2. Saat Langit Bersuara
Joko menghabiskan waktu satu jam untuk duduk di sofa berbau apak. Anehnya siapa orang yang sudi repot-repot membawa sofa apak dari Jombang hingga ke Kediri. Kenapa pula tidak membeli yang baru jika memang berniat untuk tinggal di rumah baru. Joko mulai curiga kalau sofa ini bukan apak karena sudah lama tak diduduki, dia bahkan tak ingat kapan terakhir menerima tamu. Terbesit pula dipikiran Joko untuk menjualnya, akan tetapi dia tidak sudi membawa ke tukang rongsokan, pastinya akan terjual harga murah, tak sebading dengan biaya sewa pick-up. Lantas untuk apa fungsinya sekarang, tidak aka nada tamu yang datang. Mungkin sudah takdirnya, karena sofa merah-muda-usang-berbau-apak adalah tempat paling nyaman untu memkirkan takdir.
Sore ini Joko bermimpi aneh. Mimpi yang bukan tentang merencanakan masa depan. Sekarang, dia berusaha menreka adegan. Di sana mulai tumbuh rasa yang tidak karuan. Suasana batinya menjadi tidak tenang merasakan kesunyian, kedalaman rasa kecewa, dan luar biasa tidak mengenakkan.
Tiba-tiba, di luar rumah hujan turun. Tidak ada kilat, tak tampak mendung karena hari sudah gelap. Aroma hujan mulai menerobos saat Lina membuka pintu dengan beberapa kantong makanan.
"Untung sudah sampai rumah," kata Lina meletakkan kantong kresek di meja ruang tamu. "Kamu kok melongo kenapa?"
"Apa perlu kita datang ke rumah-rumah untuk memperkenalkan diri?" tanya Joko sambil tangannya mengambil sebungkus nasi campur.
Lina mengernyit. "Apa sejak aku keluar tadi kamu memikirkan bagaimana berkenalan dengan tetangga?"
Joko mengangguk kemudian menggeleng. "Kamu ingin punya anak berapa?"
"Apa kamu ingin melakukannya di hari pertama pindah rumah?" Lina masih tidak menyentuh sebungkus nasi yang masih ada di dalam kantong kresek. "Nakal sekali kamu, Mas!" Lina langsung tertawa sumbang. Dalam hatinya sebenarnya belum siap untuk menjadi seorang ibu.
"Anak Pak RT baru melahirkan kemarin malam, mungkin besok kita ke sana?" ajak Joko ketika itu Lina sudah membuka pembungkus nasi campur. "Kamu ingat kan Mbak Zahro, yang dulu kita makan di warungnya saat beli rumah ini."
Lina mengangguk sambil memilih duduk di lantai. "Oh, Mbak Zahro lahiran. Pantas saja warungnya tutup. Tadi aku jalan keluar gang buat beli ini."
Selama beberapa saat mereka masing-masing tersibukkan dengan makan malam. Tidak ada percakapan lagi. Joko masih memikirkan mimpinya sedangkan Lina tidak bisa membayangkan bagaimana dia mempunyai anak nantinya. Sebenarnya Lina terlalu mencemaskan dirinya bagaimana jika kehamilan itu datang di saat Lina masih ingin menjadi dirinya. Dia juga tidak cukup berdalih dengan alasan riwayat kesehatan sebagai jalan untuk menunda kehamilan. Joko bukan pria yang mudah menyerah.
"Kamu aktif kerja mulai kapan?" tanya Lina. Saat itu Joko sudah beranjak dari sofa dan masuk ke ruang tengah untuk mengambil minum.
"Senin depan," teriak Joko disertai suara gelembung dari dispenser. "Kamu gak lupa bawa obat kan?"
Lina menoleh ke Joko. Suaminya itu kini berdiri di ambang pintu ruang tamu dan ruang tengah. "Bawa, ada di tas yang tadi pagi aku bawa."
"Oke, aku ambilkan." Joko kemudian masuk ke kamar sambil membawa gelas kaca berisi air.
"Mas, harga kulkas berapa yah?" teriak Lina. "Enaknya kita beli kulkas atau kompor dulu?"
Tidak ada jawaban dari Joko hingga pria itu kembali ke sofa. "Ada cukup uang untuk beli keduanya."
"Yakin?" Lina mulai membungkus bekas makannya. "Kamu gajian baru bulan depannya lagi loh Mas." Wanita itu juga membersihkan milik Joko lalu dimasukkan ke kantong keresek.
"Tarus situ saja, biar aku yang buang," kata Joko saat Lina hendak berdiri. "Minum obatnya dulu."
"Bentar baru juga selesai makan sudah minum obat saja." Lina menganti posisi duduknya di sofa. "Gimana?"
"Apanya?"
"Masih ada uang gak?"
"Uang biar urusan aku, Dik." Joko menggeser gelas berisi air agar Lina segera minum. "Kalaupun kurang biar aku yang pikirkan. Sebutuhnya apa di rumah ini."
"Benar kata Mama, seharusnya bawa kompor."
"Kalau kompornya kita bawa, Mama masak pakai apa?--minum dulu." Joko pindah posisi duduk ke samping Lina. Ternyata sofa panjang punya aroma yang lebih apak daripada sofa tunggal. "Besok kita belanja, sekalian nanti beli buat gawan ke rumah Pak RT."
"Kamu gak capek apa? Kan hari masih panjang Mas." Lina menepuk paha Joko. "Buat gawan biar aku saja."
"Ada uang?"
"Ada," jawab Lina sambil menerima obat dari tangan Joko.
"Aku boleh tanya sesuatu gak?" Nada suara Joko tiba-tiba terdengar tenang dan intens. Saat itu Lina baru saja meminum obatnya.
"Kok jadi serius? Ada apa?" Lina mengernyit. "Kalau mau tanya-tanya saja, Mas. Kita pacaran lima tahun. Gak perlu sungkan."
"Sebenarnya kamu nyaman tidak kita pindah rumah?"
Sambil memikirkan jawaban Lina menepuk-nepuk paha Joko. Bertahun-tahun mengenal Joko membuatnya mahir mengatasi karakter suaminya itu. Jika sesuatu mengganggu hatinya Joko akan melontarkan pertanyaan yang tidak terduga.
"Kayaknya akan menyenangkan tinggal di sini. " jawan Lina. "Gak harus buru-buru menyimpulkan rumahku di Jombang jauh lebih baik, kan? Kita baru satu hari di rumah ini."
Wajah lonjong Joko dengan rangang tegasnya menyiratkan ketenangan ketika dia tersenyum. Dan Lina langsung membalas.
"Aku baik-baik saja, Mas." Lina meninggalkan ciuman singkat di pipi Joko yang tirus. "Aku tidur dulu tidak apa kan?"
Joko mengangguk.
"Kamu itu lagi lelah, jadi pikirannya ngelantur ke mana-mana." Lina mengusap rambut Joko yang tipis dan berminyak. "Astaga, Mas, kamu itu baru 24 tahun kok sudah punya uban."
"Mana ada uban." Joko langsung mengusap rambutnya.
"Canda-canda... serius mulu."
Seulas senyum teraut sekali lagi. Lina mencubit pipi Joko lalu dia pergi ke kamar.
###
Zahro mendatangi kamar ibunya saat setelah dia berhasil menidurkan Athira. Dia memakai jaket di dalam rumah karena merasanya tubuhnya sangat dingin. Tanggannya tetap dalam saku jaket saat melihat ibunya duduk di tepian tempat tidur.
"Athira sudah tidur?" tanya Wati.
Zahro hanya mengangguk. "Aku kapan bisa buka warung lagi? Kalau kelamaan tutup takut langganan Zahro pindah ke warung lain."
"Zahro, kamu itu gimana, kok ya masih mikirkan warung. Athira itu yang harus kamu pikirkan?"
"Aku gak enak sama Bapak, Athira harusnya tanggung jawab Mas Prasto. Jadi Zahro mau buka warung buat beli keperluan Athira."
Ibunya menghela napas. Wati tahu jika beban yang dipikul Zahro tidak bisa dielakkan. Satu-satunya jalan adalah bagaimana Zahro bisa bertahan dengan merawat anaknya seoran diri. "Kan masih ada perlengkapan Athira dari kado teman-teman kamu, nduk!"
Zahro duduk di samping ibunya sambil menyandarkan kepala. "Apa salah Zahro, bu?"
"Sudah-sudah, nanti Bapak dengar kamu nangis malah Ibu yang kena marah." Wati memegang tangan Zahro. "Kamu gak salah apa-apa. Prasto yang memang kurang ajar."
Zahro membenamkan wajahnya ke bahu ibunya yang bau minya angin. "Kenapa baru Zahro hamil Mas Prasto melakukan itu. Kenapa gak dulu-dulu."
"Sampai Athira besar kamu bisa tinggal di rumah ini. Kalau kamu gak sanggup tinggal di rumah Prasto." Ibunya tidak sedetikpun melepaskan genggaman tangan Zahro. "Nanti Ibu bicara sama Bapak. Mungkin ibu bisa bantu kamu di warung."
Zahro masih terisak dengan kesedihannya. Perasaannya saat ini sedang tidak karuan. Suara air hujan yang menghantam genteng membuat suasana semakin tidak menyenangkan. Di pikiran Zahro saat ini adalah mengingat bagaimana janji dari suaminya akan menjalani rumah tangga sampai akhir. Dan ternyata akhir dari cerita itu Zahro harus menghadapinya sendirian. Membesarkan seorang putri dengan rasa kecewa bukanlah perkara yang gampang untuk dibayangkan.
"Ibu antar kamu ke kamar... hari ini Ibu tidur sama kamu dulu." Wati menegakkan leher Zahro. "Kamu pasti kuat."
Mereka berdua pun berjalan menuju kamar.
"Menjadi orang tua itu amanah, Nduk. Asalkan kita ikhlas menjalaninya. InsyaAllah akan dipermudah." Ibunya menuntun Zahro sampai ke tepian tempat tidur. "Jadi Ibu itu juha gak gampang. Tapi kita dilahirkan juga untuk menjadi ibu. Bukan karena apa yang kita pilih, tapi inilah jalan kita yang terbaik dan seharusnya."
Zahro terdiam. Tidak ada kalimat yang bisa menyanggah. Dia hanya bisa pasrah biarpun otaknua bergerak liar dan hatinya teriris pula tercabik-cabik.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top