Empat

Erwin memperhatikan Esther saat gadis itu berjalan bersamanya di jalan sempit berbatu yang diapit rumah-rumah berdinding bata. Gadis itu sering berhenti untuk mengagumi beberapa hal yang menarik hatinya. Dinding dan atap yang ditumbuhi tanaman merambat, pot-pot bunga geranium yang menjuntai dari ambang jendela, pintu-pintu kayu yang dicat warna cerah.

Hari ini Esther mengajak Erwin pulang bersama melewati rute favoritnya. Arah itu akan membawanya ke sebuah jalan kecil yang diapit perkebunan anggur dan toko-toko seni yang menempati bangunan-bangunan lama bercat cokelat muda, krem, dan merah jambu.

"Berapa tinggi badanmu?" Tanya Esther tiba-tiba sembari melompat, berusaha menjajari ujung kepalanya dengan lelaki itu.

"Tidak pernah mengingat-ingat. Mungkin 188."

Esther menutup muka, pura-pura terkejut. "Seharusnya, aku yang pendek ini tidak usah bertanya." Gerutunya dibalik telapak tangannya.

Erwin terkekeh pelan, nyaris bisa didengar oleh gadis itu.

Esther menyukai apa yang dilihatnya. Erwin tersenyum dengan santai meski samar-samar, dikelilingi pepohonan anggur. Baginya, saat ini lelaki itu tampak manusiawi dan menyenangkan.

"Kau senang sekali menanyakan hal-hal sepele dan tak ingin didengar orang."

Esther mengangkat bahu sambil terkekeh. "Aku cuma ingin tahu."

"Kalau ada bakat yang dinamakan menanyakan hal-hal sepele, mungkin kau termasuk salah satu yang paling unggul di bidang itu."

"Ya? Syukurlah. Setidaknya aku tahu aku berbakat."

Tiba-tiba, langkah Esther terhenti. Di seberang jalan, tampak sebuah bangunan bata dengan pintu kayu bercat kuning, yang ternyata adalah toko es krim.

"Kau mau?"

Namun, Esther bahkan tak menunggu jawabannya. Gadis itu sudah berlari ke seberang jalan.

***

Esther menikmati petualangan kecil-kecilan itu. Setelah makan es krim sambil mengobrol kecil di perjalanan, mereka pun akhirnya tiba di depan rumah gadis itu.

"Terima kasih untuk hari ini, Erwin Smith." Ujar gadis itu sebelum akhirnya berpaling dari Erwin dan berjalan menuju pintu. Bibirnya bergerak lagi, seolah hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.

Sewaktu tangan Esther telah menggapai gagang pintu, ia menoleh pada Erwin dan memberinya lambaian singkat, berusaha menutup pertemuan mereka se-tak canggung mungkin.

"Kalau begitu.."

"Apa kau akan baik-baik saja?" Erwin bicara sebelum gadis itu sempat menyelesaikan perkataannya.

"Ya, tentu." Esther tersenyum lebar. "Hari ini menyenangkan. Sudah lama tidak melewati akhir pekan bersama seseorang."

Erwin tak menjawab. Ia menatap gadis itu, yang terus meladeninya dengan hangat.

Esther menarik diri daei pintu dan bergerak mendekati lelaki itu lagi saat melihat kecemasan yang terpampang samar di wajah Erwin.

"Kau baik-baik saja?" Tanya gadis itu.

"Ya."

"Bagus." Esther tersenyum padanya. Tangan gadis itu terulur menyentuh dada Erwin, menepuknya dengan nyaris tanpa kekuatan. "Karena kau memang akan baik-baik saja." Setelah bicara begitu, Esther berputar dan kembali menuju pintu masuk rumahnya.

"Esther--"

Saat Esther membuka pintu, Erwin memanggilnya. Ia pun menoleh sehingga rambut emas yang dikucir ekor kudanya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya.

Sesungguhnya, Erwin pun tak tahu apa yang ingin dikatakan kepadanya. Erwin hanya ingin memanggilnya.

Esther menatap pria itu. Menunggu. Ketika menyadari bahwa ia tak akan mengucapkan apa-apa, Esther terkikik. Diteruskan langkahnya masuk ke dalam rumah, terus tersenyum sampai pintu menutup perpisahan mereka pada hari itu.

***

Margaret berdiri di tengah-tengah ruangan kerja mendiang suaminya, memperhatikan peti-peti buku di lantai yang membuat tangannya gatal. Ia takkan menyingkirkan koran tua, peta, dan kalender lama. Baginya benda-benda itu lah caranya mengingat perjalanan hidupnya.

Ia baru selesai merapikan peti kelima, ketika pintu depan berdecit terbuka dan sebuah suara melengking memanggilnya di lantai bawah.

"Wah, apa yang terjadi di sini?" Tanyanya sambil melangkah masuk ke ruangan penuh debu itu.

"Aku sedang merapikan barang-barang suamiku." Sahut perempuan tua itu, melambai-lambai.

"Apa kabar? Aku membawakan roti berry untukmu." Esther mengeluarkan roti yang pagi ini ia panggang dari dalam balutan kain di dalam keranjang bawaannya.

"Oh, kau selalu perhatian sekali, Esther sayang. Aku memang berpikir untuk makan roti sambil minum teh." Margaret tampak gembira, menggapai lengan Esther. "Lepas saja mantelmu itu, kubuatkan teh hangat. Di luar sedang dingin."

"Sebenarnya, Margaret, aku tak bisa lama-lama. Aku harus ke tempat kerja."

"Begitukah? Kau masih bekerja merawat anak-anak itu, ya? Bagaimana tugas-tugasmu di sana?"

"Cukup menyenangkan. Mereka anak-anak yang pintar dan menggemaskan. Aku biasanya hanya berjaga selagi mereka bermain, menyiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka selagi para orang tua pergi." Balas Esther dengan riang.

"Sayangku, menurutku kau terlalu sibuk bekerja." Perempuan tua itu mengelus bahu Esther. "Meski sepele, beristirahatlah sejenak dan fokus pada pengobatanmu terlebih dahulu."

"Aku memang suka kesibukan, Margaret. Aku pun harus bekerja dengan giat supaya bisa segera keliling dunia."

Margaret menghela napas. "Kau selalu bilang begitu. Hidup itu berjalan cepat tanpa kita sadari, Esther. Kau lihat, aku sedang membongkar peti lama dan menemukan benda-benda tua ini. Sekarang kau menabung untuk keliling dunia, tapi kau mengorbankan kesehatanmu. Setidaknya kau perlu berobat dahulu supaya bisa kembali seperti semula dan menjelajahi dunia yang luas ini."

"Aku akan berobat kalau diperlukan."

"Esther." Margaret meragukannya.

"Aku janji!" Esther mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking wanita itu.

Esther sebenarnya tak punya banyak waktu. Berobat pun hanya akan menunda waktu kematiannya. Dibandingkan menghabiskan uang untuk berobat dan menjalani hidup yang begitu-begitu saja sampai entah kapan, Esther ingin sisa waktunya yang singkat terpakai untuk mencetak kenangan indah. Begitulah pikirnya.

***

Pekerjaan Esther berakhir setelah jam makan malam. Biasanya, jika hari sedang hangat, ia akan mampir ke taman untuk melihat bintang atau melempar-lempari batu ke danau. Ia sedih karena malam ini udara sedang sangat dingin dan ia masih punya banyak sisa waktu luang.

Setelah merapikan mainan anak-anak keluarga Kirschtein, Esther berpamitan kepada anak-anak itu dan bersiap pulang. Bukan cuma terpaan hawa dingin yang menyambutnya saat melangkah keluar dari rumah itu, melainkan juga wanita berkacamata bermantel abu-abu yang berdiri di trotoar.

"Esther?"

"Hanji, benar?" Esther tak menyembunyikan keheranannya.

***

Hanji mengantar Esther pulang dengan kereta kuda. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol sedikit tentang kondisi Esther. Hanji bertanya, apakah Esther sakit, karena gadis itu selalu kelihatan pucat dan agak terlalu kurus. Hanji sangat penasaran tentang gadis yang membuat temannya, Erwin Smith, bersikap agak aneh belakangan, tapi ia malah mendengar fakta yang mencengangkan. Kini, kereta kuda telah berhenti di depan rumah gadis itu, dan suasana di antara mereka benar-benar menjadi canggung dan hening.

"Maaf kalau membuatmu jadi tak nyaman, Esther. Bukan semestinya aku menanyakan sesuatu yang terlalu... personal." Hanji membungkuk penuh rasa bersalah sebelum turun dan membukakan pintu untuknya.

"Aku sama sekali tak merasa keberatan mengatakan kenyataannya, ini toh bukan rahasia. Semua orang akan tahu pada akhirnya." Esther terkekeh sambil beranjak turun dari kereta dan membungkuk hormat pada Hanji. "Terima kasih atas tumpangannya."

"Begini, Esther. Aku punya permohonan. Maukah kau berteman dengan Erwin?" Tukas Hanji sebelum Esther bergerak lagi.

"Berteman dengan..." Esther menatap rumah tetangganya itu. "Erwin Smith?"

"Aku mencemaskannya sepanjang waktu. Kau adalah gadis yang hangat dan ceria. Kau harus tahu, mungkin ini terdengar seperti mengada-ngada, tapi dia selalu bilang sudah bosan hidup dan kepingin mati."

Esther sudah tahu tentang itu sejak perbincangan antara dirinya dan lelaki yang dimaksud itu, terakhir mereka bertemu.

"Dia kesepian." Hanji melanjutkan saat tak mendengar jawaban dari Esther. Matanya sedih. "Dan aku tak pernah berhasil menolongnya. Tak seorang pun bisa membuat seorang Erwin Smith terbuka. Tapi setelah melihatmu kemarin, kurasa mungkin masih ada harapan. Mungkin kau bisa menolongnya, Esther."

Esther tersenyum dan meraih tangan Hanji. Menepuk-nepuknya lembut. "Kau peduli sekali ya, padanya?"

Hanji hanya menghela napas panjang. Lalu dengan wajah penuh harap, ia menatap Esther. "Jadi, maukah kau mencoba berteman dengannya, Esther?"

***

Maukah aku berteman dengannya?

Masalah sebenarnya adalah, maukah lelaki itu menjadi temannya? Jika ia sudah pernah menolak seluruh dunia untuk menjadi temannya, mana mungkin ia mau berteman dengan seorang tetangga cerewet dan suka ikut campur sepertinya.

Apalagi, lelaki itu kelihatan lebih tua dari Esther. Umur Esther dua puluh lima tahun. Berapa umur lelaki itu? Pertengahan tiga puluh? Akhir tiga puluhan? Kalau begitu, paling-paling ia hanya akan menganggap Esther anak bawang.

***

"Kau sudah bertemu lagi dengan Esther?"

Erwin menghentikan pekerjaannya dan mengernyit. "Kenapa menanyakan dia?"

"Cuma bertanya." Hanji mengedikkan bahu dan menarik kursi ke seberang meja kerjanya. "Gadis yang baik dia itu. Bagaimana menurutmu?"

"Memangnya pendapatku penting?" Erwin menggumam tak acuh. "Kami tidak cukup dekat untuk saling mengomentari."

"Menurutku itu penting." Tukas Hanji. "Kapan terakhir kali kau benar-benar bergaul dengan orang lain di luar urusan pekerjaan? Kau harus melanjutkan hidupmu. Bergaul, berkencan, seperti pemuda-pemuda yang lain. Dia gadis yang ceria dan ramah. Tak sulit mendekatinya."

"Apa maksudmu? Kalau kau berpikir untuk menjodoh-jodohkan aku dengan dia--"

"Bukan itu maksudku. Aku cuma berharap kalian bisa berteman." Potong perempuan itu.

"Aku tak tahu kenapa kau senang sekali berdebat, Hanji." Erwin menghela napas frustasi dan beranjak menuju pintu, keluar dari ruangan kerjanya.

"Sampai kapan kau akan menghukum diri sendiri begitu?" Tanya Hange dengan nada kasar.

Di ambang pintu, sejenak Erwin mematung. Lalu, perlahan ia melangkah meninggalkan ruangan kerjanya tanpa menoleh sedikitpun.

***

Erwin menyusuri jalan berbatu dan tiba di jembatan tempat Esther menemukannya nyaris melompat. Ia mencondongkan tubuhnya melalui pagar jembatan, menatap permukaan air yang gelap di bawah sana.

Seperti apa rasanya jatuh ke sana, lalu tenggelam untuk selama-lamanya? Apakah itu mampu membuatnya melupakan kesalahannya? Apakah kelak ia akan merasa puas di alam kematiannya?

Ia menjauh dari tepi jembatan, melanjutkan langkahnya. Ia berhenti ketika di depannya tampak rumah bercat muda itu-- Rumah Esther. Kakinya, entah bagaimana telah membawanya ke gadis itu. Lagi.

"Pemilik rumah itu sedang pergi ke rumah sakit." Seorang pemuda berambut gelap menyapa dari teras rumah Margaret, ia membawa sebuntal tas besar yang tampak penuh.

"Apa yang terjadi?" Erwin terkejut.

"Nenekku masuk rumah sakit. Esther sedang membawanya ke sana."

***

Dokter mengatakan Margaret Katz mengalami serangan jantung. Kondisinya menjadi lemah sejak siang tadi dan sekarang tim dokter sedang berusaha menyelamatkannya.

Rasanya seperti sudah berabad-abad lamanya Esther menunggu dengan gelisah. Ia sangat ingin tahu apa yang sedang dilakukan tim medis di dalam sana, mondar-mandir di depan pintu ruang tempat Margaret sedang ditangani.

Tadi, setelah turun dari kereta kuda dan melihat Hanji menghilang dari lingkungan perumahannya, Esther berpapasan dengan Joseph, cucu Margaret, yang tengah berjalan menuju kediaman neneknya itu. Lelaki itu baru saja menyelesaikan kuliah politik selama empat tahun di pusat Sina, bersiap untuk bekerja sebagai perwakilan Paradis di luar negeri kelak. Setelah mengobrol panjang, Esther mengantar Joseph pulang ke rumah Margaret, juga untuk menjenguk wanita paruh baya itu, tetapi malah menemukannya tergeletak di dapur dengan sepanci semur hangus di atas kompor yang menyala. Sepertinya, Margaret sedang memasak saat serangan jantung itu terjadi.

Kenapa mereka begitu lama? Seharusnya mereka sudah berhasil menyelamatkan Margaret Sekarang-- tiba-tiba serangan rasa nyeri di kepalanya membuat Esther nyaris jatuh.

Esther duduk di kursi tunggu dengan penuh gelisah, berusaha menghiraukan rasa nyeri singkat itu. Ketika pintu terbuka, seorang dokter keluar dengan jubah medisnya, matanya mencari-cari di antara kursi tunggu dan menemukan Esther.

"Anda keluarga Margaret Katz?"

Esther buru-buru berdiri. "Saya ... Eh, ya. Saya kerabatnya."

Dokter mengangguk. "Margaret sudah siuman, anda sudah boleh melihatnya sekarang."

Gadis itu segera berterima kasih dan menghambur masuk dengan gembira ke dalam kamar rawat Margaret. Wanita itu duduk di ranjang dengan mata terbelalak senang.

"Oh, sayangku, aku takut sekali tidak bisa melihatmu untuk yang terakhir kali." Margaret menarik Esther dengan paksa ke dalam pelukannya. "Kupikir aku akan mati saat itu juga-"

"Jangan bicara seperti itu." Potong Esther, gusar, dan nadanya cemas. Dengan suara gemetar, ia melanjutkan, "Kumohon jangan pernah bicara seperti itu, Margaret."

"Baiklah, baiklah," Margaret terkekeh dan menyapu lembut pipi gadis itu. "Bagaimana keadaanmu, Esther sayang? Pasti melelahkan bekerja sampai malam begitu."

Mata peraknya itu memeriksa Esther dari atas ke bawah. Ia mencemaskan gadis itu, tak menyadari betapa mengkhawatirkannya kondisi dirinya sendiri saat ini. Meski dokter sudah menyatakan kalau keadaan Margaret sudah stabil, kondisinya bisa dibilang tidak cukup baik.

"Aku baik-baik saja, Margaret. Tolong jangan cemaskan aku." Balas Esther dengan penuh perhatian, menarik diri dari pelukan wanita itu. Esther pun duduk di tepi ranjangnya, menggenggami tangan ramping yang lemah itu.

Lalu, mereka melihat Joseph berdiri di ambang pintu-- lebih jangkung, lebih tegap, dan dengan aura yang berbeda dari sosok pemuda pendiam yang mereka kenal empat tahun lalu. Dulu, Joseph hanyalah lelaki yang lebih suka menghabiskan waktu tenggelam dalam buku-bukunya, diam di pojok ruangan dengan sedikit bicara. Tapi yang muncul dari pintu sekarang adalah lelaki yang tampak dewasa, penuh percaya diri, dan membawa aura wibawa yang memancar tanpa usaha.

Margaret menatapnya, nyaris pangling. Matanya menelusuri wajah cucunya, yang tampak lebih keras, dengan garis-garis wajah yang lebih tegas dari waktu yang pernah ia kenal. Namun, sorot mata lembut itu masih sama-- mata cucu yang dulu ia kenal begitu akrab di ingatan.

"Joseph, sayang," suara Margaret serak, penuh emosi yang tertahan.

Joseph tersenyum, langkahnya tenang saat mendekati ranjang. "Nenek," ucapnya dengan nada rendah dan hangat, berbeda dari dulu-- lebih mantap, lebih pasti. "Aku pulang."

Di sela pintu yang setengah terbuka, Erwin berdiri menunggunya, bersandar pada tembok lorong, matanya terpaku pada Esther yang sekarang ini juga sedang terkunci di wajahnya.

Ketika Joseph sedang memeluk Margaret, wanita itu memberi isyarat kepada Esther melalui mulutnya yang komat-kamit supaya gadis itu pulang saja bersama Erwin dan beristirahat, cemas melihat wajah Esther yang sudah sepucat hantu itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top