Better Than Before - 5

Setelah perdebatan panas tadi, Jaehan akhirnya memilih untuk membawa Minji ke bar, tentunya sesuai permintaan Minji. Gadis itu mengaku sedang penat dan ingin menghibur diri dengan cara bergelut dengan alkohol. Berkali-kali Jaehan mencoba menghentikan Minji yang terus menerus menenggak segelas vodca. Wajah gadis itu mengernyit saat cairan itu memasuki kerongkongannya. Ini sudah yang kesebelas kalinya Minji menenggak habis minuman dengan kadar alkohol tinggi itu. Dan Jaehan rasa kesadaran Minji perlahan-lahan mulai menghilang.

"Minji-ya."

Minji menepis tangan Jaehan yang hendak menghentikannya untuk meneggak minuman itu lagi.

"Ahn Minji, kau sudah mabuk." Jaehan mencoba menghentikan Minji lagi.

Gadis itu menggeleng lemah. Kepalanya tiba-tiba saja jatuh membentur meja tender, matanya yang sayu menatap wajah Jaehan. Satu tangannya terangkat, menyentuh serta membelai wajah itu dengan gerakan sensual. Sebuah kurva manis ikut menghiasi wajah cantiknya. "Entah kenapa, meski penglihatanku buram kau tetap terlihat tampan," cicitnya diiringi tawa.

"Ternyata benar, kau sudah mabuk berat Ahn Minji."

Minji tersenyum, "Ternyata benar, aku sudah jatuh cinta padamu Jung Jaehan."

Jaehan memalingkan wajahnya mendengar pernyataan Minji. "Kita pulang!"

Minji meronta, menolak Jaehan yang hendak membawanya pulang. Gadis itu menghempaskan tangan Jaehan yang ada di bahunya. "Aku belum mau pulang!" rengeknya.

Jaehan hanya bisa menghela napas entah untuk yang keberepa kali saat Minji malah turun dari kursi lalu berlari ke lantai dansa lantas menari tidak jelas di sana.

*

Leo nampak tertidur lelap di antara pelukan kedua orang tuanya; Junwoo yang dengan setia menepuk-nepuk punggung Leo dengan lembut dan Saehyun yang hanya diam mengamati aktivitas Junwoo. Dari sana, dia bisa melihat betapa Jeon Junwoo sangat menyayangi Leo. Hal itu sukses melunakkan sedikit demi sedikit hati Saehyun untuk menerima Junwoo  kembali.

Gerakan tangan Junwoo lama-kelamaan melambat dan berhenti saat dirasa Leo sudah tertidur dengan pulas. Pria itu mencoba untuk bangkit, bergerak secara hati-hati agar tidak membangunkan Leo. Junwoo memilih untuk duduk di inggir tempat tidur, matanya tidak pernah lari dari sosok Saehyun.

"Mau sampai kapan kau akan terus menatapku?" tanya wanita itu tanpa melihat ke arah lawan bicara.

Junwoo terkesiap lalu mengedipkan matanya saat Saehyun ternyata tahu kalau sejak tadi dia terus mengawasinya. "Saehyun-ah," Saehyun menoleh, kali ini ia bersedia mengarahkan netranya pada sosok Junwoo. "Mau minum bersamaku?"

Di sinilah keduanya berada. Di balkon lantai dua rumah mereka dengan di temani oleh sebotol red wine kualitas tinggi dan beberapa camilan. Junwoo berdiri bersandar pada pagar pembatas balkon, wajahnya mendongak menatap lamat langit malam yang sepi. Sedangkan Saehyun, wanita itu duduk di atas kursi yang tersedia di sana, sesekali menyantap keripik kentang kesukaannya.

"Sebenarnya kau mau bicara apa?"

Junwoo menoleh begitu teringat sesuatu. Pria itu tersenyum menatap Saehyun yang tengah meneguk habis red wine yang tadi baru saja dituangkannya ke dalam gelas. 

"Aku tahu kau belum sepenuhnya kembali padaku. Kau belum sepenuhnya percaya padaku. Itu pasti sulit untuk kembali mempercayai orang yang sudah membuatmu kecewa."

Junwoo mengangkat kakinya, melangkah ... mendekat lalu bersimpuh tepat di depan Saehyun. Tangannya menarik satu tangan Saehyun dan menggenggamnya lembut. Sementara wanita itu tidak menunjukkan reaksi apapun. Bahkan raut wajahnya masih sama. Datar.

"Tapi aku bersungguh-sungguh kali ini." Junwoo menatap lamat tepat pada kedua hazel Saehyun, "Aku minta maaf atas apa yang pernah aku lakukan padamu, juga Seohyun."

Mendengar Junwoo menyebut nama Seohyun membuatnya semakin mengeratkan genggaman pada leher gelas yang sedang dia pegang.

"Aku tahu, tidak mudah untuk memaafkan orang sepertiku. Tapi Saehyun," Junwoo menampilkan senyuman terbaiknya, "—kali ini aku tulus ingin memilikimu kembali. Mendapati wajahmu yang tertidur di sampingku saat pagi menjelang, menyaksikan senyum manismu yang selalu membuat jantungku berdetak setiap hari, mendengar kegaduhan di dapur saat aku bangun, menyantap masakanmu yang sangat aku suka, menggenggam hangat tanganmu seperti saat ini, memelukmu erat dan masih banyak lagi hal yang ingin aku lakukan bersamamu. Juga Leo, anak kita."

Setetes air mata jatuh ke pipi Junwoo. Pria itu tersenyum meski air mata yang sudah menumpuk diujung pelupuk matanya sudah mulai meluncur menghiasi paras wajahnya yang tampan. Sedangkan Saehyun, wanita itu mencoba tersenyum meski tidak mudah.

Junwoo tahu, semua perkatan manisnya tidak akan mampu menghapus jejak luka yang sudah mengering dalam hati Saehyun. Kata-kata manisnya tidak akan mampu meluluhkan hati Saehyun dalam sekejap atas apa yang telah dia lakukan dulu pada wanita itu. Tapi Junwoo tidak akan menyerah. Demi dirinya, demi Saehyun, juga demi buah hati mereka, dia akan terus berjuang mendapatkan kembali hati permaisurinya ... seutuhnya.

Pria itu berdeham, sembari tersenyum hangat dia berkata, "Lalu apa keputusanmu?"

Saehyun menundukkan wajah, semakin membuat Junwoo gugup bukan main. Dia takut Saehyun akan mejawab tidak, lalu pergi begitu saja dari hidupnya. Menghilang untuk jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.

Bisa saja wanita itu menghilangkan presensi dirinya dan Leo selamanya dari hadapan Junwoo. Kembali meninggakan Junwoo dengan sejuta luka, rasa bersalah, dan juga penyesalan yang mendalam.

"Junwoo," 

Suara rendah Saehyun mampu membuat detak jantung Junwoo semakin bekerja dengan cepat.

"Iya?" Suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Aku tidak tahu harus menjawab apa," Mendengarnya membuat Junwoo sedikit merasa kecewa, "—aku masih belum tahu keputusan apa yang harus aku pilih. Aku tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untukmu. Tapi,"

Mendengar kata 'tapi' membuat hati Junwoo sedikit menaruh harapan di sana. Dia tidak munafik. Junwoo bersunguh-sungguh kali ini. Maka dia pun sangat mengharapkan jawaban yang terbaik dari Saehyun atas pertanyaannya.

"Aku akan mencobanya."

Junwoo tersenyum sumringah mendengar jawaban dari wanita di hadapannya. Meski terdengar abu-abu, dia tidak peduli. Yang terpenting Saehyun sudah mau mencoba untuk menerima dan kembali pada pelukannya. Junwoo bangkit dan langsung berhambur memeluk Saehyun dengan erat ... menangis haru di sana.


Duniaku adalah duniamu. Pusat kebahagiaanku adalah dirimu.

Dimanapun kau berada, disitulah aku.

Karena kau adalah bagian dari diriku.


*


Kedua sejoli yang baru saja dipertemukan kembali itu terdiam menatap sebuah tempat tidur berukuran king size di hadapan mereka. Junwoo semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Saehyun, menelan salivanya penuh kesulitan sebelum akhirnya menoleh, menatap raut wajah canggung Saehyun di sebelahnya.

"Kalau kau keberatan aku bisa tidur di lantai atau sofa. Ah, aku juga bisa tidur di kamar Leo." Junwoo menawarkan diri.

Saehyun menyahut, "Aku akan dicap sebagai wanita jahat jika seperti itu, bukan?" tanyanya sembari mengambil langkah mendekat ke arah tempat tidur.

"Lebih tepatnya istri yang jahat, mungkin?" Junwoo tertawa hambar lalu tersenyum getir diakhir kalimatnya.

"Ah, iya bisa jadi." Saehyun memalingkah wajahnya, menghindari tatapan Junwoo.

"Jadi bagaimana?" Ada nada kekhawatiran dan keraguan di sana.

"Mau bagaimana lagi. Kita tidur bersama."

Junwoo diam sejenak—menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal lalu tersenyum kikuk, sebelum akhirnya dia merajut langkah mendekati Saehyun yang sudah lebih dulu membaringkan diri di atas tempat tidur. 

Sebuah tempat tidur yang sama dengan yang dulu mereka pakai.


*


Jaehan membaringkan tubuh Minji yang sudah sepenuhnya tidak sadarkan diri di bawah pengaruh alkohol. Rasa bersalah semakin menggerayangi seluruh tubuh dan pikiran Jaehan, terlebih saat dia melihat betapa sakitnya Minji melalui raut wajah gadis itu saat ini. Bodohnya dia juga tidak bisa memaksakan perasaannya untuk menerima kehadiran Minji.

Sejujurnya Jaehan hanya tidak ingin.

Dia masih enggan untuk menghapus Saehyun; dari hatinya, dari hidupnya, dari pikirannya, dari benaknya, dan menjadikan Minji sebagai penggantinya. Jaehan masih belum bisa melepas Saehyun.

Bukan.

Tapi Jaehan masih tidak bisa menerima kenyatan yang menghantamnya saat ini. Dia tidak rela melihat gadisnya bersama orang yang paling ia benci. Jaehan juga tidak bisa membiarkan hidup Minji hancur hanya karena demi bisa bersama dengannya. 

Minji punya segalanya—cantik, pintar dan kaya raya. Gadis itu bisa mendapatkan semua yang dia mau, kecuali satu. Jung Jaehan. Itu menurut versi Jaehan. 

Beda lagi dengan versi Minji. Menurutnya, dia tidak bisa dikatakan punya segalanya sebelum bisa mendapatkan Jaehan seutuhnya. Ya. Minji punya segalanya ... kecuali cinta.

"Istirahatlah, kau pasti lelah hari ini...." lirih Jaehan sembari menyelimuti tubuh Minji.

Gadis itu menggeliat kecil merespon ucapan Jaehan. Tidak lama kemudian Jaehan melenggang pergi meninggalkan Minji seorang diri di dalam kamar. Jujur saja dia mana berani mengantarkan Minji pulang ke rumahnya selarut ini mengingat ayah Minji benar-benar menakutkan di matanya. Apalagi mengetahui anak gadisnya mabuk berat karena dirinya. Maka pria Jung itu lebih memilih membawa si gadis ke rumahnya.

Di sinilah Jaehan sekarang. Berdiri di balkon, memandangi gemerlapnya lampu-lampu yang menghiasi malam tidak berbintang, ditemani dengan sekaleng bir. Jaehan tersenyum getir mengingat betapa sulit hidupnya saat ini. Bukan soal uang dan harta, melainkan kebebasannya dalam memilih.

"Kenapa juga orang itu harus kamu, Ahn Minji?" Jaehan mulai bermonolog. "Kamu terlalu baik untukku. Kamu tidak pantas untuk pria sepertiku."

Jaehan meremas kaleng minuman kosong itu dengan tangannya seiring dengan giginya yang mengancing dan kening yang mengkerut. Lalu, sebuah helaan napas lolos begitu saja. "Hai, Ahn Minji. Malam ini pun langit tidak berbintang, kau tahu?"

Tepat saat itu juga, Jaehan kembali teringat pertemuan pertamanya dengan Minji satu tahun yang lalu. Dia masih ingat betul bagaimana pertemuan keluarga itu berlangsung dan betapa kesalnya dia saat mendengar keputusan sepihak ayahnya yang dengan seenaknya menjodohkannya dengan seorang gadis yang tidak dia kenal.

"Aku senang sekali saat tahu bahwa Minji yang akan menjadi calon istri Jaehan."

Gelak tawa bahagia menggema di seluruh penjuru ruangan yang dijadikan tempat makan malam antara keluarga Jung dan keluarga Ahn saat menanggapi pernyataan Tuan Jung.

"Aku juga ikut bahagia, kalau begitu," balas Tuan Ahn.

Kedua sahabat karib dalam berbisnis itu tertawa bahagia mengekspresikan bayangan kesuksesan antara kedua belah pihak melalui acara perjodohan ini. Berbanding terbalik dengan kedua pemimpin itu, ada Jaehan yang duduk termangu merasa tidak minat akan jamuan makan malam yang tersedia, serta seorang gadis—yang Jaehan yakini baru berusia awal dua puluhan—yang tadi mengenalkan diri sebagai Ahn Minji—tengah duduk manis di sana.

Gerakan Jaehan yang tiba-tiba berhasil membuat tawa kedua orang tua tadi menghilang.

"Kau mau kemana?" tanya ayah Jaehan, jangan lupakan giginya yang mengancing dan matanya yang terbuka lebar saat menatap Jaehan yang masih berdiri di tempat.

"Cari angin. Aku merasa sesak napas jika lama-lama duduk di sini." Tanpa menunggu balasan dari ayahnya, Jaehan segera melesat meninggalkan ruangan.

"Anak itu, dasar kur—"

"Aku juga," potong Minji cepat.

"Minji?!" Kali ini Tuan Ahn yang meninggikan suara saat melihat anak semata wayangnya itu ikut berdiri.

"A—aku akan menyusul Jaehan ... menemaninya maksudku."

Jaehan berakhir duduk di sebuah kursi kecil yang ada di belakang gedung restoran tempat diadakannya jamuan makan oleh keluarga Ahn. Tempatnya sepi mendekati gelap tapi masih ada pencahayaan di sana. Pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebungkus rokok serta sebuah korek api. Diambilnya sebatang rokok tersebut, dia tempatkan di antara bibirnya, lantas segera membakar ujung rokok tersebut dengan korek api lalu menyesapnya secara bersamaan.

Kepulan asap keluar dari mulutnya. Entah sejak kapan ia memiliki kebiasaan merokok seperti ini ... Jaehan sendiri sudah lupa. Mungkin saat dia dan Saehyun sama-sama menginjakkan kaki di Korea lagi? Persetan! Jaehan tidak peduli tentang alasan itu.

Jaehan baru saja hendak menyesap rokoknya kembali, sayangnya niat itu tidak terselesaikan saat sebuah tangan merebut rokok itu dari tangannya, kemudian membuang rokok yang masih menyala itu ke aspal. Lantas sebuah kaki beralaskan stelito merah terang menginjaknya hingga apinya mati total.

Jaehan menoleh, hendak memarahi orang yang sudah lancang padanya. Pria itu mengurungkan niat saat mengetahui bahwa orang sudah lancang itu adalah Ahn Minji ... si anak emas keluarga Ahn. "Kau lagi," desis Jaehan kesal.

"Aku baru tahu kalau kau adalah seorang perokok, Jaehan-ssi?" ucap Minji tidak mempedulikan raut wajah kebas Jaehan.

"Mau apa lagi?" Jaehan terdengar malas.

"Tidak baik meninggalkan acara makan malam keluarga seperti itu."

Jaehan mendecih lagi, pria itu menoleh dan menatap tidak suka pada Minji, "Lalu kau sendiri?"

"Karena aku bukan orang baik, aku bisa melakukannya." Minji tersenyum lebar membalas tatapan Jaehan. "Mungkin."

Jaehan membuang muka, kembali mendecih, kali ini diiringi dengan helaan napas berat. Sementara Minji, gadis itu menengadahkan wajah—menatap langit malam yang gelap gulita ... tidak berbintang. "Karena aku egois. Aku selalu ingin bahagia entah bagaimana pun keadaannya."

Jaehan menoleh mendengar celotehan Minji. 'Dasar gadis bodoh!' cibirnya dalam hati.

"Jaehan-ssi, langitnya gelap. Tidak ada bintang sama sekali. Dan itu membuatku semakin merasa kasihan pada diriku dan orang-orang yang juga sedang menatap langit malam ini."

"Kenapa?" Jaehan menanggapi tanpa mengalihkan atensinya dari langit gelap di atas sana. Hanya untuk sekadar basa-basi saja.

"Mmm, hanya saja...."

Jaehan tersenyum miring mendengar jawaban menggantung Minji yang bahkan tidak pantas disebut sebagai jawaban.


Minji pernah berkata padaku, bahwa alasan kenapa dia selalu merasa kasihan pada dirinya dan orang-orang yang menatap langit malam tidak berbintang adalah karena sang bintang tidak sudi ditatap oleh orang menyedihkan sepertinya. Sama halnya seperti aku yang tidak pantas dipilih olehnya. 

Karena aku juga sangat menyedihkan.



To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top