Sembilan

Hujan lebat di hari pemakaman Margaret mendukung kemuraman di hati semua orang. Angin dingin yang menyapu seperti sedang mengolok mereka akan waktu yang terasa membeku sewaktu jasad Margaret dikebumikan sebelum akhirnya semua orang mulai berbalik pergi setelah liang peristirahatannya telah ditimbun tanah dan Pastor menutup proses pemakamannya dengan memanjatkan doa.

Dengan sorot mata penuh perenungan, Esther berlutut di tepi makam, jemarinya pelan mengelus kayu salib yang terpahat nama Margaret Katz, lengkap dengan tanggal lahir dan kematiannya. Kekosongan yang membayang di matanya seakan menyiratkan bahwa separuh jiwanya telah ikut pergi bersama wanita yang amat disayanginya itu.

Di sisi Esther, Joseph berdiri dengan tatapan terpaku pada tanah basah yang kini mengubur jasad neneknya. Penyesalan menguasainya, menyadari betapa sedikit waktu yang ia habiskan untuk wanita yang telah membesarkannya itu.

"Kita harus merelakannya." Esther tiba-tiba bicara, suaranya parau.

Joseph tak menjawab. Ia berbalik menghadap gadis itu, lalu mengulurkan tangan, menawarkan bantuan agar ia bisa bangkit.

***

Perjalanan kembali menuju rumah Margaret diselimuti keheningan yang canggung. Mereka tak berbicara, tetapi agaknya keberadaan mereka bagi satu sama lain saja sudah cukup saling menguatkan.

Begitu tiba, para tetangga yang telah berkumpul di sana menyambut kedatangan mereka dengan hangat, memberikan senyuman sebagai bentuk dukungan.

Joseph dan Esther, basah kuyup karena hujan yang tak kunjung reda di perjalanan pulang, berpisah tanpa sepatah kata. Sementara Joseph naik ke lantai dua untuk mengeringkan tubuh, Esther tetap berdiri di tempat semula, menatap kosong ke depan.

Tiba-tiba, Esther merasakan kehangatan di pundaknya. Suara lembut menyusul, berasal dari Erwin yang berdiri di belakangnya, menyelimuti gadis itu dengan jasnya.

"Ayo." Katanya. "Kau bisa terserang flu kalau tak segera mengeringkan tubuhmu."

Perhatian dari lelaki itu terasa seperti dukungan besar yang menguatkannya di masa rapuh ini. Esther tersenyum tipis dan mengangguk, lalu membiarkan Erwin menuntunnya pulang untuk mengeringkan diri.

Setibanya mereka di rumah Esther, Erwin langsung sibuk mondar-mandir. Ia menyuruh Esther segera berganti baju, lalu mulai beraksi—menyalakan perapian lebih dulu, lalu menuju dapur untuk merebus air. Setelah itu, ia merapikan sofa agar Esther bisa duduk dengan nyaman, menyiapkan selimut tebal, dan akhirnya menyodorkan secangkir teh panas untuknya.

"Terima kasih. Tapi, kenapa kau sibuk sekali?" Esther terkekeh. Meski tersenyum begitu, Erwin tahu betul bahwa gadis itu baru saja menangis—matanya yang semakin sembap tak bisa menyembunyikannya.

"Istirahatlah." Jawab Erwin dari dapur seraya memotong sayuran.

Esther menyusulnya. "Kau memasak?"

"Kau harus makan sesuatu supaya tak terserang penyakit."

"Aku sedang tak berselera."

"Kau tetap harus makan."

Esther tersenyum tipis, kemudian menarik kursi ke sisi seberang meja. Matanya mengamati tangan Erwin yang dengan kaku memotong sayuran, seolah pekerjaan itu memang bukan keahliannya.

"Apa kau butuh bantuan?" Esther menawarkan diri.

"Tidak."

"Agaknya kau kesusahan, Erwin."

"Aku bisa melakukannya." Tegasnya dengan raut datar. "Jangan meremehkanku."

Keheningan menggantung di dapur, sementara Esther terus memperhatikan Erwin memotong sayuran. Sesekali, ia ingin berkomentar tentang potongan wortelnya yang terlalu tebal, tetapi Esther menahan diri dan memilih untuk menghargai usaha lelaki itu.

Setelah wortel, Erwin mengupas kentang dengan sangat hati-hati, berusaha melepas kulitnya setipis mungkin menggunakan pisau yang sama untuk memotong wortel tadi. Itu membuat Esther terkekeh.

"Ada satu hal pun yang lucu?" Sindir Erwin dengan wajah tegangnya.

"Tidak." Esther menggeleng. "Tidak sama sekali."

Erwin berhenti sejenak untuk menatapnya. Sebutir keringat menggantung di kening lelaki itu, dan rahangnya terkatup seakan ia akan celaka jika mengacau. Setelah berdeham sejenak, lelaki itu melanjutkan pekerjaannya.

"Erwin, kau bisa pakai alat pengupas di lemari."

"Itu sungguh saran yang sangat tak praktis."

"Tak praktis? Justru aku menawarkan cara yang lebih praktis."

Erwin sama sekali tak mau repot-repot mengadah ke gadis itu, melanjutkan bicara sembari terus mengupas kentang di genggamannya, "Esther, keduanya punya kegunaan yang sama. Jauh lebih praktis kalau bisa menggunakan hanya satu."

"Kau malas." Ujar Esther.

"Aku hanya berpikir praktis."

"Tapi itu tandanya kau malas, Erwin Smith."

"Terserah sajalah,"

Erwin telah selesai dengan tahap mengupas, kini ia akan memotong kentangnya menjadi potongan dadu yang kecil. Sejenak sebelum mulai memotong, ia mencuri pandang ke Esther yang masih khusyuk memperhatikannya— jantung Erwin semakin berdebar di bawah tatapan gadis itu.

"Kau yakin tak butuh bantuan?" Esther berdiri dari kursinya.

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Tenanglah."

Erwin akhirnya menyelesaikan masakannya. Kini, sayur-mayur itu telah bertransformasi menjadi sepanci sup hangat yang—Esther akui—memiliki aroma yang membuat perutnya bergejolak.

Esther bangkit dari kursinya, menariknya mendekat ke meja makan. Sementara Erwin memindahkan panci dari kompor ke meja, ia membantu menyiapkan alat makan, memastikan segalanya tertata rapi sebelum mereka duduk bersama. Setelah semuanya siap, mereka berdua akhirnya mulai menyantap makan siang yang sudah terlambat itu sementara hujan terus turun di luar, menciptakan irama kelam yang entah bagaimana juga terasa syahdu.

Di sela-sela makannya, Esther menoleh ke luar jendela, matanya tertuju pada rumah Margaret yang masih dipenuhi tamu. Semua orang berkumpul di sana, memberi dukungan dan penguatan bagi Joseph yang baru saja kehilangan sang nenek. Betapa Esther ingin tetap berada di sana, namun setiap sudut rumah itu dipenuhi bayang-bayang Margaret, membuatnya sulit untuk tinggal tanpa menangisinya.

Duka dalam Joseph adalah dukanya pula, tetapi saat ini, yang ia miliki hanyalah pria ini—pria yang memasak untuknya sebuah sup dengan potongan wortel yang terlalu lebar tapi terasa lezat, yang sedang berada di hadapannya ini.

Sementara gadis itu tersenyum dan tanpa sadar memandanginya, Erwin justru mematung canggung. Sekujur tubuhnya terasa kaku, bahkan untuk sekadar menelan supnya sendiri.

"Jangan melamun." Erwin memulai, suara beratnya lirih nyaris tak terdengar.

"Iya." Esther mengerjap, terbangun dari lamunannya. "Aku cuma merasa bersyukur."

"Karena makanannya?"

"Karena kau ada untukku di saat-saat seperti ini." Ia mengakuinya dengan sedikit tersenyum. "Rasanya aku bisa gila kalau harus menanggung kehilangan ini sendirian."

Erwin berusaha menahan diri. "Kau berlebihan."

Esther menyunggingkan senyum tipis yang agak dipaksakan, kemudian menyeruput supnya sekali sebelum ia mulai bicara lagi, "Aku bersyukur karena makanannya juga."

"Sungguh?"

"Ya. Rasanya tak buruk, Erwin— bahkan lezat." Pujiannya tulus dan gamblang, terdengar seperti keluar dari mulut anak kecil. "Hanya saja,"

"Hanya saja...?" Erwin menenggak ludah, bersiap untuk mendengar kelanjutan dari perkataannya itu.

"Hanya saja potongan wortelnya terlalu lebar." Lanjutnya, tercengir.

"Jadi itulah alasan kau tertawa,"

"Ya ampun, Erwin Smith," Esther memutar bola matanya. "Kau masih memikirkan itu?"

Pipi Erwin sedikit memerah, ia memalingkan wajah dengan alis berkerut bak pria penggerutu. "Aku ingat begitu saja."

"Itu berarti kau memikirkannya!" Esther menyembur tawa melihat wajah Erwin beringsut malu. Ekspresi cerianya kembali lagi, dan kini diiringi senyuman usil, gadis itu menggodanya, "Apa jangan-jangan kau memikirkanku, ya?"

Kata-kata itu bagai tombak di jantung Erwin. Habis sudah semua keberaniannya untuk menatap lurus ke mata gadis itu, dan sekarang ini wajahnya mendadak merah untuk ia bisa tunjukkan padanya— Erwin tahu bahwa Esther bergurau dan hanya ingin mengusilinya, tetapi dirinya bahkan sangat serius karena tuduhan usil itu tak bisa terbantahkan.

"Omong kosong." Erwin dengan cepat bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk sejenak menenangkan diri.

Dalam keheningan, Esther berkedip di kursinya, dilanda kebingungan. Benaknya berputar mengingat-ingat perkataannya barusan—apakah ia telah salah bicara dan menyinggung lelaki itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top