun, adiknya yang sudah meninggal dunia akibat dibunuh oleh seseorang yang sampai saat ini tidak ia ketahui.
"Kau di sini rupanya."
Suara rendah Junwoo membuat Saehyun menoleh sebentar lalu kembali menatap gelas kosong di tangannya.
"Kau tidak apa-apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Belaian lembut tangan Junwoo yang berada di ujung kepalanya ditepis dengan halus. Junwoo sedikit terkejut pada awalnya, tapi akhirnya dia menyadari satu hal. Saehyun sedang tidak ingin diganggu. "Baiklah, kalau kau tidak mau bilang padaku itu tidak masalah. Tapi Saehyun, kau istriku dan aku adalah suamimu—meski kita baru dipersatukan kembali setelah sekian lama. Jadi aku harap kau mau membagi masalahmu denganku dan berbagi cerita denganku," tutur Junwoo lemah lembut. Suaranya terdengar merdu ditelinga Saehyun.
Hening.
Tidak ada lagi yang bersuara. Hanya deru hela napas yang terdengar samar mengalun selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Saehyun memberanikan diri untuk bersuara.
"Junwoo." Pria itu menggumam, menjawab Saehyun yang memanggil namanya. "Peluk aku."
Junwoo mengedipkan kedua mata cepat—terkejut dengan permintaan Saehyun yang sangat tidak terduga. "Huh?!"
"Kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa. Aku akan ke kamar Leo—"
Kedua bola mata Saehyun melebar sempurna karena dibuat terkejut oleh Junwoo yang tiba-tiba menariknya. Junwoo mendekap erat tubuh Saehyun, sementara yang dipeluk semakin menelusupkan wajah pada dada bidang Junwoo. Dari posisi yang tidak berjarak ini—Saehyun maupun Junwoo—sama-sama saling menghirup feromon masing-masing yang berasal dari tubuh mereka dengan mata tertutup.
Samar-samar, Junwoo bisa mendengar isakan kecil dari orang yang tengah dipeluknya. Satu tangannya membelai lembut surai Saehyun, berusaha memberikan ketenangan untuk wanita yang sangat dicintainya itu. "Menangislah, kalau kau ingin. Aku ada di sini. Dengan senang hati aku akan selalu meminjamkan tubuhku untuk kau peluk, tanganku akan aku gunakan untuk membelaimu, akan aku salurkan semua kehangatanku agar kau tidak kedinginan lagi. Kau tidak sendiri, ada aku di sini. Untukmu. Selalu."
Perlahan Saehyun mulai melepaskan diri dari dekapan Junwoo. Dia tersenyum dengan mata yang sudah berair menatap wajah Junwoo yang juga tersenyum padanya. Kedua tangan Junwoo menangkup wajah mungil Saehyun. Ibu jarinya naik-turun membelai wajah wanitanya.
"Terima kasih, Junwoo."
Junwoo mengangguk menjawab ucapan terima kasih dari Saehyun. "Jadi, kau sudah merasa baik?"
Kali ini giliran Saehyun yang mengangguk mengiyakan. Junwoo sedikit menurunkan wajahnya lantas mengecup bibir Saehyun kilat. "Itu hadiah karena kau sudah mau berbagi denganku."
Kali ini giliran Saehyun yang mengecup bibir Junwoo tidak kalah cepat. "Yang ini untuk ucapan terima kasihku." Kedua sejoli itu tersenyum hangat menatap wajah masing-masing.
*
Sepasang bola mata itu tidak pernah mengalihkan pandang dari satu objek yang saat ini ada di dekatnya. Satu tangannya senantiasa membelai lembut surai serta wajah orang yang ada dalam rengkuhan, sedang yang satunya ia jadikan sebuah bantal untuk tidur.
Junwoo tersenyum, masih mengunci atensinya pada sosok Saehyun yang sudah tertidur lelap dalam dekapnya. Saat kantuk mulai menyerang, Junwoo akhirnya menyerah. Ia ikut memejam bersama Saehyun. Tidur dalam posisi saling memeluk satu sama lain.
Pagi hadir menyapa menggantikan sang malam yang sudah kembali ke peraduan. Kedua sejoli yang tengah dirundung kembali oleh rasa cinta—meski tidak mereka sadari—itu masih enggan untuk membuka mata. Keduanya masih betah berada dalam posisi terakhir mereka.
Lima menit berlalu Junwoo mulai membuka mata. Dia mengernyit saat sinar mentari menyambutnya. Saat matanya sudah terbuka lebar hal pertama yang dilihatnya adalah wajah berseri milik orang yang kini masih berada dalam rengkuhannya ... Saehyun.
"Good morning," sapa Saehyun menyambut pagi milik Junwoo lengkap dengan suara parau khas orang yang baru saja bangun tidur.
Pria itu menghela, "Gagal lagi." Nadanya terdengar penuh penyesalan.
"Kenapa?" Saehyun terkikik geli.
"Kenapa kau harus bangun lebih dulu? Padahal aku sudah berniat ingin menyambutmu saat kau bangun nanti."
Saehyun tertawa kecil mendengar alasan kenapa Junwoo terlihat lesu pagi ini. Satu tangannya yang tadi berada di pinggang Junwoo kini sudah berpindah ke hidung besar suaminya. Saehyun mencubit hidung Junwoo gemas. "Lain kali saja, ok?"
Junwoo terkekeh pelan, "Baiklah," jawabnya.
*
Minji baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya. Kedua bola mata berwarna hitam pekat itu menatap langit-langit kamar yang kosong. Gadis Ahn itu kembali mengingat masa-masa di mana dia masih menggenggam kebahagiaan dulu. Mengingatnya semakin membuat hatinya terasa sesak, perih layaknya teriris sembilu. Minji tahu Jaehan tidak pernah melihat kearahnya, karena di mata pria itu hanya ada Saehyun seorang. Minji tahu itu.
Tapi apakah salah kalau dirinya menginginkan kebahagiaan juga? Minji hanya ingin bahagia seperti dulu. Seperti saat dia masih bersama ibunya. Gadis itu menghela napas berat sebelum akhirnya mendudukkan diri di atas tempat tidur. Satu tangannya meraih ponsel berwarna hitam metalik yang ada di atas nakas ... di samping tempat tidur. Jari-jari lentiknya menari-nari di atas layar sentuh ponsel. Sekadar melepas penat.
"Tidak ada satu pun pesan darinya," keluh Minji.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar, selanjutnya Minji bisa mendengar sebuah suara dari pembantu rumah tangga di rumahnya. "Nona Ahn, sudah waktunya untuk sarapan pagi. Tuan Besar sudah menunggu Anda."
Raut wajah Minji langsung terlihat kusut seketika. Gadis itu sempat merotasikan kedua bola matanya malas lantas menyahut, "Okay, I got it." Kedua bola matanya kembali pada layar ponselnya yang tengah menampilkan foto seorang pemuda berparas tampan.
Minji tersenyum kecil.
*
Junwoo tengah merapikan kemeja yang melekat di tubuhnya di depan cermin berukuran besar yang ada di dalam kamar. Pintu kamar sedikit terbuka, Saehyun yang baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya menyembulkan kepala. Saehyun tersenyum sumringah menyaksikan betapa seriusnya Junwoo.
Melihat Junwoo yang tampak sedikit kewalahan, Saehyun akhirnya memutuskan untuk membantu suaminya itu. Diambilnya sebuah jas berwarna hitam yang terletak di atas tempat tidur. Menyadari kehadiran Saehyun dan niatan istrinya yang hendak membantu, Junwoo langsung merentangkan tangan—membiarkan Saehyun memakaikan jas untuknya.
Begitu Junwoo berbalik sebuah kecupan singkat langsung mendarat di bibir Saehyun. Keduanya terseyum hangat. Sementara kedua tangan Saehyun sibuk memakaikan dasi untuknya, lain halnya dengan tangan Junwoo yang tidak bisa diam menjahili Saehyun. Mulai dari mencubit hidung, membenarkan anak rambut istrinya yang agak berantakan hingga menyentuh bibir Saehyun dengan gerakan sensual.
"AKH—!!!"
Itu suara Junwoo yang kesakitan akibat ulah Saehyun yang menarik kencang dasinya. Tanpa merasa bersalah, Saehyun langsung melenggang pergi keluar kamar.
Usai sarapan tadi, Junwoo langsung bergegas menyambar tas kerja sebelum akhirnya melenggang pergi diikuti oleh Saehyun yang mengekor di belakang. Pria itu berbalik menatap lamat wajah sang istri yang entah mengapa nampak begitu mempesona pagi ini.
"Hati-hati."
Bahkan hanya dengan sebuah kata yang diucapkan oleh Saehyun mampu membuat perasaan Junwoo tak karuan.
"Kau tidak mau memberikan apapun padaku pagi ini?" tanya Junwoo hati-hati.
"Apa?"
Junwoo mengehela napas, "Apa harus selalu aku perjelas? Atau harus selalu aku yang maju duluan?" Nadanya terdengar sedikit kesal.
Saehyun nampak tidak mengerti. Detik berikutnya akhirnya Saehyun mengerti apa yang Junwoo maksud saat pria itu tiba-tiba saja menempelkan bibirnya pada bibir Saehyun. Cukup lama.
"Maaf, aku tadi hanya—"
"Pergilah, nanti kau bisa terlambat," potong Saehyun cepat.
Junwoo tidak tahu saja, kalau sebenarnya jantung Saehyun berdetak tidak karuan karena ulahnya tadi.
"Aku pergi dulu. Jangan lupa kalau hari ini Leo harus check up. Berhati-hatilah dan selalu kabari aku, okay?" ucapnya sembari mengusak lembut surai panjang Saehyun.
Saehyun mengangguk mantap sembari berucap, "Kau juga hati-hati di jalan." Wanita itu tersenyum membalas kecupan Junwoo di keningnya.
*
K-talk
Saehyun yang tengah membersihkan ruang tamu mendadak berhenti saat sebuah notifikasi masuk. Dengan cepat wanita itu merogoh ponsel yang ada di dalam saku celananya. Jari tangannya berhenti bergerak saat ia mengetahui isi serta pengirim pesan tadi.
[Jaehan
09.30 AM
Jaehan : Hari ini jadwal Leo check up, bukan?
Jaehan : Kalau begitu aku tunggu di rumah sakit. Kita harus bicara.]
"Jaehan?" ucap Saehyun yang agak terkejut membaca pesan singkat dari Jaehan. Segera ia mengetik balasan untuk Jaehan.
[Ji Saehyun
09.32 AM
Ji Saehyun : Baiklah. Kita bertemu jam 10 nanti.]
Sesampainya di rumah sakit, sesuai perjanjian, Saehyun langsung bergegas menemui Jaehan yang menunggu di taman belakang rumah sakit. Sementara itu Leo sudah ia titipkan pada suster yang menangani.
"Maaf, lama. Tadi aku dan Leo terjebak macet jadi—"
"Duduklah," potong Jaehan. Satu tangannya menepuk-nepuk ruang kosong yang ada disebelahnya. Saehyun mendudukkan diri di atas kursi panjang berwarna hitam mengkilat tepat di samping Jaehan.
"Kau ingat tempat ini?" Saehyun menoleh pada Jaehan yang masih enggan menatapnya balik. "Dua bulan lalu, kau dan Junwoo duduk di kursi ini saat kalian berdua dipertemukan kembali."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Saehyun heran.
"Aku tidak sengaja melihatmu saat itu. Apa tidak boleh?" Kali ini Jaehan menatap balik Saehyun.
Saehyun terkikik geli melihat wajah Jaehan yang nampak begitu serius. "Astaga Jay, tidak usah memasang raut wajah serius begitu!" Senyuman di wajah Saehyun menghilang seketika saat ia sadar Jaehan tidak menampakkan raut wajah berseri sedikit pun. Raut wajahnya nampak murung. Entah kenapa Saehyun jadi merasa tidak enak pada Jaehan. "Jay, kau kenapa? Apa ada masalah?" tanya Saheyun hati-hati.
"Kau tahu?" Saehyun terdiam menunggu kelanjutan kalimat Jaehan, "Sekarang aku tahu apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Dan aku juga sudah tahu apa kebahagiaanku." Jaehan menoleh, menatap lamat hazel milik Saehyun. Tangannya menggenggam tangan Saehyun lembut, membelai punggung tangan wanita itu dengan penuh kasih. "Yaitu kau." Jaehan menutup kalimatnya dengan sebuah senyuman.
Saehyun menarik tangannya perlahan. "Jay, aku rasa kau salah. Aku bukanlah satu-satunya kebahagiaan bagimu. Bahkan mungkin saja aku memang bukanlah kebahagiaan untukmu." Saehyun tersenyum miris.
Saehyun cukup terkejut saat Jaehan menarik kembali tangannya. "Tidak! Aku yakin akan perasaanku sendiri. Karena aku yang merasakannya, bukan orang lain."
"Jay—"
"Aku mohon, kembali padaku. Tinggalkan dia. Dia itu hanya beban bagimu. Junwoo hanyalah kesedihanmu. Dia bukanlah kebahagiaanmu!"
"Jaehan cukup!"
Jaehan tersentak. Cukup terkejut melihat bagaimana Saehyun menarik tangan dari genggamannya.
"Seperti yang kau bilang tadi. Aku yang tahu bagaimana perasaanku, bukan kau atau pun orang lain. Dan menurut apa yang aku rasakan, Junwoo tetaplah sumber kebahagiaanku!" tegasnya.
Saehyun bangkit, hendak meninggalkan Jaehan. Tapi tidak bisa karena Jaehan tiba-tiba menarik tangannya dengan kasar, membuat tubuhnya berbalik. Jaehan langsung mendekap tubuh Saehyun dengan erat. Begitu kuat. Meskipun Saehyun sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri, tetap saja tidak bisa. Sekuat apapun berusaha, ia tidak bisa melawan Jaehan yang begitu kuat.
"Jangan pergi, aku mohon," suara Jaehan terdengar agak bergetar, membuat Saehyun akhirnya menyerah dan pasrah berada dipelukan Jaehan.
Jaehan melonggarkan pelukannya. Keduanya saling menatap lamat satu sama lain. Perlahan Jaehan mendekatkan wajahnya pada wajah Saehyun. Semakin dekat, mengikis jarak diantara keduanya. Tidak berapa lama Saehyun bisa merasakan sebuah benda kenyal dan basah menempel pada bibirnya. Jaehan mencium Saehyun lembut, bahkan sampai melumat bibirnya lembut. Menyalurkan seluruh kerinduan yang ditanggungnya sendiri begitu lama. Menyalurkan seluruh rasa cinta yang ia pendam sendiri pada orang yang sangat ia cintai.
To be continued
ps. Mohon maaf apabila ada typo ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top