4. Menyimpan Bara
Sepuluh menit yang lalu dua orang kurir baru saja mengantarkan lima kotak berukuran yang variatif mulai dari besar dan kecil. Mereka mengantarkan ke rumah bapak Buntoro. Penerima paket saat itu adalah Anang, anak pertama. Sedangkan Bagus, anak kedua, baru keluar kamar ketika dua kurir tersebut pergi.
"Apa Mas?" tanya Bagus. Anang membaca beberapa tulisan di kardus.
"Apa kamu minta Ayah buat beli komputer?" Anang menoleh ke adiknya saat Rere, sang Ibu masuk dari pintu depan sambil membawa beberapa kantong sayur.
"Apa ini?" tanya sang Ibu. Bagus menggeleng atas ketidaktahuan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan dari Ibu dan saudara. "Astaga, untuk apa kalian membeli ini semua?"
Bagus dan Anang kini memperhatikan Ibu mereka yang mencemooh kardur-kadus tersebut dan tidak satu pun dari mereka mendengarkan. Mereka merasa bukan salah siapapun jika kardus-kardus itu tiba ke rumah. Di lain sisi mereka tidak tertarik dengan isi kardus tersebut.
"Ibu tanya Ayah saja," sela Anang. "Aku dan Bagus tidak membeli itu semua."
"Juga tidak mengingkannya pula," tambah Bagus.
Rere mendengkus. Jika bukan ulah kedua anaknya sudah pasti ulah Ayahnya. Anang bergeming melihat raut wajah emosi dari Rere.
"Ayahmu ke mana?" tanya Rere kepada Anang.
"Mandi," jawab Bagus. Dia berjalan menuju kardus yang berukuran besar. Biarpun tampilan luar kardus-kardus itu sudah mengabarkan isinya tetap saja Bagus penasaran.
"Apa kalian ingin punya komputer?" tanya sang ibu. "Untuk apa beli komputer? Kalian kan sudah punya laptop."
"Ibu tanya Ayah saja. Mungkin punya temannya Ayah," jawab Anang. Rere membutuhkan penjelasan maksud suaminya membeli barang tersebut.
Bagus memilih untuk menyentuh beberapa kardus dan membaca apapun yang bisa di bacanya sedangkan Anang kembali masuk ke kamar. Saat membaca spesifikasi komputer, Bagus yang masih duduk di bangku SMA, dia berpikir, untuk apa pula membeli komputer keluaran lama di saat laptop jauh lebih praktis. Sisi lainnya apapun maksud sang Ayah membelikan komputer paling tidak nantinya akan berguna.
Rere meletakkan kantong belanjanya di meja ruang tamu lalu masuk untuk menemui suaminya. Buntoro saat itu berada di kamar sedang memakai baju. Pintu kamar di kunci, Rere mengetuknya.
"Mas Buntoro, itu komputer punya siapa?" teriak Rere. "Buat apa Mas beli komputer? Anak-anak kan sudah punya laptop."
"Sudah datang?" seru Buntoro. Rere masih berdiri di depan pintu sampai pintu terbuka.
Buntoro keluar kamar setelah beberapa saat. Dia melewati Rere seolah tidak menyadari keberadaan istrinya. Setibanya di ruang tamu, Bagus saat itu sedang menegang kardus terkecil berukuran 20x20 sentimeter.
"Letakkan," bentak Buntoro tiba-tiba membuat Bagus terlonjak kaget. "Itu semua punya ayah... Anang cepat sini."
Bagus bergerak dengan cepat dan hati-hati. Dia menjauh dari kardus-kardus untuk memberi ruang untuk ayahnya. Sedangkan Rere baru saja bergabung disusul denang Anang.
"Apa?" sahut Anang dengan malas.
"Kamu bisa memasang semua ini?" tanya Buntoro kepada Anang tanpa menoleh karena tersibukkan membuka kardus. "Bantu Ayah."
Anang langsung mengambil gunting dan cutter sedangkan Bagus dan Rere saling pandang. Mereka seolah tidak dilibatkan atas barang baru yang jelas tidak berguna.
"Bagus bersikan barang-barang kamu dari meja itu." Anak menunjuk pada meja belajar di sudut ruang tengah.
"Terus mau dikemanakan barang-barangku?" tanya Bagus. Anang tetap tidak pedulikan. Dia memandang Bagus tanpa bicara membuat Bagus segera bertindak.
"Kamu tahu siapa yang di sini bisa memasang peralatan komputer?" Buntoro bicara kepada Rere.
"Memangnya kenapa?" jawab Rere. "Mas gak bisa pasang sendiri?"
"Kalau aku bisa gak minta pendapat kamu!" Buntoro terlihat tidak senang dengan jawaban Rere.
"Kalau gak bisa pasang kenapa beli?" Rere tidak bermaksud bertanya lebih tepatnya dia mencemooh. "Keperluan rumah banyak yang lebih perlu dibeli daripada rongsokan seperti itu."
"Sudahlah aku gak mau cari masalah sama kamu." Buntoro kembali terfokuskan mengeluarkan komputer dan peralatan lain dari kardus. Sedagkan Anang hanya membantu sebisanya walaupun dalam hatinya enggan terlibat.
"Kamu punya teman yang bisa pasang kabel dan peralatan komputer?" Buntoro bicara kepada Anang dalam kegiatannya melepas plastik pembungkus kibor. Banyak sekali plastik dan buku panduan dikeluarkan dari dalam kardus tapi tidak ada langkah-langkah yang mereka tidak bingungkan. Kabel dengan ujung berbeda dan banyak pula alat yang perlu dihubungkan satu sama lain.
Rere mengambil kantong belanjanya lalu masuk ke ruang tengah untuk menemui Bagus yang sedang hilir mudik membawa barang-barang di meja ke kamarnya. Saat Bagus hendak masuk ke kamar, Rere mencegah langkahnya.
"Sebenarnya Ayahmu kenapa beli komputer?" tanya Rere. "Apa laptop kamu atau Mas Anang rusak?"
Bagus menggeleng. "Gak rusak kalau punyaku, gak tau punya Mas Anang."
"Hem, yasudah biarkan mereka kalau kesulitan dengan rongsokan itu jangan melibatkan diri," tukas Rere. "Ibu masak dulu. Kalau beli apa-apa Ayah kamu mana pernah diskusi sama Ibu. Gak tahu sebenarnya Ibu ini dibutuhkan apa gak."
"Ibu jangan bilang gitu, ah," tegur Bagus. "Nanti juga Ayah sadar sendiri kalau komputer itu jika memang gak berguna."
"Iya, tapi ayah kamu mana tahu kalau blender ibu sudah mulai eror, magic-com juga."
Bagus berusaha mengetahui situasinya. Memang sejak lama hubungan Ibu dan Ayahnya tidak pernah membaik. Selalu ada saja masalah di antara mereka. Biarpun seperti itu, Bagus tetap berusaha agar keduanya bertahan.
"Kenapa ibu gak bilang Ayah?" Sebelum Rere menjawab, Bagus sempat masuk ke kamar saat ibunya berjalan ke sofa ruang tengah.
"Ibu sudah bilang berkali-kali. Jawabnya 'kan masih bisa dipakai'. Gitu terus jawabnya."
Bagus berjalan menuju meja belajar di sudut ruang tengah untuk yang terakhir mengambil beberapa tumpuk buku. Saat itu ibunya menyalakan televisi lalu hilir mudik untuk mengambil-letakkan pisau dan beberapa wadah.
"Dapat pesanan, Bu?" tanya Bagus saat melihat begitu sibuknya Rere.
"Iya, cuma buat tumpeng," jawab ibunya singkat. Tidak berselang lama Anang dan Buntoro masuk ke ruang tengah membawa CPU dan komputer.
"Sudah di bersihkan?" tanya Buntoro kepada Bagus. Bagus segera mengangguk. "Itu yang di ruang tamu kamu ke sina." Buntoro menunjuk meja belajar yang sudah di bersihkan Bagus.
"Pak Joko warga baru kira-kira bisa gak bantu aku pasang semua ini?" tanya Buntoro kepada Rere saat setelah meletakkan komputer di meja.
Rere mengambil ponselnya. "Aku coba telepon Bu Lina, istrinya Pak Joko."
"Hem," gumam Buntoro lalu pergi ke ruang tamu menyusul Anang. Dia berpasan dengan Bagus yang membawa perangkat mesin. Dan kibor.
###
Zahro duduk di ruang tengah sambil makan bubur ayam dan menonton televisi. Wati yang membelikannya dari penjual bubur ayam keliling sambil menggendong Athira di halaman depan untuk menikmati matahari pagi. Pandangannya kosong mengabaikan visual dari pantulan televisi. Pikirannya asik dengan membayangkan bagaimana rasanya jika suaminya tidak pernah meninggalkannya.
Sudah berhari-hari pikiran itu tidak kunjung hilang dari pikirannya.
Dia bahkan ingat kapan Prasto meninggalkan rumah. Saat acara tujuh bulanan selesai digelar. Para rewang baru berpamitan pulang setelah mencuci piring dan membersihkan rumah. Prasto mendatangi Zahro di kamar tidur. Saat itu, Zahro sedang menghitung pengeluaran setelah acara. Dia menuliskan angka-angka di buku tulis dan menghitung dengan kalkulator yang biasa dia pakai di warung.
"Zahro," panggil Prasto dalam suara yang dalam dan intens. "Boleh bicara?"
"Bicara soal apa Mas... insyaAllah semua sudaj beres. Dan ada sisa uang dari acara tadi." Zahro sempat melihat wajah Prasto yang lemah. "Ada apa Mas?"
"Gak apa. Aku mau ke warkop dulu." Prasto menutup pintu.
Tersibukkan dengan angka-angka Zahro sama sekali tidak menyangka jika malam itu adalah malam terakhir dia bertemu dengan Prasto. Keesokan paginya, Zahro baru benar menyadari bahwa Prasto tidak tidur di sampingnya semalam. Kemudian dia memanggil nama Prasto tapi tidak ada jawaban. Zahro juga mulai merasa janggal pada koper yang seharusnya ada di atas lemari. Dengan berat hati Zahro membuka pintu lemari dan hanya tersisa pakaiannya saja serta beberapa pakaian Prasto yang sudah tidak pernah dipakai.
Zahro begitu ingat perasaan tidak karuan menyerangnya, hingga beberapa saat dia hanya duduk terdiam di samping tempat tidur sambil menerka-nerka dan memahami situasinya. Dia pun mengambil ponselnya berniat untuk menelepon suaminya tersebut, namun hasilnya nihil karena nomor Prato tidak aktif. Mungkin sebelumnya Prasto sudah menduga jika Zahro akan menelepon jadi sengaja dia me-nonaktifkan nomor ponselnya.
Lamunan Zahro kemudian kabur saat mendengar suara wanita mengucap salam. Saat Zahro meletakkan mangkok bubur ayam tiba-tiba dari arah dapur Wati keluar.
"Biar ibu saja." Wati langsung menuju ke depan, dan Zahro melanjutkan makan.
"Waalaikumsalam, eh Bu Lina!" seru Wati dalam tawa ramahnya. "Ada apa Bu Lina? Ayo masuk dulu."
"Tadi habis antarakan Mas Joko ke rumah Bu Rere. Kebetulan kok searah sama rumah Bu Wati yasudah saya mampir." Lina melangkah masuk sambil membungkuk menghormati Wati selaku pemilik rumah. "Athira tidur?"
"Iya di kamar," jawab Wati saat Zahro keluar dari ruang tengah.
"Kebetulan Mbak Lina datang." Zahro duduk di samping Lina di kursi panjang. "Saya boleh titip Athira soalnya saya mau pulang."
Lina dengan tatapan bingung merasa ada yang keliru. Dalam pikirannya memangnya rumah Wati bukan rumahnya. "Eh, iya, tidak apa. Saya juga gak lagi repot."
"Bu, bantu aku bawa barang-barang ya, ada baju-baju Athira di sana." Zahro bicara kepada Wati. "Gimana Bu?"
"Ehm, iya." Wati berdiri. "Ibu mau siap-siap dulu."
Saat Wati masuk di situlah kesempatan bagi Lina menanyakan kepada Zahro. "Rumah kamu di mana? Jauh?"
"Dekat, di Rt tiga." Lina menganggukan kepala padahal dia tidak tahu Rt 03 berada di sebelah mananya Rt 01. "Dulu saya tinggal di sana, kalau buka warungnya di sini karena dekat sama jalan raya."
Lina hanya menganggukkan kepala. "Athira ada di kamar?"
"Iya, tidur di kamar depan," kara Zahro saat Wati baru saja keluar. Kini rambut cepaknya sudah tersisir rapi dilengkapi dengan bando hitam menghiasi punya kepala.
"Bapak ke aman Bu?" tanya Zahro kepada Wati.
"Katanya tadi ke balai desa." Zahro berdiri saat Wati setengah perjalanan menuju pintu depan. "Bu Lina maaf lo merepotkan. Baru datang langsung dimintai tolong."
"Iya Bu Wati tidak apa, saya ke sini juga mau tengok Athira."
"Iya, Athira damai sama mbak Lina," tambah Zahro. "Pergi dulu yah Mbak."
"Iya," jawab Lina dengan senyum ramah.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top