Chapter 3: Mereka dan Hidup
Shinji tersenyum tipis melihat Asuka yang makan ramen dengan lahap. “Silakan pesan lagi jika kau masih lapar,” ucap Shinji.
“Ti-tidak usah! Apa bagusnya menatap orang makan?” Asuka memalingkan wajah meronanya, ini mangkuk kedua ramen-nya, segan mau menambah lagi. Shinji yang mentraktirnya saja hanya makan satu mangkuk.
Apa aku terlihat orang kelaparan? Habisnya baru kali ini aku menikmati makananku.
“Oh iya, sepertinya kita dari kampus yang sama, kau mengambil jurusan apa, Asuka?”
“Jurusan animasi, kutebak kau memilih pendidikan fisika 'kan?”
“Sangat tepat, mengapa kau bisa menebaknya?”
“Riwayat pendidikan orang tuamu.”
Selepas makan, mereka tak berniat kembali ke ranjang, melainkan menyusuri trotoar-trotoar yang dinaungi pohon sakura mekar. Keduanya tidak banyak bicara, hanya berjalan saling bersisian dan menenggelamkan pikiran dalam arus manusia yang berjalan hilir-mudik.
“Hei, perhatikan jalanmu, Sialan!” Seorang pengendara sepeda tanpa sengaja menabrak bahu Shinji, menyebabkan laki-laki itu oleng dan ditahan Asuka. Alih-alih meminta maaf, si pengendara justru mengumpatinya lalu pergi.
“Kau yang harusnya becus mengendarai sepedamu, Bodoh!” balas Asuka geram. “Kau tak mau melawannya? Betah sekali jadi orang pasrah.”
“Tidak apa-apa, Asuka, lagi pula orangnya sudah pergi. Terima kasih.”
Hening kembali menjembatani Shinji dan Asuka.
Selama bertahun-tahun berpisah harusnya mereka banyak berbicara, tapi benak dan hati bingung ingin bercerita apa. Hidup mereka pahit dan tak semenarik kisah-kisah bahagia para selebriti media sosial.
“Kau tak berniat bercerita apa-apa, Shinji?” tanya Asuka yang mulai jenuh di suasana hening, ia mengeluarkan ponselnya untuk memotret pemandangan sakura mekar yang indah.
Apa aku harus kembali ke Jerman untuk membawakan foto bunga sakura ini ke mama?
“Tidak ... hidupku tak menarik sama sekali, hanya belajar setiap harinya dan terkurung di rumah. Asuka bagaimana?”
“Sama. Membosankan.”
Asuka memutus cepat percakapan, maniknya terarah ke pedangan takoyaki di pinggir jalan. “Aku mau beli takoyaki, setelah ini kita pulang. Ayahmu akan marah 'kan melihatmu tak ada di rumah?”
Shinji mengangguk, ikuti langkah gadis itu dan ikut memesan beberapa takoyaki. Sesudahnya mereka menuju stasiun kereta.
Walau sudah malam, kereta cepat lumayan diramaikan para pekerja dan siswa yang baru selesai belajar tambahan. Shinji dan Asuka terpaksa berdiri sambil berpegengan pada pegangan kereta.
Shinji memikirkan tingkah Asuka yang ia lihat beberapa jam ini. Gadis itu masihlah barbar dan galak, tapi ada sisi baru yang muncul dari sifat kerasnya. Ada kerapuhan dan sepi yang ia usahakan keras tutupi dari dunia luar. Shinji tak bercerita banyak karena ia memang tidak punya hidup yang menarik, lain halnya dengan Asuka yang berusaha mengelak bercerita tentang hidupnya.
Kereta berhenti di stasiun dekat asrama Asuka, Shinji yang sibuk menelusuri labirin pikirannya tak sadar Asuka masih tertinggal di dalam kereta, gadis itu ditenggelamkan beberapa orang yang berebutan turun.
Asuka ... di mana dia?
Sebuah tangan kurus melambai-lambai di antara kepala-kepala manusia yang berjalan searah, Shinji kenal dari tangan dan pakaiannya. “Raih tanganku, Asuka.”
Shinji bergegas kembali masuk dan mengulurkan tangannya, Asuka yang mendengar suara pemuda itu menggenggam uluran Shinji. Asuka berhasil ditarik keluar oleh Shinji sebelum kedua pintu kereta tertutup sepenuhnya.
“Hwah ... pelan-pelan!” Disebabkan terburu-buru, Asuka terdorong pelan ke pelukan Shinji, untuk sesaat keduanya saling terhipnotis dengan manik masing-masing dan waktu seakan berhenti sesaat.
“Hei, mengapa kau memelukku?” Asuka bersuara, sadar tangan Shinji yang lain melingkari pinggangnya. Sebelum Asuka memukulnya, Shinji segera menjaga jarak.
Dia masih mengerikan.
“Pulanglah, aku bisa sendiri ke asrama.”
“Tidak apa-apa, aku akan mengantarmu.”
“Ck, jangan salahkan aku bila ayahmu marah karena kau telat pulang.”
“Tidak apa-apa, aku yang berinisiatif mengantarmu.”
Sepasang manusia dewasa muda itu keluar dari stasiun, Shinji memandangi wajah Asuka dari samping, batinnya sedikit tidak percaya bisa melihat teman masa kecilnya lagi.
Shinji tidak tahu apa yang Asuka lewati selama di Jerman, tapi dari kondisi fisik, tatapan matanya yang terkadang kosong, dan sikapnya mengelak bercerita tentang hidup sedikit bukti gadis itu tidak baik-baik saja.
Shinji tahu ia juga tidak baik-baik saja. Namun, sekarang ia tak lagi sendiri. Meski masih canggung karena baru bertemu lagi setelah sekian lama, bukankah kesempatan mereka banyak untuk lebih dekat? Ia dan Asuka sama kesepiannya, dengan bertemunya mereka tentu bisa menutupi kekosongan selama ini 'kan?
“Asuka.” Sang pemilik nama berhenti dan mengarahkan wajah ke si pemanggil, eskpresi bingung hadir tak dapati hal yang akan dibicarakan Shinji.
“Aku tidak tahu apa yang sudah kau lewati di Jerman, tapi ... kau tak sendiri lagi, Asuka. Ada aku di sini. Kau juga orang yang kumiliki selain ayah. Jangan sungkan untuk bercerita, ya? Jangan sakiti dirimu karena kesalahan yang diperbuat orang lain padamu.”
“Kau bicara apa?”
“Aku melihatnya, Asuka. Maaf bila lancang, aku merasakan kau sedang tidak baik-baik saja. Mungkin insting sesama teman masa kecil? Sejujurnya aku juga tak berada di kondisi yang baik dan berniat mengakhiri hidup. Namun, setalah bertemu kau hari ini aku tak ingin melakukannya.”
“Wah, apakah aku menjadi seorang malaikat penyelamat bagimu?”
“Mungkin? Sebenarnya kau yang perlu diselamatkan, Asuka. Selama beberapa jam ini aku tak merasa sendiri lagi karena ada dirimu. Ada sebuah ide yang bagus muncul di benakku, untuk apa mengakhiri hidup bila aku bisa membuatnya jadi lebih baik?”
“...”
“Jadi, Asuka, marilah genggam tanganku lagi dan ciptakan hidup yang lebih baik untuk kita.”
THE END
Words: 842
Total words dari chapter 1-chapter 3: 2.799
Akhirnya selesai :")
Maaf bila mengecewakan dan kurang bagus, aku lagi wb parah dan berkemungkinan setelah ini gak lagi publish cerita. Aku lebih aktif di twitter dan sering nulis-nulis random hehe. Untuk akun twitterku cek aja di bio ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top