5. TERUNGKAP PERLAHAN

Bulan sudah mulai condong ke arah timur saat Tombak masuk ke dalam kamarnya di suatu malam itu. Pria itu melepas kaosnya, dan berencana merebahkan diri di atas ranjang sebelum kedua matanya menangkap eksistensi seorang perempuan yang terlebih dulu meringkuk tenang di atas sana. Di dalam remang kamar itu, Tombak memperhatikan setiap inci dari Aira tanpa sedikit pun tahu ia melakukan itu semua untuk apa.

***

Aira memandang ponsel berwarna putih di tangannya dengan tatapan kosong. Tombak sendiri yang memberikan ponsel itu untuknya tadi pagi seusai sarapan. Sesaat sebelum pria itu kembali pergi entah ke mana, pria itu membisikkan sesuatu yang mulai menjelma menjadi makanan sehari-hari untuk Aira.

"Gunakan hanya untuk menghubungi gue, dan keluarga gue yang ada di kota ini. Jangan ada kontak lain yang nggak gue kenal kalau nggak mau kenapa-kenapa."

Senyum getir Aira terukir. Bagaimana bisa ia berpikir mulai terbiasa menerima segala jenis ancaman Tombak. Bisa-bisa tak lama setelah ini ia mulai terbiasa melihat pistol dan darah.

Angin yang berhembus pelan di samping pintu masuk pasar itu membuat Aira kembali memperhatikan sekelilingnya. Hampir tiga jam perempuan yang memakai blouse putih dan rok berwarna peach itu berada di pasar ini, dan keberadaan seseorang yang ia cari tak juga membuatnya berhenti untuk menunggu. Aira sudah berkeliling pasar dua kali, lalu mengecek ke lapak penjual sayur langganan Laksmi lima kali. Tapi nihil. Sosok yang sempat ia harap bisa melepaskannya dari jerat neraka dunia ini nampaknya memang tak memiliki takdir untuk bertemu lagi dengannya. Menyeret langkahnya perlahan, Aira berjalan menuju gerbang pasar tersebut yang berada pas di pinggir jalan raya.

Ponsel Aira bergetar, nama Laksmi muncul di sana dan membuat Aira sedikit gelagapan. Perempuan itu berlari ke arah parkiran pasar, memilih tempat yang lebih sunyi untuk menjawab panggilan.

"Halo?"

"Assalamu'alaikum, Ndhuk."

Kedua mata Aira terpejam cepat menyadari kesalahannya berucap. "Wa'alaikumsalam, Bu."

"Dari mana kamu kok lama angkatnya? Ngos-ngosan lagi."

"Rara tadi di kamar mandi, Bu. Handphone Rara ada di halaman belakang."

“Ha? Kok bisa?”

Kedua mata Aira terpejam rapat. Gugup telah datang menerornya.

"Yo wes. Ini teman-teman arisan Ibu sudah datang semua, Ndhuk. Setengah jam lagi kamu berangkat ya? Biar Pak Umar Ibu suruh pulang jemput kamu."

"Nggak usah, Bu," sela Aira cepat. "Aira... biar naik ojek saja."

"Loh kenapa?"

Aira menggigit bibirnya. "Iya... itu... biar Rara paham daerah sini saja, Bu."

"Oh..."

Entahlah, tapi Aira sungguh ingin berdo'a kepada Tuhan agar Laksmi mempercayai perkataannya untuk saat ini.

"Ya sudah kalau begitu, Ndhuk. Jangan lupa sholat ashar dulu ya sebelum berangkat. Tanya aja nanti sama tetangga kalau ndak tahu di mana pangkalan ojek paling dekat."

"Iya, Bu."

"Coba suamimu nggak ke Banyuwangi gitu tak suruh anter dia. Udah nikah kok ya masih gila kerja, istrinya ditinggalin terus."

Bibir Aira menipis. Kalau ada anak Ibu tersayang itu, yang ada mungkin Aira sekarang berakhir di rumah sakit, Bu.

"Kamu hati-hati ya kalau berangkat, Ndhuk. Assalamu'alaikum."

"Iya, Bu. Wa'alaikumsalam."

Aira menutup wajahnya setelah menyimpan ponselnya. Cukup lama ia berdiri dengan posisi seperti itu. Jantungnya belum bisa tenang. Ia cukup takut jika Laksmi mempergoki keberadaannya di pasar ini. Harus jawab apa ia jika Laksmi tahu?

Mencari Rama, Bu.

Kepala Aira menggeleng. Bodoh bodoh bodoh. Menjawab seperti itu sama saja dengan bunuh diri. Tangan Aira bergerak menyisir rambutnya hingga ke belakang. Saat matanya terbuka, sosok laki-laki yang sudah membuatnya putus asa tengah berdiri seraya menahan senyumnya.

.

.

Aira berdehem pelan saat ia merasa dawet yang ia telan tidak segera masuk ke dalam kerongkongannya. Perempuan itu meletakkan gelasnya, menutup mata untuk sekedar menenangkan diri di dalam situasi yang tak nyaman baginya seperti ini.

"Pelan-pelan."

Kedua mata Aira terbuka, dan mendapati Rama yang masih menahan senyum di bibirnya.

"Kamu ngapain tadi?" Rama kembali bersuara.

"Jawab telepon."

"Ibu mertua kamu?"

Ekspresi wajah Aira berubah keruh. "Saya minta maaf atas perlakuan Ibu tempo hari. Ibu mengakui rasa bersalahnya."

Rama menggeleng pelan. "Sudahlah, saya nggak merasa Ibu mertua kamu salah. Wajar kok itu."

Senyum simpul Aira terukir.

"Kamu apa kabar, Ra?"

Entah apa itu, tapi Aira yakin ada sesuatu tengah menggeliat di dasar perutnya. "Baik. Kamu?"

Hanya balasan senyum simpul yang Rama sunggingkan. "Enam tahun nggak bertemu-"

"Hampir tujuh tahun lebih tepatnya, Rama," sela Aira lembut.

Rama terdiam sesaat memandangi Aira sebelum kembali tersenyum dan mengangguk. "Hampir tujuh tahun nggak bertemu, dengan lima tahun lost contact," ralat Rama. "Apa saja yang sudah saya lewatkan, Ra?"

Dada Aira mulai terasa sesak. "Banyak." Suara Aira pun mulai terdengar serak. "Terlalu panjang diceritakan satu per satu." Dan itu bukan sekarang, Rama... 

Kedua mata Rama mengunci Aira, mencari sesuatu yang bisa menjawab seluruh pertanyaannya dalam sekejap. "Apa saja itu?"

"Bar, teman-teman yang lain, Om Eko, bahkan aku dan kehidupanku.” Tolong bawa saya pergi sejauh mungkin, Rama. Bisa?

Rama memilih untuk menghela napas perlahan daripada bertanya lebih jauh. Pria itu memberi waktu Aira untuk sekedar mengatur napas dan suaranya agar kembali normal.

Beduk adzan terdengar nyaring di sekitar halaman pasar tersebut. Tak lama, suara muadzin mengalun merdu di sana. Aira menghela napas lamat-lamat, berusaha mengatur suaranya sebelum menoleh ke arah Rama.

"Saya harus segera pergi."

"Ke mana? Bisa saya antar?"

"Restoran…”

Rama mendekatkan kepalanya. “Ya? Restoran mana, Ra?”

Susah sekali Aira melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Restoran sepupu suami saya."

Kepala Rama mengangguk pelan. Kaku lebih tepatnya. "Jadi... bisa saya antar kamu?"

Aira tak segera menjawab, menimang apakah yang akan ia lakukan setelah ini tepat.

***

Tombak melayangkan tinju terakhirnya dengan kuat tepat di rahang kiri korbannya sebelum pria berbadan lebih kekar dan tambun dari Tombak itu ambruk tepat di bawah kakinya dengan bersimbah darah. Deru napas Tombak belum normal saat ia berjalan menjauh dari tubuh korbannya. Diraihnya sebuah kain bersih dari meja makan rumah mewah tersebut untuk mengelap darah di sekujur telapak tangan dan lengannya.

Ponsel hitam Tombak bergetar di saku celana pria itu. Setelah memastikan korbannya tak berdiri lagi, Tombak berjalan keluar rumah seraya menjawab panggilannya.

"Gimana? Aman?"

"Aman." Tombak menutup pintu city car berwarna silver yang ia gunakan untuk bekerja saat ini.

"Nggak lo habisin, kan?"

"Nggak. Gue lagi ngurangin tugas itu.."

"Good boy. Lagian utang dia belum lunas, dan komplotan dia udah diincar polisi. Berabe kalau lo lepas kontrol dan bunuh dia. Biar polisi aja yang urus."

Tombak menjalankan mobilnya keluar dari kawasan pemukiman elite itu.

"Habis ini kemana lo, Boy?"

"Pulang."

"Lagi? Kok tumben sering banget lo pulang akhir-akhir ini?"

Tak ada jawaban dari Tombak.

"Nyokap lo lagi?"

Kedua mata Tombak terfokus pada papan penunjuk jalan yang mengarahkan tujuannya ke arah tol.

"Boy?"

"Lo banyak bacot banget sih, Mbul?"

Pria di seberang telepon Tombak tertawa kencang. "Ya elah galak banget, lo. Santai dong. Nggak kangen gue lo?"

"Lo udah ngomong sama Bos?"

"Ngomong apa?"

"Jangan belaga bego!"

Jeda beberapa detik sebelum pria yang berbicara dengan Tombak itu meng-oh ria. "Tentang rencana lo yang mau berhenti itu?"

Tombak membelokkan mobil ke kanan, menuruti papan jalan yang menuju ke kawasan tol yang akan membawanya pulang.

"Belum gue bilang langsung ke Bos sih, Boy. Baru gue bilang ke Rusdan aja."

"Terus?"

"Rusdan nggak komen. Malah ketawa."

"Bangsat!"

"Tenang... bakal gue usahain lagi. Rusdan mungkin nggak percaya aja kalau gue yang ngomong. Mending lo sendiri deh Boy yang bilang."

Helaan napas kasar Tombak terdengar begitu jelas hingga ke telinga pria yang meneleponnya.

"Lagian... kenapa sih Boy lo berhenti? Yakin lo mau ngambil jalan ini?"

Tak ada jawaban dari Tombak. Pria itu terfokus pada jalanan di depannya, sedang pikirannya melanglang buana entah kemana.

"Karena Nyokap lo, atau ada yang lain?"

"Gue lagi nyetir, Mbul. Gue tutup teleponnya."

Dan Tombak pun tak memberi kesempatan seorang pria di seberang sana untuk membalas perkataannya.

***

Fortuner putih Rama berhenti tak jauh di depan restoran milik Delvi. Rama menoleh Aira, menunggu perempuan itu melepas sabuk pengamannya.

"Kenapa nggak berhenti di depan restorannya saja?"

"Saya bilang ke sini naik ojek."

Sudut bibir Rama berkedut.

Aira membuka pintu, namun gerakannya terhenti hingga ia kembali berbalik ke arah Rama yang masih menatapnya. "Terimakasih atas tumpangannya."

"Boleh saya minta nomor hp kamu?"

Di tempatnya, Aira mendadak bingung. Bagaimana ini? Cukup berbahaya kah baginya jika berhubungan dengan Rama via telepon?

“Kalau nggak, nggak apa-apa kok-”

“Untuk apa?” potong Aira cepat.

Rama menatap lurus sepasang mata Aira yang nampak resah. “Untuk apa?” tanyanya memastikan pertanyaan Aira.

“Iya. Untuk apa?”

Helaan napas Rama terdengar berat. "Dengar, Ra... saya nggak tahu kenapa, tapi saya merasa kamu sedang tidak baik-baik saja."

Kepala Aira kembali terangkat.

"Saya hanya menawarkan tempat untuk kamu kalau kamu butuh bantuan. Entah apa saja yang sudah terjadi, tapi saya tidak bisa membiarkan pemikiran saya bertahan seperti ini."

Susah payah Aira menelan ludahnya sendiri. Tidak. Bukan sekarang, belum tepat waktunya untuk membagi semuanya dengan Rama. Aira harus beradaptasi dulu dengan pergerakan Tombak. Ia juga harus mempersiapkan diri untuk meninggalkan Laksmi. Tidak… Aira tidak bisa membaginya sekarang.

"Tapi kalau kamu nggak mau-"

"Saya baik-baik saja, Rama. Terima kasih," sela Aira sekali lagi. Kali ini senyumnya terukir tipis, mencoba untuk menenangkan lawan bicaranya. "Catatkan saja nomor kamu, pasti akan saya hubungi."

Senyum Rama mengembang lebar. Diambilnya sebuah bolpoin dari dalam dashboard mobilnya, lalu menuliskan beberapa angka di atas secarik tisu. "Saya tunggu," ucapnya seraya menyerahkan secarik tisu tersebut.

"Sampai ketemu lagi."

Rama mengangguk. "Saya harap secepatnya."

Aira keluar dari mobil dan berjalan perlahan menuju restoran Delvi. Ia butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri. Tangannya pun berhasil menyembunyikan tisu pemberian Rama di dalam tasnya sesaat sebelum ia mencapai pintu restoran. Saat membuka pintu itu, seruan suara Delvi yang menyambutnya di depan pintu membuatnya menoleh.

"Tombak mana?"

Senyum simpul Aira muncul. Baiklah, ia harus memulai dramanya lagi. "Aku kesini pakai ojek tadi, Mas."

Wajah Delvi berubah masam. "Kerjaan lagi tuh anak?"

"Iya. Eh... Ibu sama Tante mana?" Aira mengalihkan pembicaraan Delvi. Ia mulai malas jika pria berkacamata itu membahas tentang Tombak di depannya.

"Di ruang VIP. Yuk ku antar."

***

Seorang pria berkemeja hitam yang duduk di salah satu sudut restoran memperhatikan betul-betul Aira yang sedang berbincang dengan Delvi hingga berjalan berdua menuju lantai dua. Pikirannya berperang sendiri. Ia tahu siapa perempuan itu, namun melihatnya di sini dan berbincang akrab dengan Delvi... rasa-rasanya tak bisa ia nalar dengan logikanya sendiri.

Delvi datang ke arahnya tak lama setelah itu. Dengan raut tenang dan tanpa niatan ingin menceritakan sesuatu. Sial, ia semakin penasaran sekarang. "Siapa tadi, Del?" tanyanya pada akhirnya.

"Yang mana?"

"Yang kamu ajak ke lantai dua tadi."

"Oh... istri sepupuku, Ris."

Oh baiklah... Alfaristo semakin penasaran sekarang. "Istri sepupu?"

Delvi mengangguk. "Tombak. Tahu kan?"

Alfaristo mengangguk kecil. Ia tahu siapa Tombak karena sempat beberapa kali bertemu di sini. Tapi... istri? "Oh... berapa lama Tombak nikah sama… siapa namanya?"

"Aira. Namanya Aira."

Sepasang mata sayu Alfaristo terbuka lebar. Sejak awal memang ia sudah yakin itu adalah Aira. Aira-nya. “Udah lama nikahnya?" tanya Alfaristo lagi.

"Nggak tahu aku jelasnya kapan. Nikahnya nggak di kota ini, tapi pengajiannya baru minggu kemarin sih."

"Aira bukan orang sini?"

"Bukan. Dia pegawai restoran dulunya. Setelah nikah sama Tombak, dia pindah ke sini."

Aha... pegawai restoran? Menarik.

Alfaristo kembali mengangguk pelan. Kali ini senyumnya terukir samar. Bukan karena ia mendapat informasi yang jelas tentang Aira, melainkan karena ia mencium satu hal yang ganjal dari perempuan itu. Yah... sedikit memanfaatkan perempuan itu untuk mendapatkannya secara cuma-cuma tak masalah, kan? Lagipula ia juga merindukan belaian serta desahan perempuan itu sekarang.

.

.

Aira bersyukur karena ia bisa lepas dari teman arisan Laksmi dan Farida saat berpamitan ke toilet. Ia cukup gerah sebenarnya berada di tengah ke-'ceriwisan' para Ibu-ibu itu. Walau tak semewah arisan orang-orang kaya yang pernah Aira lihat di cerita sinetron televisi, namun apa yang mereka obrolkan sebenarnya juga tak jauh-jauh dari pamer akan anggota keluarga atau kenalan mereka yang cukup terkenal ataupun pantas dibanggakan. Dan Aira pun sedikit merasa khawatir saat Laksmi memperkenalkannya sebagai menantu. Tentu Aira sadar diri bahwa background hidupnya sebelum ini tak memiliki sisi yang bagus untuk dibanggakan atau sekedar diperbincangkan. Tidak lucu bukan jika identitasnya terkuak?

Bisa-bisa fakta itu membuat semua perempuan paruh baya di ruangan itu tiba-tiba jantungan seketika.

Saat membasuh kedua tangannya di wastafel, pintu utama toilet itu terbuka dan menampakkan sosok yang benar-benar tak Aira sangka hingga membuat sekujur tubuhnya meremang saat itu juga.

"Halo, Sayang."

Walaupun Aira cukup mengenal suara itu, ia tetap tak akan sanggup mendengarnya lagi. Apalagi di sini, dan dalam keadaan seperti ini. Aira terus mengambil langkah mundur tanpa perkiraan hingga pinggangnya membentur wastafel berkali-kali.

"It's me. Kamu pasti ingat, kan?"

"Mau apa Bang Alfa masuk ke sini?"

"Santai, Sayang." Alfaristo mendekatkan diri. "Kita nggak terbiasa loh bertemu dengan tegang-tegangan seperti ini. Yaaa... kecuali 'tegang' yang lain. Tegang tegang enak."

"Ini toilet perempuan!"

"Lalu?"

Aira menahan napasnya. Benar-benar bisa membuatnya mati perlahan pria di hadapannya sekarang ini. "Saya teriak kalau Bang Alfa nggak pergi."

"Uh... aku pun juga bisa teriak, Babe." Alfaristo semakin dekat hingga pada akhirnya pria itu berhenti tepat di depan Aira, lalu berbisik. "Halo semuanyaaa... ada pelacur yang menyamar di sini. Mau coba servisnya?"

Tangan Aira reflek terangkat ketika ia merasakan gemuruh amarah yang melonjak naik dari dada hingga pangkal tenggorokannya. Namun Alfaristo memiliki reflek yang cukup baik dari perempuan yang kini sedang ia halau tangannya.

"Waaah… sudah berani ya kamu sekarang, Ra?"

Mata Aira menyalang tanpa takut.

"Kita bisa selesaikan ini dengan cantik. Ayo, aku nginap nggak jauh dari sini."

"Kurang ajar kamu, Bang!"

"Kurang belaian kamu lebih tepatnya, Aira. Ayolah..." Sebelah tangan Alfaristo membelai lengan Aira dan langsung mendapat tepisan dari perempuan itu.

"Saya nggak sudi!"

"Oh... lalu... kamu kira keluarga baru kamu sudi menerima pelacur seperti kamu?"

Tak ada yang salah dari perkataan Alfaristo. Benar, memang benar. Hingga rasanya palu godam yang sangat besar membenarkan hal tersebut dengan cara menghantam kuat dada Aira.

“Dan gimana kira-kira reaksi Ibu Mertua kamu setelah tahu siapa kamu sebenarnya?” Alfaristo mendekatkan tubuhnya lagi. Memanfaatkan ketidakberdayaan Aira selama beberapa saat dengan mengecup leher Aira lembut. "Kalau kamu sedang melakukan drama, aku bisa jadi lawan mainnya," bisik Alfaristo tepat di telinga Aira.

Kedua mata Aira terpejam, mengira-ngira kalimat menyakitkan apalagi yang akan keluar dari bibir pria yang gemar memanggilnya untuk memuaskan nafsu birahinya itu.

"Asal bayarannya seimbang, Sayang." Alfaristo menutup kalimatnya dengan remasan lembut di salah satu dada Aira sebelum pergi begitu saja dari sana.

.

.

.

***

Aira tak tahu ini dimana. Sekitarnya terlihat hitam, bahkan ia tak bisa melihat bentuk tubuhnya sendiri saat ini. Kemanapun Aira menggerakkan tubuh, ia tak bisa menemukan setitik cahaya yang mungkin bisa membantu untuk melihat sekelilingnya.

Hitam. Benar-benar hitam...

Lalu semua berubah merah dan sangat silau. Aira tak sanggup menghalaunya hingga ia merasa beberapa bercak cairan mengenai sekujur tubuhnya. Darah, ia tahu itu darah. Dan Aira melihat Tombak berdiri di samping tubuhnya sendiri terbagi menjadi beberapa bagian di depan sana...

.

.

.

... hingga jeritannya mengantarkan Aira ke dalam dunia nyata.

.

.

.

Laksmi berjalan tergopoh menuju kamar Tombak. Teriakan Aira membangunkannya dan membuatnya luar biasa takut hingga ia ingin segera melihat keadaan menantunya.

Kamar Tombak berubah lebih terang saat remang lampu tidur menyala. Aira masih di atas ranjang, meringkuk di ujung, sedang matanya memandang takut jendela kamar Tombak yang tertutup rapat.

"Ndhuk?" Laksmi lebih mendekat. Mengusap bulir keringat yang menempel di kening Aira. "Kamu kenapa teriak-teriak?"

Aira tak menjawab dan semakin terisak. Air mata perempuan itu menderas seiring pandangannya kembali fokus kepada Laksmi yang kini tengah mendekapnya.

"Ada apa, Ndhuk?"

"Ta-takut, Bu."

"Takut kenapa?"

Tangis Aira semakin menjadi saat Laksmi memeluknya.

"Rara? Jangan buat Ibu takut juga, Ndhuk. Ada apa? Kamu mimpi buruk?"

Hanya cengkeraman kuat di daster Laksmi yang Aira tunjukkan sebagai ketidakberdayaannya. Ketakutan Aira... tentu saja telah tertanam di benaknya sejak saat siang tadi. Sebuah siang yang penuh dengan intimidasi.

***

Tombak mematikan mesin kendaraannya yang sudah berganti menjadi sedan hitam pribadinya di depan halaman rumah Laksmi yang gelap tersebut. Diarahkannya spion atas mobil untuk memantulkan bayangan wajahnya. Hanya sekedar untuk memeriksa apakah darah korbannya tidak ada yang tersisa di sana.

Kaki Tombak melangkah keluar. Baru saja ia akan memasukkan kunci pintu, benda putih besar berbentuk persegi panjang tersebut terbuka dan menampakkan Laksmi yang sedikit kuyu di sana.

"Kok Ibu nggak tidur? Jam dua loh ini." tanya Tombak reflek.

"Kebangun Ibu, Le."

"Kenapa?"

"Salam dulu."

Helaan napas Tombak terdengar cepat. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Laksmi memberi jalan putranya untuk masuk. "Itu.. Aira."

"Kenapa Aira?"

"Jerit-jerit tadi dia, Tom. Ibu jadi kebangun."

Kedua alis tebal Tombak menaut. "Jerit-jerit?"

"Mimpi buruk. Ada di dapur sekarang. Ibu ajak tidur lagi dia ndak mau."

Tombak tak menyahut, melainkan menatap lorong penghubung antara ruang tengah dan dapur rumah begitu saja.

"Aira kenapa ya, Tom? Kalian ada masalah?"

Senyum tipis Tombak terukir saat pria itu menatap Ibunya kembali. Tangannya terangkat untuk mengusap pipi perempuan yang telah melahirkannya tiga puluh satu tahun yang lalu itu dengan lembut. "Mana mungkin sih kami ada masalah?"

.

.

Entah apa yang Aira cari di sana. Sekujur tubuhnya yang tadi sempat gemetar hebat karena takut, hanya sedikit merasa tenang saat ia melihat gunung yang menjulang tinggi di depannya lewat jendela dapur rumah Laksmi yang lebar. Puncak gunung itu nampak terang, mungkin juga karena pengaruh sinar bulan purnama yang bercahaya di atasnya. Untuk sejenak, walaupun tak dapat hilang sepenuhnya, kilasan mimpi sialan itu mulai pudar dari ingatan Aira. Ada untungnya juga dia menenangkan diri selama hampir setengah jam di sini.

"Kamu nggak tidur?"

Jantung Aira terasa seolah-olah berhenti berdetak. Suara berat dan langkah kaki yang terdengar itu mendistraksinya dan mengingatkannya kembali kepada siapa yang ia lihat di alam mimpinya.

"Sayang?"

Aira benar-benar tak bisa bernapas normal ketika dua lengan kokoh melingkari perutnya dari belakang.

"Hei."

Tak ada yang bisa Aira pikirkan lagi saat tubuhnya dipaksa berbalik untuk menghadap siapa yang kini merengkuh punggung hingga pinggangnya. Di bawah satu-satunya sinar bulan yang paling terang di dapur itu, tangan Tombak memeluknya, sedang sepasang mata pria itu terarah tepat menatap matanya.

"Mimpi buruk?" Satu tangan Tombak terangkat untuk mengusap kepala Aira lembut sebelum turun ke leher perempuan itu. "Ada aku. Jangan takut."

Apa lagi ini?

Debaran jantung Aira semakin menggila seiring keringat yang kembali mulai nampak di beberapa titik dahinya. Tombak mengusap dahinya lembut, menambah debaran jantung Aira yang sekarang sudah tak terkontrol lagi. Namun ada yang sedikit berbeda. Debaran itu terbagi, dan Aira tak dapat mendeskripsikannya sendiri. Sekujur tubuhnya hampir tak punya daya hanya untuk sekedar berdiri ketika Tombak menundukkan kepalanya dan memagut bibir Aira dengan lembut.

Reflek Aira menjauhkan kepalanya, namun telapak tangan Tombak yang menekan kuat tengkuknya menjadi pertanda bahwa pria itu tidak ingin dihindari. Tanpa membalas ciuman pria itu, Aira menatap kedua mata Tombak yang menatapnya tajam. Aira masih tidak mengerti apa yang sedang pria itu lakukan, sebelum ia menangkap sosok Laksmi yang berdiri di ruang tengah sedang menatapnya seraya menyunggingkan senyuman.

.

.

.

Untuk Ibunya. Ini hanya untuk Ibunya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Well, nantinya Insha Allah Bersauh akan diterbitkan oleh Karos Publisher. Bagi teman-teman yang mau cerita versi utuh bisa baca di format cetak maupun digital.

Etapi tunggu terbit dulu yaaaak... wkwkwkwk. Ini masih proses.

Di versi cerita utuh dan cetak nanti ada beberapa plot cerita yang saya ubah. Ngga banyak sebenarnya, tapi ada yang spesial karena kehadiran bab khusus untuk Gembul yang kita cintai, hahahaha.

Enjoy yak! Semoga proses penerbitan bukunya bisa segera kelar, hehe. Mohon do'anya 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top