Bertemu Sam



Aku memandangi gerbang yang tinggi menjulang di depanku dan menelan ludah. Gerbang itu tampak kokoh dan sejujurnya, agak mengintimidasi.

Sebuah plang kecil dipasang di tengah pagar, bertuliskan: "Tekan Bel Untuk Bantuan," dan sebuah anak panah. Kutelusuri arah ke mana panah itu menunjuk dan menemukan si bel yang letaknya agak tersembunyi. Kutekan bel itu.

"Selamat siang, mau bertemu dengan siapa?"

Sebuah suara lantang menyambut panggilan bel itu, muncul dari pengeras suara kecil di bawahnya. Aku mendekat dan menjawab, "Selamat siang. Saya mau bertemu dengan Sam Sanjaya."

"Siapa nama bapak?" balas si suara tanpa tubuh itu.

Bapak... pikirku geli. Rasanya usia dua puluh enam masih terlalu muda untuk dipanggil 'bapak'. "Saya Jo, temannya Samantha." Rasanya dulu tak perlu serepot ini. "Apa Samnya ada?"

Diam sejenak. Lalu... "Apa bapak sudah buat janji?"

Janji? Seketika aku ragu. "Belum. Tapi ini urusan penting sekali, pak."

Sebuah celah membuka di sebelah bel. Seorang pria dalam setelah petugas keamanan menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Urusan apa ya, pak?"

Aku menarik napas. Kok jadi ribet begini... Mungkin seharusnya aku menelepon Samantha terlebih dulu dan memberitahunya soal kedatanganku. Kalau begini ceritanya, mau bagaimana lagi. Aku terpaksa berdusta. "Saya mau, umm... memperlihatkan desain kafe yang dipesan oleh Samantha..."

Si petugas keamanan mengangguk pelan, jelas sekali ragu. Lalu dia berkata dengan gaya memutuskan. "Bapak tunggu di sini sebentar. Saya akan menanyakan ke dalam."


...


"Saaaaaaam, ada Jo niiiih!"

Aku melepas sepatuku yang agak becek karena hujan dan melengos ke ruang keluarga. Rumah Sam selalu hangat di musim hujan, seolah ada perapian tersembunyi di tembok-temboknya. Terdengar derap langkah kaki lincah menuruni tangga, lalu sebuah wajah bulat dibingkai rambut cokelat gelap muncul.

Si pemilik wajah tersenyum. "Hai, Jo!"

Getaran aneh merambat di dadaku ketika suaranya sampai ke telingaku. "Hai, Sam!"

"Ada PR ya?" kata Sam, menghampiriku sambil melompat-lompat. Dia masih mengenakan piyamanya dan rambutnya berantakan belum disisir.

"Jonya disuruh duduk dulu dong, nak..." tegur Tante Lily, ibunda Sam. Dia tersenyum malu. "Jo, udah makan siang? Mau bakpau?"

"Udah, tante. Terima kasih, nggak perlu repot-repot."

"Ah yang benar kamu. Ini kan baru pulang sekolah. Sebentar tante siapkan, ya..."

Aku nyengir. Sam mengajakku untuk duduk di sofa. "Kamu kenapa nggak masuk?" tanyaku.

"Panas," jawab Sam riang. Dia tak kelihatan seperti sedang demam.

"Oooo...." sahutku. "Kok bisa?"

"Gara-gara kita main hujan kemarin!" Sam cengengesan. "Tapi seru banget kan, Jo? Si Bobby kecebur di got!" Kami tertawa bersama mengingat kejadian kemarin. Seragamku sampai basah kuyup dan Mama mengomeliku habis-habisan. Lalu Sam terhenti. Dia menyentuh lenganku. "Tapi kok kamu nggak sakit, Jo?"

Aku membusungkan dada dengan bangga. "Iya dong. Kan anak laki-laki!"

Kami tertawa lagi. Sam mendorongku kuat-kuat sampai kacamataku miring, nyaris jatuh. Aku mengeluarkan catatanku dan memberitahu Sam kalau tadi kami belajar soal pecahan campuran. Dia mengamati catatanku dengan saksama, dahinya berkerut bingung. Akhirnya kutunjukkan padanya cara menyelesaikan soal-soal latihan dan PR hari itu.

Sam lari ke atas, katanya mau mengambil buku soal. Ketika dia kembali, bukannya buku soal yang dibawanya, tetapi setumpuk kertas HVS dan dua batang pensil.

"Kita gambar yuk!" katanya menggoda, menyodorkan benda-benda itu di depan hidungku. "Bikin PR-nya nanti aja!"

Lima menit kemudian, Tante Lily kembali ke ruang depan, membawa tiga buah bakpau putih yang masih berasap. Dia memekik terkejut. "Ya ampun kalian berdua! Bukannya belajar malah gambar!"

Jelas saja Tante Lily kaget begitu. Di segala penjuru ruang depan bertebaran kertas-kertas berisi gambar-gambar hasil karya kami. Buku soal sudah tak tampak, tergeletak terlupakan entah di mana.


...


Seperti apa dia sekarang?

Aku menelusuri foto-foto Sam di halaman Facebook pribadinya lewat ponsel. Enam tahun tidak bertemu, aku mencoba membayangkan seperti apa wajahnya. Ada banyak foto di situ. Sam berpose di studio foto bersama keluarganya. Sam liburan bersama ayahnya ke Prancis selulus SMA. Dia memberiku oleh-oleh miniatur Menara Eiffel yang masih kusimpan di rak buku di kamarku. Lalu ada foto-foto Sam bersama teman-teman kuliahnya di Singapura. Kami berencana kuliah sama-sama di Singapura – tapi aku gagal mendapat beasiswa dan akhirnya hanya kuliah di Jakarta.

Tampaknya Sam masih seperti sosok sahabat yang kukenal. Tak banyak yang berubah dari dirinya, selain fisiknya.

Iseng, aku mengecek bagian status hubungannya. Tidak ada info apa-apa. Sam pernah berpacaran beberapa kali, tapi dia tidak pernah membahas masalah itu denganku. Setelah insiden puisi zaman SMA waktu itu, aku bertekad untuk tidak pernah mengutarakan perasaanku pada Sam. Aku tahu kalau Sam tahu soal perasaanku. Maksudku, kami sudah saling kenal satu sama lain. Bukan hanya sekedar saling kenal, bisa dibilang kami tumbuh besar bersama. Seringkali Sam sudah tahu apa yang ingin kuungkapkan tanpa perlu kuberitahu.

Tapi hari ini berbeda. Perlu bertahun-tahun bagiku mengumpulkan keberanian dan kurasa sekarang saatnya.

Sambil menebak-nebak, aku mengamati ruang keluarga rumah Sam saat ini. Ruang keluarganya betul-betul berbeda dengan yang dahulu. Sekarang rumah Sam besar dan megah. Lantainya terbuat dari marmer dan banyak porselen mewah di sana.

Aku tersenyum memikirkan kemewahan yang akhirnya bisa dinikmati Sam.

Terdengar suara langkah-langkah kaki. Otomatis aku berdiri. Pintu menjeblak terbuka dan sekelompok orang-orang berseragam PNS melangkah masuk. Seorang pria berkemeja putih dengan lencana di dadanya memimpin. Dia sibuk mendengarkan para pengikutnya itu.

"Selamat siang, om."

Si pria berlencana terhenti. Dia menatapku lambat-lambat, dahinya berkerut. Persis seperti Sam jika dia sedang berpikir.

Aku memutuskan membantunya. "Ini Jo, om. Temannya Sam."

Semburat pemahaman muncul di wajah pria itu seperti matahari terbit. "Ya ampun Jo!" Dia menyambut uluran tanganku, mengguncangnya erat-erat sambil tertawa. "Sudah lama sekali ya! Ada berapa tahun kamu nggak pernah mampir ke sini? Empat? Lima?"

"Enam tahun, om. Sehat terus nih om?"

"Enam tahun? Bukan main!" Om Sanjaya menggeleng-geleng tak percaya. "Om baik. Kamu bagaimana? Udah selesai kuliah kamu?"

"Udah om. Aku udah kerja di Jakarta juga. Tante gimana kabarnya?"

"Sudah bisa marah-marah lagi," jawab Om Sanjaya sambil meremas tanganku erat. Tawanya menggelegar makin keras. "Orangtua kamu bagaimana? Papa udah pulih?"

"Papa... baik-baik saja."

"Wah, syukurlah. Kapan kamu kembali dari Jakarta?"

"Kemarin, om."

"Pak Gubernur," salah satu staf di rombongan itu menyela hati-hati. Tampangnya serius. "Para tamu sudah berkumpul. Sebaiknya kita bergegas supaya tidak terlambat."

Gubernur mengangguk sambil lalu. Dia merangkul bahuku dengan akrab lalu meminta maaf. "Om harus menghadiri rapat. Maaf ya, Jo. Sehabis rapat kita ngobrol lagi. Tunggu saja di sini, oke?"


...


"CIEEEEE... JOJO NAKSIR SAMANTHAAA!"

Teriakan itu cukup untuk menghebohkan enam kelas di sepanjang koridor lantai dua SMA kami. Napasku mulai ngos-ngosan akibat berlari mengejar Ray yang membawa berita itu bersama mulut besarnya yang berisik kepada siapapun yang tertarik soal gosip percintaan terkini di sekolah. Sialan! Seharusnya aku membuang saja puisi itu. Jadi runyam kan akibatnya...

Di ujung koridor, aku kehilangan Ray. Dia tak tampak di manapun.

Brengsek, makiku kesal. Puisi itu...

Aku memutar arah dan berlari menuruni tangga menuju kantin tempat majalah dinding berada. Sesampainya di kantin, aku mencelos. Ada kerumunan anak-anak yang sedang berdesak-desakkan di depan mading. Hatiku ngilu melihatnya. Ray berdiri di atas bangku kayu, mengumumkan temuan terbarunya mengenai siapa gadis idaman yang kusanjung dalam puisi itu. Kerumunan itu bertepuk tangan dan berteriak bergairah.

"RAY, STOP!" teriakku keras-keras. Kerumunan itu menoleh melihatku dan teriakan 'Cieee... cieeee' bergema semakin lantang.

Tamat deh.

Ray berseru-seru seperti orang gila, mengutip persis sajak-sajakku kata per kata.

"Jari-jarimu lentik seperti pemain harpa..."

"CIEEEE.... CIEEEEE..."

"Kulitmu halus seperti guci Cina..."

"CIEEEE.... CIEEEEE..."

"RAY!" Aku berteriak memohon, berusaha mengatasi kegaduhan tak terkendali itu. Wajahku terasa panas sekali seperti terbakar. "STOP! ITU BOHONG!"

Ray tidak berhenti. Rasanya dia malah tak mendengarku. Dia jadi tambah semangat disoraki seperti itu.

"Minggir! Minggir! Stooooop!"

Susah payah aku menyeruak di tengah-tengah kerumunan itu untuk mencapai mading. Aku harus merobek puisi itu dari sana. Anehnya, mereka malah menepi dan mendorongku dengan keras ke arah mading. Aku menabrak seseorang yang sedang berdiri tepat di depan mading.

Keringat dingin membanjir di tengkukku melihat siapa yang kutabrak.

Sam berdiri di sana, matanya terpaku membaca puisiku. 

Aku mati rasa.

"CIEEEE.... CIEEEEE... Suit, suiiiit! JOJO NAKSIR SAM!"

Perlahan-lahan Samantha berbalik. Teriakan dan sorak-sorai kian menggila. Sam menatapku lurus-lurus, matanya melebar, ekspresinya sulit ditebak.

Tiba-tiba dia berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. 

Aku ingin menghilang dari sini sekarang juga.


...


"Hei!"

Aku berbalik. Samantha berdiri di belakangku. Dia memakai dress warna biru laut yang berbahan ringan, membuatnya terlihat seperti peri. Rambutnya masih sama cokelatnya, dikuncir kuda dan kini lebih berkilau. Dia tersenyum lebar.

"Surprise!" pekiknya. Dia membuka kedua tangannya lebar-lebar lalu tanpa tanggung-tanggung langsung menghambur kearahku, memelukku.

"Surprise!" balasku. Padahal aku yang surprised dengan kemunculan mendadaknya itu.

Dia tertawa, keras dan polos, sambal mengetatkan pelukannya padaku. "Ya ampun, Joooo..." Napasnya yang hangat menyapu tengkukku, rambutnya yang wangi membelai wajahku. Kami berputar-putar sebentar. "Udah lamaaaaa bangeeeeeeet!"

"Enam tahun, Sam," bisikku di telinganya.

"Enam tahun!" ulang Sam. Dia melepas pelukannya, dan mendaratkan sebuah kecupan di pipiku. Aku jadi gemetar.  "Akhirnya kamu pulang juga! Aku pikir kamu nggak akan pernah balik ke sini lagi!"

"I miss you, Sam."

"I know."

"Masih pake Pantene."

"Masih inget aja," Sam terbahak dan sengaja menyibakkan rambutnya ke arahku untuk kuendus. Rupanya Sam memang tidak mengganti merek samponya selama tujuh belas tahun. "Kita ngobrol di taman aja, ya?"

Sam mengaitkan lengannya di lenganku lalu mengapitku ke bagian belakang rumah. Kami tiba di sebuah gazebo dekat taman yang dipenuhi bantal-bantal besar.

"Rumah kamu sekarang gede banget Sam..."

"Rumah ini bukan punya Papa, Jo..." koreksi Sam merendah. "Ini rumah dinas gubernur."

"Terus rumah yang lama gimana?"

"Lagi direnovasi."

Aku duduk di gazebo dan meraih sebuah bantal, memeluknya. Sam menatapku dan aku balas menatapnya. Senyuman Sam merekah semakin lebar seiring bertambah lamanya durasi saling pandang kami.

"Kenapa?"

Aku tertawa. Dia cantik sekali. "Nggak, hanya ngecek saja ini kamu atau bukan."

Kami tertawa lagi. Dia berhenti sebentar lalu memanggil salah seorang asisten rumah tangga untuk membawakan minuman. Dia tidak menanyakan aku mau minum apa, karena sudah tahu favoritku.

"Jadi ini kamu cuti atau gimana?"

"Iya. Cuma dua minggu."

"Gimana kerja di Jakarta? Enak nggak?"

Aku tahu tak ada gunanya berbohong di depan Sam, dia pasti bisa langsung mengetahui isi pikiranku. "Kotanya kurang asyik. Kerjaannya biasa aja."

"Kamu nggak coba melamar ke Disney?"

"Disney?" Aku terpana. "Kamu masih ingat, Sam?"

"Mana mungkin aku lupa!" kata Sam yakin. "Itu mimpi kita berdua kan, Jo? Kita mau jadi animator Disney. Aku masih nyimpan gambar-gambar kita waktu SD!"

"Aku juga!" Semuanya tersimpan rapi dalam sebuah map di rak bukuku. Sore-sore sehabis hujan yang penuh imajinasi. "Kamu sendiri gimana Sam? Kafenya lancar?"

"Lumayan," kata Sam, mendadak kelihatan sendu.

"Aku tadi lewat depan kafe kamu. Rame banget lho. Padahal baru jam empat sore. Biasanya kafe rame menjelang malam."

Sam hanya mengangguk kecil. "Kamu harus coba melamar ke Disney, Jo..." katanya tiba-tiba. "Aku yakin kamu bisa. Kamu harus pede. Demi mimpi kita berdua."

"Kenapa nggak kita kejar sama-sama, Sam? Kayak dulu lagi?"

"Aku... nggak bisa, Jo," jawab Sam lambat-lambat. "Aku harus di sini sekarang. Papa sekarang sibuk ke mana-mana, sementara Mama..." Dia tertunduk dan tersenyum pasrah.

"Mama kamu gimana?"

Sam terkekeh kecil. "Udah bisa marah-marah," jawabnya, mengulangi jawaban ayahnya. Dia balas menanyakan keadaan orang tuaku. Ayahku terserang stroke dua tahun lalu. Lucunya, sebulan kemudian ibu Sam juga. Bedanya, ayahku tidak bisa sembuh sepenuhnya sementara Tante Lily berhasil pulih setelah empat kali operasi di Singapura.

Aku terpaksa bercerita soal bagaimana ibuku harus menjual rumah untuk membiayai kuliah adikku setelah Papa terserang stroke. Kuceritakan juga tentang pekerjaanku di Jakarta dan keinginanku untuk mencari pengganti dengan gaji yang lebih baik. Wajah Sam tampak prihatin.

"Jo," dia menyentuh lenganku seperti yang biasa dia lakukan ketika kami masih kecil. "Kalau kamu perlu apa-apa..."

Aku tersenyum. "Makasih, Sam. Tapi nggak. Aku baik-baik aja."

Kami mengobrol lebih jauh, saling bertukar kabar. Meski komunikasi tidak terputus sewaktu kami terpisah, aku merasa lebih baik mendengar langsung cerita-cerita itu dari mulut Sam. Dia menceritakan soal rencana ayahnya untuk maju kembali dalam pilkada tahun depan. Dari kisah-kisahnya aku menyimpulkan bahwa Sam kini tak seriang dan sebebas dulu. Dia tak bisa seenaknya mengambil keputusan. Sekarang semuanya harus disetujui ayahnya karena jika Sam melakukan sesuatu, lawan-lawan politik ayahnya bisa memanfaatkan itu. Dia mengeluhkan repotnya segala aturan protokoler yang harus dilakukan jika bepergian bersama ayahnya. Dia benci aturan itu.

"Kamu ingat nggak," kata Sam lirih. "Waktu kecil kita main hujan sepulang sekolah? Dan aku selalu sakit setelah itu tapi kamu nggak pernah sakit. Atau waktu SMP, kita suka nongkrong di kios bakso sampai sore?"

"Nonton anime di rumah Bobby sambal makan martabak... Loncat pagar terus kabur ke mall kalau kelas kosong..." lanjutku. Sam tersenyum mendengarnya. Mana mungkin aku lupa. Aku menghabiskan bertahun-tahun bersama Sam dan tak ada secuilpun yang kulupakan. Kami melanjutkan berbagi momen-momen itu, tenggelam dalam memori masa lalu yang indah.

"Sekarang aku nggak bisa lagi kayak dulu," kata Sam lirih.

"Kenapa? Kamu masih kayak Sam yang aku kenal."

Mata Sam bergulir ke arah pigura besar di dinding ruang keluarga, tempat foto ayahnya terpasang. Om Sanjaya dalam setelan seragam dinas gubernurnya tampak sangat berkuasa. Aku bisa merasa Sam seolah mengerut ketakukan hanya dengan melihat foto ayahnya itu.

"Dengar, Sam. Aku akan tinggal di sini selama dua minggu. Aku bisa temenin kamu jalan-jalan kalau kamu mau."

"Aku nggak bisa janji soal itu, Jo," kata Sam ragu-ragu. "Sekarang keadaannya udah beda."

Kami terdiam sejenak. Aku mencoba memahami apa yang sudah terjadi. Sam benar. Situasinya sekarang berbeda. Meski semula ayah Sam hanya seorang pengusaha kuliner, berkat kegigihan dan kejujurannya, beliau berhasil menjadi politikus yang sangat sukses hanya dalam enam tahun. Lalu ketika mencalonkan diri sebagai gubernur tahun lalu, rakyat memilihnya. Dan inilah kehidupan yang sekarang harus Sam jalani sekarang.

"Tapi aku kangen kayak dulu lagi," kataku jujur.

"Apa itu alasan kamu mampir ke sini hari ini, Jo?"

Aku menarik napas. Aku ingin berteriak di depannya. Aku di sini karena aku kangen sama kamu Sam. Sudah bertahun-tahun sejak kita bersama. Aku mau kamu tahu soal itu. Perlu waktu lama bagiku buat menyadari bahwa aku bukan lagi menganggap kamu sekedar teman dekat semata. I want you to be my girlfriend.

"Ya."

Sam hanya diam saja. Dia meraih sebuah bantal dan memeluknya, seolah takut aku akan menyerangnya.

"Kamu mau gambar?" Kutawari dia. "Nih, aku bawa kertas..."

"Boleh, Jo..." Sam menyambut tawaran itu. "Kita bikin di meja ruang makan aja, ya. Kebetulan aku juga mau minta tolong sesuatu sama kamu."

"Tentu, Sam," jawabku. Menggambar selalu sukses membangkitkan semangat Sam. "Kamu mau minta tolong soal apa?"

"Aku mau minta tolong dibikinin desain undangan," katanya sambil tersenyum malu-malu.

"Wah," ujarku, teringat masa-masa kami menggambar bersama dulu. "Gimana kalau kita bikin sama-sama kayak dulu? Undangan buat siapa?"

Sam mendekat. Wangi rambutnya yang segar menyerbu hidungku. Dia menatapku, matanya yang cokelat terang melebar. Lalu dia berkata lambat-lambat.

"Jo, I'm getting married..."


TAMAT

(Berdasarkan kisah nyata)

"For Sam. I loved you for nineteen years, but you choose him over me. 

Now I hate you forever."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top