Chapter 2: Mereka dan Jepang
Menggunakan tabungan dan uang-uang lain yang tersisa, Asuka berangkat ke Jepang setelah tiga hari kematian mamanya, untuk apa berlama-lama di Jerman sendiri tanpa tujuan? Asuka enggan pamit ke keluarganya yang lain, memangnya untuk apa? Toh, mereka tak peduli sama sekali.
Asuka tinggal di asrama kampusnya. Sebelum ajaran baru dimulai, ia mempersiapkan kebutuhan kuliah dan memantapkan bahasa Jepang. Sejak lahir hingga kelas terakhir sekolah dasar Asuka berada di negara ini, harusnya ia masih ingat beberapa hal tentang Jepang.
Hari pengenalan kuliah bersamaan dengan bunga-bunga sakura yang merah muda merekah. Di kamar asramanya Asuka tak sendiri seperti awal ia datang, tapi penghuni lain itu bukan sosok yang suka berbicara.
Ternyata sendiri tanpa siapa-siapa itu memuakkan, ya. Walau terkadang mama tak mengenaliku, setidaknya masih ada satu orang yang bersamaku.
Jam-jam terus bergulir hingga berakhirlah sesi pengenalan kuliah dan dimulainya pembelajaran. Mumpung tugas belum banyak, Asuka putuskan jalan-jalan sekalian refreshing karena selama ini ia fokus memantapkan bahasa Jepang-nya.
Tidak apa-apa sendiri, toh aku sudah terbiasa 'kan? Hehe. Kalau bisa aku ingin datang ke rumah lamaku dulu, di saat aku dan mama masih benar-benar bahagia.
***
Shinji melangkah keluar dari rumah, sampai jam dua belas malam nanti ia aman karena ayahnya sendiri yang berkata lembur tadi sore. Ayahnya sempat pulang sebentar untuk mengambil bekal dan mengingatkannya belajar. Shinji sudah menuruti pesan ayahnya, tidak ada salahnya 'kan ia mengistirahatkan pikiran?
Tujuannya melangkah adalah rumah pohon yang berada di lapangan basket kecil, tak jauh dari rumahnya.
Dulu ketika kecil Shinji sering bermain di lapangan itu bersama teman-temannya, rumah pohon yang terletak di pinggir lapangan dibangun ayahnya dan warga lain agar anak-anak dapat beristirahat. Ibunya sering membawakan camilan dan membacakan buku cerita, ayahnya juga suka mengajarkan permainan-permainan baru.
Sejak berpulangnya sang ibu ke rumah Ilahi, Shinji dikurung di rumah dan ditekan dalam ambisi menjadi si yang terbaik. Sang ayah enggan bicara pada Shinji dan tenggelam dalam pekerjaan, tapi bila Shinji berani keluar rumah ia langsung dikunci di kamarnya dengan banyak buku.
Kau pilih antara dua ini, belajar bersungguh-sungguh demi ayah dan ibu atau keluar dari rumah ini menjadi gelandangan liar?
Shinji terpaksa memilih pilihan pertama, ia masihlah anak-anak yang takut menghadapi kejamnya dunia luar. Maaf tanpa suara acap kali ia suarakan pada suara riang teman-temannya yang mengajak bermain, terutama pada Asuka yang pergi tiba-tiba tanpa sempat saling mengatakan kalimat perpisahan.
Shinji tumbuh sebagai pemuda yang takut keluar dari batas lingkaran yang dibuat ayahnya. Ia enggan berteman, takut menghadapi rasa sakit berpisah dari mereka. Selain sepi, kenangan di kala ibunya masih ada yang menemaninya.
Teman-teman dulu hampir tak mengenalku karena jarang berjumpa. Bagaimana ya kabar Asuka di Jerman? Apa dia punya banyak teman?
Shinji memanjati tangga kayu yang agak lapuk, berjaga-jaga langkahnya tak merusak papan yang dipijak. Tiba di atas ia nyalakan lampu yang berada di dalam rumah pohon.
Mainan, gambar, buku-buku cerita, dan foto-foto dari anak-anak di area kompleks perumahan ini tetap terjaga karena mereka berinisiatif merawat.
Baru duduk di sudut rumah, Shinji dikagetkan sosok gadis bersurai auburn yang tidur membelakanginya. Perawakan dari belakang gadis itu mengingatkan Shinji pada anak perempuan yang ada di masa lalunya, salah satu foto yang terpajang di dinding kayu rumah memperkuat ingatannya.
Asuka? Gadis ini Asuka?
“Mama ... mama ... aku berhasil.”
Eh? Dia mengigau? Apa yang harus kulakukan?
Tak lama setelah bersuara parau, si gadis mendudukan diri. Sepasang matanya menyesuaikan cahaya yang masuk, kemudian tatapannya tertuju ke sosok pemuda asing di sebelahnya.
“K-kau mau memperkosaku? Bajingan! Tak kubiarkan!” Asuka memukulkan brutal tasnya ke Shinji, pemuda itu menyilangkan tangan sebagai pertahanan.
“H-hei, tunggu dulu. Aku baru sampai ke sini dan melihatmu tertidur. Sabar dulu, jangan tiba-tiba memukul.”
Asuka berhenti, lalu ia mengamati Shinji dan membandingkan pemuda itu dengan sosok bocah laki-laki di salah satu foto. “Kau baka Shinji, ya? Wajah melasmu tak berubah sama sekali.”
“Kau Asuka 'kan? Sudah bertahun-tahun masih saja barbar.”
“Aku tidak barbar, tadi hanyalah pertahanan.”
Shinji menatap gadis di sebelahnya agak tidak percaya. Manik biru yang tajam dan rambut auburn yang lebat itu tak berubah. Suara melengking dan spontanitasnya masih sama seperti dulu.
Dia adalah Asuka yang Shinji kenal bertahun-tahun yang lalu.
“Mengapa kau menatapku? Ada sesuatu yang aneh?”
“A-ah tidak. Aku kaget kita bertemu lagi, kau benar-benar Asuka Langley Sohryu 'kan?”
“Bukan, aku arwahnya.”
“Eh?”
“Pertanyaan bodoh, tentu saja aku Asuka yang asli!”
Dia benar-benar Asuka. Siapa lagi yang suka memanggilku bodoh jika bukan dia?
Shinji tanpa sadar menciptakan senyum halus, kehangatan hadir di hatinya karena bertemu sosok yang sudah lama ia rindukan. Asuka tumbuh menjadi gadis yang cantik, tapi ada sedikit yang aneh darinya.
Tubuhnya lumayan kurus dan wajahnya tirus, apa dia diet?
“Mengapa kau dulu tak mau bermain lagi denganku? Kau juga tega tidak melihatku pergi ke Jerman.” Asuka menatap Shinji tajam, membuat si pemuda gelagapan.
“I-itu ... ayah melarangku bermain dan memaksaku belajar sejak ibu meninggal. Kalau aku tidak belajar maka ayah mengusirku. Maaf mengabaikanmu dan tidak melihatmu pergi. Apa kau mau memaafkanku?”
“Tidak! Aku hanya memaafkanmu bila kau mentraktirku ramen! Aku rindu makan ramen!”
“Eh?”
“Eh lagi? Kau semakin bodoh atau bagaimana? Apa ayahmu masih melarangmu keluar rumah?”
Sebenarnya iya, dia hanya membolehkanku keluar sekitar area rumah ataupun untuk kebutuhan belajar dalam waktu yang dibatasi.
“Bukankah hidup terkurung sendirian itu membosankan dan menyakitkan?”
Terkurung. Sendirian. Membosankan. Menyakitkan. Asuka benar.
“Mengapa kau tak coba meloloskan diri?”
Takut ayah marah. Takut ayah membuangku. Aku hanya sendirian di sini.
“Takut.”
“Kau takut dibuang 'kan? Misal kau mencoba maka kau akan tahu ayahmu sekadar menggertak atau bukan. Kalau kau tetap takut mencoba, kita kembali sebelum dia pulang.”
Meski hidupnya banyak berubah, Shinji yang Asuka kenal masihlah sama di pandangannya, penakut dan bodoh.
Shinji ragu, ia memang pernah mengecoh dan menantang ayahnya, tapi pada akhirnya ia juga yang kena imbas.
“Dulu kau sendiri, tapi sekarang ada aku.”
Benar. Ayahnya bukan lagi satu-satunya yang Shinji kenal. Ada Asuka.
Walau ragu-ragu, Shinji anggukan kepalanya. Malam itu percikan kebahagiaan menerpa hati Shinji dan Asuka yang luka. Mereka sepasang manusia kesepian yang dipertemukan kembali untuk saling mengobati.
[]
Words: 1013
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top