DWC - 2 - Surat Misterius
Angin dini hari merayap di antara jendela bercelah, membawa bisikan yang hanya dapat didengar oleh hati yang gelisah. Langit di ufuk timur masih berselimut kelam ketika suara ketukan terdengar di pintu rumah yang berkabut.
Pemuda yang kerap terjaga dalam kesunyian malam—berdiri dengan langkah ragu. Pintu kayu tua berderak pelan saat dibuka, menyingkap selembar kertas yang tergeletak di batas antara ruang tamu dan teras.
Dilongoknya pekarangan yang temaram ditemani lampu teras yang berkedip lelah. Tidak ada siapa-siapa. Alis pemuda itu berkerut dalam.
Tangannya meraih surat itu. Tak ada nama pengirim, tak ada alamat tujuan. Hanya satu kalimat, sederhana namun menusuk ke dalam relung pikirannya:
"Jangan pergi ke tempat itu."
Seketika, udara di sekelilingnya terasa lebih menyesakkan. Ia menatap sekeliling—tak ada siapa-siapa, hanya bayang-bayang pepohonan yang menari dalam cahaya bulan pucat.
Di dalam rumah mungil yang tak kalah remang, ia menatap surat itu lagi, mencoba menafsirkan maknanya. Namun, tak ada petunjuk. Ia mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah lelucon.
Namun, ketika dia terlelap, mimpi menyergapnya dalam rasa takut yang menggeregap.
Ia berada di sebuah jalanan sempit, kabut menyelimuti tanah basah di bawah kakinya. Suara gemerisik terdengar di balik bayangan, seolah ada sesuatu yang bergerak, tapi tak kasatmata. Pemuda itu mencoba berlari, tetapi tubuhnya terasa ditahan sesuatu yang tak terlihat, seakan waktu sendiri enggan membiarkannya pergi.
Ketika ia terbangun, keringat dingin membasahi tengkuk. Napasnya memburu.
Pagi pun tiba. Matahari menyingsing, menebarkan cahaya yang seharusnya menghangatkan hati. Namun, ia masih dibayangi firasat tak menyenangkan.
Pemuda itu berjalan keluar ingin mencari sarapan pagi. Di jalan, orang-orang yang biasanya tersenyum kini tampak berbeda. Tatapan mereka kosong, tubuh mereka memggelap seperti bayangan tanpa raga. Seolah menatap sesuatu yang jauh di luar jangkauan manusia.
Pemuda itu berusaha mencolek salah satu dari merela, tapi tangannya seolah menembus kabut hitam yang begitu dingin.
Surat semalam kembali terngiang.
Sebenarnya, apa maksud sudah itu? Ke tempat mana? Ia tak tahu.
Tiba-tiba, bayang-bayang tanpa raga berlarian ke arahnya, lalu menubruk tubuhnya dengan kecepatan luar biasa.
Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berdiri di depan sebuah jalan setapak yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Jalan itu menembus hutan, jalurnya dipayungi pepohonan raksasa yang daun-daunnya berbisik dalam bahasa yang tak dimengerti.
Seketika, ia tahu—tempat inilah yang dimaksud.
Ia bisa berbalik, bisa pulang, bisa berpura-pura tak pernah melihat jalan ini.
Tapi hatinya digerakkan oleh sesuatu yang lebih besar dari ketakutan.
Satu langkah.
Dedaunan kering merekah di bawah telapak sepatunya.
Dua langkah.
Angin seakan berhenti, sunyi menyelimuti.
Tiga langkah.
Bayangan di antara pepohonan bergerak, berkelindan, mengintip dari celah-celah batang pohon.
Dan kemudian, sebuah suara memecah keheningan.
Bukan suara manusia, bukan suara binatang. Itu suara yang telah berbisik di mimpinya.
"Kenapa kau datang?"
Jantungnya berdentum.
"Kau seharusnya tidak di sini."
Ia ingin berbalik, ingin lari. Namun, tubuhnya terpaku.
Di hadapannya, sesuatu muncul dari kabut.
Ia tak dapat menggambarkannya—sosok itu bukan manusia, bukan makhluk yang pernah dikenalnya. Wujudnya seperti bayangan yang dipadatkan, wajahnya tak berbentuk, tapi ia merasakan tatapan yang menembus ke dalam jiwanya.
Dan dalam sekejap, ia memahami segalanya.
Surat itu bukan peringatan, bukan ancaman, melainkan panggilan.
Ia memang tidak seharusnya datang.
Namun, mungkin ... ia sudah terlambat untuk kembali.
Di kejauhan, lonceng berdentang, mengiringi siang segelap malam yang jatuh dalam sunyi.
2 Feb 25
Sungguh nggak paham 🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top