Better Than Before - 4
Sebuah suara yang mengalun, menyapa indera pendengarannya semakin membuat Saehyun yakin bahwa orang yang kini tengah memeluknya adalah Junwoo.
"Junwoo..." lirihnya namun dapat dengan jelas didengar Junwoo.
Junwoo melonggarkan pelukannya tanpa berniat melepaskan Saehyun. Dia takut jika Saehyun akan benar-benar pergi menjauh darinya seperti lima tahun lalu. Deru napas keduanya saling beradu akibat jarak mereka yang begitu dekat. Saehyun bisa melihat manik kelam Junwoo yang muali berarir. Hatinya semakin berdesir. Perasaan yang sudah lama terkubur seolah kembali mencuat ke permukaan.
Junwoo hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak sempat karena Jaehan sudah lebih dulu menarik Saehyun untuk menjauh dari Junwoo. Pria itu menjadikan dirinya tameng demi menghalangi Junwoo yang hendak menyentuh Saehyun maupun Leo. Satu tangannya masih mencengkeram kuat pergelangan tangan Saehyun.
Tidak tega melihat Saehyun meringis, Junwoo hendak melangkah. "Jangan bergerak!" Jaehan menatap nyalang dan membuat lawannya itu mengurungkan niat. "Aku peringatkan sekali lagi, jangan mendekat!" ucapnya dengan penekanan disetiap kata.
"Tapi—"
Jaehan mundur selangkah, membuat Saehyun ikut memundurkan diri. Leo sudah lebih dulu menangis karena takut pada pekikan Jaehan. "Jangan pernah berani untuk menampakkan wajahmu di hadapan aku, Saehyun maupun Leo!"
Atensi Junwoo masih terpaku pada sosok wanita yang ada di belakang Jaehan. Hatinya serasa teriris sembilu ketika kembali menyaksikan air mata itu keluar dari kedua sudut mata Saehyun. Dia tidak mau melihat rona kesedihan itu menodai wajah wanita yang sangat dicintainya.
Saehyun menghela napas, memberanikan diri menyentuh tangan Jaehan yang mencengkeram pergelangannya. Jaehan menoleh, menatap tidak mengerti dan dibalas dengan senyuman yang meyakinkan dari wanita itu. Alih-alih menjawab, Saehyun malah melepaskan cengkeraman Jaehan dengan hati-hati. Dia tersenyum lantas berkata, "Maaf Jay, meski aku berkata tidak tapi nyatanya hatiku tidak demikian. Aku ingin mencobanya sekali lagi. Mencoba hidup bersamanya."
Cengkeraman Jaehan terlepas dengan sendirinya. Pria itu hendak buka mulut, tapi lagi-lagi Saehyun menyela. "Ini demi Leo!" tukasnya, "Aku tidak mau selamanya Leo tidak pernah tahu siapa ayahnya. Aku juga ingin menebus kesalahanku pada Leo karena sudah membiarkannya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Aku mohon, Jay." Setetes air mata turun ke pipi Saehyun. "Jika sesuatu yang buruk terjadi padaku dan Leo, kau boleh membawaku kembali, bahkan aku tidak akan mencegahmu untuk melakukan apapun pada Junwoo."
Dalam hati, Junwoo berteriak penuh kegirangan. Sedang Jaehan—pria itu sekali lagi harus menerima penolakan dari Saehyun. Meski sakit, ia akan tetap berusaha tegar menerima. Tapi satu yang ia tanam dalam dirinya, sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa memaafkan Junwoo. Meski pria itu adalah pusat kebahagiaan Saehyun, dia tidak akan mudah menyerahkan orang yang dicintainya begitu saja pada orang yang tidak dia hendaki.
"Baik, kalau itu memang maumu." Suara Jaehan terdengar bergetar, "Tapi ingat baik-baik apa yang pernah aku katakan padau tempo hari."
Saehyun tersenyum menanggapi perkataan Jaehan. Dipeluknya Jaehan dengan erat sebagai rasa terima kasihnya atas apa yang sudah diberikan padanya selama ini. Jaehan tidak segan untuk membalas pelukan Saehyun. Sesekali pria jangkung berlesung pipit itu mengecup lembut puncak kepala Saehyun.
Sedangkan Junwoo segera berhambur memeluk Leo yang masih terisak. Ayah yang baru saja dipertemukan dengan malaikat kecilnya itu menciumi buah hatinya dengan penuh kasih. Mulai dari puncak kepala, mata, hidung lalu turun ke pipinya dan berakhir kembali pada puncak kepala Leo.
"Ayah?" Leo menangis menyebut ayahnya, membuat Junwoo semakin mengeratkan pelukannya.
*
Jaehan melemparkan kunci mobilnya sembarang pada seorang pegawai di kantornya. Sedangkan dirinya langsung melenggang masuk ke dalam ruang kerja. Pria itu menutup pintu ruang kerjanya dengan kasar.
Di dalam, Jaehan melemparkan diri ke atas sofa lantas berusaha untuk memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menghilangkan bayangan kejadian di rumah sakit tadi. Hatinya sudah jelas hancur. Ini bukan yang pertama kali bagi Jaehan. Dulu Saehyun juga pernah menolaknya saat dia meminta Saehyun untuk menjauh dari Junwoo dan kembali ke Paris bersamanya.
Memang benar. Pada akhirnya Saehyun setuju untuk kembali, tapi tidak sesuai harapannya. Karena sejujurnya ia tidak mau kehilangan Saehyun maupun Seohyun. Dia memang menyukai Saehyun lebih dari perasaannya pada Seohyun. Tapi kehilangan sahabat kecil macam Seohyun membuatnya sangat terpukul. Itu pula yang membuat Jaehan semakin membenci Junwoo.
"Sialan! Kenapa aku malah menangis?!" Jaehan mendecih, menghapus jejak air matanya cepat-cepat.
Junwoo tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum saat kedua orang yang paling disayanginya duduk di bangku penumpang ... tepat di belakangnya. Sesekali pria itu mengintip keduanya.
"Fokus saja menyetir, aku akan berikan waktu yang banyak untukmu bermain dengan Leo."
Junwoo terkikik mendengar Saehyun yang rupanya menyadari apa yang sedang dilakukannya tadi. "Baik, Nyonya Jeon."
Saehyun bergeming. Hatinya kembali berdesir saat mendengar marga milik Junwoo menyatu dengan namanya.
Mereka sampai di sebuah rumah yang sudah tidak asing lagi bagi Saehyun. Junwoo turun lebih dulu dari mobil setelah sebelumnya memarkirkan mobil tepat di depan tangga menuju pintu utama. Kemudian pria itu melangkah untuk membukakan pintu bagi Saehyun dan Leo.
Tanpa aba-aba lagi, Junwoo langsung menggendong Leo. Membiarkan Saehyun yang masih kewalahan menurunkan dua buah tas yang berisi mainan serta pakaian Leo dari bagasi mobil. Dari belakang, Saehyun terpana melihat betapa asyiknya Junwoo bersenda gurau dengan anak semata wayangnya.
"Leo, ini adalah rumah Leo. Mulai sekarang kau akan tinggal di sini."
Leo mengedarkan matanya ke seluruh penjuru ruang tengah rumah Junwoo yang dulu juga pernah ditinggali Saehyun.
Ketiganya menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua. Dan berhenti di sebuah kamar yang sudah lama tidak terpakai. Saehyun memimpin, memasuki kamar tersebut lebih dulu. Matanya melebar karena melihat kamar ini benar-benar rapi. Seingatnya, kamar ini tidak pernah tersentuh kaki manusia, apalagi perlengkapan bersih-bersih. Saehyun menoleh, raut wajahnya seolah bertanya kenapa kamar ini begitu bersih?
"Aku yang membersihkannya beberapa hari yang lalu. Tepat saat pertama kali kita bertemu," jawab Junwoo seolah tahu isi kepala Saehyun.
Saehyun mengulum senyum tipis. Matanya kembali memandangi seluruh isi kamar yang telah di-design khusus untuk Leo. Seakan sudah tahu semua kegemaran Leo, Junwoo men-design-nya dengan apik. Berbagai ornamen perpaduan antara Power Ranger dan Pororo menjadi pelengkap isi kamar.
Junwoo mendudukkan Leo di atas kasur. Membiarkan malaikat kecilnya itu bermain bersama robot-robot miliknya. Bahkan tak jarang Junwoo ikut bermain bersama. Saehyun terkikik geli melihat tingkah Junwoo yang terlihat sebaya dengan buah hatinya.
*
Malam mulai menyapa. Sinar mentari yang tadi siang serasa menyengat kulit kini sudah berganti dengan cahaya redup sang rembulan. Semakin lama cahayanya semakin menghilang dibalik awan hitam. Jika saja ini siang hari mungkin awan mendung itu akan terlihat jelas. Tak berselang lama, rinai rintik-rintik hujan mulai berjatuhan ke bumi. Lama-lama rintik hujan itu berubah menjadi banyak. Hujan lebat mengguyur kota.
Junwoo baru saja selesai menidurkan Leo. Setelah hampir seharian Leo bermain bersama ayahnya, bocah kecil itu kelelahan dan langsung tertidur pulas dalam pelukan ayahnya. Junwoo mencoba melepaskan pelukan Leo perlahan, berharap tidak akan membangunkan malaikat kecilnya. Setelah lepas, pria itu tak langsung beranjak dari kamar Leo. Tidak lupa dia mencium kening Leo cukup lama, menyalurkan kasih sayangnya untuk anak semata wayangnya. Setelahnya, ia bergegas keluar dari kamar.
Saehyun masih berkutat menyiapkan makan malam. Wanita itu tengah membereskan meja makan, menyajikan beberapa masakan rumahan untuk makan malam mereka. Makan malam pertama sebagai keluarga seutuhnya.
"Terima kasih," ucap Junwoo yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya.
"Masih terlalu cepat untuk berterima kasih padaku. Aku belum sepenuhnya kembali padamu, Junwoo."
"Aku tahu," timpalnya.
Junwoo tersenyum, matanya selalu tertuju pada wajah Saehyun yang masih serius membereskan segala sesuatu di atas meja makan. Ia tidak tahu saja, sesekali Saehyun melirik ke arahnya.
"Aku minta maaf, Saehyun," lirihnya.
Saehyun bungkam. Tanpa Junwoo tahu, jantungnya bertalu di dalam sana. Kebisuan melanda. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing; Junwoo yang menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sedang Saehyun sibuk memilin ujung kaosnya.
Suara tangis anak kecil menggema, membuyarkan lamunan keduanya. Baik Saehyun maupun Junwoo, keduanya sama-sama terkejut. "Leo?" gumam Saehyun.
Junwook terkekeh, "Ah—sepertinya Leo terbangun," Saehyun menoleh menatap Junwoo, "Pergilah, Leo membutuhkanmu," lanjutnya.
Saehyun segera melesat menghampiri Leo di kamar.
*
"Cih, jadi begini rupa orang yang sedang putus cinta?"
Jaehan membuka mata perlahan saat indera pendengarannya mendengar suara cempreng seorang gadis yang sudah tidak asing lagi baginya. Gadis itu mendudukkan diri di sofa, tepat di hadapan Jaehan; melipat kaki, tangannya terlipat di depan dada, wajahnya terlihat begitu angkuh. "Biar aku tebak," gadis itu menjeda kalimatnya sambil menunggu Jaehan membenarkan posisi duduk. "—dia menolakmu dan memilih untuk kembali pada pria itu, 'kan?"
"Bisa tidak kau tutup mulutmu itu? Telingaku bisa rusak mendengar suara anehmu!"
"What?! Oppa!!!"
Jaehan pergi meninggalkan Ahn Minji yang masih terlihat kesal, mengambil tas serta jasnya dan berlalu begitu saja keluar dari ruang kerjanya. Dengan cepat Minji mengekor.
Jaehan terkejut melihat Minji sudah duduk di kursi penumpang, tepat di sampingnya. Gadis itu menoleh sesaat, masih mempertahankan wajah angkuhnya. Lalu kembali menatap lurus ke depan. "Aku hanya ingin memastikan kalau kau tidak berbuat gila dengan pergi ke rumah Jeon Junwoo dan membawa perempuan itu kembali!" ucapnya tanpa melihat bagaimana kebasnya wajah Jaehan.
"Keluar," pinta Jaehan masih dengan nada pelan.
"Tidak mau!" Minji melipat tangannya kembali di depan dada.
"Ahn Minji!!!" pekik Jaehan.
"Apa karena aku bukan Ji Saehyun?!" Minji tidak mau kalah. Kesabarannya sudah habis. Dia tidak mengerti kenapa Jaehan selalu menjauhinya. Melarangnya untuk mendekat dan lebih memilih Saehyun dibandingkan dirinya.
"Keluar!!!"
"Aku ini tunanganmu!" pekik Minji. Emosinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dadanya naik-turun. "Apa kau tidak bisa untuk menatapku sekali saja?!" Masih dalam kadar emosi yang memuncak, tapi Minji berusaha berkata dalam nada rendah untuk tetap tenang dan tidak meninggikan suaranya.
"Minji, maaf aku hanya—"
"Aku tahu. Sangat tahu." Minji menyela. "Kau hanya mencintai dia. Di hatimu selalu ada dia, bukan aku. Aku hanya orang baru untukmu. Tapi semua sudah berakhir sekarang." Minji menghela napas sesaat lalu membuangnya kasar.
"Dia sudah memilih pilihannya sendiri untuk kembali pada mantan suaminya. Jadi, bisakah kau melihat ke arahku kali ini? Aku juga ingin merasakan bagaimana saat matamu menatapku, merasakan sentuhanmu, dan merasakan hangatnya genggaman tanganmu." Wajah Minji sudah penuh dengan air mata, gadis itu terisak kuat.
Genggaman tangan Jaehan pada kemudi mobil menguat, matanya tertutup rapat, keningnya mengerut. Kepalanya berdenyut dengan sangat kencang. Ini kali pertama dia melihat dan mendengar bagaimana isi hati Minji yang sebenarnya. Jika sudah begini, dia bingung harus bagaimana. Minji sudah begitu baik dan perhatian padanya selama ini. Rasanya jadi tidak tega untuk mematahkan perasaan gadis itu begitu saja.
Meski dia akui, sudah mematahkan hati gadis itu berkali-kali.
*
Junwoo tersenyum melihat betapa lahapnya Leo memakan makan malamnya. Suapan demi suapan yang Saehyun berikan langsung dilahap. Meski dalam hati Junwoo tidak bisa memungkiri bahwa ia merasa sedih, mengingat Leo yang cacat karena perbuatannya. Akibat tindakan bodoh yang pernah dia lakukan pada Saehyun saat tengah mengandung Leo dulu.
Junwoo bangkit dari tempat duduknya, memutari meja makan berukuran sedang itu dan berdiri tepat di samping Saehyun. Tangannya telaten membuat sambab*; meletakkan sepotong daging sapi korea serta sayuran lainnya, membungkusnya lalu menyuapkannya pada Saehyun. Awalnya Saehyun hanya diam, terkejut menatap Junwoo.
"Kau juga harus makan, Sayang."
Hati Saehyun berdebar mendengar Junwoo memanggilnya dengan sebutan 'Sayang'. Wanita itu tersenyum tipis, lantas segera membuka mulutnya dan menyantap suapan Junwoo. Pria itu tersenyum mendapati Saehyun yang bersedia menerima suapannya.
"Setelah makan, kau harus segera tidur. Tentu saja kau harus minum obat dulu."
Wajah Leo mendadak suram begitu mendengar perkataan ibunya. Bibirnya mengerucut, terlihat sangat lucu. "Tapi aku mau main dengan Ayah dulu, Mommy," rajuknya.
Tanpa menatap wajah cemberut Leo, Saehyun membalas, "Lain kali saja."
"Kau tidak boleh terlalu keras pada Leo. Biarkan saja dia menikmati waktunya dulu." Junwoo ikut menimpali. Tidak tega melihat anak semata wayangnya cemberut terus.
Saehyun yang tengah menyumpit sepotong daging di depannya menyemburkan napas kesal sebelum akhirnya menoleh dan menatap tajam Junwoo. "Kau belum sepenuhnya tahu apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan Leo!" jawabnya tegas.
Junwoo menganggukkan kepalanya pelan, terlihat pasrah. Dia cukup sadar diri di posisiya sekarang. Pria yang kini sudah sah dipanggil Ayah itu menoleh, menatap sedih sepasang bola mata yang sudah mulai berkaca-kaca di seberang sana.
Dia tersenyum hangat, berusaha menenangkan buah hatinya. Ingin berucap barang sepatah dua patah kata, tapi rasanya berat. Meski berat, pada akhirnya dia mencoba memberanikan diri. "Leo, Ayah janji akan meghabiskan waktu denganmu besok. Bagaimana?"
Saehyun yang sibuk menyantap makan malamnya ikut menoleh dan melihat betapa antusiasnya Leo. Tanpa diduga, kedua sudut bibir wanita itu terangkat.
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top