3. MULAI TERBIASA

Yak karena repost Bersauh dimulai dari part ini, mungkin kalian bisa absen dulu siapa pembaca lama dan siapa pembaca baru 😝

.

.

.

Potongan wortel yang Aira buat sudah terlihat penuh di baskom kecil di depan perempuan itu. Aira menuangkan irisan wortel terakhirnya, lalu meraih kentang untuk ia kupas terlebih dahulu. Gerakan tangan Aira cukup terasah, karena selama ini dapur bar Eko adalah tempat ia bercengkerama dengan teman-temannya ketika tidak sedang bekerja. Namun tiba-tiba gerakan tangannya melambat, seiring Aira merasa Laksmi semakin lama menatapnya.

Perlahan, Aira mengangkat kepalanya dan menoleh ke kiri. "Ada apa, Bu?" tanya Aira ragu.

Laksmi menggeleng dan menyunggingkan senyumnya. "Ini kayak mimpi."

"Maksudnya?"

"Punya anak perempuan."

Aira menghela napas sepelan yang ia bisa saat Laksmi menggenggam tangannya yang tak memegang pisau.

"Terima kasih ya, Ra?"

Tatapan Aira kembali terarah ke lawan bicaranya.

"Terima kasih sudah percaya sama Tommy. Tommy memang bukan orang yang supel dan hangat. Tapi Ibu sangat percaya dia orang yang baik."

Susah rasanya bagi Aira hanya untuk menelan ludahnya.

‘Baik’ katanya?

"Terlepas pertemuan hingga pernikahan kalian yang singkat, Ibu harap kamu lah yang sampai akhir nanti berada di samping Tommy. Paling ndak, kalau Ibu sudah ndak ada, dia ndak sendirian."

"Bu..." Refleks Aira menggenggam balik tangan Laksmi. Batinnya tercubit, seolah mulai merasa tak kuasa mendengarkan harapan Laksmi.

Laksmi tersenyum. "Setiap orang punya masanya masing-masing, Ra. Tommy anak tunggal, apa lagi yang dikhawatirkan setiap orang tua yang punya anak tunggal kalau bukan teman hidup anaknya?" Mata Laksmi menyapu seluruh bagian ruang makan yang bisa ia jangkau. "Ayah Tommy meninggalkan rumah ini dan perkebunan. Ibu berharap ada yang menemani dia untuk meneruskannya. Hanya itu."

Jemari Aira mengusap setetes air mata yang mengalir di pipi Laksmi penuh kasih sayang. Sunguh… ia tak sanggup lagi.

"Ya Allah, cengengnya Ibu kumat. Tommy ndak pernah suka kalau Ibu cengeng begini." Laksmi menutupnya dengan senyum penuh kesabaran yang tampak jelas di mata Aira. "Mau ya, Ndhuk?"

Aira tak menjawab, tak pula menggerakkan kepala untuk jawaban. Perempuan itu hanya memeluk Laksmi dengan gejolak perih di dasar hatinya.

.

.

Oh… bagaimana mungkin ia memberi harapan yang palsu kepada perempuan baik yang ia peluk sekarang? Tega kah ia jika suatu hari nanti datang kesempatan kabur untuk kabur dan meninggalkan Laksmi mulai menyayanginya ini?

***

Aira menyelesaikan tur keliling halaman rumah Laksmi di depan pintu dapur yang terhubung ke halaman belakang. Tak pernah Aira sangka bahwa rumah besar dan gelap yang ia lihat dini hari tadi ternyata memiliki bentuk senyaman dan sehangat ini. Kepala Aira menoleh ke belakang. Pemandangan gunung terlihat jelas dan menawan di sana, bahkan tak hanya satu. Terlintas sesaat di benak Aira bahwa ia harus menanyakan nama-nama gunung itu suatu hari nanti kepada Laksmi.

Tunggu, untuk apa? Aku nggak mulai merasa nyaman di sini kan?

"Rara? Lomboknya sudah, Ndhuk?"

Aira menoleh Laksmi yang berdiri di depan pintu belakang. "Sudah, Bu. Ini Rara bawa."

Laksmi menerima uluran beberapa cabai hijau tanpa tangkai yang tadi Aira petik di kebunnya. "Duh... cah wadon kutho pancene ra ngerti carane methik tanduran."

"Apa, Bu?"

Tawa Laksmi menggelegar. "Ndak... ndak apa-apa. Sudah sana panggil suamimu. Kita sarapan."

.

Aira terdiam di sisi ranjang selama beberapa saat. Sialan! Kenapa tidak dari tadi saja ia pikirkan? Ia melangkah begitu percaya diri menuju kamar Tombak untuk mengajak pria itu sarapan. Tapi setelah ia menemukan pria itu masih memejamkan mata, semua rasa percaya dirinya luntur begitu saja menjadi campuran rasa takut serta kikuk.

Kepala Aira menoleh jendela. Mungkin ia bisa membangunkan Tombak dengan membuat pria itu merasa silau. Setelah membuka jendela besar tersebut, dan bahkan menggeser gordennya, tak ada pergerakan sedikit pun dari Tombak. Padahal jelas-jelas wajah pria itu terkena siraman sinar matahari pagi yang cukup terang.

"Tombak? Bangun!"

Aira memejamkan matanya rapat seraya mengumpat. Bagaimana bisa Tombak bangun jika suara yang ia keluarkan macam tikus yang terjepit saja?

"Sudah pagi, Tombak." Suara Aira meninggi. "Ibu nunggu kamu sarapan."

Tombak bergerak, namun hanya menutup mata dengan lengannya.

"Tombak!"

"Gue denger!"

Aira membeku. Bukan oleh udara saat ini, tapi karena suara berat pria itu.

Tanpa menunggu lama lagi, Aira berbalik dan keluar pintu. Mentalnya masih cukup lemah dengan perkiraan-perkiraan buruk apa yang akan dilakukan Tombak jika ia berada lebih lama di dekat pria itu.

.

.

"Urusan legalitas biar Tommy sepenuhnya yang urus, Bu. Kerjaan Tommy udah manggil-manggil. Kasihan kalau Aira yang urus semuanya sendiri, dia belum tahu daerah sini. Lagian bisa Tommy pantau perkembangannya dari jauh kok."

Laksmi mengangguk-angguk, sedangkan Aira terus menikmati sarapan paginya tanpa berminat menyimak.

Bohong. Semua yang dikatakan Tombak di depan Laksmi adalah bohong. Aira yakin itu.

Pandangan Laksmi terarah ke Aira. "Terus resepsi kalian bagaimana?"

Untuk pertama kalinya sejak menikmati sarapan dengan keluarga itu, Aira harus menoleh Tombak untuk meminta pertolongan.

"Nggak usah resepsi lah, Bu. Lagian Tommy juga nggak punya temen yang bisa diundang di sini," sahut Tombak.

"Mana bisa begitu?" Laksmi meletakkan sendok garpunya. "Kalau kamu ndak kasih tau orang-orang status Aira, jangan salahkan orang-orang itu berpikir macam-macam tentang istri kamu."

Tombak meminum air mineralnya.

"Pengajian saja ya? Nanti Ibu undang teman-teman arisan Ibu juga."

"Nah kan?" Ujung bibir Tombak terangkat. "Jadi yang sebenarnya pengen kasih tahu orang-orang siapa?"

"Hiiiih... kamu ini. Ibu itu ya pengen loh Tom, pamerin menantu ke temen-temen Ibu."

Aira masih diam. Merasa kesusahan menelan perkedelnya.

"Pengajian undang keluarga, pegawai Ayah, sama tetangga sekitar aja." Tommy menggeser ke depan piring sarapannya yang sudah kosong. "Kalau mau pamerin menantu, ajak aja Aira ke arisan teman-teman Ibu."

"Tommy, ah... hih!" Laksmi menatap Aira dengan raut memohon. "Aira... kamu mau kan ya ikut Ibu arisan? Teman-teman Ibu ndak kalah seru kok dengan perempuan seumuran kamu."

Ya ampuuun... bagaimana caranya Aira untuk berkata tidak pada tatapan mata memohon Laksmi saat ini?

Kedua mata Aira melirik Tombak sejenak, berusaha mencari bantuan lagi bagaimana cara agar ia bisa berkelit dan tidak terlalu jauh terjebak dalam drama konyol ini. Namun sedetik setelahnya, ia menyesalinya karena Tombak nampak acuh padanya dan lebih memilih mengamati gelas daripada membalas tatapannya.

Brengsek! Tombak brengsek!

.

"Iya boleh, Bu. Kapan?"

.

Fuck!

***

Langkah lebar Tombak menapak jalan setapak dari bebatuan yang menjadi penghias depan sebuah restoran sekaligus cafe berarsitektur adat Jawa tersebut. Tombak melangkah dengan tenang, menikmati kebun bunga kecil yang ia lewati saat ini. Pria itu baru saja akan mencapai pintu kayu besar bangunan tersebut, sebelum seorang pria berkacamata dan berkemeja biru terang menyambutnya dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada.

"Oh... anak kota masih ingat rumah?"

Tombak tak menjawab, dan hanya melewati pria berkacamata tersebut begitu saja.

"Heh! Kurang ajar orang tua diplengosin aja!"

Meja di samping jendela yang langsung menghadap ke pemandangan kaki gunung menjadi pilihan Tombak untuk duduk. Tempat ini selalu menjadi favoritnya sejak dulu. Tak lama kemudian, pria berkacamata tadi meletakkan secangkir kopi hitam di depan Tombak sebelum duduk di depan tamunya tersebut.

"Kamu pulang. Ada sesuatu nih berarti."

Tombak meliriknya sekilas lalu mengaduk kopinya. "Apa kabar, Del?"

"Kebalik. Harusnya aku yang tanya kabar, kenapa sampai-sampai kamu harus balik ke sini hah?"

"Pengen pulang aja."

"Nggak mungkin! Bude juga nggak lagi sakit kok."

Tombak menyunggingkan senyum tipis.

Delvi, adalah nama pria berkacamata itu. Sepupu Tombak dari garis keturunan Ayahnya. Pemilik restoran yang Tombak datangi sekarang, dan salah satu orang terdekat Tombak di kota asalnya.

"Ntar malem ke rumah ya? Ajak Tante juga," ucap Tombak.

"Ngapain?"

"Kamu bakal tahu sendiri ntar." Tombak meminum kopi pahitnya sedikit.

Delvi mendekatkan tubuhnya dan memicing. "Ada apa sih, Tom? Nggak biasanya kamu gini."

"Ya makanya dibiasakan."

"Nyuruh ke rumah karena sesuatu yang buat kamu harus pulang ya?"

"Jangan sok nebak-nebak! Kamu bego, nggak cocok ngelakuin itu."

"Jancok!" Delvi menyandarkan punggungnya. "Aku lebih tua dua tahun dari kamu loh ya?"

"Ayahku tua empat tahun dari Mamamu."

"Ya beda, Su!"

Tombak kembali meminum kopinya hingga berkurang setengah. "Aku balik ya? Makasih kopinya."

"Woy! Bayar!"

***

Mobil sedan hitam Tombak terparkir mulus di area parkir rumahnya. Saat memasuki pekarangan tadi ia memang bertatap mata sekilas dengan dua orang yang sedang duduk berhadapan di bangku halaman rumahnya. Hanya sebagai basa-basi, ia pun menghampiri dua orang tersebut dengan langkahnya yang tenang.

"Tombak."

Senyum simpul Tombak terukir untuk pria paruh baya yang sedang duduk dengan Ibunya. "Pak Herman," sapa Tombak balik seraya menjabat tangan pria itu. "Sehat, Pak?"

"Alhamdulillah. Senang bisa lihat kamu pulang. Tambah gagah saja kamu, Le."

Lagi-lagi Tombak memasang wajah ramah versinya.

"Tommy, Ibu sama Pak Herman lagi ngobrolin penjualan kebun bulan ini. Kamu-"

"Tommy tinggal saja Bu kalau begitu," potong Tombak pelan.

Laksmi mengerutkan dahinya tak suka. "Kamu sampai kapan sih Tom menghindar dari pembicaraan ini?"

"Aira mana, Bu?"

"Besok-besok juga kamu yang akan-"

"Lagi di dalam atau jalan-jalan?"

"Ananda Tombak Priambodo!"

Tombak mendekat ke arah Ibunya dan memberi kecupan di pipi perempuan itu. Laksmi yang memanggil nama lengkapnya, adalah pertanda buruk baginya jika terus berada di dekat perempuan itu. "Tommy cari Aira dulu ya, Bu?"

"Tommy!"

"Pak Herman, silakan dilanjut."

Herman hanya mengangguk mendengar perkataan Tombak, sedangkan Laksmi sudah menggerutu sendiri ketika melihat putra semata wayangnya melenggang pergi.

.

Puncak kepala yang hampir tenggelam di balik sandaran sofa adalah hal yang pertama kali Tombak lihat saat ia melewati ruang tengah. Pria itu mendekat, memastikan siapa yang tengah sendirian menikmati tayangan iklan perhiasan penyembuh penyakit tersebut.

Aira di sana. Duduk bersandar penuh hingga sedikit merosot ke bawah dengan mata yang terpejam sepenuhnya. Bibir perempuan itu terbuka, terlihat pulas sekali tidur dengan posisi yang tidak bagus untuk tubuhnya.

Tombak mendekat, meraih remote tv dan menghentikan ocehan presenter iklan tersebut dengan sekali pencet pada tombol merah. Dilihatnya sesaat Aira yang tidak merubah sedikit pun posisi tidurnya. Dalam sekali gerakan, kedua lengan pria itu membawa Aira dalam gendongannya.

***

"Assalamu'alaikum."

"Wa’alaikumsalam," jawab Laksmi seraya memeluk adik iparnya, Farida. "Berdua saja? Pacarnya Delvi mana?"

"Delvi? Punya pacar?" Farida menutupnya dengan tawa satir.

Delvi yang berdiri di belakang Farida tersenyum kecut seraya menggaruk tengkuknya.

"Delvi homo, Bu."

"Hush!" sergah Laksmi.

Di samping Tombak, Aira menoleh dan cukup terkejut mendengar celetukan tenang pria itu.

"Fitnah, Bude!"

"Eh tapi kamu sama Faris emang ndak ada apa-apa kan, Del?"

Delvi memandang Mamanya tak percaya. "Ma! Delvi masih suka cewek, Ma."

"Ya habis kamu mainnya sama Faris terus, Del. Yang ngapelin kamu di resto juga anak itu terus."

Laksmi tertawa kencang, sedangkan Farida masih menatap penuh tanda tanya ke arah Delvi yang hampir memucat.

"Sudah-sudah yuk masuk dulu. Di luar anginnya ndak enak," ajak Laksmi.

Tombak mencium punggung tangan Farida ketika perempuan itu dan putranya masuk ke ruang tamu.

"Kok tambah ganteng kamu, Le?" Tatapan mata Farida teralih ke Aira begitu Tombak melepas tangannya. "Loh.. ini siapa?"

Aira maju perlahan dan melakukan apa yang dilakukan Tombak sebelumnya. Tadi saat ia baru saja terbangun dari tidur siang dan bertemu Tombak di dalam kamar, pria itu memerintahkan ia untuk bersikap semanis mungkin di hadapan keluarganya.

Atau paling tidak... meniru apa saja yang dilakukan Tombak terhadap keluarga pria itu sendiri.

"Menantuku, Da. Cantik kan?"

Kedua mata Farida melebar takjub. "Masha Allah... ini sih bukan cantik lagi, Yu. Kayak bidadari ini."

Di tempatnya berdiri, Aira mati kutu sendiri. Astaga... masih kah perempuan di depannya sekarang menyebutnya bidadari jika tahu siapa dirinya sebenarnya?

"Loh tapi... menantu?" Wajah Farida berubah heran. "Maksudnya apa ya, Yu?"

Laksmi hanya tersenyum, memberi kode Tombak untuk menjawabnya.

"Tante Ida, ini istri saya," ucap Tombak seraya membelai pelan pinggang belakang Aira. "Namanya Aira."

Farida masih terdiam di tepatnya, sedangkan Delvi memicingkan mata.

"Tante butuh penjelasan, Tom!"

Tombak tersenyum simpul. "Kita makan malam dulu yuk? Ibu sudah masak banyak, Tan. Kasian Delvi sudah ngiler."

.

.

"Trus pengajian besok di sini kamu bantuin aku ya, Da."

"Siap Mbak Yu. Mau dibawakan apa?"

"Halah ndak usah! Ndak perlu repot-repot."

Aira yang baru meletakkan seteko teh hangat dan dua cangkir kosong di atas meja, duduk dan menatap gantian dua perempuan yang duduk berjejer di hadapannya.

"Jadi fix nih Ra ndak ada resepsi?" tanya Farida.

Kepala Aira menggeleng. "Kata Tombak nggak usah, Tante. Dia nggak suka keramaian."

Wajah Laksmi berubah muram. "Anak itu walau udah dewasa dan hidup jauh dari sini kok tetep ndak berubah ya, Da?"

"Karakternya memang gitu, Mbak Yu." Farida tersenyum. "Mas Firdaus dulu sebelum ketemu sampean kan ndak jauh beda kayak Tombak sekarang. Siapa tahu habis ini dia perlahan berubah karena istrinya. Ya ndak, Aira?"

Aira menyunggingkan senyumnya. Kepalanya lalu menoleh ke arah pintu dan melihat Tombak yang sedang berdiri dan berbincang dengan Delvi.

.

Merubah monster itu? Yang benar saja...

.

.

"Anget dong ya tidur sekarang ada yang nemenin?"

Sebelah tangan Tombak yang tak memegang rokok memukul kepala Delvi pelan.

"Woy, jancok! Kepala ini."

Tombak mengamati asap rokoknya yang bercampur dengan udara dingin dan menusuk malam itu.

"Kamu mimpi apa nikahin anak orang, Tom? Kepikiran hidup normal juga ternyata?"

Tak ada tanggapan dari Tombak selain bahunya yang menegak perlahan.

"Atau cuma cari angetnya?"

"Bego jangan dipelihara dong, Del!" Bahasa tubuh Tombak nampak kembali rileks.

"Tapi serius, Tom. Kamu? Nikah? Dan... sama Aira?" Delvi menggelengkan kepala pelan. "Kirain..."

Beberapa detik berlalu, Delvi tak melanjutkan perkataannya. "Apa?" desak Tombak.

Senyum tipis Delvi terukir lalu kembali menggeleng pelan.

***

Di ambang batas kesadarannya, Aira yakin bahwa ia ingat berapa lama ia tertidur. Namun suara teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang terdengar nyata masuk ke dalam gendang telinganya sekarang cukup membuatnya terganggu...

... dan bahkan, membuatnya turut merasakan sakit?

Kedua mata Aira terbuka perlahan dan melihat dua pria yang berdiri tak jauh di hadapannya. Seorang pria menoleh, Aira yakin itu adalah pria yang menyelamatkan dirinya dari jalanan lima belas tahun silam. Pria itu adalah bosnya, Eko.

"AIRAAAAAA!"

Teriakan Eko dari jauh bak petir besar yang menyambar tepat di hadapan Aira. Perempuan itu terduduk, dan terjatuh pada pusaran merah darah yang membawanya jauh ke bawah. Saat Aira merasa ia berada sudah berada di dasar, terdengar suara tembakan pistol yang terdengar berkali-kali lipat lebih keras dari teriakan Eko.

Aira menutup mata dan kedua telinganya rapat-rapat. Ia tak sanggup lagi untuk mendengar apa-apa. Dan saat ia membuka kedua mata, kepala Eko yang tertembus peluru berada di pangkuannya.

.

.

Kepala berlubang…

.

.

… dan kedua mata yang melotot ke arah Aira.

.

.

.

“AAAAAAARGHHH!!!!!!

***

Napas Aira tercekat saat kedua matanya membelalak lebar di remang cahaya kamar. Tanpa bernapas terlebih dahulu, perempuan itu bergegas bangun dan menoleh ketakutan sisi ranjangnya yang ternyata nampak dingin dan kosong.

Seraya mengatur napas, kedua lengan Aira memeluk erat tubuhnya sendiri. Sepanjang dua puluh delapan tahun hidupnya, tak pernah sekalipun ia mengalami mimpi buruk yang terasa begitu nyata dan terngiang dengan jelas, bahkan sampai setelah ia membuka mata seperti sekarang. Aira tak lagi merasa dingin seperti saat pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sebaliknya, bulir-bulir keringat nampak menjagung di sekitar dahi dan lehernya hingga membuatnya merasa gerah.

Sialan! Mimpi sialan! Tombak sialan!

Aira mengusap wajahnya dan menunduk. Selain Eko yang ia lihat di dalam mimpinya, Tombak pun juga terlihat ada di sana, lengkap dengan tatapan dan aura hitamnya saat menembak kepala Eko di hadapan Aira.

Persis seperti yang pernah Aira lihat dengan kedua mata kepalanya secara nyata.

Pembunuh brengsek!

Kepala Aira menunduk, bersembunyi di sela kedua kakinya yang tertekuk saat ia mulai mengeluarkan air mata. Sungguh… Tombak adalah manusia terbiadab yang pernah ia temui. Jelmaan monster yang Aira benci. Monster yang memberikan mimpi buruk untuknya. Monster yang menjebaknya dalam kebohongan demi kebohongan di yang ia lakukan saat ini. 

Brengsek kamu, Tombak!

.

.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top