Tiga Belas
Malam itu, Esther tengah duduk di seberang perapian dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Matanya mengikuti baris-baris kata, tetapi pikirannya mengembara ke tempat lain. Ke dokter yang ia temui tadi siang, ke tatapan tajam Erwin yang penuh ketegangan, dan ke Joseph—yang sedang menumpang tidur di kamarnya, tidak mengatakan banyak hal sejak mereka kembali ke rumah.
Di luar, hujan telah reda, menyisakan tanah basah dan aroma dingin yang meresap ke dalam rumah. Lampu minyak di meja kecilnya berkelip lembut, melemparkan bayangan samar ke dinding.
Lalu, suara ketukan pintu terdengar.
Esther mengangkat kepalanya, alisnya sedikit berkerut. Ketukan itu pelan dan sabar, seakan orang di luar sana sekedar ingin memastikan bahwa gadis itu belum tidur.
Ia menutup bukunya perlahan dan bangkit. Hatinya berdebar aneh saat ia berjalan menuju pintu. Mungkin Joseph? Tapi tidak mungkin, dia ada di dalam.
Dengan ragu, ia membuka pintu.
Di ambang pintu berdiri Erwin.
Rambutnya sedikit berantakan, jasnya masih basah akibat hujan sebelumnya, tapi matanya tetap tajam seperti biasa.
"Boleh aku masuk?" tanyanya, suaranya rendah dan dalam.
Esther hanya bisa menatapnya sejenak sebelum mengangguk dan melangkah ke samping, membiarkan pria itu masuk.
***
Esther berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan, mengambil handuk kering, lalu menyerahkannya pada Erwin.
"Keringkan dirimu dulu," katanya pelan.
Erwin menerimanya tanpa bicara, hanya mengangguk singkat sebelum mulai mengeringkan rambutnya yang masih basah. Esther berusaha tidak terlalu memperhatikannya, tapi saat Erwin mulai melepas kemejanya yang basah, tubuhnya menegang seketika.
Ia segera berbalik, berpura-pura sibuk menggantung pakaian basah pria itu di dekat jendela agar bisa kering lebih cepat. Namun, meski ia tidak melihat langsung, bayangan dada bidang Erwin di sudut matanya tetap membuatnya sedikit canggung.
"Kau tidak perlu melakukan ini," suara Erwin terdengar, masih serak dan rendah seperti biasa.
Esther menghela napas, tetap membelakangi Erwin. "Kau bisa sakit kalau tetap mengenakan pakaian basah itu, Erwin."
Hening sejenak, hanya terdengar suara Erwin yang melipat handuk di tangannya. "Aku baik-baik saja."
Esther menghela napas pelan. "Kau selalu bilang begitu."
Ia akhirnya berbalik, berusaha untuk tetap tenang. Erwin kini duduk di kursi dekat perapian, hanya mengenakan celana panjangnya, tubuhnya masih sedikit lembap. Esther dengan cepat mengalihkan pandangan dan berjalan ke rak, mengambil secangkir teh hangat yang tadi belum sempat ia minum.
"Minumlah, setidaknya itu bisa menghangatkanmu," katanya sambil menyerahkan cangkir pada Erwin.
Pria itu menerimanya tanpa banyak protes, lalu menyeruput isinya dengan tenang. Mata gelapnya tetap menatap Esther dari balik uap teh, seakan menilai sesuatu yang tidak ia ucapkan.
"Apa kau datang kemari hanya untuk basah kuyup di depan pintuku?" tanya Esther akhirnya, mencoba mengusir kecanggungan.
Erwin tidak segera menjawab. Ia meletakkan cangkirnya di meja, lalu bersandar ke belakang, menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata,
"Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Esther menatap Erwin dengan sedikit terkejut. Namun, sebelum ia sempat merespons, Erwin melanjutkan, suaranya tetap tenang dan dalam.
"Aku..." dia meragu sejenak. "Aku mendapatkan tawaran pekerjaan mengajar di Jerman," katanya, matanya masih mengawasi ekspresi Esther.
Esther mengerjap, tidak langsung mengerti maksud perkataan itu. "Jerman?"
Erwin mengangguk. "Sudah beberapa hari ini aku mempertimbangkannya. Awalnya, aku berpikir untuk mengajakmu pergi bersamaku sejak, kau tahu, kau ingin menjelajahi dunia.. jadi Jerman bisa menjadi awal bagi perjalananmu. Tapi.."
Esther terdiam, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana mendengar pengakuan itu.
"Tapi setelah mendengar bahwa kau akhirnya mau berusaha menjalani pengobatan, aku lega." Erwin menatapnya lekat-lekat, seperti memastikan sesuatu dalam diri Esther. "Aku takkan memaafkan diriku sendiri jika malah membawamu pergi sementara kau dengan sengaja menolak berobat dan menyerah begitu saja."
Esther menggigit bibirnya, menunduk sejenak. Ada kehangatan aneh di dadanya mendengar itu—sesuatu yang sulit ia definisikan.
"Jadi kau akan pergi," Lirihnya akhirnya, suaranya lebih pelan dari yang ia maksudkan.
Erwin tidak langsung menjawab. Ia memandangi teh di tangannya, jari-jarinya mengetuk ringan sisi cangkir sebelum berkata, "Aku belum memutuskan."
Esther tersenyum kecil dan diam, meski matanya tetap menyimpan banyak emosi yang belum ia uraikan. Suara kayu berderak di perapian menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka.
"Erwin," Panggilnya lirih.
"Ya."
"Sejujurnya, aku tidak punya alasan lain untuk berobat hanya untuk pada akhirnya akan mati juga."
Erwin diam, menunggu Esther melanjutkan.
Gadis itu menghela napas, menatap ke arah jendela yang masih sedikit basah oleh sisa hujan. "Aku hanya tidak ingin mengecewakan Margaret. Kalau aku tidak mencoba, rasanya seperti mengkhianati semua rasa sayang yang ia berikan padaku."
Erwin masih diam, tapi matanya mengamati Esther dengan lebih dalam.
"Aku takut, Erwin." kata Esther lagi, kali ini lebih lirih. "Bagaimana kalau pengobatannya tak berhasil? Bagaimana kalau aku hanya membuang waktu dan akhirnya tetap mati juga? Aku belum pernah pergi ke mana-mana, belum melihat dunia. Kalau aku mati nanti, aku tidak ingin mati dengan penyesalan karena sudah menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia."
Erwin meletakkan cangkirnya di meja. "Itu kematian yang jauh lebih baik daripada mati tanpa pernah mencoba."
Esther tersenyum kecil, pahit. "Kau selalu sesederhana itu, ya?"
Erwin tidak langsung menjawab, lalu akhirnya berkata, "Karena aku tidak ingin melihatmu menyerah." Dia berdeham sejenak. "Persis seperti kau yang tidak ingin melihatku menyerah waktu itu."
Esther menatapnya lama. Dalam tatapan Erwin, tidak ada kepura-puraan atau harapan berlebihan. Hanya keteguhan yang membuat Esther merasa... lebih ringan.
Esther mengangguk perlahan, menimbang-nimbang sebelum akhirnya bertanya, "Kalau kau jadi pergi, apa rencanamu di Jerman?"
Erwin tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah jendela, memperhatikan bagaimana tirai tipis bergoyang terkena angin malam. "Mengajar. Melanjutkan risetku."
"Hanya itu?"
Erwin mengalihkan tatapannya ke Esther, sorotnya gelap dan sulit terbaca. "Apa lagi yang harus aku lakukan?"
Esther menahan napas. Ada sesuatu dalam caranya berkata-kata—datar, tapi ada beban yang ia sembunyikan di baliknya.
"Kau ingin pergi, kan?" Esther mencoba menerka.
Erwin menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Itu kesempatan yang bagus."
Bukan jawaban yang benar-benar menjawab, dan Esther tahu itu. Ia mengamati pria itu, memperhatikan bagaimana rahangnya mengatup, bagaimana jarinya mengetuk pelan tepi cangkirnya.
"Tapi kau ragu," kata Esther pelan.
Erwin tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu.
Beberapa saat kemudian, Erwin melanjutkan, "Aku hanya tidak ingin pergi dengan sesuatu yang masih mengganjal di sini."
Esther menelan ludah. Ia tidak perlu bertanya apa yang dimaksud Erwin. Jelas itu bukan tentang pekerjaannya, pula bukan tentang risetnya.
Suasana di ruang tengah terasa semakin sunyi, seakan perasaan yang menggantung di antara mereka membebani udara.
"Aku tidak bisa menjanjikan apa pun," kata Esther akhirnya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, Erwin."
Erwin masih menatapnya, tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang menekan dada Esther dengan berat yang tak kasatmata.
"Aku tahu."
Hanya dua kata, tapi cukup untuk membuat Esther merasa sesak.
Erwin menghela napas pelan, lalu bersandar ke belakang, menatap langit-langit sejenak sebelum berkata, "Aku akan tetap di sini sampai kau memulai pengobatan. Setelah itu..."
Esther menunggu kelanjutan kalimatnya, tapi Erwin tidak melanjutkan. Ia hanya menatap teh di tangannya, seakan menimbang sesuatu yang sulit.
"Setelah itu kau akan pergi," Ucap Esther, sama sekali tak terdengar seperti pertanyaan.
Erwin diam sesaat sebelum akhirnya mengangkat bahu dengan acuh. "Mungkin. Mungkin juga tidak."
Jawaban itu membuat sesuatu di dalam diri Esther bergetar, tapi ia tidak tahu apa. Ia menatap Erwin, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik sikapnya yang selalu tenang dan terkendali. Tapi seperti biasa, Erwin terlalu sulit ditebak.
"Menurutku, kau sebaiknya mengambil kesempatan itu."
Erwin mengangkat pandangan, ekspresinya tetap tenang, tapi matanya sedikit menyipit, seolah mencoba menebak arah pembicaraan Esther.
Esther menghela napas dan melanjutkan perkataannya, "Aku tahu itu bukan keputusan mudah, tapi Jerman bisa menjadi awal yang baik untukmu."
Erwin masih menatapnya, rahangnya mengeras sedikit. "Aku ... tak bisa pergi, sementara kau dalam keadaan seperti ini."
Esther tersenyum kecil, meski ada kepedihan yang menggantung di sana. "Aku akan baik-baik saja. Aku sudah memutuskan untuk menjalani pengobatan, kok? Kau tak perlu mengorbankan kesempatanmu hanya karena aku."
Erwin mendengus pelan, "Bukan hanya karena itu."
Esther terdiam, menunggu, tapi Erwin tidak melanjutkan.
"Kau selalu seperti ini, Erwin," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan. "Selalu memikul terlalu banyak di pundakmu. Aku tahu kau ingin memastikan aku tidak sendirian, tapi kau juga berhak memilih masa depan yang lebih baik."
Erwin menunduk sedikit, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja. "Apa yang membuatmu begitu yakin aku akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik di sana?"
Esther tersenyum tipis. "Kau terlalu cerdas untuk terjebak di satu tempat selamanya. Dan aku yakin, jika Margaret masih ada, dia pasti akan berkata hal yang sama."
Nama Margaret menggantung di udara, membawa keheningan sejenak di antara mereka. Erwin menghela napas panjang, meremas jemarinya sendiri sebelum akhirnya bersandar ke kursinya.
Erwin menoleh sekarang, matanya menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang Esther tidak yakin dirinya bisa artikan. Lalu, tanpa menjawab, Erwin mengalihkan pandangannya ke perapian, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka.
Keheningan masih menyelimuti ruangan sampai akhirnya Erwin mengangkat kepalanya, matanya tertuju pada jam dinding di atas perapian. Jarum pendeknya sudah melewati angka dua.
Ia menghela napas pelan, lalu bangkit dari kursinya. "Sudah larut," katanya datar. "Kau sebaiknya tidur."
Esther menatapnya, masih belum bisa sepenuhnya memahami isi pikirannya. "Bagaimana dengan—"
"Jangan pikirkan," potong Erwin cepat, suaranya tenang tapi tegas. Ia menyambar jasnya yang sudah lebih kering, lalu menatapnya sekilas. "Aku akan mempertimbangkannya lagi."
Esther hanya diam, tidak menanggapi, kali ini dengan tabah ia membiarkan lelaki itu mengambil keputusan apa pun yang ingin dibuatnya. Esther berjalan ke jendela tempat ia menjemur pakaian Erwin dan mengembalikannya dengan gerakan ragu.
Pria itu melangkah menuju pintu dengan lambat tapi mantap. Namun, tepat sebelum pergi, ia berhenti sejenak.
Esther menahan napas ketika Erwin berbalik dan menatapnya lama. Tatapan itu begitu dalam, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang masih tersisa di antara mereka.
Jantung Esther berdegup kencang. Ia tidak tahu kenapa, tapi pikirannya melayang pada kejadian malam itu—ketika Erwin mencium dirinya begitu saja.
Apa akan terjadi lagi?
Namun, Erwin hanya tersenyum tipis. Senyum yang begitu sendu, begitu samar. Tanpa berkata apa pun lagi, ia menarik pintu hingga terbuka dan pergi.
Esther tetap berdiri di tempatnya, menatap pintu yang kini tertutup rapat, perasaannya semakin kacau.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top