Delapan

Di sisi lain, setelah Esther pulang sore itu, Erwin memutuskan untuk berjalan-jalan mencari udara segar. Kaki jenjangnya tanpa sadar membawanya ke tanggul tempat dirinya dan Esther sempat duduk bersama kemarin. Di balik tanggul, sungai mengalir deras, airnya tampak dingin dan tenang.

Menikmati pemandangan yang ditangkap matanya itu, Erwin duduk di posisi yang persis kemarin, namun kali ini suasananya berbeda. Lelaki itu merasa seperti masih berada di hari kemarin, tetapi tak ada Esther di sisinya, tak ada gadis yang telentang bebas di sampingnya menatap langit dengan senyum samar di bibir. Yang tersisa hanyalah kehampaan yang menusuk.

Benaknya merenung. Tentang Esther, sentuhan lembut di tangan lembutnya dan jantungnya yang berdebar kencang saat momen itu terjadi. Ia bertanya-tanya apakah mungkin dirinya telah jatuh cinta? Perasaan itu membuatnya cemas, terutama karena Erwin merasa mulai terlibat terlalu jauh dalam urusan pribadi orang lain. Ia menolak untuk menerima perasaan baru ini, merasa bingung dan tidak nyaman dengan kenyataan bahwa emosinya mungkin telah melampaui batas yang seharusnya.

Erwin juga memikirkan rapat kemarin malam, di mana ia diminta untuk mengisi perkuliahan jurusan Sejarah di Jerman selama beberapa bulan.

Kalau menerima tawaran itu, apakah Esther akan mau ikut? Mengingat gadis itu selalu menginginkan kesempatan untuk keliling dunia, Jerman mungkin bisa menjadi awal yang baik--

Esther harus menjalani pengobatan terlebih dahulu, dan sekali lagi, Erwin merasa seperti mencampuri urusan orang lain. Perasaannya semakin rumit ketika ia mempertimbangkan kemungkinan Esther ikut dengannya, meskipun ia sendiri merasa tidak seharusnya terlibat lebih jauh dalam urusan pribadi gadis itu.

"Erwin Smith, kan?" Panggil seseorang, menariknya dari perenungan tersebut.

Ketika Erwin menoleh, ia mendapati Marie Dok. Wanita yang pernah ia cinta di masa lalu, cinta pertamanya, sebelum akhirnya wanita itu menikah dengan sahabatnya, Nile Dok. Marie tampak jauh lebih dewasa sekarang; pakaiannya yang tertutup menambah kesan matang pada sosoknya, dan wajahnya tampak lelah. Kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan, seakan menambah beban yang dia bawa.

"Marie," Sahut Erwin dengan nada ramah, juga kedataran yang sama. "Apa kabar?"

"Ya ampun, ternyata itu sungguhan kau," Marie tercengir lebar saat Erwin menyahutinya. Marie pun menggeletakkan barangnya di atas tanggul untuk memeluk lelaki itu, tetapi Erwin dengan canggung menarik diri. Raut kecewa tergambar jelas di wajah wanita itu, juga dengan segaris bertanya-tanya.

"Maaf." Selak Erwin, berdeham.

"Kabarku baik." Marie beralih dan ikut duduk di sisi lelaki itu. "Kau sendiri bagaimana, Erwin?"

"Cukup baik."

Marie memandangnya selama beberapa waktu, mempelajari setiap detail wajahnya, mencari-cari perbedaan dari Erwin yang ia ingat dari terakhir kali.

"Tak banyak berubah, kau ini," Marie terkekeh mengagumi keawetannya. "Pasti sudah menikah, ya?"

Erwin tersedak dengan pertanyaan berani itu. "Kenapa tanya begitu?"

"Entahlah," Marie bergedik. "Kelihatannya seseorang merawatmu dengan baik."

Erwin terdiam, tak merespons perkataan Marie, dan hanya memandang kakinya sendiri sambil berpikir keras tentang apa yang harus dikatakan berikutnya semisal wanita ini mengajukan pertanyaan gamblang lagi.

Semisal ini adalah masa lalu, ketika Erwin masih sangat jatuh cinta kepadanya, mungkin inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Namun sekarang Erwin merasa tak nyaman berdekatan dengan Marie, meski dia sudah tidak lagi bersuami--

"Aku turut berduka," Erwin memulai. "Tentang suamimu, kau tahu,"

Marie merengut karena Erwin memilih untuk membahas itu, "Memangnya kau sendiri kenapa tak datang ke upacara pemakaman Nile?"

"Aku tak membenarkan sikapku, tetapi saat itu aku benar-benar sedang kacau."

Kepala wanita itu miring mengadah dengan raut heran. "Maksudmu?"

"Aku tak sanggup melihat wajah setiap orang yang dirugikan dalam perang itu, Marie."

"Bahkan istri dari sahabatmu sendiri?"

"Justru karena itu sahabatku sendiri."

"Bagaimana dengan aku?" Marie bertanya.

"Apa tentangmu?"

"Erwin," Marie memutar bola matanya. "Aku. Istri Nile, sahabatmu. Aku sama sekali tak ada hubungannya dengan perang itu. Aku cuma mengharapkan kau datang dan memberiku dukungan, setidaknya,"

Ternyata meski perawakan kini lebih dewasa, sifat Marie tetap sama. Erwin menyadari bahwa sifat manja itu yang dulu membuatnya jatuh hati pada Marie.

Mengingat sifat Marie yang tetap manja, entah bagaimana, Erwin tiba-tiba teringat pada Esther. Ia merasa bahwa sifat Marie yang dulu menarik perhatiannya kini membuatnya semakin merenungkan karakter Esther. Mungkin, ada sesuatu dalam diri Esther-- entah itu kelemahlembutan atau ketabahannya... sifat keras kepalanya.. kemandiriannya... keluguannya-- yang membuat Erwin merasa terhubung dan terus memikirkan gadis itu. Tak pernah sekalipun Erwin merasa sekacau ini, bahkan dengan Marie sekalipun.

"Kau melamun," Marie mengerucutkan bibirnya dan melambaikan tangan di hadapan wajah lekaki itu. "Memang sedang memikirkan apa, Erwin?"

"Bukan apa-apa." Sahutnya, dan dengan helaan napas, Erwin bangkit. "Ayo. Biar kuantar pulang."

***

"Jadi, seperti apa rupa istrimu, Erwin?"

"Aku belum menikah, Marie."

"Apa kau akan menikah?"

"Entahlah."

Erwin membawa kantong belanjaan Marie sambil mereka berjalan menuju rumah wanita itu. Selama perjalanan, Erwin tidak banyak bicara, tetapi mendengarkan dengan saksama semua cerita yang Marie bagikan tentang kehidupannya selama tiga tahun terakhir.

Sesampainya di pintu rumah Marie, Erwin meletakkan kantong belanjaan dan bersiap untuk beranjak pergi. Namun, tiba-tiba, tangan gemulai Marie menahannya. Marie menarik Erwin ke dalam pelukan yang mendalam dan tergesa, membuat Erwin terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Alih-alih, pelukan itu terasa sesak dan memaksa. Wanita itu sempat berbisik sesuatu di kuping Erwin, tetapi tak cukup terdengar.

"Marie," Erwin gusar, melepaskan diri darinya. "Tolong jangan seperti ini."

"Kita bisa mulai dari awal kalau kau mau," Tawar Marie, wajahnya terluka ketika Erwin menolak. "Dari awal, dan tak tergesa-gesa, begitu pun tak apa--"

"Tidak, Marie." Selak Erwin.

"Kenapa? Kau lajang, aku juga. Kita bisa coba--"

"Intinya bukan seperti itu." Erwin menggertak kali ini, tanpa rasa bersalah memotong perkataannya. "Kau tak bisa sembarangan memeluk pria yang baru kau temui di jalan setengah jam yang lalu, Marie."

"Tapi kita sudah lama saling kenal, kan?" Tuding Marie. "Semua orang tahu kau suka padaku."

Erwin terkejut dengan jawabannya, tak menduga Marie akan sefrontal itu. "Pernah."

"Jadi, sekarang tidak?"

Pertanyaan irasional itu membuat darah Erwin mulai mendidih, tetapi Erwin berusaha dengan sabar menelan kekesalannya dalam hati dan menggelengkan kepala.

"Kau sudah menikah, Marie--"

"Nile sudah meninggal, Erwin. Dia sudah pergi untuk selamanya. Kau masih tak paham itu?" Desak Marie dengan frustrasi. "Aku lajang, tidakkah kau paham itu?"

"Marie," Erwin menghela napas berat. "Aku memang pernah menyukaimu, tapi itu sudah lama sekali. Puluhan tahun yang lalu. Sekarang--"

Seketika, benaknya dipenuhi oleh bayangan Esther, membuat Erwin merasa terjepit oleh perasaan campur aduk. Berusaha menolak gangguan pikiran tersebut, Erwin menggelengkan kepalanya dengan keras, mencoba mengembalikan fokusnya dan menjernihkan pikiran dari kekacauan emosi yang melandanya itu.

"Sekarang?" Tanya Marie, mengulang kata terakhir Erwin sebelum terputus oleh lamunan singkat itu. "Kau melamun lagi."

"Sekarang keadaannya sudah berbeda."

"Walau cuma hubungan satu malam?" Tanya Marie, masih berusaha menggodanya. "Itu pun tak masalah."

"Terutama hubungan satu malam." Tegas Erwin. "Kau perempuan baik-baik, Marie. Aku menghormatimu sebagai perempuan, juga istri dari mendiang Nile. Kalau memang ditakdirkan untuk mencintai seseorang lagi, maka kelak kau akan menemukannya. Yang jelas, aku takkan bisa jadi orang itu untukmu."

"Tapi tolong beri aku alasan yang jelas, kenapa kau tidak mau coba untuk memulai dari awal lagi denganku?"

"Sudah, cukup," Erwin berdesis, benar-benar frustrasi oleh situasi ini.

"Tapi kenapa?"

"Aku sama sekali tak punya tujuan untuk memulai apa pun denganmu selain hubungan pertemanan. Bagiku masa lalu adalah masa lalu, Marie."

"Masa lalu memanglah masa lalu. Makanya karena itu semua sudah lewat," Marie tak gentar. "Kita bisa coba untuk membuatmu buka hati lagi secara perlahan, demi kebaikanmu di masa depan juga. Pasti tersirat juga di benakmu itu untuk membangun sebuah keluarga, kan?"

"Marie, " Erwin berdeham, ragu untuk mengatakannya. Namun saat senyuman Esther lagi-lagi menghantui benaknya, Erwin dengan tangguh mengangguk. "Aku menghargai tawaranmu, tapi aku benar-benar tak berniat untuk meyambungkan hal-hal di antara kita dengan masa depan. Kuharap kau mau mengerti. Aku memang pernah mencintaimu, tapi itu dulu sekali, Marie. Kehidupan terus berlanjut, dan kau selalu tahu bahwa aku akan terus maju dengan apa yang kuyakini terbaik untukku."

Dengan kata-kata itu, Erwin beranjak pergi menghilang dari daerah perumahan militer yang kaku itu, yang udaranya nyaris mencekik Erwin, seolah tiap hembusannya berusaha menyeret Erwin kembali ke penderitaan yang ia alami pasca perang dulu.

***

"Hah? Gila!" Hanji tertawa histeris.

Tadi, setelah meninggalkan rumah Marie, Erwin memutuskan untuk mampir ke rumah Hanji yang tak jauh dari sana. Begitu Erwin mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Marie dan apa yang terjadi setelahnya, Hanji terbahak-bahak, tampaknya sangat terhibur dengan cerita yang baru didengar. Gelak tawa Hanji memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang lebih ringan di tengah kekacauan yang dirasakan Erwin.

"Ya," Erwin mengangguk seraya menggosok pelipisnya. "Semuanya terjadi terlalu cepat."

"Kasihan wanita malang itu," Gumam Hanji, memandang ke luar jendela. "Kudengar anak-anaknya akan mulai sekolah tahun ini, sementara ia hanya bekerja sebagai pelayan. Marie pasti sangatlah kesepian dan butuh sosok yang bersedia menafkahinya seperti Nile dulu."

"Hidup akan berlanjut. Orang-orang datang dan pergi. Itu hal yang wajar. Dia akan belajar dari kehilangan."

"Tapi coba bayangkan saja, Marie sudah berhenti bekerja sejak menikah,"

"Itu bukan urusanku." Jawab Erwin. "Bukan pula urusanmu."

Hanji menghentikan tawanya begitu melihat raut tak tertarik di wajah Erwin. Seketika, Hanji tampak serius dan teringat sesuatu.

"Hey, Esther bagaimana kabarnya?"

Erwin memincingkan matanya, menatap Hanji dengan raut curiga. "Kenapa pula kau tiba-tiba menanyakan perempuan itu?"

"Penasaran." Hanji merengut. "Jadi? Apa kabarnya dia?"

"Kalian sudah berteman, kenapa tak coba pastikan sendiri?"

"Erwin! Kau ini, ya!"

***

Joseph tak tahu apa yang terjadi. Malam itu, ia sedang pulang ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa pakaian. Kepalanya masih dipenuhi dengan amarah dan rasa bersalah setelah perdebatannya dengan Esther. Namun, begitu ia kembali ke rumah sakit, suasana berubah drastis.

Di ambang pintu, ia melihat para perawat keluar dengan wajah muram. Jantung Joseph mendadak berdebar liar, perasaan aneh menyelubunginya. Dia bergegas masuk, berharap ini semua hanya kesalahpahaman.

Alih-alih, saat melihat ke dalam ruangan, kenyataan menghantamnya. Margaret sudah tiada. Semua yang ada di ruangan seakan membeku, dan suara bising di kepalanya berhenti. Dengan langkah tertatih, ia mendekati tubuh neneknya, tapi dia tahu-- sudah terlambat. Margaret meninggal dunia ketika ia tidak ada di sana.

"Kita takkan pernah tahu kapan kita akan berpisah dengannya." Kata-kata itu menggantung di benak Joseph.

***

Tubuh Esther terhuyung. Lututnya seperti tak lagi bertulang. Semacam rasa nyeri menyeruak entah dari mana, meluncur naik ke rongga dada, dan membuat napasnya sesak. Air mata Esther mulai merebak, turun membasahi wajah.

Esther terenyak. Menatap Joseph, berharap dirinya hanya salah dengar.

Margaret tak selamat? Meninggal? Itu tidak mungkin!

Wanita itu tidak mengatakan apa-apa pada Esther tentang pergi untuk selama-lamanya. Terakhir Margaret cuma menyuruhnya pulang dan istirahat. Besok pagi, karena kondisi Esther sudah mulai membaik, ia akan mampir ke rumah sakit dan membawakannya roti berry, lalu Margaret akan menyuruh Esther istirahat dari pekerjaannya dan menikmati masa muda, atau mungkin coba untuk meyakinkan lagi gadis itu supaya mulai menjalani pengobatan untuk menangani penyakitnya.

Margaret tak mungkin pergi tanpa berpamitan.

Joseph melihat wajah gadis itu lekat-lekat, berdiri jalar tepat di depannya. Wajah lelaki itu muram, rambut gelapnya berantakan, tubuhnya jangkung, dengan kedua tangan tersembunyi di saku jaketnya. Ketika Esther mulai terisak-isak, lelaki itu mengulurkan kedua lengannya.

Dari sisi seberang jalan, Erwin yang baru saja kembali dari rumah Hanji, melihat gadis itu tengah dipeluk oleh Joseph, yang seingat Erwin adalah cucu dari Margaret.

Tubuh Esther goyah dan gemetar, tampak sangat terpukul. Wajahnya basah oleh air mata, dan sedu sedan yang memilukan meluncur dari bibirnya.

"Esther, ada apa?" Tanya Erwin sambil melangkah ke arahnya.

Esther menarik diri dari pelukan Joseph dan berpaling ke Erwin yang kini berdiri gamang di sisinya.

"Dia meninggal, Erwin," Rintih Esther. "Margaret meninggal..."

"Apa?" Erwin terkejut.

Joseph yang merasa canggung karena kedatangan Erwin, berbalik dan berjalan pergi dari pintu rumah gadis itu tanpa kata-kata, kembali ke rumah Margaret untuk menyiapkan proses persemayaman.

Setelah Joseph menghilang, Esther masih menangis sedu. Hatinya masih tak bisa percaya bahwa wanita yang telah menjadi teman seumur hidupnya telah pergi untuk selama-lamanya. Tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa adanya tanda-tanda bahwa ia akan segera meninggalkannya. Margaret hanya.. pergi begitu saja.

Ia diterjang rasa bersalah karena tak pernah mau mendengarkan nasihatnya, dan beginilah jadinya. Esther benar-benar menyesal karena belum bisa mewujudkan mimpi yang ia janji-janjikan kepada Margaret. Juga karena memilih untuk acuh terhadap sarannya untuk menjaga kesehatannya.

Erwin, entah bagaimana, tahu-tahu saja sudah mengulurkan lengan dan memeluknya, seolah dengan cara itu, diizinkannya kesedihan gadis itu berpindah kepadanya.

"Erwin," Suaranya gemetar. "Margaret sudah pergi untuk selamanya."

"Aku tahu," Bisik Erwin yang merasa akrab dengan perasaan duka itu.

Esther melepaskan diri dari pelukan Erwin beberapa saat kemudian, lalu mendongak. Matanya yang berwarna hijau, tampak bengkak dan merah.

"Maaf," Ujar gadis itu, sambil buru-buru menghapus air matanya. "Biasanya aku tak secengeng ini."

Namun, air matanya terus saja mengalir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top