Don't Forget To Smile, Sera.
"Selamat pagi menjelang siang, Mr. Dadang." sapaan khas itu membuat pria yang disapa menghentikan aktivitasnya.
Pak Dadang yang tadinya asik mengelap mobil dengan ditemani lagu dangdut langsung mengecilkan volume speaker. Pria yang sudah bekerja di rumah bercat monokrom sejak lama itu mendapati mas majikan berjalan menuju pintu rumah.
"Eh, Mas Sindu sudah pulang," balasnya berlarian kecil mengejar mas majikan.
Sindu menghentikan langkahnya. Ia membalikan badan untuk berhadapan dengan pria yang ditugasinya menjadi supir sang putri.
"Iya udah nih, Pak," jawabnya seadanya.
"Sini saya bawain tasnya, Mas." Pak Dadang menawarkan diri.
Pria yang ditawari menggeleng sembari tersenyum. Ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu—waktu di mana Pak Dadang menawarkan diri untuk membawakan tas berisi perlengkapan mendaki milik Sindu.
Masih teringat jelas ekpresi pria seumuran ayah kandungnya itu. Ekspresi tak biasa terpampang jelas di wajah Pak Dadang. Sejak saat itu Sindu tidak pernah lagi menerima tawaran bantuan Pak Dadang.
"Nggak usah, Pak. Terimakasih," jawab Sindu ramah.
Pria itu tersenyum. "Kalau butuh bantuan jangan sungkan-sungkan, Mas."
Meskipun menjabat sebagai majikan di rumah sederhana berlantai dua tak membuat Sindu bertingkah semena-mena. Meskipun terkadang apa yang dilakukannya seharusnya menjadi tanggungjawab para pekerja rumah, tapi tetap saja selama bisa melakukannya sendiri Sindu tidak mau merepoti.
Kadang para asisten rumahnya bingung; apa tujuan Sindu memperkerjakan mereka. Karena di semua pekerjaan hampir Sindu sendiri yang melakukannya.
Bagi Sindu selama ada di rumah, selama bisa dikerjakan sendiri, ia tidak akan merepotkan oranglain. Bukannya apa-apa, tapi ini dilakukannya untuk mengisi 'waktu luang'. Selain itu Sindu juga ingin memaksimalkan apa yang dipunyai. Ia mau menjadi orangtua serba bisa untuk putri semata wayangnya—Seraphina.
Ngomong-ngomong soal gadis itu bagaimana kabarnya?
Dua minggu Sindu habiskan di luar kota. Menjadi guide dalam pendakian dua gunung yang ada di Jawa Timur membuatnya jarang memegang ponsel. Mau pegang ponsel pun percuma. Tidak ada sinyal.
Selama hampir dua minggu pula Sindu habiskan waktu tanpa Seraphina. Hal itu membuat kerinduan dalam hatinya menumpuk. Sekarang sesak ingin segera dikeluarkan dengan memeluk serta menciumi pipi anak gadisnya. Sayangnya Sindu harus menahannya hingga nanti sore. Ia harus menunggu Sera pulang sekolah.
"Hampir dua minggu ninggalin rumah apa yang terjadi pada Seraphina? Apa si nona berulah?" pertanyaan yang selalu terlontar setiap Sindu pulang ke rumah. Ia akan bertanya kepada para pekerja rumah tentang apa yang berhubungan dengan si cantik Seraphina.
Sindu selalu antusias. Ia senang mendengar cerita tentang Sera. Kadang kala Sindu sedih sih. Ia sedih karena melewatkan waktu yang seharusnya dilakukan bersama putrinya.
"Enggak ada, Mas. Non Sera baik-baik saja. Dia selalu manis," jawab Mbak Popon—salah satu asisten rumah tangga yang bertugas menemani dan membantu Sera.
Usia Popon dua puluh tahun. Ia adalah anak Pak Dadang dan Bu Minah. Bagi Sera, Mbak Popon sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Sera sering bercerita pada Popon. Meski tidak semua perasaanya ia ungkapkan pada wanita itu.
"Dia nggak manja kan? Nggak sesuka hati merintah kalian kan?"
"Non Sera sama seperti Mas Sindu. Anak cantik itu nggak pernah minta bantuan selama bisa mengatasinya sendiri." kali ini Bu Minah yang menjawab pertanyaan Sindu.
Sebenarnya bukan Sindu yang mengajarkan kemandirian itu. Melainkan... Ah! Apa benar kemandirian Sera turunan dari Ibu kandungnya?
"Kadang kami berpikir; apa gunanya kami bekerja di sini kalau Mas Sindu dan Non Sera tidak pernah merepotkan kami." itu bukan keluhan. Hanya saja luapan isi hati Bu Minah dan para pekerja lainnya.
"Ibu ngomong apasih? Di sini kalian kerja kok. Ibu ditugasin masak. Mbak Popon jagain Sera. Bapak anterin Sera. Itu udah bisa dikatakan sebagai pekerjaan kan?" tanya Sindu.
Ketiganya mengangguk. Yang dikatakan Sindu benar. Tetapi, kebenaran itu akan menjadi salah saat si tuan besar ada di rumah. Bukannya keluarga Pak Dadang tidak suka jika Sindu di rumah. Hanya saja saat di rumah majikannya itu akan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari menemani, mengantar, dan bahkan memasak untuk Sera.
Sekali lagi bukannya Pak Dadang sekeluarga tidak suka, hanya saja mereka digaji untuk mengerjakan sesuatu.
"Jangan merasa seperti itu lagi. Saya nggak suka," ucap Sindu. "Ini beneran Sera nggak berulah waktu saya tinggal kan?" sambungnya bertanya.
"Nggak, Mas."
"Eh, tapi tadi ada kejadian yang nggak biasa terjadi," ujar Pak Dadang berhasil membuat Sindu penasaran.
"Apa, Pak?" responnya ntusias.
"Tadi Non Sera terlambat bangun. Karena terburu-buru dia lupa kalau ini hari Jum'at. Kami bertiga sudah mencoba mengingatkan, tapi Non terlihat seperti mengejar waktu. Jadi, pas sampai di sekolah dia baru ingat kalau sekarang hari Jum'at." cerita Pak Dadang panjang lebar.
"Dia salah pake seragam?"
Pak Dadang mengangguk.
"Baru kali ini dia begitu," gumam Sindu heran. "Tapi biarkan. Biarkan sesekali dia merasakan hukuman di masa sekolah," tambahnya tersenyum.
Setelah obrolan itu para pekerja rumah dipersilahkan kembali melakoni pekerjaan masing-masing. Di ruang keluarga tinggalah Sindu sendiri. Untuk beberapa saat ia diam.
Tak bertahan lama karena Sindu memutuskan mengirim pesan pada beberapa manusia. Sebelum mengirim pesan Sindu lebih dulu melihat jam. Waktu menunjukan pukul sepuluh.
"Udah jam istirahat pertama," ucapnya membuka kolom obrolan grup.
Sindu Sindoro: im home, kiddos!
Satu detik pesan itu di sebarkan saat itu pula satu balasan masuk.
Milian: welcome hom, Dad!
Bukan Putri kandungnya yang mereply pesannya. Sindu sedikit kecewa mendapati kenyataan itu. Kekecewaanya semakin menjadi ketika ia mencari tahu siapa saja yang sudah membaca pesannya.
Nama Seraphina ada di deretan pembaca pertama, tapi kenapa dia tidak membalasnya?
Sindu memutuskan untuk menunggu balasan si putri. Namun kenyataan tak pernah seindah harapan. Sera tak kunjung me-reply chatnya. Bahkan hingga akhir. Hingga Mili berkata bahwa istirahat sudah berakhir.
Sindu berniat mengawali obrolan dengan Sera secara pribadi. Ia ingin bertanya pada Sera tidakkah ia merindukannya. Tetapi niatnya gagal ketika Sindu mendapati satu pesan masuk. .
My Btari: Nanti nggak usah tungguin Sera. Sepulang sekolah Sera nggak langsung balik karena mau jalan sama Brie.
Sindu berdecak. Jarinya ingin mengetikan sesuatu, tapi tidak jadi.
My Btari: Sera sudah janji sama Brie dan Sera nggak bisa batalin itu tiba-tiba.
"Ck!"
My Btari: so im sorry.
My Btari: nanti Sera berencana pulang malam. Jangan cariin atau kirimin Sera puluhan chat karena sebelumnya Sera sudah bilang.
My Btari: jam istirahat Sera udah berakhir. So goodbye and see you soon.
Sindu melempar ponselnya ke sofa. Sepertinya ia butuh keramas untuk menyegarkan pikirannya.
...
Sera melihatnya. Ia melihat Mika dan Mili memeluk Sindu dengan eratnya. Sera juga menyaksikan Ayahnya mengelus rambut Mili penuh kasih. Mereka terlihat seperti sepasang anak dan orangtua. Orang awam yang melihat juga akan berpikiran jika keduanya adalah gambaran anak dan ayah goals.
Padahal kenyataanya? Mili dan Sindu tidak ada hubungan darah!
"Sera!" panggilan itu membuayarkan fokus Sera.
"Iya?" jawab gadis itu menoleh.
"Lagi liatin apa?" Brie dengan semua keingintahuannya mencari tahu apa yang membuat Sera mengabaikan panggilannya. Fyi, gadis itu sudah memanggil Sera berkali-kali, tapi diabaikan. Karena tidak mendapat respon Brie memilih menghampiri Sera.
'Bukan apa-apa," jawab Sera menarik Brie menjauh.
Meskipun tak begitu jelas, tapi Brie tahu alasan dibalik tidak fokusnya Sera. Semua karena pria yang dikenal Brie sebagai ayah Sera. Sindu ada di depan sana dengan Mika—kakak kelasnya— juga Mili—teman sekelasnya di pelajaran Matematika dan Bahasa.
Brie sedikit banyak tahu tentang keluarga Sera. Ia sering main ke rumah temannya. Sering menemani Sera saat Sindu bekerja. Bahkan beberapa kali Brie menginap. Dan sekarang ia tahu mengapa Sera tiba-tiba mengajaknya ke mall.
"Mau nginep di rumah gue nggak? Ngedrakor sampai pagi?" ucap Brie menawari.
Meskipun sudah lama berteman dengan Brie, Sera tak pernah bermalam di rumah temannya. Bukan apa-apa, tapi ia tidak mau merepotkan keluarga Brie dengan kehadirannya. Ya, meskipun kedua orangtua Brie tak pernah merasa keberatan sama sekali. Sera tetap tidak mau.
"Enggak deh. Nanti pulang dari Mall gue ke rumah Oma aja," jawab Sera seadanya.
Brie tidak pernah memaksa. Ia membiarkan Sera melakukan apa yang disuka. Termasuk menginap di rumah Oma Vina. Sera selalu suka bermalam di rumah nenek kandung pihak ayah.
"Yaudah sekarang kita have fun! Gue temenin lo makan ramen sampai muntah. Minum Kokumi sampai kembung! Lets go!" ucap Brie menarik tangan Sera sampai ke depan sebuah mobil.
"Kita pergi cuma berdua kan?" tanya Sera begitu sampai di depan sebuah mobil yang diyakini akan menjadi tumpangan mereka.
Brie diam sejenak. Sebelum akhirnya keluarlah seseorang dari dalam mobil.
"Mari tuan putri. Saya akan mengantarkan tuan Putri sekalian hingga tempat tujuan."
Jadi, mereka akan pergi diantar Sadam?
...
"See you in monday, Babe! Happy weekend. Love you!" kalimat itu perlahan menghilang bersamaan dengan menghilangnya mobil berwarna putih dari pandangan Sera.
Ia baru saja diturunkan di depan gerbang rumah Vina—nama si Oma. Ya. Mereka baru saja pulang ngemall ketika waktu menujukan pukul setengah delapan malam.
Sera masuk ke dalam rumah orangtua Sindu ketika mobil yang ditumpangi temannya sudah menghilang dari penglihatannya. Gerbang rumah besar itu terbuka untuk menyambut kedatangan cucu perempuan satu-satunya.
Sera masuk ke dalam rumah Vina. Kehadirannya disambut oleh si pemilik rumah. Begitu Sera datang, Vina langsung berlari menghampiri cucu kesayangannya.
"Akhirnya cucu oma datang juga," ucapnya memeluk Sera.
Vina meminta Sera datang jauh-jauh hari. Wanita dewasa itu selalu meminta cucunya menginap dk rumahnya kalau Sindu bertugas ke luar kota. Namun, gadis itu selalu menolak dengan alasan tidak jelas.
Atas kalimat yang terlontar dari mulut Vina, Sera hanya menjawabnya dengan senyum seadanya. Ia sedikit merasa lelah. Beristirahat di kamar adalah keputusan yang akan diambilnya.
"Sera langsung naik ya, Oma? Capek. Mau istirahat," izin Sera begitu mereka sudah sampai di dalam.
"Makan dulu deh. Oma angetin makanannya ya?" tawar Vina.
Sera menggeleng. "Capek, Oma. Istirahat dulu ya? Sepuluh menit," jawabnya memasang wajah melas.
Vina berhasil diluluhkan oleh tampas melas sang cucu. Meskipun tak ingin kebersamaan mereka berakhir Vina terpaksa merelakan Sera. Lagipula masih banyak waktu.
"Yaudah. Istirahat dulu deh. Oma tunggu di bawah. Jangan kelamaan istirahatnya."
Sera mengangguk.
"Oh iya. Sera ke sini sama Ayah kan? Sekarang mana ayahnya?" pertanyaan Vina mengurungkan niat Sera meninggalkan ruangan ini.
"Enggak sama Ayah."
"Lho bukannya Ayah Sindu sudah pulang ya?"
"Udah."
"Terus sekarang di mana?" Vina berusaha mencari keberadaan Sindu.
Sera menggeleng. "Sera tadi abis jalan sama Brie. Ayah di rumah Bunda kayaknya. Nggak tahu juga sih."
Mendengar kata Bunda membuat Vina kesal. Bisa-bisanya Sindu lebih memprioritaskan anak oranglain daripada putrinya sendiri? Ck! Awas saja nanti kalau Sindu datang ke sini.
"Im okay, Oma. Tadi ayah rencana mau jemput Sera. Tapi berhubung Sera ada janji sama Brie jadi ya gitu," kata Sera mencoba memberi penjelasan pada Vina.
Sera selalu begitu. Ia tidak pernah mau melihat nenek dan ayahnya bertengkar. Lebih tepatnya Sera tidak tega jika melihat ayahnya dimarahi.
"Oke," kata Vina mengelus rambut Sera. "Sekarang Sera istirahat deh—" bla-bla-bla. Vina sedikit memberikan kalimat positif untuk Sera.
Setelah puas mendengar kalimat hiburan sang Oma akhirnya gadis itu memilih naik ke atas.
Begitu sampai di kamar Sera langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Maniknya menerawang ke langit-langit ruangan. Kalau sedang sendiri seperti ini Sera suka overthinking. Pikiran-pikiran negatif satu persatu berdatangan.
Sera beranjak. Ia merubah posisi jadi duduk. Daripada pikirannya merambah ke mana-mana lebih baik Sera bermain ponsel saja.
Ponsel pintarnya menyala. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari...
"Sadam?" kata Sera.
Ia langsung membuka dan membaca pesannya.
Sadam K: hai Sera. Ini line gue. Sadam.
Sadam K: btw lo udah buka ransel lo blm? Kalau belum buka deh. Di bagian depan. I have something for you.
Sera menarik ranselnya. Ia mengikuti intrupsi Sadam. Seketika itu maniknya mendapati beberapa akseroris rambut warna-warni .
Sadam K: tadi waktu lo sibuk sama Brie gue tawaf sendiri. Terus nggak sengaja lihat jepit-jepit itu di salah satu store. Karena lucu gue iseng beli deh.
Sadam K: Gue kebayang lo pake jepit itu. Pasti makin cantik.
Senyum Sera tersungging.
Seraphina: gue suka. Thanks.
Sadam K: senin pake ya. Gue mau lihat.
Seraphina: pasti :))
Sadam K: and one more. Gue nggak tahu apa yang terjadi sama lo atau apa yang menimpa lo hari ini. Tapi Sera kalau seorang Sadam boleh jujur dan meminta; lo lebih cantik kalau senyum.
Sadam K: so, please don't forget to smile, Sera. Karena kalau lo senyum orang-orang yang ada di sekitar lo akan ikutan adem. Seriusan.
"Gitu ya?"
Seraphina: oke i will try.
Sadam K: kalau gitu coba kirim pap lo lagi senyum dong. Gue mau mastiin apakah komposisi senyuman lo udah pas atau belum.
Apa katanya? Meminta foto Sera saat tersenyum? Ck, dasar modus!
Sera tahu kalau itu hanya akal-akalan kembaran Sabrina saja. Meskipun demikian Sera tetap melakukan apa yang diminta Sadam.
Seraphina: *send a picture*
Sadam K: before this I didn't believe. But after you sent the photo, I believe that angels really exist.
Sadam K: you are beautiful, Seraphina.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top