9. Boneka

Sekitar pukul delapan malam, mobil Joko akhirnya sampai di halaman depan rumahnya. Lina turun dari mobil disusul Zahro yang menggendong Athira dan Sasti.

"Aku langsung balik, ya, Lin," kata Zahro kepada Lina.

"Oh, iya, mau aku temani?" Lina berjalan mendekat ke Sasti yang berdiri di samping Zahro. Dia mengusap puncak kepala Sasti.

"Gak, usah gak apa." Zahro memandang Sasti dengan ekspresi ramahnya kemudian berkata. "Bilang terima kasih ke Tante Lina dan Om Joko dulu. Mbak, 'kan tadi sudah dibelikan boneka tadi."

"Terima kasih Tante Lina. Terima kasih Om Joko." Sasti bergantian mencium tangan Lina dan Joko. "Mbak pulang dulu."

"Iya, cantik," seru Lina.

"Loh, bonekanya mana? Mbak tadi taruh mana?" tanya Zahro setelah menyadari kejanggalan. Karena Sasti tidak membawa apapun dan dia juga ingat jika tidak menyimpan boneka itu pada tas tenteng.

Sasti hanya berdiri diam dengan tatapan polosnya sedangkan Zahro gelisah sampai harus membenarkan posisi menggendong Athira juga menaruh tas tenteng di tanah.

Joko lalu memeriksa di dalam mobil ternyata tergeletak di jok tengah. Dia mengambil boneka iti lalu langsung kepada Sasti.

"Terima kasih, Om." Sasti langsung memeluk boneka itu dan menggendongnya selayaknya membopong bayi.

Zahro mengambil tasnya lagi. "Aku balik dulu yah." Dia sambil menghalau Sasti keluar dari halaman depan rumah Lina.

Sesampainya di rumah, Sasti langsung berlari masuk sambil berteriak memanggil neneknya. Gadis berusia enam tahun tersebut berlari dengan tergopoh-gopoh sambil kesusahan membawa boneka kelinci yang berukuran hampir menyamai tinggi tubuhnya. Dia ingin menunjukkan betapa senangnya mempunyai boneka baru kepada neneknya. Malam itu, Wati sedang membereskan makan malam di meja makan sisa makan malam dengan Aryo. Sedangkan, Zahro dengan menggendong Athira mengikuti langkah Sasti ketika menemui Wati.

"Jangan lari-lari, Nak," ujar Zahro sambil meletakkan tas tenteng di meja ruang tamu. Sasti sudah masuk ke ruang tengah.

"Nenek, Mbak punya boneka baru," kata Sasti sambil menggendong boneka kelinci itu tinggi-tinggi. "Bagus gak, Nek."

"Bagus sekali," seru Wati. "Mbak beli di mana?" Tatapan Wati kemudian teralih ke Zahro. Saat itu Zahro sedang menurunkan Athira dari gendongan untuk bermain di lantai.

"Lina, Bu, yang belikan tadi sebelum ke rumah mertuanya," jawab Zahro sambil berjalan menuju kamar mandi.

Saat kembali tatapan Zahro terarah pada Sasti yang begitu senangnya mempunyai boneka baru dan menunjukkan kepada Neneknya dengan ekspresi yang lucu dan menggemaskan. Kemudian Zahro berkata, "Nak, cuci kakinya dulu nanti baru main lagi sama Nenek."

"Ayo cuci kaki. Bonekanya taruh di kursi." Wati menggandeng tangan Sasti setelah gadis itu menaruh bonekanya di kursi meja makan. Lalu, dia mengajak Sasti ke kamar mandi.

Sasti kemudian duduk di sofa ruang tengah sambil memperhatikan Athira yang merangkak menuju kotak mainannya di dekat meja televisi. Tidak lama setelah itu, Aryo keluar dari kamar lalu menyapa Zahro.

"Bagaimana tadi?" tanya Aryo.

"Alhamdulillah perjalanannya lancar anak-anak juga gak mabuk."

"Sudah makan semuanya?"

"Sudah, Yah. Tadi sebelum pulang mampir buat makan dulu."

Aryo duduk di samping Zahro. "Tadi ada kurir kirim paket. Ayah taruh di kamar kamu."

Dahi Zahro mengkerut karena kebingungan, dia tidak pernah memesan barang melalui toko online. Zahro masuk ke kamarnya lalu membawa kotak besar berwarna cokelat keluar. Saat itu bertepatan dengan Sasti dan Wati datang.

Saat Zahro hendak membuka isi kotak, Athira meninggalkan mainannya dan ikut penasaran dengan isi kotaknya.

"Kamu beli apa toh, Nduk?" kata Wati saat membantu Sasti mengambil boneka kelinci. "Itu kotaknya sampai berat."

Kardus kubus berjari-jari kurang lebih 75 sentimeter itu akhir terbuka. Athira mengambil sembarang barang. Barang itu adalah rok kecil yang bisa dipakai Sasti. Setelah melihat rok di tangan Athira, Sasti jadi ikut lihat isi kardus.

"Aku gak beli ini semuanya, Bu," jawab Zahro. "Tadi kurirnya bilang ini dari siapa?"

"Di situ ada nama dan nomor telepon tokonya." Aryo menunjukkan kertas tempel yang menginformasikan identitas barang. "Coba kamu telepon."

Sebelum Zahro menuruti perintah ayahnya, dia memastikan semua isi dari dalam kardus. Di sana terdapat empat pasang baju dengan dua pasang seukuran tubuh Sasti dan satunya seukuran dengan Athira namun sedikit kebesaran, ada satu kemasan pemperse berisi 30 buah ukuran L, ukuran yang pas dengan biasa Athira pakai, dan satu set sprei ukuran queen.

Zahro berpikir tidak mungkin jika paket ini salah kirim karena semua sesuai dengan ukuran. Mulanya Zahro berpikir paket ini dari Lina atau mungkin sahabatnya yang lain, namun jika memang benar dari sahabatnya pastinya akan ada kabar konfirmasi sebelumnya. Di tambah tidak ada hari spesial maka tidak mungkin paket ini dipakai sebagai kado.

Zahro kemudian menghubungi pengirim paket meminta bantu untuk menghubungkan dengan pengirim sebenarnya. Saat panggilan tersambung dia langsung mengatakan maksud dan tujuannya menelepon. Dia keluar rumah agar bisa dengan intens berbicara dengan penjual.

"Pemesannya atas nama Bapak Ahmad Haris Prasto di Majalengka."

Tangan Zahro kemudian melemas. Dia mematikan panggilan secara sepihak. Mulanya ada amarah yang memuncak namun, wanita 22 tahun itu berusaha bersikap setenang mungkin. Dia kembali masuk dan memberikan kabar kepada ayah dan ibunya.

"Astaghfirullah, masih hidup orang itu!" umpat Aryo

"Ayah gak boleh bilang begitu." Wati mengusap bahu Aryo. "Kamu gak salah dengar 'kan, Nduk?"

Zahro tidak menghiraukan pertanyaan dari orang tuanya melainkan menunjukkan pakaian yang seukuran dengan Sasti. "Ini dari Ayah, Nak."

"Ayah?" tanya Sasti.

"Iya, dia gak bisa datang jadi dia kirim lewat paket," dusta Zahro agar terdengar masuk akal bagi Sasti. "Mbak suka?"

Saat itu Sasti hendak mengambil pakian untuk Athira kemudian Zahro mencegah.

"Itu punya Adek," ujar Zahro. "Yang ini punya Mbak. Lihat yang itu kecil 'kan? Mbak gak muat kalau pakai baju punya adek."

Sasti menempelkan pakian baru ketubuhnya, Zahro memberikan senyuman. Pikirnya setidaknya sumainya masih memikirkan anak-anaknya biarpun itu cukup menyakitkan bagi Zahro karena dia butuh kehadiran Prasto untuk membesarkan Sasti dan Athira. Satu paket ini tidaklah berarti apa-apa bagi Zahro. Di sisi lain dia cukup puas jika kedua anaknya menyukai pakaian -pakaian baru pemberian dari Ayahnya.

Zahro memandang ibunya, saat itu Wati memberikan anggukan dan tatapan yang menunjukkan sebuah dukungan penuh dengan sikap Zahro yang tenang saat ini.

###

Ariqa dan Anang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi siaran acara masak-masak. Ariqa jauh lebih menikmati acara tersebut berbeda dengan Anang yang lebih membaca buku teori. Ariqa duduk di lantai dekat dengan kaki Anang, dia melirik sampul buku berjilid spiral di pangkuan suaminya itu. Entah sudah berapa kali Ariqa menemui suaminya asik dengan buku-buku bacaan dan tidak pernah melupakan buku catatan bersampul merah. Buku itu berada di meja nakas di kiri Anang.

Anang pernah berkata kepada Ariqa bahwa apa yang kita baca sekarang menentukan pribadi kita lima tahun kemudian. Mengingat kalimat membingungkan itu membuat Ariqa mengalihkan pandang kembali ke televisi. Ariqa menyilangkan tangan di dada sambil memfokuskan pada langkah-langkah memasak soto betawi yang sedang berjalan.

Tiba-tiba tangan Anang mendarat di pundaknya sambil berkata, "Makan apa kita malam ini."

Ariqa mendongak. "Aku malas masak. Kita beli piza aja, ya?"

"Iya terserah kamu saja." Anang mengisyaratkan Ariqa untuk meminta bantu mengambilkan buku catatan di meja. Ariqa lalu bergerak mengambilkan. "Masih ada saldo 'kan."

"Ada." Ariqa mengambil ponselnya. "Paket yang seperti biasanya, 'kan?" Di satu sisi Ariqa malas mengganti menu karena dia tidak mau mengambil ribet harus memperhatikan nama menu satu persatu.

"Terserah."

Selama beberapa saat Ariqa memulai transaksi memesan piza melalui aplikasi di ponselnya.

"Minggu depan aku ada seminar ke Cirebon," kata Anang setelah melihat Ariqa selesai dengan urusannya. "Bakal empat hari aku di sana. Kamu gak apa 'kan?"

"Tidak masalah. Bulan lalu kamu sudah bilang." Ariqa tidak menatap suaminya melainkan fokus pada televisi.

"Yasudah, kamu gak ada acara selama aku ke Cirebon?" Anang menuliskan sesuatu pada buku catatannya sambil memperhatikan tulisan pada buku berjilid spiral. "Cari kegiatan apa gitu biar gak bosen."

Ariqa menoleh. "Ah, iya. Aku lupa bilang ini ke kamu." Dia mengubah posisi duduknya naik ke sofa. "Nanti malam aku boleh tidak datang ke pertunjukan wayang golek." Sebelum Anang bertanya Ariqa menambahkan. "Tempatnya gak sampai 30 menit dari sini."

"Ini kamu ceritanya ajak aku ke pertunjukan itu?"

"Loh, kamu mau ikut?" Ariqa menggeleng. "Jangan. Teman-teman komunitas belum ada yang pernah bawa suami kecuali kalau memang satu lingkungan komunitas."

"Aku juga gak tertarik sih. Makanya aku tanya tadi." Anang kembali membaca buku berjilid spiral sekali lagi dengan intens.

"Jadi ini aku boleh?" desak Ariqa.

Anang mengangguk.

"Terus..." Ariqa terdengar ragu hendak mengatakan kelanjutan kalimatnya. "Ada lagi. Ini aku butuh persetujuan kamu." Tangan Ariqa memegang buku di tangan Anang.

Anang pun menoleh ke istrinta itu sepertinya hendak mengatakan hal yang serius. Jadi dia menutup bukunya lalu meletakkan ke meja.

"Apa?" tanya Anang.

"Aku boleh tidak berhenti bekerja?"

Anang mengerutkan dahi. "Kenapa?" tanyanya dengan memberikan tatapa penyelidik. "Baru juga setahun kerja. Gak betah atau gimana?"

"Aku betah kerja di sana. Tapi aku gak ingin aja jadi wanita karir."

"Yaudah, gak apa kalau memang itu mau kamu," jawab Anang sambil menepuk-nepuk tangan Ariqa. "Tapi kamu nunggu masa kontrak kamu dengan Bank habis, 'kan? Biasanya kalau belum habis masa gak boleh resign."

"Akhir bulan sembilan masa kontrakku habis. Sebelum jatuh tempo aku mau bilang kamu dulu kalau gak aku perpanjang." Ariqa menelan ludah. "Kalau aku berhenti kerja keuangan rumah tangga kita aman 'kan, Mas."

Anang tidak merespon. Dia merasa tak nyata jika Ariqa sampai memikirkan hal ini di awal pernikahannya. Awalnya memang masalah finansial tidak pernah menjadi kendala di rumah tangganya. Bahkan sebelum Ariqa bekerja, Anang masih bisa menangani.

"Maksud aku. Selama ini kan bayar biaya listrik dan air PDAM 'kan kita gantian," tambah Ariqa. "Belum juga kamu harus kirim uang ke ibu kamu."

"Apa kamu meragukan aku menangani masalah ini?"

"Bukan begitu, Mas."

"Iya, aku sudah mengizinkan kamu berhenti kerja. Jangan diperpanjang lagi. Urusan keuangan keluarga kita itu tanggung jawabku jangan ikut memikirkan masalah itu." Anang lalu mengambil kedua bukunya lagi. "Ada lagi yang perlu dibicarakan?"

Ariqa menggeleng.

"Kalau kamu aktif di komunitas wayang golek, ingat jangan sampai lupa tanggung jawan kamu sebagai istri, aku mau kamu menjaga diri apalagi acara itu selalu malam. Terakhir kamu pulang jam 11 malam."

"Iya, Mas. Pasti."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top